Thursday, July 31, 2014

Hujan Berkat (2)

(sambungan)

Saya sudah beberapa kali menyampaikan mengenai hal memberi dalam hubungannya dengan turunnya berkat Tuhan, dan ada beberapa orang yang sulit menangkap esensinya. Seperti yang pernah saya kemukakan, ada sebuah penglihatan yang pernah diberikan Tuhan kepada saya beberapa waktu lalu. Bayangkan ada sebuah gelas kosong dan kemudian anda mulai tuangkan air ke dalamnya. Air tersebut tidak akan bisa mengalir membasahi area di luar gelas apabila gelasnya tidak terlebih dahulu mengalami kepenuhan. Untuk bisa melimpah keluar, air haruslah memenuhi gelas seutuhnya. Dan semakin banyak kucuran, semakin banyak pula area yang terkena aliran air ini sementara gelas akan tetap penuh. Ini adalah sebuah penglihatan yang sangat penting bagi saya dan sangat sederhana pula untuk dimengerti. Seperti itulah yang dimaksud Tuhan dengan ayat dalam 2 Korintus 9:8 dan Amsal 28:27 tadi. Tuhan tidak akan menyengsarakan kita dan membuat kita kekurangan. Dengan memiliki hati yang rindu untuk terus memberi, memberkati lebih dan lebih banyak lagi orang, kita akan dicukupkan bahkan dikatakan berkelebihan, jauh dari kata kekurangan. Tapi ingatlah bahwa itu bukan berarti kita menyelewengkan kedua ayat ini demi kekayaan pribadi, menimbun harta seperti cara dunia, tetapi justru untuk dipakai menjadi saluran berkat bagi banyak orang.

Kalau kita sudah menyadari pentingnya hal memberi yang bukan didasari oleh iming-iming, imbalan atau agenda-agenda lainnya yang mengacu kepada keuntungan pribadi, kita juga harus mengetahui kunci agar lumbung yang sudah diisi tersebut bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin demi kemuliaan Tuhan. Akan hal ini mari kita lihat pentingnya doa. Banyak orang yang keliru mengartikan doa. Ada yang terlalu sibuk bekerja sehingga menomorduakan bahkan melupakan berdoa sebagai sebuah kewajiban. Atau mungkin mereka sudah berdoa, tapi itu hanya dilakukan sebatas kebiasaan, rutinitas atau liturgi saja, dan bukan berasal dari kerinduan hati terdalam untuk mencari dan bersekutu erat denganNya. Ada pula yang berdoa hanya karena tidak ingin masuk neraka atau bahkan takut dimarahi orang tua.

Waktu yang jumlahnya 24 jam berlaku untuk semua orang, tinggal bagaimana kita mengoptimalkan penggunannya saja yang akan membawa perbedaan. Benar, firman Tuhan berkata "Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10). Tapi bekerja bukanlah segala-galanya. Mencari nafkah bukanlah satu-satunya hal yang bisa melengkapi kebutuhan kita. Selain memenuhi kebutuhan primer untuk bisa bertahan hidup, kita juga membutuhkan firman Tuhan. "Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4). Bekerja itu bagus, tapi penting pula bagi kita untuk menentukan skala prioritas yang baik dan tidak mengorbankan hal yang tidak kalah pentingnya karena fokus hanya pada satu hal saja. Hidup yang terus menerus bekerja tapi tidak mempedulikan keluarga apalagi Tuhan tidak akan membawa hasil baik, melainkan berpotensi mendatangkan banyak kerugian yang seringkali tidak akan bisa diatasi dengan harta sebesar apapun. Kehidupan yang tidak disertai doa dan dibangun dalam doa tidak akan menghasilkan buah yang baik.

