Saturday, August 20, 2022

Untuk Apa Kita Hidup? (2)

 

(sambungan)

Apa yang disampaikan Paulus mengingatkan saya seperti sebuah pohon buah misalnya pohon mangga. Sebagai pohon mangga yang mungkin mulai dari bibit, ia harus tumbuh dan berjuang keras agar akarnya bisa menembus lapisan tanah yang keras supaya bisa mendapat air. Tanpa itu, jangankan menghasilkan buah, untuk hidup saja bakal sulit. Kalau begitu, untuk apa pohon mangga itu hidup dan tumbuh? Untuk berbuah. Pada akhirnya sebuah pohon buah harus bisa menghasilkan buah agar bisa dinikmati dan menyehatkan orang yang memakannya. Kalau anda membeli pohon mangga tapi tidak kunjung berbuah, anda tentu kecewa bukan? Jika pohon mangga tidak berbuah, maka pohon itu menjadi sia-sia alias tidak berguna. Kalau pohon dituntut harus berbuah, kita pun sebenarnya sama.

Sekarang ayo kita lihat sekilas tentang saat Paulus menulis surat ini. Tidak ada catatan pasti dimana dan kapan Paulus menulisnya. Tapi yang sudah diketahui adalah fakta bahwa Paulus menulisnya saat berada di dalam penjara dan sewaktu-waktu harus siap menghadapi hukuman mati. Ada yang memperkirakan bahwa saat menulis surat untuk jemaat dari gereja yang ia dirikan sendiri ini, Paulus sudah berusia sekitar 60 tahun, yang artinya pada waktu itu ia sudah melayani sekitar 30 tahunan. Segala suka dan duka, manis dan pahit atau getirnya menjalani panggilan sudah ia lalui. Yang luar biasa, meski ia menjadi duta Kerajaan yang aktif dan berani mewartakan kabar gembira tentang Kristus, ia tetap masih harus bekerja sendiri mencukupi pelayanannya. Dalam perjalanannya, kita tahu bahwa Paulus berulang kali menghadapi tekanan bahkan siksaan. Ia berkali-kali dipenjara, dipukuli, dipasung, diusir, dan sebagainya. Kita juga tahu bahwa semua itu sama sekali tidak membuatnya lemah atau bahkan berhenti.

Coba bayangkan kalau Paulus kalah dalam menghadapi beratnya melayani, seperti apa jadinya Alkitab, dan berapa banyak kita akan kehilangan Firman yang diilhamkan Tuhan, khususnya mengenai sendi-sendi dasar dan standar kehidupan Kekristenan. Bayangkan pula apa jadinya penyebaran kabar gembira ini tanpa Paulus, karena ia begitu militan dalam perjalanan hingga mencapai Asia Kecil (sekarang kira-kira di Turki bagian Asia)  bahkan Yunani. Kalau kita lihat di peta, jarak tempuhnya itu mencapai 25 ribu kilometer. Pesawat terbang, bus lintas kota, kereta api cepat, mobil, semua sarana transportasi modern ini belum ada pada saat itu. Jadi bisa dibayangkan bagaimana beratnya perjalanan Paulus. Tapi ia sanggup menjalani panggilannya hingga sejauh itu. Itu luar biasa.

Satu hal lain yang wajib kita ketahui, Paulus bukanlah orang yang terlahir sebagai Kristen. Pada mulanya ia justru seorang penganiaya orang Kristen yang juga keturunan orang Farisi. Tapi dalam Kisah Para Rasul kita bisa menemukan cerita pertobatannya yang luar biasa. Sejak saat itu kehidupannya berubah drastis menjadi hamba Tuhan yang kuat, radikal dan setia sampai akhir hidupnya.

Melihat garis besar hidup Paulus tadi, saya rasa kita harus belajar banyak dari dia. Sudah melayani Tuhan, sudah harus membiayai sendiri masih harus merasakan tekanan dan siksaan hingga akhirnya mendekam di penjara menunggu waktu eksekusi. Bagaimana ia bisa tetap memiliki iman yang tidak tergoyahkan sedikitpun? Bagaimana ia bisa tetap melakukan semua itu meski tengah menghadapi akhir yang mengerikan? Paulus bisa melakukan itu karena ia tahu apa yang jadi panggilannya. Ia tahu bahwa panggilannya harus dijalankan tanpa kompromi, tak peduli apapun yang terjadi, dan ia tahu bahwa ia harus terus menghasilkan buah selagi kesempatan masih ada, meski situasi yang ia hadapi sama sekali jauh dari baik.

Ada banyak orang yang aktif dalam pelayanan karena berharap mereka mendapat keistimewaan di mata Tuhan. Mereka melayani karena ingin bisnisnya diberkati, masalah dijauhkan dan hidup berkecukupan, kalau tidak berkelimpahan. Jika  yang terjadi sebaliknya, mereka akan segera berhenti karena kecewa pada Tuhan bahkan dengan berani mempertanyakan keadilan Tuhan. Padahal apa yang mereka alami belumlah seujung kuku dari apa yang harus dilalui Paulus dalam hidupnya. Banyak orang yang berpikir bisa menyogok Tuhan kalau melayani. Aku sudah bekerja untukMu kan? Sekarang gantian, limpahi aku dengan apapun yang aku minta! Mungkin terdengar konyol, tapi pada kenyataannya ada banyak orang yang berpikiran seperti ini. Atau, melayani karena ingin terlihat hebat, mencari pujian, pamor dan popularitas di mata orang dan keuntungan-keuntungan lainnya. Mereka ini adalah contoh orang yang masih memiliki motivasi sangat keliru akan hakekatnya menjadi rekan sekerja Tuhan. Mereka mengira bahwa dengan melayani artinya mereka akan mendapat keistimewaan dan keuntungan. Tidaklah mengherankan apabila ada banyak orang yang mudah kecewa pada Tuhan. Apa jadinya kalau mereka ada di posisi Paulus? Untung yang mengalami itu Paulus, bukan mereka. Kalau tidak entah bagaimana jadinya kebangunan jemaat mula-mula dan bagaimana kita sekarang.

(bersambung)

No comments:

Lanjutan Sukacita Kedua (4)

 (sambungan) Jawaban sang ayah menunjukkan sebuah gambaran utuh mengenai sukacita kedua. Anak sulung adalah anak yang selalu taat. Ia tentu ...