Sunday, April 30, 2017

Henokh (2)

(sambungan)

Bagaimana agar kita bisa mencapai status itu? Apakah cukup dengan hanya berdoa siang dan malam untuk ditolong Tuhan dari kesusahan, dan setelah itu kita melupakannya? Apakah itu bisa kita peroleh saat kita masih menempatkan segala kegiatan, kepentingan atau kebutuhan di dunia di atas kebutuhan kita untuk bersekutu dengan Tuhan? Apakah kita masih menjalani hubungan yang hanya 'memanfaatkan' Tuhan saja, alias take it for granted? Kalau ya, itu artinya kita belum menempatkan Tuhan pada posisi sebagai sahabat karib.

Tuhan mau membuka diri bagi kita untuk mengenalNya terus lebih dalam lagi. Dia bukanlah sebuah misteri yang kaku, dingin, arogan, eksklusif dan tidak terjangkau melainkan sebuah Sosok Pribadi yang terbuka dan bersahabat. Kita pun sudah melihat bahwa ada beberapa orang yang dicatat Alkitab memiliki kehormatan untuk disebutkan sebagai orang-orang yang sangat dekat, berkenan di hati Allah dan hidup bergaul denganNya. Pertanyaannya hari ini, apakah itu berlaku hanya bagi segelintir orang yang benar-benar beruntung saja atau tidak? Tawaran yang sama jelas berlaku bagi semua anak-anakNya, termasuk anda dan saya. Jika Henokh, Nuh dan Daud bisa, kita pun bisa apabila memiliki kualitas hidup penuh ketaatan yang sama seperti mereka. Lantas pertanyaan kedua, apa keistimewaan yang kita dapatkan sebagai sahabat karib Tuhan?

Tuhan menjanjikan banyak hal istimewa kepada orang-orang yang bergaul akrab dengannya. Perhatikan ayat bacaan hari ini. "..Inilah yang difirmankan TUHAN: Kepada orang yang karib kepada-Ku Kunyatakan kekudusan-Ku, dan di muka seluruh bangsa itu akan Kuperlihatkan kemuliaan-Ku..." (Imamat 10:3). Tuhan menyatakan kekudusanNya dan memperlihatkan kemuliaanNya kepada orang-orang Dia anggap bersahabat karib denganNya. Daud juga mengerti akan hal ini. "TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14).

Takut akan Tuhan akan membawa kita untuk terus membangun hubungan dengan Tuhan hingga ke tingkat akrab atau karib, dan hal itu akan membuat Tuhan terbuka dalam memberitahukan rencana dan rancanganNya pada kita. Itu janji Tuhan. Ada penyertaan dan kebersamaan dalam sebuah persahabatan yang terbina akrab, dan itu pun akan terjadi antara kita dengan Tuhan ketika kita bergaul karib denganNya. Janganlah tergoda oleh berbagai hal yang ditawarkan dunia yang mampu merenggangkan hubungan kita dengan Tuhan. Seperti halnya kita merasakan sakit yang luar biasa jika sahabat karib kita menghianati kita, tentu Tuhan pun akan merasa kecewa apabila kita menghianatiNya. Apalagi hanya untuk kepentingan atau kepuasaan sesaat di dunia yang hanya sementara ini. Perhatikan pula bahwa setiap pelanggaran dan ketidaktaatan akan mendapat balasan yang setimpal. (Ibrani 2:2).

Tuhan menciptakan kita seperti rupa dan gambarNya sendiri seperti yang bisa kita baca di awal penciptaan. "Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita... Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia" (Kejadian 1:26-27). Itu salah satu bukti kuat bagaimana Tuhan ingin berhubungan secara istimewa dengan kita. Tuhan menciptakan kita menurut gambarNya sendiri agar kita dapat mengenal dan menanggapiNya. Dia membangun unsur-unsur dalam kepribadian kita yang selaras dengan kepribadianNya. Kita mempunyai pemikiran untuk mengerti dan menanggapi pemikiranNya, we have emotions to grab His emotions, kita juga punya kehendak untuk menanggapi kehendakNya. Jika tidak, Tuhan tidak akan merasa perlu untuk membuat kita menjadi mahluk mulia, ciptaanNya yang teristimewa lewat rupa dan gambarNya sendiri.

Tuhan membuka diri untuk dikenal, dan membuka tawaran untuk bersahabat akrab atau bergaul karib denganNya. Apakah kita mau menyambut uluran tangan Tuhan ini atau tidak, semua itu tergantung diri kita sendiri. Tuhan akan sangat gembira dan bersukacita apabila kita mau menyambutNya dan menjadikan Dia sebagai Sahabat yang akrab dengan kita.

Setelah kita tahu bahwa hubungan seperti itu dengan Tuhan dimungkinkan, bergaullah karib dengan Tuhan dengan melibatkanNya dalam setiap aspek kehidupan kita. Rajinlah berdoa, membangun hubungan yang intim denganNya dengan rutin, muliakan Dia selalu dengan tubuh, perbuatan dan perkataan kita. Setia dan hargai hubungan persahabatan setinggi mungkin. Jadilah sahabat yang bisa diandalkan dan dipercaya. Tuhan menanti anda untuk menjadi sahabat karibNya, Dia mengulurkan tanganNya untuk bersahabat erat dengan kita. Maukah anda menyambutnya?

Hubungan erat antara dua pihak yang dibangun atas dasar saling mengasihi, saling mengerti dan saling percaya, itu bisa terjadi antara kita dengan Allah

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, April 29, 2017

Henokh (1)

Ayat bacaan: Imamat 10:3
========================
"..Inilah yang difirmankan TUHAN: Kepada orang yang karib kepada-Ku Kunyatakan kekudusan-Ku, dan di muka seluruh bangsa itu akan Kuperlihatkan kemuliaan-Ku..."

Ada yang sekedar kenal, ada yang dianggap teman, tapi ada yang namanya sahabat karib. Orang yang kita kategorikan sebagai sahabat karib tentu berbeda dengan teman biasa. Kata karib menggambarkan eratnya persahabatan yang sedekat saudara, atau bisa jadi bahkan lebih dekat daripada saudaranya sendiri. Dengan sahabat karib biasanya jika ada perselisihan atau perbedaan kita mudah menyelesaikannya. Itu karena kita percaya kepada mereka dan sudah mengenal mereka dengan sangat baik. Kita tahu kelebihan dan kekurangannya sehingga kita tidak mudah tersinggung atau sakit hati apabila terjadi konflik.

Menariknya, seringkali seolah ada ikatan batin diantara dua sahabat yang karib. Mereka bisa saling tahu saat terjadi sesuatu pada sahabat dekatnya itu. Kepada sahabat karib-lah biasanya orang akan pertama kali mengadu, mencurahkan isi hati, berkeluh kesah dan bercerita bahkan mungkin mengenai hal-hal yang sifatnya pribadi sekalipun. Terhadap seorang sahabat karib biasanya kita tidak lagi jaim karena biasanya sahabat karib bisa kita percaya dengan sepenuh hati. Seorang sahabat karib adalah tempat dimana kita bisa berteduh dalam duka, dan akan menjadi orang pertama yang ikut bahagia ketika kita berada dalam suka. Kepercayaan, pengertian, ada di saat kita butuhkan, keringanan hati untuk membantu, bahkan pengorbanan, itu menjadi hal-hal yang bisa kita peroleh dari seorang sahabat karib.

Kita tentu merasa beruntung kalau punya sahabat karib, karena kenyataannya tidak banyak orang yang bisa memilikinya. Teman mungkin banya dan mudah dicari, tapi sahabat karib itu tidak mudah. Kalau punya sahabat karib sesama manusia saja bisa membuat kita bahagia sekali, bagaimana kalau kita bisa bersahabat karib dengan Tuhan? Itu tentu tidak terbayangkan rasanya.

Pertanyaannya sekarang, apakah itu mungkin? Apa kita bisa bersahabat karib dengan Tuhan? Bukankah Tuhan sudah terlalu besar dan tidak lagi bisa dijangkau oleh kemampuan manusia? Benar, Tuhan memang Maha Besar dan tidak sebanding dengan manusia. Tetapi menjadi sahabat karib Tuhan itu bukanlah sesuatu yang mustahil melainkan sangat mungkin!

Alkitab mencatat dengan jelas dalam banyak ayat mengenai kedekatan yang begitu intim yang bisa terjalin antara manusia dengan Tuhan. Beberapa nama bahkan disebut secara jelas sebagai orang yang bergaul/bersahabat karib dengan Tuhan. Kalau kita mundur ke kisah penciptaan awal, Tuhan sejak semula merindukan manusia bisa menjadi sahabat karibnya. Sayangnya manusia jatuh dalam dosa sejak awal pula. Namun demikian, Tuhan tidak henti-hentinya menunggu kerinduan  yang sama dari manusia, yang begitu Dia kasihi, untuk datang kepadaNya dan bergaul akrab denganNya.

Dalam Alkitab kita mengenal tokoh bernama Henokh. Alkitab mencatat bahwa Henokh berusia 65 tahun ketika mendapatkan seorang anak laki-laki bernama Metusalah. (Kejadian 5:21). Ayat selanjutnya tertulis sebagai berikut: "Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah selama tiga ratus tahun lagi.." (ay 22a). Perhatikan bahwa Henokh dikatakan hidup bergaul dengan Allah selama 300 tahun lagi. Betapa luar biasanya sebuah hubungan kekerabatan yang akrab atau karib yang tidak lekang di makan waktu. Kita bisa melihat dari ayat ini bagaimana seorang Henokh mampu menjaga hubungannya dengan Sang Pencipta, hidup selaras dengan kehendak Tuhan sebegitu lama. Kalau kita 365 hari saja bisa seperti itu mungkin sudah hebat sekali. Tapi Henokh bisa melakukannya, bukan 365 hari tapi 365 tahun! Kesetiaannya teruji dalam rentang waktu yang begitu panjang, melebihi usia normal manusia.

Mungkin kita bisa berpikir bahwa pada saat itu godaan atau cobaan dari dunia tidaklah separah saat ini. Tapi saya percaya godaan duniawi selalu ada pada rentang waktu kapanpun, dimanapun. Bentuknya mungkin berbeda seiring perjalanan waktu, tetapi intensitas dan daya rusaknya saya kira sama saja. Setidaknya pada saat itu pun sangat berat. Saya yakin pada masa itu Henokh bukannya tidak mendapat cobaan dari berbagai keinginan duniawi yang bisa menariknya menjauh dari Allah, tetapi bedanya Henokh tidaklah terpengaruh dengan semua itu.

Fakta Alkitab menyebutkan bahwa Henokh tetap bergaul dengan Allah selama tiga ratus tahun lagi, dan itu disebutkan setelah ia menempuh hidup yang bergaul erat dengan Tuhan selama 65 tahun. Pada akhirnya kita tahu apa yang terjadi pada Henokh. Begitu akrabnya ia berhubungan dengan Tuhan, maka ia tidak sampai mengalami kematian. Henokh diangkat langsung dari dunia yang berlumur dosa ini menuju Surga untuk seterusnya bersama-sama dengan Allah. "Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah." (ay 24). Penulis Ibrani kemudian menuliskan lagi mengenai Henokh. "Karena iman Henokh terangkat, supaya ia tidak mengalami kematian, dan ia tidak ditemukan, karena Allah telah mengangkatnya. Sebab sebelum ia terangkat, ia memperoleh kesaksian, bahwa ia berkenan kepada Allah." (Ibrani 11:5). Perhatikan bahwa perilaku dan kesetiaan Henokh ternyata berkenan kepada Allah dan membuatnya mendapatkan perlakuan sangat istimewa dari Sahabat Karibnya yaitu Allah sendiri.