Mari kita lihat firman Tuhan berikut. "Jika kamu dengan sungguh-sungguh mendengarkan perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, sehingga kamu mengasihi TUHAN, Allahmu, dan beribadah kepada-Nya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, maka Ia akan memberikan hujan untuk tanahmu pada masanya, hujan awal dan hujan akhir, sehingga engkau dapat mengumpulkan gandummu, anggurmu dan minyakmu, dan Dia akan memberi rumput di padangmu untuk hewanmu, sehingga engkau dapat makan dan menjadi kenyang." (Ulangan 11:13-14). Ayat ini secara khusus mengatakan bahwa Tuhan selalu siap menurunkan hujan berkat kepada siapapun yang taat pada perkataanNya, mengasihiNya dan dengan sungguh-sungguh beribadah hanya kepadaNya saja. Tidak kepada ilah-ilah lain, tidak pula kepada mamon alias dewa uang. Hujan berkat yang akan memampukan kita menghasilkan buah dengan berkelimpahan merupakan janji Tuhan kepada mereka yang bersungguh-sungguh taat, lalu bersungguh-sungguh beribadah dengan segenap hati dan jiwa. Bukan karena kebiasaan, bukan karena rutinitas, bukan simbolis apalagi hanya agar terlihat baik di mata orang, namun karena panggilan hati yang sungguh-sungguh dan kerinduan untuk mengasihiNya. Inilah kunci yang bisa membuka pintu di tingkap-tingkap langit agar perbendaharaanNya sesuai apa yang sudah kita kumpulkan lewat perbagai kebajikan bisa tercurah atas kita. Janji lainnya disebutkan demikian: "TUHAN akan membuka bagimu perbendaharaan-Nya yang melimpah, yakni langit, untuk memberi hujan bagi tanahmu pada masanya dan memberkati segala pekerjaanmu, sehingga engkau memberi pinjaman kepada banyak bangsa, tetapi engkau sendiri tidak meminta pinjaman." (Ulangan 28:12).

(bersambung)

Wednesday, July 30, 2014

Hujan Berkat (1)

 Ayat bacaan: Yakobus 5:17-18
========================
"Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan. Lalu ia berdoa pula dan langit menurunkan hujan dan bumipun mengeluarkan buahnya."

Alkisah ada seorang petani yang memiliki lumbung besar. Pada mulanya ia malas-malasan sehingga saat ia butuh, tidak ada apa-apa yang bisa diambil dari lumbungnya karena tidak pernah diisi dengan serius. Ia pun belajar dari kesalahan pertama dan kemudian rajin mengisi lumbungnya dengan hasil tani melimpah. Maka lumbung pun kemudian penuh. Tapi lumbung yang sudah penuh itu tetap saja kita tidak berfungsi apabila si petani tidak memiliki kunci pembuka pintu lumbung tersebut. Ada isi tapi tidak ada kunci untuk membukanya, itu hanya akan membuat sebanyak dan seberharga apapun isinya sia-sia, hanya akan menumpuk berdebu atau bahkan rusak tanpa pernah mendatangkan manfaat bagi sang pemilik.

Elia dikenal sebagai satu dari nabi besar. Ia juga sering disebut sebagai nabi 'api' dan nabi 'hujan' alias the rain maker. Banyak predikat yang disandang oleh nabi Elia. Tapi disamping itu pada dasarnya nabi Elia juga manusia biasa, sama seperti kita. Lantas kalau begitu apa yang membuatnya bisa luar biasa? Dalam ayat bacaan kita hari ini kita bisa melihat bahwa apa yang membuatnya luar biasa adalah kesungguhannya dalam berdoa. Hubungannya dengan ilustrasi singkat di atas adalah pentingnya membangun kehidupan doa yang sungguh-sungguh sebagai kunci untuk membuka tingkap-tingkap langit, menurunkan hujan berkat yang membuat kita berbuah subur.

Mari kita fokus lagi kepada ayat bacaan di atas dengan penekanan pada ayat 18, "Lalu ia berdoa pula dan langit menurunkan hujan, dan bumipun mengeluarkan buahnya.". Ada tiga kunci penting dari ayat ini yaitu "berdoa", "hujan" dan "buah".

Pertama, mari kita lihat hal lumbung yang kosong. Banyak orang mengira bahwa untuk memiliki atau mengisi lumbung adalah dengan menerima. Itu adalah konsep pemikiran yang terus ditanamkan oleh dunia. Bahkan ketika kita berbuat baik pun kita butuh imbalan atau balasan dari yang diberi agar lumbung kita bertambah asetnya. Tapi prinsip Kerajaan Surga bukanlah demikian. Kalau dunia berkata bahwa kita bertambah dengan menerima, prinsip Kerajaan berkata bahwa itu adalah lewat memberi. Memberi, bukankah itu berarti mengurangi apa yang kita punya? Secara duniawi mungkin saja, tapi kalau kita mengacu kepada Allah sebagai sumber dari segala sesuatu, maka kita tidak perlu ragu akan kekurangan ketika memberi dan melakukan berbagai kebajikan. Pertama, Tuhan Yesus sendiri sudah mengingatkan kita agar tidak mengumpulkan harta di dunia karena semua itu bisa rusak dalam sekejap mata baik oleh ngengat yang memakan, karat yang merusak dan pencuri yang menghilangkan apa yang sudah kita kumpulkan dengan susah payah. Ayatnya berbunyi seperti ini: "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." (Matius 6:19-20).

Apa yang dimaksud Yesus dengan mengumpulkan harta di surga bukan hanya berbicara mengenai keselamatan kita semata, tapi itu akan juga berhubungan langsung dengan apa yang akan kita peroleh dalam perjalanan hidup di dunia ini. Mengumpulkan harta di surga artinya memberi dan menabur di dunia, bukan menimbunseperti cara mengumpul harta menurut pandangan kebanyakan orang. Kita harus terus membiasakan diri untuk memberi yang bukan secara sempit hanya berbicara mengenai materi melainkan lewat apapun yang bisa kita beri seperti waktu, tenaga, otak/pikiran atau talenta-talenta lainnya terutama yang sesuai dengan panggilan kita, sampai pada akhirnya kita bisa mencapai sebuah tingkatan seperti yang dikatakan Yesus sendiri, yaitu "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah Para Rasul 20:35). Kita pun sudah diingatkan agar terus rindu untuk menabur bukan karena terpaksa melainkan dengan keikhlasan dan sukacita. "Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita."(2 Korintus 9:6-7)

Akankah kita kekurangan jika memberi? Tidak. Tuhan tidak berniat untuk membuat anda jatuh miskin dan memerintahkan anda untuk menghabiskan semua yang sudah dengan susah payah anda peroleh dengan diberi kepada orang lain. That's not what He meant. Sebaliknya, justru Tuhan akan membuat anda mengalami kepenuhan bahkan kelimpahan agar anda bisa terus menjadi saluran berkat kepada orang lain, siapapun mereka. Ayat berikut ini menyatakan hal itu dengan jelas: "Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan." (2 Korintus 9:8) Selain itu dalam Amsal dikakatan sebagai berikut: "Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang yang menutup matanya akan sangat dikutuki." (Amsal 28:27). Artinya jelas, Tuhan tidak hendak merampok kita tapi justru ingin membuka perbendaharaanNya kepada kita lewat sejauh mana kita menabur memberkati orang lain. Itu sama dengan mengumpulkan harta di surga, dimana tidak ada ngengat dan karat serta pencuri yang bisa merusaknya seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya.

(bersambung)

Tuesday, July 29, 2014

Pameran Diri dalam Beramal

Ayat bacaan: Matius 6:4
===================
"Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."

Dunia terbiasa menunjukkan bahwa pemberian haruslah disertai nama agar terlihat siapa yang memberi dan berapa jumlahnya. Ada sebuah pesta pernikahan yang saya hadiri memberi nomor di setiap amplop sesuai daftar tamu. Orang pun terbiasa memberi dengan menyebut nama, setidaknya kartu nama, atau jelas-jelas di amplop. Dalam pemilu baik kepala pemerintahan, pejabat daerah maupun caleg kita sudah terbiasa pula melihat orang berusaha merebut pengikut dengan gelontoran hadiah mulai dari baju kaos, sembako bahkan uang. Untuk urusan ini, tentu saja pemberinya harus jelas. Kalau bukan langsung ada foto atau nama kandidat, ya minimal ada lambang partainya. Dahulu di tempat saya tinggal ada sebuah perkampungan yang letaknya tidak jauh, mereka ketiban rejeki pada saat-saat kampanye. Hari ini mereka memakai atribut A, besok orang yang sama akan memakai atribut B. Tidak soal, yang penting dapat dulu, sampai nanti ada pemilihan lagi. Pemberian seperti ini bukanlah pemberian tulus, karena ada agenda di balik itu untuk kepentingan pribadinya.