Selain Henokh, kita tahu bahwa Nuh pun mendapat pengakuan dan kehormatan yang sama dari Tuhan. "Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah." (Kejadian 6:9). Lantas Ayub: "seperti ketika aku mengalami masa remajaku, ketika Allah bergaul karib dengan aku di dalam kemahku" (Ayub 29:4) dan tentu saja Daud yang kita tahu begitu mengenal Allah dan memiliki hubungan yang sangat dekat lewat berbagai tulisannya maupun seperti yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul: "Tentang Daud Allah telah menyatakan: Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku." (Kisah Para Rasul 13:22b). Mereka-mereka ini telah terbukti kualitasnya sehingga Tuhan pun berkenan untuk menjadi sahabat akrab yang bergaul karib dengan mereka.

Seorang sahabat karib yang akrab dengan kita tentu bukanlah sosok teman yang hanya mencari keuntungan dan kesenangan saja bersama kita. Mereka akan tetap setia bersama kita ketika kita mendapat musibah atau berbagai bentuk kesusahan. Mereka akan dengan senang hati membantu kita sedapat-dapatnya ketika kita dalam kesesakan. Bayangkan apabila hubungan sahabat karib dan seperti itu terjalin antara kita dengan Tuhan. Tapi ingat, selain segala sesuatu yang kita peroleh dari sahabat karib kita, kita sendiri pun punya peran yang akan sangat menentukan berhasil tidaknya hubungan kekerabatan itu terbangun sampai mencapai tingkatan karib.

(bersambung)


Friday, April 28, 2017

To Be or Not To Be (2)

(sambungan)

Penderitaan memang menyakitkan, dan terkadang ketika itu terasa begitu berat, kita merasa tidak sanggup lagi memikulnya. Tapi seperti yang terjadi pada Paulus, Tuhan sesungguhnya telah memberikan kasih karuniaNya secara cukup, yang akan memampukan kita untuk bisa bertahan ketika sedang berjalan dalam lembah penderitaan. "Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku." (2 Korintus 12:9). Renungkanlah. Justru dalam tekanan beratlah sebenarnya kita bisa melihat kuasa Tuhan yang sempurna. Dalam kelemahan kitalah kita akan mampu menyaksikan kuasa Tuhan yang sesungguhnya, yang mampu menjungkirbalikkan segala logika manusia.

Penderitaan yang dialami Paulus tidaklah ringan. Bayangkan, ketika ia jahat ia begitu berkuasa, tapi setelah bertobat justru hidupnya penuh tekanan. Banyak orang akan segera menyangsikan kebenaran jika menjadi Paulus dan mengalami apa yang ia alami waktu itu, tapi tidak demikian halnya dengan dirinya. Dia tahu bahwa apa yang menanti di depan sana adalah jauh lebih besar ketimbang penderitaan-penderitaan yang ia alami di dunia yang sifatnya sementara ini. Paulus mengarahkan pandangannya jauh ke depan, dan di saat yang sama ia terus berpegang dengan kepercayaan penuh kepada Kristus.

Beratkah penderitaannya? Tentu saja. Meski demikian, Paulus masih mampu berkata "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13). Dia tahu bahwa kasih karunia Allah itu sebenarnya cukup untuk dipakai menanggung beban penderitaan. Pencobaan-pencobaan yang kita alami pun tidak akan melebihi kekuatan kita sendiri. Tuhan tahu sampai dimana kita sanggup bertahan, dan pada saat yang tepat ia pasti memberikan jalan keluar.

Sangatlah penting bagi kita untuk memastikan bahwa pengharapan jangan sampai hilang dari kita. Orang yang masih punya pengharapan akan punya alasan untuk terus berjuang. Kemarin kita sudah melihat bahwa Alkitab mengatakan "Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita.." (Ibrani 6:19). Pengharapan dapat berfungsi sebagai jangkar yang membuat kita bisa terus tertambat dan tidak oleng atau hanyut lantas karam. Alkitab juga mengingatkan kita bahwa kita harus menjaga tiga hal penting dalam hidup kita yaitu faith, hope and love. Iman, pengharapan dan kasih.

Kita sulit terus punya pengharapan di masa sulit kalau kita tidak punya iman. Sebaliknya, pengharapan yang kokoh akan terus menumbuhkan dan menguatkan iman kita. Lantas jangan lupa pula menaruh pengharapan ke tempat yang benar, yaitu Tuhan. Kenapa? Sebab, selain kuasa Tuhan tidak terbatas dan sanggup mengatasi kemustahilan, kita tahu pula bahwa Allah yang menjanjikannya adalah Allah yang setia (Ibrani 10:23).

Rasa sakit akibat penderitaan bisa membuat kita merasa bahwa hidup ini tidak lagi berharga untuk dijalani. Dalam tekanan berat, rasa putus asa akan mulai mencoba menguasai kita, dan kita pun bisa terjebak pada pemikiran sempit untuk menyerah, bahkan menutup lembaran hidup secara sepihak. Jangan biarkan hal itu terjadi, dan jangan melakukan tindakan fatal yang hanya akan membawa kita kepada sebuah penyesalan selamanya. Berhentilah mengandalkan kekuatan diri sendiri, orang lain atau lainnya, gGantikan itu dengan mengandalkan Tuhan. Ubah pandangan anda dengan sebuah perspektif baru, letakkan keyakinan kita dalam Tuhan.

Selama kita masih berjalan di dunia ini, penderitaan akan menghampiri kita pada suatu waktu. Tetapi kita harus tahu bahwa Tuhan akan memampukan kita untuk menanggungnya dan jalan keluar dari Tuhan pada saatnya akan turun atas kita. Jika Hamlet berpikir "to be or not to be", terus hidup atau mati saja, kita sebagai anak-anak Tuhan hendaklah menyadari bahwa selalu ada alasan untuk terus hidup. Selalu ada banyak alasan untuk terus memilih terus hidup dengan pengharapan, iman dan kasih, tak peduli sesulit apapun yang kita alami.

There's always hope as long as we have God by our side

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, April 27, 2017

To Be or Not To Be (1)

Ayat bacaan: 2 Korintus 1:8-9a
============================
"Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati."

William Shakespeare tidak diragukan lagi merupakan pujangga dan penulis terbesar dalam sejarah literatur Inggris. Masa hidupnya adalah di pertengahan tahun 1500-an sampai awal 1600-an. Sudah sangat lama, tapi karya-karyanya masih dikenang orang hingga hari ini. Film dan teater masih menampilkan karya-karya terkenalnya sampai detik ini. Beberapa judul tentu sudah tidak asing lagi bagi kita, seperti Romeo and Juliet, Hamlet dan Midsummer Night's Dream. Selain karya-karya monumental dan abadi, ada banyak pula quote atau kutipan kalimat yang terkenal sepanjang masa. Salah satunya tentu saja "To be or not to be, that is the question."

Quote ini berasal dari naskah Hamlet. Banyak yang mengira kalimat ini mengacu pada kebingungan orang untuk melakukan sesuatu atau memilih/memutuskan sesuatu. Tidak terlalu salah, tapi lebih tepatnya kalimat ini sebenarnya mengacu kepada kepedihan yang dirasa sang tokoh utama yang mengarahkannya pada dua pilihan, apakah ia mau terus hidup atau tidak. Pangeran bernama Hamlet merasakan kepedihan luar biasa sewaktu pamannya membunuh ayahnya, dan menikahi ibunya. Begitu sakit dan perih rasanya, hingga ia sempat berpikir haruskah ia terus hidup ("to be") atau mengakhiri saja hidupnya, ("or not to be").

Apakah anda pernah atau mungkin sedang merasakan rasa sakit dan penderitaan yang begitu berat yang rasanya tidak lagi tertahankan? Ada kalanya kita merasakan rasa sakit yang tidak terperikan, begitu perihnya sehingga kita mulai merasa putus asa dan perlahan mulai kehilangan harapan. Pada kenyataannya ada banyak orang yang memilih seperti Hamlet, yaitu mengakhiri hidupnya karena tidak tahan lagi menderita. Orang memilih jalan pintas yang fatal, mengakhiri hidupnya berharap mereka bisa segera terbebas dari rasa sakit, dan itu tentu karena mereka merasa tidak lagi punya harapan. Padahal keputusan seperti itu justru akan membawa penderitaan yang lebih menyakitkan lagi untuk selamanya. Kehilangan harapan membuat orang bisa melakukan itu. Karenanya penting bagi kita untuk memastikan bahwa kita tetap punya harapan, bukan kepada hal-hal yang tidak cukup kuat melainkan kepada Tuhan.

Disaat banyak orang yang tidak tahan dan memilih jalan keliru, sikap berbeda bisa kita temukan dari Paulus. Paulus dikenal militan dalam menjalankan tugasnya mewartakan Injil setelah bertobat. Pada suatu saat ia merasakan hal ini. Tekanan begitu berat. Ancaman ia dapati dimana-mana. Dia didera, ditangkap, diancam akan dibunuh.

Paulus pernah merinci berbagai penderitaan yang ia alami dalam pelayanannya. "..Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian." (2 Korintus 11:-23-27).

Sehebat-hebatnya dan sekuat-kuatnya Paulus, tekanan bertubi-tubi ini pada suatu ketika bisamembuatnya lemah. Ia mengakui hal itu kepada jemaat di Korintus. "Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati." (2 Korintus 1:8-9a).

Sebagai manusia biasa sama seperti kita, Paulus pun pernah mengalami keputus-asaan. Bedanya, ia tidak membiarkan dirinya dikuasai rasa putus asa dan kehilangan harapan terus menerus. Paulus dengan cepat mengubah fokusnya. Ia kembali kepada pemikiran positif yang berpegang sepenuhnya kepada Allah. Paulus mampu melihat sisi lain dari sebuah penderitaan, yaitu sebagai pelajaran agar kita tidak bergantung kepada diri sendiri melainkan kepada Tuhan. "Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati." (ay 9b).

(bersambung)


Wednesday, April 26, 2017

Pengharapan (2)

(sambungan)

Penulis Ibrani mengatakan dengan jelas pula bahwa "Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita.." (Ibrani 6:19). Sebuah kapal bisa terus tertambat di pelabuhan karena adanya jangkar kuat yang tertanam di dasar laut. Apabila tanpa jangkar, kapal bisa menghanyut kemanapun, suatu kali bertemu badai dan gelombang ombak tinggi, menghantam karang dan tenggelam. Seperti itu pula sebuah pengharapan yang akan mampu membuat kita tetap kokoh dalam perjalanan hidup kita, dan pengharapan itu juga aman bagi jiwa kita.

Selanjutnya Alkitab mengingatkan pula bahwa kita hendaknya "..teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia." (Ibrani 10:23). Kita tidak perlu ragu meletakkan harapan kepadaNya karena Tuhan tidak mungkin berdusta. Karena itulah "... kita yang mencari perlindungan, beroleh dorongan yang kuat untuk menjangkau pengharapan yang terletak di depan kita." (6:18). Allah juga tidak akan pernah ingkar janji. Dia akan selalu menepati setiap janji yang telah Dia berikan. Oleh karena itulah kita juga diingatkan bahwa pengharapan tidak akan pernah mengecewakan. (Roma 5:5).

Alkitab mengingatkan bahwa ada tiga hal terpenting yang harus tetap kita aplikasikan dalam hidup kita yaitu: iman, pengharapan dan kasih. (1 Korintus 13:13). Faith, hope and love. Itu ketiga esensi Kekristenan yang jangan sampai hilang dari diri kita. Salah satu dari ketiga hal ini hilang, kita akan sulit mengharapkan sebuah tatanan kehidupan yang penuh damai sejahtera dipenuhi sukacita.

Jika saat ini anda tengah kehilangan kepercayaan diri, kehilangan arah, kehilangan semangat dan mulai merasa apa yang ada di depan anda terlihat gelap, terangilah pandangan anda dengan pengharapan. ika anda merasa apa yang anda kerjakan hari ini sepertinya menyita hidup anda secara sia-sia, berdoalah dan tanyakan kepada Tuhan dimana titik masalahnya. Ijinkan Tuhan berbicara dan memberitahukan rencanaNya kepada anda sambil terus memupuk pengharapan dalam ketaatan.