Memberi merupakan kewajiban semua manusia dan merupakan perbuatan mulia. Sedekah, sumbangan, bantuan, pengumpulan dana dan sebagainya adalah bagian dari ibadah yang dianjurkan oleh semua agama. Bagi kita pun demikian. Yesus berkata "Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (Lukas 6:38). Pemberian adalah bagian dari kepedulian terhadap sesama yang memenuhi hukum kedua yang terutama yaitu "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 22:39). Jangan lupa, saat kita memberi, itu artinya kita melakukan sesuatu untuk Yesus. (Matius 25:40). Memberi itu baik, tetapi motivasi di balik pemberian itu sesungguhnya sangat menentukan nilai pemberian kita. Apakah kita memberi karena rasa belas kasih dan turut prihatin dengan tulus atau kita memiliki maksud-maksud tersembunyi dibelakangnya? Apakah kita memberi karena kita mengasihi sesama dan ingin mengalirkan kasih Tuhan kepada orang lain, atau kita ingin mendapatkan keuntungan, pujian, penghargaan atau agenda-agenda yang menguntungkan kita secara pribadi atau golongan? Apa yang menjadi landasan atau dasar kita dalam memberi akan menghasilkan perbedaan nyata dalam penilaian di mata Tuhan.

Orang-orang Farisi, para ahli taurat dan pemuka agama di masa Yesus adalah contoh terkenal mengenai kemunafikan. Mereka memang menyumbang, mereka berdoa, mereka rajin berpuasa, namun semua itu hanyalah bentuk pameran rohani agar mereka terlihat kudus dan mendapat simpati di mata rakyat.  Yesus menegur keras motivasi mereka yang munafik ini. "Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar." (Lukas 11:42-43). Perhatikan, mereka membayar perpuluhan, tapi mereka pilih kasih dan tidak mencerminkan bentuk kasih Allah dalam perbuatan mereka. Mereka selalu duduk paling depan di rumah ibadat agar mendapat pujian dari orang. Ini perbuatan tercela yang tidak mendapat hasil apa-apa dari Tuhan. Tuhan tidak berkenan dengan pemberian atau perbuatan yang didasari motivasi untuk memegahkan diri, mencari popularitas, pamor dan keuntungan dari manusia lain. Dalam hal memberi, apa yang diajarkan Tuhan Yesus adalah seperti ini: "Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya." (Matius 6:2). Jangan tiru orang-orang Farisi yang suka menggembor-gemborkan pemberian dan ibadah mereka agar mendapat pujian orang. Tidak ada upah apapun yang disediakan Tuhan bagi orang-orang yang memiliki motivasi seperti ini, yang menjadikan pemberian mereka sebagai pameran rohani atau perbuatan dengan agenda-agenda dibelakangnya dengan berbagai tujuan selain karena Tuhan.

Lantas bagaimana seharusnya? Pertama, semuanya haruslah didasarkan kerinduan untuk memberkati orang lain atas dasar kasih. Lantas jangan lupa pula bahwa pemberian yang kita lakukan seharusnya tidak digembar-gemborkan, dipamerkan kepada orang apalagi dipublikasikan secara luas seperti yang sering kita lihat dalam infotainment-infotainment di berbagai stasiun televisi swasta. Perhatikanlah ada banyak yang mengundang wartawan ke rumah, atau bahkan meliput mereka ketika menyantuni anak yatim dan sejenisnya. Tidak jarang mereka bahkan menyebutkan berapa nilai yang mereka berikan. Ini adalah bentuk pameran rohani yang sangat tidak boleh kita tiru. Firman Tuhan jelas berkata: "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu." (ay 3). Dan, "hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (ay 4). Inilah pemberian yang bernilai di mata Tuhan.

"Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu". Perkataan ini diulang Yesus tiga kali seperti yang tertulis dalam Matius 6 untuk mengajarkan bagaimana kita harus melakukan tiga hal dalam ibadah kita, yaitu pemberian (ay 4), doa (ay 6) dan puasa (ay 18). Pemberian yang mendapat upah dari Tuhan adalah pemberian dalam ketulusan, dilakukan dengan hati yang murni, tanpa harus diketahui orang lain atau diumumkan. Tidak perlu orang lain melihatnya, karena Tuhan tahu dan akan memberkati apapun yang kita lakukan demi namaNya, termasuk perihal memberi ini. Karena itu penting bagi kita untuk cukup memberi dengan diam-diam, tidak pamer apalagi diumumkan agar Tuhan berkenan dan menurunkan tanganNya memberkati kita. Jika tidak, sia-sialah semuanya. Tidak peduli berapa besar nilainya, semua itu tidak akan bernilai apa-apa di mata Tuhan.