Berikan yang terbaik dalam segala sesuatu yang anda lakukan. Lakukan bagian anda, dan percayalah Tuhan akan melakukan bagianNya. Meski pekerjaan yang kita lakukan begitu menyita waktu, tenaga dan pikiran, meski semua itu saat ini terlihat seolah-olah menutup segala kemungkinan bagi kita untuk berharap apapun, tetaplah pegang pengharapan dalam Kristus erat-erat, karena Alkitab sudah dengan tegas mengatakan bahwa "..masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang." (Amsal 23:18).

Seberapa jauh kita bisa mengimani hal itu akan sangat tergantung dari seberapa besar pengharapan kita akan pemenuhan janji Tuhan. Mengucap syukurlah atas pekerjaan, kesempatan dan peluang yang anda miliki hari ini, dan tetap pegang teguh janji Tuhan bahwa ada pengharapan di dalamnya. Yakinlah itu tidak akan pernah sia-sia.

"To Live Without Hope is to cease to live" - Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, April 25, 2017

Pengharapan (1)

Ayat bacaan: 1 Korintus 9:10
=====================
"Atau kitakah yang Ia maksudkan? Ya, untuk kitalah hal ini ditulis, yaitu pembajak harus membajak dalam pengharapan dan pengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya."

Dalam kehidupan di dunia yang sulit, apa yang bisa kita andalkan untuk bertahan atau agar bisa tetap kuat? Jawaban mungkin beragam, tergantung dari apa yang anda anggap cukup kuat untuk dijadikan penopang. Mungkin ada yang punya mental baja, semangat, tidak gampang menyerah, ketekunan, keuletan, dan semua itu sangat baik, bahkan harus kita miliki. Tapi selanjutnya, apa yang bisa membuat mental, semangat, ketekunan dan keuletan itu tetap kuat dan tidak menjadi kedodoran atau kempes lantas habis? Kembali, jawabannya bisa macam-macam. Dalam perjalanan hidup saya, semua ini menjadi sangat penting kalau kita ingin maju mengalami peningkatan dalam apa yang kita kerjakan. Dan dari pengalaman saya, tidak ada satupun yang lebih kuat selain berpegang pada pengharapan yang didasari iman.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa pengharapan, jika tidak ada yang namanya pengharapan. Jika saya masih berusaha hari ini, itu karena saya punya pengharapan. Apakah berusaha untuk bekerja lebih giat dan lebih baik lagi, berusaha mengasihi keluarga lebih dari sebelumnya, berusaha melayani Tuhan dengan lebih dalam dan tentu saja berusaha semakin mendekati citra Kristus, semua itu karena ada pengharapan. Faktanya ada banyak orang yang kemudian mengambil jalan-jalan yang buruk karena mereka kehilangan pengharapan, bahkan tidak jarang orang memilih untuk mengakhiri hidupnya karena mereka merasa tidak lagi punya harapan. Apapun yang kita lakukan seolah tidak lagi punya pijakan karena tidak ada pengharapan yang bisa kita pegang. Melupakan pentingnya sebuah pengharapan, atau juga meletakkan pengharapan pada hal-hal yang keliru.

Dalam suratnya kepada jemaat Korintus Paulus menyampaikan sesuatu yang penting mengenai pengharapan ini. Pada saat itu ia mengutip sebuah tulisan mengenai hukum Musa dalam Ulangan 25:4. Kata Paulus: "Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik!" (1 Korintus 9:9a). Lalu Paulus bertanya, "Lembukah yang Allah perhatikan?" (ay 9b). Perhatikan ayat selanjutnya: "Atau kitakah yang Ia maksudkan? Ya, untuk kitalah hal ini ditulis, yaitu pembajak harus membajak dalam pengharapan dan pengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya." (ay 10).

Perhatikanlah bahwa Paulus mengingatkan bahwa kita harus membajak atau mengirik, yang notabene maksudnya adalah bekerja dalam pengharapan. Ini merupakan sebuah pesan penting yang akan mampu membuat kita terus memiliki tujuan dalam bekerja dengan pengharapan sebagai motornya, bukan sekedar menyambung hidup dari ke hari tanpa harapan sama sekali dalam hati kita masing-masing.

Jangan berharap kita memiliki nyala semangat apabila hidup tanpa pengharapan. Tanpa pengharapan kita tidak akan bisa tekun dan memberikan hasil yang terbaik. Pengharapan mampu menolong kita untuk bisa bersikap setia dan berkomitmen baik bagi tempat kita bekerja, atas profesi kita atau segala sesuatu yang kita usahakan di dunia.

Pertanyaan selanjutnya, kemana pengharapan kita harus diarahkan? Dalam surat Korintus di atas Paulus mengatakan bahwa penting bagi kita untuk mengarahkan pengharapan untuk memperoleh bagian kita, in expectation of partaking of the harvest. Dan bagian itu sudah disediakan oleh Tuhan dalam Kristus. Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Yesus Kristuslah yang harus menjadi dasar pengharapan kita (1 Timotius 1:1). Lantas Alkitab juga mengatakan "Oleh Dialah kamu percaya kepada Allah, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati dan yang telah memuliakan-Nya, sehingga imanmu dan pengharapanmu tertuju kepada Allah." (1 Petrus 1:21). Lewat Kristus kita mendapat kepastian akan sebuah hidup yang penung pengharapan (1 Petrus 1:3).

(bersambung)


Monday, April 24, 2017

Jangan Mager (2)

(sambungan)

Dan hal ini sungguh berbanding terbalik dengan tipe manusia pemalas yang membuang-buang waktu dalam kemalasannya. Maka dikatakan: "Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu? Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring."(ay 9-10). Ketika kita bersikap seperti itu, "maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata." (ay 11).

Bandingkan kedua ayat ini, dan kita bisa melihat bahwa masalah kemalasan merupakan hal yang harus segera kita lawan. Kemalasan yang terus dipupuk akan membawa kita masuk ke dalam kemiskinan dan kekurangan. Dengan kata lain, kita menghambat sendiri turunnya berkat Tuhan atas diri kita.

Kita tidak akan pernah menikmati peningkatan-peningkatan atau kemajuan dalam hidup apabila kita terus membiarkan rasa malas menguasai diri kita. Sikap ini bahkan bisa membuat kita menjadi semakin rapuh dan gampang runtuh. Sebuah firman Tuhan dalam Pengkotbah mengatakannya seperti ini: "Oleh karena kemalasan runtuhlah atap, dan oleh karena kelambanan tangan bocorlah rumah." (Pengkotbah 10:18). Kegagalan dan kehancuran seringkali berawal dari kemalasan yang terus dibiarkan berdiam dalam diri kita.

Untuk itulah kita harus melatih diri sedini mungkin untuk menjadi orang-orang dengan semangat yang kuat dan giat dalam berusaha. Ingatlah bahwa Tuhan tidak menyukai para pemalas seperti ini. Tuhan menyukai orang-orang yang rajin bekerja, dan Dia pun suka memberkati kita lewat usaha sungguh-sungguh yang kita lakukan. Kepada jemaat Tesalonika Paulus mengingatkan dengan sangat keras: "Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10).  Selanjutnya lihatlah ayat berikut: "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk  manusia." (Kolose 3:23)

Ini adalah sebuah panggilan untuk melakukan apapun yang kita perbuat dengan segenap hati seperti sedang melakukannya untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Artinya keseriusan, kesungguhan dan kerajinan kita merupakan bagian yang sangat penting dalam memperoleh kemajuan atau keberhasilan. Dan Tuhan sendiri menganggap penting hal itu. Kemalasan tidak akan pernah masuk dalam konteks ayat Kolose tersebut. Karenanya jangan sampai kemalasan menjadi bagian dalam hidup kita.

Mari periksa diri kita masing-masing, apakah ada hal-hal yang belum berhasil dicapai yang diakibatkan oleh belenggu kemalasan yang masih terus menguasai kita? Apakah anda termasuk orang yang suka menunda-nunda sesuatu, malas merancang masa depan anda, malas untuk melangkah dan sebagainya? Apakah anda lebih menyukai tidur-tiduran ketimbang mulai melakukan sesuatu? Jika ini masih menjadi bagian dari diri anda saat ini, lawanlah segera dan mulailah melakukan perubahan. Kemalasan harus dilawan dan tidak boleh dibiarkan. Kemalasan hanya akan mendatangkan kemiskinan dan kekurangan yang sama-sama tidak kita inginkan.

Kemalasan itu menutup berkat Tuhan untuk sampai kepada kita

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, April 23, 2017

Jangan Mager (1)

Ayat bacaan: Pengkotbah 10:18
=================
"Oleh karena kemalasan runtuhlah atap, dan oleh karena kelambanan tangan bocorlah rumah."

Ada orang yang rajin, ada yang malas. Bagi yang hobi malas-malasan ada istilah mager alias malas gerak. Kalau mereka bilang mager, itu artinya mereka enggan beranjak dari tempat tidur, kursi atau rumahnya untuk bepergian ke suatu tempat. Sebuah sifat malas biasanya kalau dibiarkan bisa tambah parah. Tadinya malas sedikit, tapi lama-lama kemalasan semakin besar. Karenanya tidaklah mengherankan kalau mereka yang punya sifat seperti ini akan kehilangan banyak peluang dalam hidupnya. Banyak orang yang mengira bahwa tingginya pendidikan akan sangat menentukan keberhasilan. Pendidikan tentu merupakan salah satu faktor penentu, saya tidak menentang itu. Tapi apa gunanya kepandaian selangit kalau tidak ditunjang dengan kerajinan dan kegigihan? Saya sudah bertemu dengan banyak orang yang pintar tapi hidupnya tidak mengalami peningkatan karena mereka punya sifat malas. Sebaliknya saya bertemu banyak orang yang pendidikannya biasa tapi mereka sukses besar karena mereka gigih dan rajin dalam berusaha.

Apabila anda menelaah isi Alkitab maka anda akan mendapati bahwa tidak satupun orang malas yang Tuhan mau pakai. Kita bisa jelas melihat bahwa tidak ada satupun yang menerima tugas dari Tuhan ketika sedang bermalas-malasan. Ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyukai orang malas. Di masa-masa sulit seperti sekarang ini kita justru seharusnya tertantang untuk bekerja lebih giat lagi. Tetapi yang banyak terjadi justru sebaliknya. Orang yang malas berusaha untuk memperjuangkan hidup mereka malah semakin banyak. Para pemalas biasanya tidak mau repot-repot mengeluarkan tenaga atau mempergunakan pikiran mereka. Mereka terbiasa menunda pekerjaan, mengulur waktu atau bahkan melupakannya sama sekali.

Apakah itu artinya mereka tidak memiliki keinginan atau impian? Dari yang saya lihat, mereka pun sebenarnya punya impian tinggi. Tetapi yang membedakannya adalah cara menyikapinya. Ketika orang rajin akan berusaha dengan sekuat tenaga dan sungguh-sungguh untuk mencapai impian mereka, si pemalas hanya berhenti sampai tingkat bermimpi untuk itu. Mereka berharap untuk mencapai cita-citanya dengan cara yang paling mudah tanpa harus mengeluarkan setitik keringat pun. Banyak diantara mereka biasanya akan terus mencari alasan, mencari kambing hitam, tidak jarang pula mereka berani menyalahkan Tuhan atas keadaan mereka.

Padahal Firman Tuhan sudah banyak berkata tentang masalah ini. Salah satunya berbunyi: "Hati si pemalas penuh keinginan, tetapi sia-sia, sedangkan hati orang rajin diberi kelimpahan." (Amsal 13:4). Kemalasan tidak boleh dibiarkan menjadi bagian dari diri kita. Lihatlah bagaimana ayat ini berkata bahwa pemalas itu pun sebenarnya punya banyak keinginian tapi hidupnya dilewatkan sia-sia. Sementara orang rajin diberkati Tuhan berkelimpahan. Selain ayat ini,ada begitu banyak Firman Tuhan lainnya yang mengingatkan kita untuk bekerja dan berusaha serius untuk mencapai sebuah tujuan.

Kitab Amsal berisi begitu banyak firman Tuhan menyangkut soal kemalasan ini. Misalnya dalam Amsal pasal 6 yang banyak sekali menyinggung soal kemalasan. Agaknya si Penulis mengerti betul mengenai kemalasan yang menjadi gaya hidup banyak orang ini, sehingga ia sampai perlu mengajak kita untuk belajar mengenai kerajinan dari seekor semut, binatang yang paling lemah dan sangat kecil ukurannya. "Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak." (Amsal 6:6). Kita tahu bagaimana semut selalu bergerak dan bekerja dengan rajin. Semut mampu mengangkat makanan yang berukuran jauh lebih besar darinya, kalaupun tidak kuat mereka akan bergotong-royong mengangkutnya bersama-sama dengan menempuh jarak yang seringkali sangat jauh menurut ukuran seekor semut. Dan firman Tuhan berkata "biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen." (ay 7-8).

(bersambung)


Saturday, April 22, 2017

Jadi Budak dalam Kemerdekaan (2)

(sambungan)

Apa yang menunjukkan bahwa kita masih belum merdeka? Indikatornya bisa dengan mudah kita dapati dari reaksi kita atas perbuatan-perbuatan yang mendatangkan dosa. Misalnya saat kita tidak bisa melawan keinginan daging, menyerah pada hal-hal buruk, tetap melakukan atau kembali kepada kebiasaan buruk lama, mudah tergoda untuk berbuat kecurangan, hal jahat dan lainnya yang melawan perintah Allah dan sebagainya. Kita tahu apa yang benar, tapi kita tidak kuasa menahan diri untuk menghindarinya. Kita memilih berkompromi walaupun tahu itu bisa mengarahkan kita kepada kegagalan menuai janji Tuhan. Jika semua ini masih menjadi bagian hidup kita, itu artinya kita masih menjadi budak di alam merdeka.

Lewat Kristus sesungguhnya kita sudah diberikan kemerdekaan, bukan kemerdekaan yang ala kadarnya tapi sebuah kemerdekaan yang sebenar-benarnya."Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka." (Yohanes 8:36). Benar-benar merdeka, bayangkanlah itu. Itu bukanlah sekedar omongan belaka, tetapi merupakan sebuah anugerah luar biasa yang sudah diberikan kepada kita. Masalahnya adalah, apakah kita benar-benar mau menghargai kemerdekaan sebenar-benarnya itu secara sungguh-sungguh atau kita masih dengan sukarela memilih hidup di bawah perbudakan, menjadi hamba dosa, menjadi tawanan iblis?

Maka Paulus turut mengingatkan hal ini. "Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran." (Roma 6:18). Hal ini dia ingatkan kepada jemaat Roma agar mereka sadar akan kelemahan mereka. "Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu. Sebab sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kamu kepada pengudusan." (ay 19). "Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran...Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal." (ay 20, 22). Dan ia menambahkan sesuatu yang sangat jelas: "Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita." (ay 23). Ya, dalam Yesus Kristus. Itulah satu-satunya jalan untuk bisa terbebas sepenuhnya dari jerat iblis dengan berbagai jebakan dosanya.

Lalu apa yang harus kita lakukan agar kita tetap bisa hidup dalam kemerdekaan? "Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan." (Roma 10:9-10). Itulah cara yang harus kita lakukan agar kita benar-benar bisa mengalami sebuah kemerdekaan secara utuh dan sepenuhnya. Tidak ada alasan bagi kita untuk terus hidup sebagai budak dan dijajah karena bentuk kemerdekaan seutuhnya sudah diberikan pada kita lewat Kristus. Sudah selayaknya kita mensyukuri anugerah Tuhan yang luar biasa besar itu dengan hidup menjaga kekudusan dalam Yesus.

Ingatlah bahwa kita adalah orang-orang merdeka. Oleh karenanya hiduplah sebagai orang merdeka dan tidak lagi tunduk kebiasaan-kebiasaan buruk yang mengarahkan kita ke dalam jurang kebinasaan sebagai orang-orang dibawah kendali si jahat. Dalam Yesus kita menjadi orang-orang yang benar-benar merdeka, jangan mau lagi diperbudak oleh dosa.

Hiduplah dalam kemerdekaan yang seutuhnya seperti yang sudah diberikan Tuhan pada kita lewat Yesus

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, April 21, 2017

Jadi Budak dalam Kemerdekaan (1)

Ayat bacaan: Keluaran 1:11
========================
"Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses."

Jika boleh memilih, adakah orang yang mau hidup dibawah jajahan orang lain? Saya rasaya tidak ada satu orang pun yang mau. Kemerdekaan itu bahkan sangat mahal harganya. Ada banyak pejuang kemerdekaan yang harus rela mengorbankan nyawanya agar kemerdekaan bisa direbut dan dinikmati oleh generasi sesudahnya. Bangsa kita sudah merasakan langsung betapa perihnya menjadi budak di tanah air sendiri. Di beberapa bagian dari negeri ini penjajahan berlangsung sampai 350 tahun. Itu tidak sebentar. Selama masa perjuangan begitu banyak tentara dan pejuang yang wafat di medan perang. Setelah Proklamasi dikumandangkan, bangsa ini ternyata masih harus berjuang melawan penjajah yang ingin kembali masuk menguasai negeri ini.

Kalau bukan soal perang, lihatlah bagaimana kaum kulit hitam di Amerika yang begitu lama harus rela dijadikan budak di bagian Utara Amerika yang berlangsung selama beberapa abad. Dipekerjakan paksa diluar kesanggupan, disiksa tanpa perikemanusiaan, hak-hak sebagai warganegara bahkan sebagai manusia dirampas. Pemandangan mengerikan dari orang kulit hitam yang digantung di atas pepohonan di pinggir jalan menjadi pemandangan mengerikan yang biasa. Dan sebagai budak, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti itulah tersiksanya hidup sebagai budak. Tidaklah heran kalau siapapun akan berjuang dan siap berkorban agar bisa hidup dalam alam kemerdekaan.

Bangsa Israel pun sempat mengalami masa-masa sebagai budak. Seperti bangsa kita yang mengalami kerja paksa, mereka pun pernah mengalaminya ketika berada di bawah kekuasaan Mesir. "Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses." (Keluaran 1:11). Mereka diharuskan melakukan kerja rodi, alias kerja paksa yang diwajibkan oleh bangsa penjajah tanpa memperoleh upah apapun.

Seperti apa beratnya dan bagaimana mereka diperlakukan? "Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa orang Israel bekerja, dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata, dan berbagai-bagai pekerjaan di padang, ya segala pekerjaan yang dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka itu." (ay 13-14). Belakangan mereka pun kembali mengalami pembuangan di Babel dan kembali harus mengalami kerja paksa ini. Jelas menjadi budak terjajah seperti itu sangatlah menyakitkan. Pahit, getir, penuh penderitaan.

Mana ada orang yang mau dengan senang hati jadi budak? Logikanya seperti itu. Tapi sadarkah kita kalau bisa jadi, tanpa sadar banyak diantara kita yang sebenarnya masih terbelenggu sebagai budak di alam kemerdekaan? Kita berpikir bahwa kita sudah merdeka, tetapi sebenarnya kita masih berada dibawah perbudakan dosa. Kemerdekaan sejatinya sudah menjadi milik kita. Dengan menerima Kristus kita bukan saja diselamatkan tetapi juga dimerdekakan dari berbagai kuk perhambaan (Galatia 5:1). Kita pun sudah menerima anugerah hidup baru di dalam Kristus (2 Korintus 5:17).

Oleh karena itu, kemerdekaan jelas sudah menjadi milik kita dalam perjalanan menuju keselamatan yang kekal. Tetapi kalau kita tidak sadar, jangan-jangan  kita masih terbelenggu oleh dosa-dosa atau kebiasaan buruk kita di masa lalu atau masih berada dibawah pengaruh si jahat yang terus menggoda kita melakukan berbagai pelanggaran. Bila ini yang terjadi maka status merdeka kita pun hanya tinggal status, karena kenyataannya kita masih dengan senang hati memilih untuk jadi orang terjajah dan terbelenggu oleh berbagai hal buruk, masih diperbudak oleh iblis dan terus menjadi hamba dosa.

Ikatan ini bisa begitu kuat sehingga seperti bangsa Israel kita pun masih berpikir untuk lebih memilih menjadi bangsa terjajah ketimbang keluar dan menuai janji Tuhan. Lihat bagaimana bangsa Israel bersungut-sungut. "Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini." (Keluaran 14:12).

Kita mungkin tertawa melihat kebodohan mereka, tapi bisa jadi kita pun masih bertindak seperti itu. Gelimang dosa dan kebiasaan buruk terkadang terasa begitu nikmat, sehingga kita lebih memilih untuk membiarkan diri kita binasa ketimbang berbalik untuk mengikuti jalan Tuhan dengan penuh ketaatan. Sebagian dari kita terus melakukan kerja rodi tanpa henti, mengorbankan segalanya demi memenuhi kebahagiaan menurut ukuran-ukuran dunia. Kita seharusnya sudah merdeka tapi kita masih membiarkan hak-hak kita dirampas oleh si jahat beserta kroni-kroninya di dunia. Ironis dan berbahaya sekali apabila kita yang seharusnya sudah merdeka masih memilih hidup di bawah standar perbudakan.

(bersambung)


Thursday, April 20, 2017

Kesetiaan (2)

(sambungan)

Dalam perumpamaan tentang talenta kita sudah melihat bagaimana Tuhan memandang kesetiaan. Ketika kita diberi perkara kecil, kita harus sanggup mempertanggungjawabkan itu dan melakukannya, bukan saja dengan baik tapi juga dengan setia.

Lihat apa kata Tuhan kepada hamba yang mampu setia kepada perkara kecil yang dipercayakan Tuhan. "Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (Matius 25:21,23).

Sebaliknya, bagaimana reaksi Tuhan kepada orang yang tidak setia? Haruskah Tuhan mempercayakan sesuatu yang lebih besar kepada orang yang tidak sanggup bertanggungjawab dalam perkara kecil? Tentu tidak. "campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi."(ay 30). Itu menjadi bagian dari orang yang tidak setia. Maka camkanlah pesan berikut ini: "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar." (Lukas 16:10).

Mulailah setia dari perkara-perkara kecil. Ketika ada sesuatu yang dipercayakan Tuhan kepada kita, lakukanlah dengan benar dan dengan setia. Bersyukurlah senantiasa, meski apa yang ada saat ini mungkin kecil dibandingkan jerih payah kita, tapi ingatlah bahwa Tuhan pasti menghargai kesungguhan, kejujuran dan kesetiaan anda. Pada saatnya nanti, Dia akan mempercayakan sesuatu yang lebih besar. Menjadi baik saja tidak cukup, kita harus mampu pula meningkatkan kapasitas diri kita untuk menjadi pribadi yang setia, yang bisa dipercaya. Untuk menerima janji dan berkat Tuhan dibutuhkan usaha serius dan perjuangan kita untuk terus setia. Dan semua itu biasanya berawal dari hal yang kecil. Tuhan akan melihat sejauh mana kita bisa dipercaya untuk sesuatu yang lebih besar lagi.

Tidaklah sulit bagi Tuhan untuk memberkati kita, tapi kita dituntut untuk membuktikan dulu sejauh mana kita mampu setia kepadaNya. Disamping itu, saya pun percaya bahwa lewat hal-hal yang kecilpun Tuhan mampu memberkati kita secara luar biasa. Hormati pernikahan dan hubungan kita, hargai kepercayaan yang diberikan pada kita. Apapun yang ada pada kita saat ini, bersyukurlah untuk itu, dan lakukan sebaik-baiknya dengan kesetiaan dan kejujuran. Jaga baik semua yang telah dipercayakan Tuhan pada kita dengan kesetiaan penuh, sehingga kalau ada yang mencari orang yang setia, anda bisa dengan tersenyum mengacungkan tangan.

"Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni." - 2 Timotius 2:2

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, April 19, 2017

Kesetiaan (1)

 Ayat bacaan: Amsal 20:6
===================
"Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?"

Semakin hari semakin susah mencari orang yang setia. Baik setia dalam pekerjaan, setia dalam pertemanan, setia terhadap keluarga, setia terhadap bangsa dan negara, apalagi setia pada pasangan. Selingkuh hari ini bukan lagi sesuatu yang tabu atau memalukan. Ada banyak orang yang malah bangga bisa selingkuh. Lho, bagaimana bisa? Bagi mereka, itu artinya mereka termasuk orang-orang yang diminati banyak lawan jenis, atau high quality person. Bisa selingkuh jadi sebuah prestasi. Bagaimana tidak? Sudah tahu saya beristri, masih tetap ada wanita yang mau. Keren kan? Saya jadi sama seperti artis atau selebritis. Itu pikiran banyak orang saat ini. Yang memperparah, berbagai tayangan dan media lainnya hari ini terus seolah mendorong pikiran kita untuk menerima bentuk-bentuk ketidaksetiaan sebagai sesuatu yang manusiawi, lumrah dan boleh dilakukan kalau alasannya ada.

Alasan untuk tidak setia ada banyak sekali. Saking banyaknya saya yakin bisa dijadikan buku yang mungkin bisa serial atau bersambung. Bagai virus, ketidaksetiaan akan melebar kemana-mana dan terus meracuni lebih banyak orang. Kalau dalam hidup sudah tidak setia akhirnya bisa berlanjut juga pada Tuhan. Tuhan yang sudah menciptakan, mengasihi, melimpahkan rahmat dan berkatNya, menjaga dan melindungi kita, memberikan kasih karuniaNya bahkan keselamatan? Sudah seperti itu baiknya Tuhan, bagaimana kita masih saja sanggup untuk berlaku tidak setia kepadaNya? Baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, dalam kadar dan intensitas masing-masing, manusia terus melakukan hal-hal yang menunjukkan ketidaksetiaan kepada Tuhan.

Kalau mencari orang baik saja sudah semakin susah, mencari orang yang setia jauh lebih sulit, bagaikan mencari jarum ditumpukan jerami. Hari ini karakter tidak setia menjadi salah satu masalah terbesar manusia, tapi sebenarnya itu sudah terjadi sejak dahulu kala. Salomo menuliskan hal ini dalam salah satu Amsalnya. "Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?" (Amsal 20:6). Mengaku sebagai teman itu mudah, namun membuktikan diri sebagai sahabat yang setia baik dalam suka maupun duka susahnya minta ampun. Dari masa ke masa kita akan terus berhadapan dengan masalah ini, bahkan diantara kita sendiri pun mungkin sulit untuk setia. Padahal masalah kesetiaan ini merupakan salah satu kualitas utama yang diharapkan ada dalam diri orang percaya. Lihatlah apa pesan Paulus kepada Timotius. "...kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan." (1 Timotius 6:11). Sementara Salomo mengingatkan "Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya; lebih baik orang miskin dari pada seorang pembohong." (Amsal 19:22).

Kepada Tuhan yang tidak terlihat kasat mata manusia juga suka sulit untuk setia. Kita mengharapkan Tuhan memberikan segalanya bagi kita dengan berkelimpahan, tetapi kita menolak untuk setia. Lagi-lagi, alasannya bisa bermacam-macam. Mulai dari merasa permintaan tidak didengarkan Tuhan, tidak kunjung lepas dari kesulitan, uang, jabatan bahkan jodoh. Tidak jarang kita melihat orang yang rela menyangkal imannya demi kekasih atau profesi. Tuhan begitu mengasihi kita. Bahkan anakNya yang tunggal pun Dia berikan agar kita semua selamat. Kurang apa lagi? Kehadiran Yesus di dunia ini untuk menggenapkan kehendak Bapa dengan kesetiaan penuh pun sudah menunjukkan sesuatu yang seharusnya bisa kita teladani. Yesus membuktikan kesetiaanNya menanggung segala beban dosa kita sampai mati. Tanpa itu semua mustahil kita bisa menikmati hadirat Tuhan hari ini dan mendapat janji keselamatan setelah episode kehidupan di dunia ini.

Kita mengaku sebagai anak Tuhan, tapi kita tidak kunjung bisa meneladaniNya. Disamping itu sering pula kita terus meminta perkara besar dalam doa-doa kita, sementara perkara kecil saja kita tidak bisa menunjukkan kesetiaan dan tanggung jawab. Apa yang dijanjikan Tuhan kepada orang setia sesungguhnya jauh lebih besar daripada berkat dalam kehidupan dunia yang sementara ini. "Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan." (Wahyu 2:10c). Sadarkah kita bahwa ada mahkota kehidupan yang siap dikaruniakan kepada semua orang yang mau taat dan setia sampai mati?

(bersambung)


Tuesday, April 18, 2017

Mengalami Tuhan di Rumah (2)

(sambungan)

Keharmonisan dan kesepakatan dalam keluarga adalah hal mutlak yang harus bisa kita capai. Hal ini menjadi semakin langka saat ini, dimana suami dan istri seringkali memilih jalannya sendiri-sendiri. Padahal Tuhan Yesus dengan tegas berkata "Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Matius 18:19-20). Ini adalah bentuk kuasa dari kesepakatan yang begitu penting, dan seharusnya bekerja dalam hidup setiap pasangan kristiani.

Maka sudah selayaknya pasangan-pasangan yang dimateraikan langsung oleh Tuhan ini tidak boleh membiarkan pertengkaran berada di dalam rumah. Pertengkaran sesungguhnya meruntuhkan perisai iman, menghambat hasil doa dan yang lebih parah bisa mengundang iblis ke tengah-tengah rumah tangga. Amsal 17:14 berkata "Memulai pertengkaran adalah seperti membuka jalan air". Perselisihan itu bisa tidak terkendali dan akhirnya mematikan. Pertengkaran di rumah akan melumpuhkan kuasa Tuhan dalam hidup kita.

Hari-hari ini iblis gencar menyerang komunitas terkecil dan terutama, yaitu pasangan dan keluarga. Iblis tahu kalau pondasi ini dirusak, maka manusia akan gagal mencapai tujuan utamanya untuk menjadi serupa seperti Yesus. Orang percaya tidak akan berfungsi jadi terang dan garam, mereka akan hancur dan kemudian gagal menerima kasih karunia keselamatan dari Tuhan. Kalau kita tahu ini, kita seharusnya mau menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. Jangan pernah membiarkan iblis merusak keharmonisan rumah tangga anda dengan membiarkan pertengkaran atau perselisihan bercokol di dalamnya. Don't let ego stand in your way. 

Rumah tangga selayaknya menjadi tempat di mana terdapat hubungan yang harmonis, saling dukung, saling support, dimana kasih menjadi dasar yang kuat di dalamnya. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat dimana kita bisa bertumbuh dalam iman, pengenalan akan Tuhan dan terus menjadi semakin seperti Yesus. Berlakulah bijaksana dan adil, jangan bersikap otoriter dan menuntut perlakuan berlebihan dari pasangan anda. Pasangan kita adalah sosok yang akan melengkapi dan menyempurnakan kita, mengisi berbagai kekurangan kita untuk menjadi lebih baik lagi. Pasangan bukanlah sosok yang pantas untuk dijadikan sasaran pelampiasan, kambing hitam atau tempat kita menumpahkan emosi seenaknya.

Singkatnya firman Tuhan memberikan gambaran "Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya." (Efesus 5:33). Dan ingatlah pesan ini: "Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri." (Filipi 2:2-3). Ini pesan yang penting agar kuasa Tuhan tidak terhalang dan doa-doa yang kita panjatkan bisa menemukan jawaban.

Yakobus mengatakan dimana ada iri hati dan egoisme, disanalah akan timbul kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Tetapi sebaliknya, "hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik." (Yakobus 3:17). Itulah bentuk kebijaksanaan yang berasal dari atas, yang seharusnya mengisi kehidupan setiap pasangan dalam rumah tangga masing-masing. "Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai." (ay 18).

Apakah rumah tangga anda hari ini termasuk heaven on earth atau hell break loose? Hari ini mari kita belajar untuk lebih lagi membangun keharmonisan dan kehangatan dalam rumah, sehingga anda akan selalu rindu untuk segera pulang ke rumah karena disanalah anda akan merasakan kedamaian dan kenyamanan yang luar biasa, merasakan keberadaan Tuhan dengan kasihNya. Jangan jadikan rumah tangga sebagai tempat memanjakan ego diri sendiri dan melakukan segala sesuatu seenaknya. Jadikan rumah tangga kita sebagai contoh bagaimana hangat dan damainya sebuah hubungan yang memiliki kasih dan damai Kristus di dalamnya. Sadarilah bahwa orang bisa mengenal Yesus secara benar lewat hubungan keluarga yang kita bangun harmonis sesuai dengan keinginan hati Tuhan.

Peace not war, love not hate. Let us all experiencing God at home

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, April 17, 2017

Mengalami Tuhan di Rumah (1)

Ayat bacaan: Yakobus 3:16
======================
"Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat."

Kalau ditanya dimana tempat ternyaman buat saya, tanpa berpikir saya akan menyebut rumah. Sebuah rumah tangga yang dibangun atas dasar Kristus akan memiliki kehangatan kasih di dalamnya yang membuat rumah menjadi tempat nyaman buat kita. Keluarga adalah komunitas terkecil dimana kita bisa mempraktekkan Firman Tuhan dan menjadikannya model dari kehidupan kekristenan yang ideal. Yang saya ketahui dari pengalaman, tidak ada rumah tangga yang akan selalu harmonis begitu saja. Itu harus diusahakan dan terkadang diperjuangkan. Akan ada konflik disana, tetapi kalau kita tahu menyikapinya dengan benar, mempergunakannya sebagai ajang mengasah karakter dan kemudian mencari solusinya sesuai dengan Firman Tuhan, maka konflik tidak akan pernah memecah tetapi malah semakin merekatkan dalam karakter anggotanya yang terus bertumbuh semakin bijaksana dan semakin menyerupai Kristus. Di dalam rumah atau keluarga lah kita bisa terus berproses dari hari ke hari untuk mengejar penggenapan tujuan yang paling utama buat umat Kristen seperti yang saya sampaikan kemarin, yaitu menjadi seperti Yesus.

Home can be like heaven on earth. But it can also be hell break loose. Rumah bisa jadi tempat ternyaman, terdamai, paling adem, tapi sebaliknya bisa pula menjadi medan tempur terberat di muka bumi ini. Bisa hangat menyenangkan, tapi bisa sangat dingin, atau sebaliknya sangat panas. Ada rumah tangga yang tingkat pertengkarannya begitu tinggi baik jumlah maupun tajamnya sehingga hubungan antar anggota di dalamnya menjadi luluh lantak tak berbentuk lagi. Bagi banyak orang tidak lagi ada kasih di rumah, sehingga pulang ke rumah menjadi alternatif paling akhir. Bahkan tidak jarang yang kemudian dengan ringan berkata bahwa tidak ada lagi punya rasa kepada pasangannya. Bagaimana kata-kata seperti itu mungkin keluar dengan mudah dari orang yang sudah memutuskan untuk menikah, menjadi satu dengan pasangannya? Tapi semakin lama hal seperti ini semakin dianggap lumrah terjadi dalam keluarga. Tidak heran jika tingkat perceraian pun semakin lama semakin tinggi. Berbagai alasan dikemukakan, termasuk tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa sudah merupakan takdir atau kehendak Tuhan bahwa mereka harus bercerai. Tuhan yang menyatukan, dan Dia pula yang menginginkan perceraian di antara ciptaanNya? Betapa beraninya sebagian manusia mengatakan seperti itu.

Yang seringkali jadi penyebabnya adalah kegagalan kita untuk menyikapi seperti apa sebenarnya rumah atau keluarga itu di mata Tuhan. Rumah seringkali menjadi tempat yang termudah untuk sebebasnya bersikap mementingkan diri sendiri. Maksud saya begini. Ketika di luar, kita cenderung untuk menjaga image, juga menjaga perasaan orang lain. Ada dorongan untuk menjaga perilaku dan budi terhadap orang lain, tetapi ketika berada bersama keluarga sendiri, orang bisa tergoda untuk membiarkan dirinya sendiri menuntut lebih banyak hak istimewa daripada menjalankan kewajibannya. Menuntut hak menjadi lebih penting daripada menjalankan kewajiban. apalagi melakukan hal-hal yang digariskan Tuhan untuk dilaksanakan dalam keluarga.

Tidakkah kita sering melihat bahwa orang-orang yang begitu ramah, penuh canda, ceria dan royal di luar ternyata di rumah menjadi sosok egois, pemarah dan pelitnya bukan main? Atau orang yang selalu tersenyum dan baik di luar tetapi keras dan bahkan kejam di rumah? Singkatnya, ada banyak orang yang menganaktirikan keluarganya sendiri, lebih peduli terhadap perasaan orang lain ketimbang istri/suami dan anak-anaknya. Di rumah sifat aslinya keluar, sifat-sifat yang belum ditundukkan ke dalam Kristus, melupakan sejatinya kita sebagai ciptaan baru saat menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita. Seringkali manusia terjebak untuk lebih banyak menuntut penghargaan dan penghormatan, untuk dikasihi, daripada mengasihi. Melupakan sejatinya istri diciptakan sebagai penolong yang sepadan (Kejadian 2:18), dan anak-anak merupakan milik pusaka dari Tuhan yang harus kita pertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya (Mazmur 127:3-5). Dan juga lupa terhadap hakekatnya bahwa istri harusnya menghormati dan tunduk kepada suami seperti kepada Kristus, lalu suami mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat (Efesus 5:22-33). Yang terjadi seringkali sebaliknya. Bukannya menjadi penolong yang sepadan, istri malah jadi perongrong yang dominan. Suami tidak kalah buruknya, bukannya mengasihi istri tapi mengasari istri. Kalau sudah begini, bagaimana kita bisa berharap akan sebuah rumah tangga yang nyaman dan damai, hangat dan indah?

Rumah tangga kristen seharusnya jauh dari bentuk-bentuk demikian. Orang percaya yang sudah terlanjur melakukannya seharusnya sadar bahwa semua itu harus berubah. Yakobus mengatakan "Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." (Yakobus 3:16). Ayat ini tidak saja berlaku dalam hubungan kita dengan orang lain di luar, tapi juga sama berlaku dalam hubungan dalam rumah tangga. Ketahuilah bahwa dalam pernikahan sesungguhnya Tuhan sendiri yang langsung memateraikan hubungan antara suami dan istri. Itu adalah bentuk ikatan yang kuat, begitu kuatnya sehingga firman Tuhan mengatakan bahwa tidak ada satupun manusia yang berhak memutuskannya. "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Matius 19:6). Ini bentuk hubungan dua menjadi satu, begitu menyatunya sehingga dikatakan selayaknya menjadi satu daging. (ay 5). Dengan demikian, ketika kita menyakiti pasangan kita, bukankah itu artinya sama saja dengan menyakiti diri sendiri?

(bersambung)


Sunday, April 16, 2017

Our Ultimate Goal (4)

(sambungan)

Tidak ada gunanya kita mengaku sebagai orang Kristen apabila kita tidak mencerminkan pribadi Kristus dalam kehidupan kita. Menjadi serupa dengan Kristus akan mampu mengarahkan kita untuk masuk ke dalam Kerajaan dan kemuliaan Tuhan. Dengan menerima Kristus kita "telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya." (Kolose 3:9-10). Artinya, dari hari ke hari seharusnya kita terus mengalami pembaharuan dan semakin mendapatkan gambaran yang benar akan Kristus. Dengan demikian kita terus berproses untuk semakin menyerupaiNya.

Sejak awal Tuhan menciptakan kita dengan tujuan mulia. Kita diciptakan sesuai gambar dan rupaNya, dan hanya kitalah yang dirancangNya seperti demikian. Dan kini setelah diselamatkan, kita dipanggil untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya, Yesus Kristus, menjadikan Yesus sebagai yang sulung, dan kita meneladani Dia dengan serius dan sungguh-sungguh. Itu panggilan spesifik yang diberikan Tuhan kepada setiap orang percaya.

Sudahkah kita mencerminkan Yesus dalam perbuatan, perilaku dan dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah kita masih mengeluarkan perkataan-perkataan yang menyakiti orang lain? Mengeluarkan kutuk, kata-kata kotor? Masih menyimpan sakit hati, dendam dan sulit mengampuni? Gampang tersinggung? Mentolerir dan berkompromi dengan dosa? Melakukan kecurangan? Tampil dengan topeng rohani padahal kehidupan jauh dari kebenaran? Suka berbohong? Tidak fokus kepada tugas dan tujuan? Berhitung untung rugi atau pamrih dalam memberi? Suka meninggikan diri? Masih terjebak kesombongan? Manipulatif? Licik dan tidak tulus? Masih suka menghakimi? Hobi berpikir negatif terhadap orang lain? Berat untuk melayani, pasang argo tinggi? Hidup masih terombang-ambing antara percaya dan ragu? Masih sering merasa cemas, kuatir, was-was atau malah panik saat terguncang sedikit saja?

Kalau ya, berarti kita masih jauh dari tujuan yang paling utama. Kita harus mampu mengenal gambaran Kristus secara utuh, dan itu tidaklah sulit untuk didapati dalam Alkitab.

Selanjutnya, proses pertumbuhan untuk terus menjadi seperti Kristus akan memampukan kita untuk menghasilkan buah-buah Roh, antara lain "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu." (Galatia 5:22-23). Bayangkan apabila buah-buah ini dihasilkan oleh orang percaya di berbagai penjuru bumi, bukankah itu luar biasa indahnya? Tapi itu tidak akan bisa terjadi jika orang percaya masih belum menyadari apa sebenarnya yang menjadi tujuan mereka yang paling utama. Bagaimana mau fokus dan berhasil kalau tahu saja tidak?

Oleh karenanya, hari ini mari kita ingat dengan serius apa yang menjadi tujuan utama kita sebagai orang percaya. Kalau sudah tahu, fokuslah dalam mengejar tujuan tersebut. Diperlukan sebuah proses berkesinambungan untuk bisa mencapai sebuah kepenuhan dalam menggenapinya, oleh karena itu bertekunlah dan sungguh-sungguhlah dalam setiap sekuensnya. Teladani Yesus dalam segala yang kita perbuat atau kerjakan, dalam segenap aspek kehidupan kita, dan teruslah lebih baik
lagi sampai kita bisa mencapai sebuah tingkatan serupa seperti Yesus.

You're created and equipped to become like Christ 

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, April 15, 2017

Our Ultimate Goal (3)

(sambungan)

Seperti apa sebenarnya menjadi seperti Yesus itu? Secara umum Christ-likeness atau menjadi serupa seperti Yesus mencakup dua hal, yaitu:
- Pikiran, sikap dan hati Kristus
- karakter/integritas Kristus

Dalam proses untuk menjadi seperti Yesus, kedua hal ini harus menjadi titik perhatian kita. Kita harus memeriksa cara kita berpikir, cara kita bersikap, perangai, sikap hati, karakter dan integritas kita dan mengarahkan semuanya pada Kristus.

Tidak mudah memang untuk bisa melakukan itu dengan sempurna. Tetapi ingatlah telah dikatakan bahwa di dalam Kristus kita telah diubahkan menjadi ciptaan baru. (2 Korintus 5:17). Sebagai ciptaan baru, seharusnya kita sudah meninggalkan perilaku dan kebiasaan buruk kita di masa lalu, dan sudah semestinya kita maju menapak hari depan dengan sebuah nafas baru bersama Kristus. Lalu Roh Kudus juga telah dianugerahkan untuk berdiam di dalam diri kita, membantu kita, menegur, mengingatkan dan membimbing kita untuk mengetahui apa yang baik dan tidak.

Dengan ini semua sudah selayaknya kita terus berproses untuk semakin mendekati pribadi Kristus. Mencerminkan Kristus yang penuh kasih dalam hidup kita dan memancarkan kasih seperti itu kepada orang-orang disekitar kita tanpa memandang latar belakang mereka. Jadi jika kita tidak memilki kasih dan tidak mengasihi, kita sama sekali belum menjadi seperti Dia.

Kita bisa belajar dari keteladanan Kristus akan banyak hal. Kita tahu bagaimana ketaatanNya, penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, kesabaran yang luar biasa, hal mengampuni dan tentu saja bagaimana besarnya kasih Kristus kepada manusia. Sebagai manusia kita akan sulit untuk berlaku seperti halnya Kristus apabila mengandalkan diri sendiri, tetapi sebagai ciptaan baru yang telah diubahkan dan telah menerima Roh Kudus untuk tinggal di dalam kita, seharusnya kita bisa terus berlatih dan bertumbuh untuk semakin lama semakin mendekati gambaran Kristus yang sesungguhnya. Yesus tidak melawan ketika dihina, disiksa bahkan hingga mati di atas kayu salib. Dia terus taat terhadap kehendak Bapa sambil terus memanjatkan pengampunan kepada mereka yang jahat.

Lihatlah ketika Yesus masih sanggup berdoa bagi para penyiksanya. "Yesus berkata: "Ya Bapa, ampunilah  mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34). Lalu lihat bagaimana pesan Yesus mengenai kedalaman arti sebuah persahabatan. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13). Kata-kata ini tidak hanya sekedar pesan, tetapi Yesus sendiri telah membuktikannya secara langsung. Perhatikan bagaimana hati Kristus tetap tergerak oleh rasa belas kasihan kemanapun Dia pergi.

Lihatlah bagaimana Yesus fokus pada rencana Tuhan hingga menggenapi seluruhnya dengan sempurna. Semua ini merupakan cerminan pribadi Kristus yang harus kita tuju. Kita harus terus berusaha untuk bisa mencapai tingkatan seperti itu. Menjadi serupa dengan Kristus, itulah tujuan yang harus kita kejar.

(bersambung)


Friday, April 14, 2017

Our Ultimate Goal (2)

(sambungan)

Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita ada di dalam Yesus kalau kita sama sekali masih belum menceminkan rupaNya. Kalau diambil contoh sederhana, jika anda menuang air ke dalam gelas, tentu air itu akan mengikuti bentuk dari wadahnya bukan? Tidak mungkin air dituang ke dalam gelas tapi berbentuk seperti mangkok. Air akan mengikuti wadah dimana ia dituangkan. Yohanes menyatakan hal itu. "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6).

Dengan kata lain, siapapun yang berkata bahwa ia hidup bersatu dengan Allah, ia wajib mengikuti jejak Kristus. Melakukan sesuatu sebagaimana keteladanan yang ditunjukkan Yesus sendiri, conducting in the same way in which He walked and conducted Himself. 

Jika anda ingat pesan Kristus agar kita menjadi terang dan garam, itu menunjukkan sebuah rangkaian cara hidup yang meneladani Kristus. Menjadi terang dan garam merupakan sebuah gambaran bahwa kita tengah dalam proses menjadi serupa dengan Dia. Semakin terang dan semakin berfungsinya kita menggarami dunia, semakin pula kita menjadi seperti Yesus. Dan hal ini tidak bisa berhenti hanya sebatas wacana saja melainkan harus tercermin dalam kehidupan kita secara nyata, lewat perbuatan-perbuatan nyata.

Pertanyaannya, dimana dan bagaimana dengan kita hari ini? Kita mengaku percaya pada Kristus, mengaku tinggal di dalamNya, tapi apakah kita sudah mencerminkan itu lewat perilaku, sikap, perbuatan dan gaya hidup kita? Sayangnya yang sering menjadi gambaran dari pengikut Kristus hari ini justru bertolak belakang dengan tujuan yang paling utama ini. Banyak diantara orang percaya yang menunjukkan perilaku yang jelek, bahkan lebih jelek dari orang-orang dunia sehingga bukannya tertarik tetapi orang malah anti pati atau alergi ketika mendengar namaNya.

Jangankan mengenal, mendengar saja sudah menolak. Banyak orang percaya yang melakukan hal-hal yang bukannya menjadi berkat, tetapi malah sebaliknya menjadi batu sandungan bagi banyak orang. Berhati-hatilah agar jangan terjatuh ke dalam bentuk seperti ini, karena konsekuensi dari kegagalan mencapai tujuan paling utama ini sangatlah berat.

Paulus menuliskan tentang keutamaan Kristus dalam suratnya kepada jemaat Kolose. Mari kita lihat isinya.

"Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus." (Kolose 1:15-20).

Yesus dikatakan adalah gambaran nyata dari Allah yang tidak kelihatan, yang lebih utama dari segalanya karena di dalam Dialah semua diciptakan, dan seterusnya. Yang sulung, paling utama karena seluruh kepenuhan Allah ada di dalam Dia. Tujuan kita adalah untuk menjadi seperti Yesus, dan kita harus tahu terlebih dahulu gambaran ini sebelum kita bisa berproses untuk menjadi semakin mirip denganNya.

(bersambung)


Thursday, April 13, 2017

Our Ultimate Goal (1)

Ayat bacaan: Roma 8:29
======================
"Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara."

Ada seorang teman yang punya anak berusia sekitar 10 tahun. Saya bertanya kepadanya: "Kalau besar nanti, kamu mau jadi apa?" Si anak menjawab: "Saya mau jadi seperti papa." katanya sambil tersenyum. Saya terharu dengan jawabannya. Bagi saya, bukan profesinya yang penting. Saya yakin yang ia maksudkan bukan soal meniru profesi ayahnya, tapi ia ingin menjadi seperti ayahnya saat ia dewasa kelak. Bagi saya, itu menunjukkan bahwa teman saya telah menanamkan nilai-nilai baik bukan hanya lewat pengajaran tapi dari contoh nyata dari hidupnya sendiri. Kalau tidak, saya kira anaknya tidak akan menjawab seperti itu.

Saya bersyukur pernah mengalami hal yang sama dari ayah saya. Ia menanamkan banyak hal mengenai kebajikan di masa kecil saya. Bagaimana pentingnya membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan, bagaimana bersikap sopan kepada orang lain, bagaimana menghidupi profesi dengan sebaik-baiknya, bagaimana hidup jujur ditengah godaan suap. Itu adalah hal-hal yang saya ingat dari ayah saya yang sangat saya pegang sampai hari ini.

Lalu, sebagai orang percaya kita punya Bapa Surgawi. Bapa yang baik dan penuh kasih. Dalam status kita sebagai anakNya, sebagai orang percaya, apa yang menjadi tujuan utama kita? What's our ultimate goal for being a Christian? Apakah menjadi kaya? Menjadi orang sukses? Terkenal? Terpandang? Disegani? Punya segala hal di dunia dalam kelimpahan? Jadi orang yang bebas dari masalah? Jadi orang yang tidak pernah sedih? Mana yang anda pilih? Atau kalau bukan semua ini, lantas apa?

Dalam Roma 8:29 tujuan utama kita, panggilan kita yang terutama, our ultimate goal disebutkan dengan nyata dan jelas. "Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara." Dari ayat ini kita bisa mengetahui dengan pasti bahwa tujuan kita yang paling utama yaitu: menjadi serupa dengan Kristus.  Our ultimate goal is to become like Christ. 

Pesan mengenai hal ini sebenarnya sudah dinyatakan sejak semula dalam kitab paling awal yaitu kitab Kejadian. "Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka." (ay 26-27).

Perhatikan bahwa berbeda dengan ciptaan Tuhan lainnya, manusia disebutkan dijadikan secara istimewa menurut gambar dan rupa Allah Tritunggal sendiri. Menurut gambar dan rupa tidaklah berbicara secara kaku mengenai kemiripan wajah, rupa atau kesamaan fisik, tapi lebih kepada kesamaan karakter. Manusia diciptakan dengan ide memiliki sifat dan karakterNya, seperti yang terpancar lewat Yesus Kristus. Kalau kita kesulitan memahami seperti apa karakter dan sifat Allah, kedatangan Yesus ke dunia sesungguhnya memberi kita gambaran yang sangat jelas mengenai hal tersebut, sehingga kita seharusnya tidak perlu kesulitan untuk menggenapi tujuan yang paling utama tersebut.

Paulus menekankan betapa pentingnya hal ini dan seperti apa kerinduannya untuk melihat penggenapan tujuan yang terutama ini bisa terjadi. Ia bahkan rela menderita untuk itu. Itu menunjukkan bahwa Paulus memberikan penekanan besar tentang menjadi serupa dengan Kristus ini. Katanya: "Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu." (Galatia 4:19).

Dalam bahasa sederhana, Paulus mengatakan bahwa ia rela harus menderita lagi, bagaikan seorang ibu yang menderita saat melahirkan anak, dan rela untuk terus menderita sampai rupa Kristus menjadi nyata tergambar pada diri kita. He's willing to suffer until Christ's image is completely, and permanently formed or molded within us. 

(bersambung)


Wednesday, April 12, 2017

Mencari Alasan (2)

(sambungan)

Bukan meminta maaf, tetapi dengan segera melemparkan kesalahan kepada Hawa. Benar, Hawa yang memberikan. Tapi mau ikut-ikutan atau menolak tetap merupakan keputusannya pribadi. Bahkan jika kita perhatikan baik-baik respon Adam, dia bukan hanya melemparkan kesalahan kepada Hawa, tetapi juga kepada Tuhan. "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku.." secara tidak langsung Adam berkata bahwa kesalahan itu bermula dari perempuan yang Engkau berikan kepadanya. Tuhan berikan perempuan yang jahat, makanya saya jadi kena. Itu kira-kira sanggahan Adam. Adam menyatakan bahwa apabila Tuhan tidak menempatkan Hawa, maka ia tidak akan melakukan kesalahan.

Selanjutnya Tuhan pun menegur Hawa. Dan lihatlah jawaban Hawa. "Jawab perempuan itu: "Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan." (ay 13b).

Lihatlah adanya estafet melempar kesalahan  yang terjadi pada waktu itu. Dari Adam ke Hawa, dari Hawa ke ular. Maka marahlah Tuhan. Tidak saja ular yang dihukum berat, tetapi Adam dan Hawa pun dijatuhi hukuman berat. Wanita berusah payah mengandung penuh kesakitan, sementara pria harus bersusah payah banting tulang dalam mencari nafkah seumur hidupnya. Semua ini berawal dari pelanggaran terhadap larangan Tuhan dan keengganan untuk mengakui kesalahan secara tulus. Kapan manusia mulai belajar untuk mencari alasan? Dari kisah awal kejatuhan manusia ini kita bisa melihat asal mulanya, yaitu sejak dosa mulai menguasai manusia.

Apa yang dilakukan Adam dan Hawa pada saat melanggar larangan Tuhan sungguh berakibat fatal. Dari sanalah dosa kemudian menyeruak masuk menguasai hidup manusia dan berusaha membinasakan kita hingga hari ini. Itu adalah konsekuensi berat yang harus ditanggung manusia sampai sekarang.

Adalah kasih Tuhan yang luar biasa besar bagi kita yang akhirnya menyelesaikannya lewat Yesus Kristus. "Demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia." (Ibrani 9:28). Tanpa Yesus niscaya manusia akan terus bergelimang dosa dan kehilangan peluangnya akan keselamatan kekal. Puji Tuhan dan bersyukurlah untuk itu.

Adalah penting bagi kita untuk bisa bersikap legawa, jujur dan dengan rendah hati berani mengakui ketika melakukan kesalahan. Bereskan segera dan jangan malu untuk meminta maaf. Mencoba menutupi dengan mencari alasan-alasan pembenaran bukannya baik tapi akan membuat masalah bertambah sulit untuk dibereskan dan membawa konsekuensi yang jauh lebih berat lagi.

Belajarlah mengakui kesalahan dengan tulus tanpa mencari alasan sebagai pembenaran

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, April 11, 2017

Mencari Alasan (1)

Ayat bacaan: Kejadian 3:12
====================
"Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan."

Kalau soal mencari alasan, kita mungkin jagonya. Saking ahlinya, banyak alasan bisa muncul dengan segera tanpa harus berpikir. Jago ngeles, jago berbohong, jago cari pembenaran, jago jari kambing hitam. Tidak usah diajarkan kalau soal itu, sepertinya sudah jadi bakat bawaan sejak lahir.

Kenapa saya bilang bakat bawaan sejak lahir? Karena, bukankah kita melihat anak-anak sudah pintar berbohong dan mencari alasan tanpa ada yang mengajarkan? Demi mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka pintar memanipulasi pikiran orang tuanya. Supaya tidak disalahkan mereka pintar mencari alasan atau berbohong. Apakah ada orang tua yang dengan sengaja mengajarkan berbohong? Saya yakin tidak. Tapi mereka sudah tahu sendiri melakukan itu. Itulah sebabnya saya mengatakan itu bagaikan bakat bawaan sejak lahir. Dan sepertinya, kebohongan atau mencari alasan merupakan dosa yang muncul pertama kali dalam hidup hampir semua orang.

Mencari alasan sebagai bentuk pembenaran merupakan hal yang sangat sering kita perbuat ketika kita melakukan kesalahan. Kebanyakan dari kita lebih memilih untuk itu ketimbang mengakui kesalahan secara ksatria. Dahulu kala di Jepang mereka menunjukkan pengakuan atas kesalahan secara sangat ekstrim dengan melakukan harakiri alias bunuh diri dengan samurai mereka. Kita tentu tidak perlu sampai seperti itu. Tapi setidaknya satu hal yang bisa kita lihat adalah bagaimana kita bisa dengan lapang hati mengakui kesalahan dan meminta maaf saat kita melakukan kesalahan.

Pada kenyataannya itu tampaknya sangat sulit dilakukan. Meski dalam keadaan terdesak dan jelas-jelas salah sekalipun kebanyakan orang akan tetap berusaha mencari alasan yang bisa dijadikan pembenaran, atau setidaknya mengurangi beban kesalahan. Betapa kreatifnya orang ketika menciptakan berbagai alasan dalam pikirannya mulai dari yang sederhana sampai yang begitu kompleks, bahkan anak-anak sekalipun sudah seperti itu di usia dini mereka. Mungkin kita pun pernah atau malah masih kerap melakukannya pada waktu-waktu tertentu. Mengakui kesalahan secara jujur memang tidak mudah, karena dalam banyak hal kita harus melawan ego, harga diri, wibawa dan lain-lain, bahkan ada kalanya kita juga harus siap menerima konsekuensi akibat kesalahan kita.

Di dalam Alkitab pun kita bisa menemukan begitu banyak tokoh yang mencari alasan baik untuk mengelak dari kesalahan maupun untuk menghindar dari tugas yang diberikan Tuhan kepada mereka. Untuk hari ini mari kita lihat sebuah kisah menarik tentang hal ini dari awal penciptaan manusia ketika baru ada dua manusia saja, yaitu Adam dan Hawa.

Kejatuhan manusia ke dalam dosa dimana konsekuensinya masih kita rasakan hingga hari ini dimulai ketika Hawa tergiur dengan buah dari pohon pengetahuan tentang baik dan jahat yang terletak di tengah-tengah taman Eden dan kemudian melanggar larangan Allah.

Memang benar, adalah ular yang mempengaruhi Hawa untuk memakan buah dari pohon itu. Tetapi bukankah keputusan apakah mau menuruti Tuhan atau ular sebenarnya ada di tangan Hawa? Sayangnya Hawa memutuskan untuk mendengar ular, dan seterusnya berbagi kepada Adam. Lagi-lagi dari sisi Adam, keputusan sebenarnya ada di tangan Adam apakah ia mau mematuhi Tuhan atau melanggarnya dengan mengikuti kesalahan Hawa. Sayangnya, Adam juga memilih untuk menuruti Hawa. Maka akibatnya jatuhlah manusia ke dalam dosa untuk pertama kali.

Selanjutnya yang terjadi adalah mencari alasan dan saling melempar kesalahan. Perhatikan bagaimana respon Adam menghadapi teguran Tuhan. "Manusia itu menjawab: "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan." (Kejadian 3:12).

(bersambung)


Monday, April 10, 2017

Menyatakan Kasih lewat Saling Membantu

Ayat bacaan: Efesus 4:2
=================
"Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu."

Menarik sekali melihat hubungan harmonis antar teman saya dan tetangganya. Ia sudah tinggal disana semenjak lahir, itu artinya hampir 40 tahun mereka bertetangga. Setiap teman saya merayakan lebaran, tetangganya tanpa diminta membuka pagarnya agar para tamu bisa menumpang parkir di halaman rumahnya. Sebaliknya, saat Natal dan tahun baru, giliran keluarga teman saya yang membuka lebar-lebar pagarnya. Kalau ada acara lainnya, mereka cukup saling bilang, dan itu pun dilakukan. Seperti pada saat sang tetangga persekutuan, maka sebagian mobil anggotanya bisa parkir di rumah teman saya. Saya mengetahui itu saat melayat ayah dari teman saya ini. Ada seorang bapak tua yang berdiri diluar dan mempersilahkan mobil saya untuk masuk ke halamannya, yang ternyata adalah pemilik rumah tersebut. Bukan saja ia membuka rumahnya sebagai tempat parkir, ia sendiri juga yang berinisiatif membantu parkir. Bukankah luar biasa melihat hal ini? Terlebih ini terjadi di kota besar dan bukan di daerah. Disaat banyak orang mengedepankan perbedaan, mereka menunjukkan harmoni dalam toleransi yang kuat.

Hubungan antar tetangga seperti itu semakin langka dijumpai hari ini terutama di dalam tatanan bermasyarakat modern di tengah kota besar. Orang cenderung menjadi semakin individualis, tidak peduli kepada orang lain, termasuk yang ada di dekat mereka. Banyak orang yang tidak lagi mengenal siapa tetangganya. Jangankan apa pekerjaannya, namanya saja tidak tahu. Kenapa tidak diajak kenalan? "Ah, nanti dikira saya ada maksud. Malas ah.." itu salah satu alasannya. Tetangga saling curiga, saling iri, dengki, saling mengganggu, saling bersaing. Manusia semakin tidak berempati dan enggan menolong tanpa mengharap balasan. Kalau kenal saja tidak bagaimana bisa menolong? Atau, ada pula orang yang baru akan bergerak menolong kalau ada yang minta. Itupun mereka pilih-pilih. Bukan soal bisa atau tidak tapi bakal ada gunanya atau tidak. Atau lagi pengen atau malas. Jika tetangga kita terkapar di depan rumah, apakah kita segera bergegas menolong atau pura-pura tidak melihat? Jangan-jangan, malah senang. Ada banyak pula orang yang berkata, "tapi tetangga saya menyebalkan! Suka berbuat seenaknya!" Tapi, apakah itu cukup untuk dijadikan alasan untuk tidak mempedulikan atau menolong mereka? Maka sebuah rasa kebersamaan yang dibangun dalam kehidupan persaudaraan antar tetangga seperti teman saya di atas menjadi terasa sangat indah.

saling menolong seperti yang terjadi antara teman saya dan tetangganya sangatlah mencerminkan bagaimana sikap orang percaya yang seharusnya, sesuai dengan apa yang difirmankan Tuhan berulang kali di dalam Alkitab. "Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu." (Efesus 4:2) Perhatikan bahwa Tuhan tidak hanya meminta kita rendah hati, ramah atau lemah lembut dan sabar saja, tetapi kita juga wajib menunjukkan kasih dalam wujud nyata, dan itu dilakukan lewat kerelaan untuk saling membantu atau tolong menolong. Pada kenyataannya, ada banyak orang yang katanya sudah mengasihi tetapi masih keberatan untuk memberi dan membantu. Mereka sulit menyumbangkan sedikit dari apa yang mereka miliki untuk menolong orang lain, mudah merasa curiga dan bersikap negatif terhadap orang yang tengah membutuhkan uluran tangan, atau tidak peduli sama sekali. Atau seperti yang saya bilang tadi, mereka baru akan bergerak kalau diminta. Tanpa diminta, meskipun tahu mereka diam saja. Sikap seperti ini tidaklah mencerminkan kasih, apalagi standar kasih Kerajaan Allah.

Dalam 1 Korintus 13 kita bisa menemukan defenisi kasih yang lengkap dari Paulus. "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." (ay 4-7). Standar kasih dalam kekristenan sama sekali tidak main-main. Dalam standar kehidupan hari ini, mungkin semakin sulit untuk dilakukan. Tapi kalau mau benar-benar mengaplikasikan kasih yang sebenarnya, kita harus bersedia melatih diri untuk bisa memenuhi satu demi satu poin kasih di atas.

Dalam kesempatan lain Paulus menyerukan pentingnya tolong menolong karena itu artinya kita memenuhi hukum Kristus. "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." (Galatia 6:2). Kerinduan untuk membantu adalah salah satu perwujudan nyata dari adanya kasih Kristus dalam hidup kita, dan penegasan akan hal ini kembali bisa dijumpai dalam ayat berikut ini: "Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu." (Efesus 4:2).

Kerinduan untuk membantu sesama itu harus diwujudkan dengan tulus, bukan karena maksud-maksud atau agenda tersembunyi dibelakangnya seperti ingin dipuji, disanjung atau karena berharap sesuatu sebagai balasan dari orang yang ingin kita bantu. Dalam surat Roma kita bisa menemukan ayat yang mendukung hal ini. "Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik." (Roma 12:9).

Pesan kasih sesungguhnya begitu penting. Yesus mengajarkan : "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Kita diminta untuk bisa mencapai sebuah tingkatan yang lebih tinggi untuk mengasihi orang lain. Bukan hanya seperti kita mengasihi diri kita sendiri melainkan dengan bercermin kepada Yesus yang begitu mengasihi kita.

Salah satu bentuk kasih akan terlihat dari kerinduan kita untuk membantu sesama. Orang yang hatinya penuh dengan kasih akan gelisah ketika melihat ada orang yang membutuhkan bantuan, dan akan sangat bahagia ketika bisa berbuat sesuatu untuk menolong orang lain. Orang yang dipenuhi kasih akan segera bergerak tanpa diminta. Menawarkan bantuan saat melihat ada orang disekitarnya yang tengah membutuhkan itu. Apa yang penting bukan jumlah nominal atau persentase waktu dan tenaga yang kita curahkan buat membantu, tapi dari kesungguhan dan ketulusan kita atas kasih Yesus yang hidup di dalam diri kita.

"We can’t help everyone, but everyone can help someone." - Ronald Reagan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, April 9, 2017

I am WHO I am and WHAT I am (2)

(sambungan)

Apakah Musa gagap atau punya kesulitan dalam mengungkapkan isi hati lewat kata-kata? Entahlah. Tapi yang pasti Musa berpusat pada kelemahannya. Dia tidak melihat siapa Sosok yang menugaskannya dan sudah berjanji akan menyertai serta melengkapinya. Tuhan menjawab: "Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni TUHAN? Oleh sebab itu, pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan." (ay 11-12).

Musa bukanlah orator atau politisi yang pintar bersilat lidah. Musa bukan berprofesi sebagai pengkotbah, ia pun bukan penyair atau pengarang lagu yang handal merangkai kata, piawai menulis isi hati secara puitis sepperti Daud. Apa yang dilupakan Musa justru hal yang sangat penting, yaitu bahwa bukan kemampuan kita yang menentukan berhasil tidaknya kita, tetapi kuasa Tuhan, itulah yang memampukan.

Ada beberapa tokoh besar lainnya dalam Alkitab yang pernah mengalami keraguan yang sama. Mereka memfokuskan pandangan kepada kelemahan sehingga lupa melihat kepada siapa yang menugaskannya. Tetapi adalah sangat menarik jika kita melihat bagaimana reaksi Paulus, mantan orang jahat dan kejam yang kemudian berbalik menjadi pengikut Yesus yang sangat berpengaruh dalam pengajaran kekristenan bahkan sampai hari ini. Setelah Paulus aktif melayani, ia pun pada suatu kali pernah merasa terganggu atas kelemahannya dan meminta kepada Tuhan. Tetapi apa kata Tuhan? "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." (2 Korintus 2:9) Jawaban Tuhan ini membuka mata Paulus bahwa bukan kemampuannya yang penting tetapi Tuhan-lah yang memampukan. Ia pun sampai pada satu kesimpulan, bahwa dalam kelemahannya-lah dia menjadi kuat. (2 Korintus 12:10).

Kelemahan kita, keterbatasan kita, kekurangan kita, ketidakmampuan kita, bahkan ketidaklengkapan kita sekalipun bisa dipergunakan Tuhan untuk menyatakan kuasaNya. Tuhan mampu memenuhi kita dengan kekuatan sehingga segala keterbasan kita bisa tetap bersinar luar biasa sehingga dapat dipakai untuk hal yang baik. Yang pasti, jika itu rencana atau panggilan Tuhan, maka Dia sendiri telah menyediakan segala yang kita butuhkan dan akan tetap mendampingi kita dalam menunaikan tugas.

Dalam pandangan kita atau manusia mungkin itu terlihat tidak cukup, logika kita mungkin berkata bahwa apa yang kita miliki tidaklah ada apa-apanya, tetapi jika Tuhan yang menghendaki, maka apapun bisa terjadi. Anda tidak harus menjadi orang begelar menumpuk untuk berhasil dalam hidup, tidak harus jadi pendeta terkenal untuk mampu melayani. Anda tidak harus menjadi Superman yang bisa terbang untuk memberkati orang lain. Kita semua bisa dipakai Tuhan untuk menyatakan kemuliaanNya. Berbagai latar belakang kita, selemah apapun, bisa diubah menjadi sumber berkat luar biasa. Dibalik segala kelemahan kita, kuasa Tuhan justru menjadi sempurna.

Secara spesifik Alkitab juga berbicara mengenai hal ini dengan panjang lebar. "Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia. Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti." (1 Korintus 1:25-28).

Dalam segala keterbatasan kita, datanglah pada Tuhan dan berpeganglah padaNya. Kita akan terus bertumbuh dalam kekuatan, semangat, dan sukacita jika kita terus membangun hubungan dengan Tuhan. Semua tergantung seberapa besar kita mau taat, seberapa besar kita mau mematuhi dan menuruti kehendakNya bagi hidup kita, seberapa besar iman yang bisa memampukan kita memandang kepada Tuhan ketimbang memfokuskan pandangan hanya pada kelemahan atau kekurangan kita.

Jadi kalau Tuhan membukakan jalan buat anda dan sepertinya terlihat sangat berat diluar kesanggupan anda, ingatlah, "I AM WHO I AM and WHAT I AM, and I WILL BE WHAT I WILL BE." Kita harus menyadari betul bahwa "Akulah Aku dan Siapa Aku", itu jauh lebih besar dari siapa kita sendiri.

"Sebab Aku ini, TUHAN, Allahmu, memegang tangan kananmu dan berkata kepadamu: "Janganlah takut, Akulah yang menolong engkau." (Yesaya 41:13)

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Dua Ibu Janda dan Kemurahan Hatinya (8)

 (sambungan) Dua janda yang saya angkat menjadi contoh hari ini hendaknya mampu memberikan keteladanan nyata dalam hal memberi. Adakah yang ...