Pemazmur mengatakan "Mujur orang yang menaruh belas kasihan dan yang memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan sewajarnya. Sebab ia takkan goyah untuk selama-lamanya; orang benar itu akan diingat selama-lamanya." (Mazmur 112:5-6). Tapi ingat pula bahwa kita cukup memberi dengan keiklasan/kerelaan sesuai dengan kemampuan kita. Bukan besar kecilnya pemberian yang penting di mata Tuhan, tapi kerelaan dan ketulusan kita, itulah yang penting. "Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu." (2 Korintus 8:12). Kalau begitu, apakah kita akan berkekurangan kalau membantu orang lain? Alkitab berkata tidak. "Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan." (2 Korintus 9:8). Tuhan sudah berjanji bahwa kebiasaan memberi yang didasari ketulusan atas kasih akan membuat kita senantiasa berkecukupan dalam segala hal, bahkan akan berkelebihan agar kita bisa memberi terus dan terus lebih banyak lagi.

Saat kita memberi, apa yang menjadi motivasi kita? Apakah kita mengharapkan balasan? Apakah kita mengharapkan pujian, penghormatan atau kekaguman dari mereka yang diberi atau orang-orang yang mengetahui pemberian anda? Apakah kita memberi dengan agenda-agenda tertentu? Atau kita akan merasakan kebahagiaan saat kita bisa memberi, meski orang lain bahkan yang diberi sekalipun tidak tahu itu berasal dari pemberian kita? Yang jelas kita harus sampai pada suatu tingkatan dimana kita akan lebih berbahagia saat memberi daripada menerima. (Kisah Para Rasul 20:35). Itulah yang seharusnya dirasakan oleh murid-murid Kristus yang tulus tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan atau pujian ketika memberi. Sifat keinginan untuk dipuji, dikagumi, ingin terlihat lebih dari orang lain sesungguhnya adalah bagian dari kesombongan yang akan sangat berbahaya apabila terus dibiarkan ada dalam diri kita.

Memberi itu sungguh baik, itu adalah sebuah perbuatan mulia yang sangat berkenan di mata Tuhan, tetapi lakukanlah itu dengan motivasi yang benar seperti apa yang diajarkan Yesus, agar semua itu bisa menjadi berkat bagi banyak orang dan juga bagi kita sendiri.

Kita tidak akan menerima upah dari Tuhan jika kita mencarinya dari manusia

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, July 28, 2014

Yang Terbaik atau Sisa?

Ayat bacaan: Maleakhi 1:8
=======================
"Apabila kamu membawa seekor binatang buta untuk dipersembahkan, tidakkah itu jahat? Apabila kamu membawa binatang yang timpang dan sakit, tidakkah itu jahat? Cobalah menyampaikannya kepada bupatimu, apakah ia berkenan kepadamu, apalagi menyambut engkau dengan baik? firman TUHAN semesta alam."

Di belakang rumah saya terdapat perkampungan penduduk yang meriahnya bukan main kalau ada yang mengundang organ tunggal. Suatu kali saya iseng melihat langsung seperti apa suasananya disana, ternyata layaknya kebanyakan organ tunggal, apa yang terlihat disana sangatlah tidak mendidik, terutama bagi anak-anak. Ironisnya, ada begitu banyak anak-anak yang ikut melebur disana. Sebagian pria dewasa terus menyawer penyanyinya yang berusaha tampil seerotis mungkin agar dapat saweran. Wajah istri yang kesal melihat ulah suaminya lumayan banyak disana. Rata-rata mereka ini hidup susah, tapi lucunya mereka masih bisa memberi saweran lumayan besar. Toleransi memberi sesuatu memang seringkali mempunyai standarnya sendiri bagi setiap orang. Ada yang kalau memberi tip nominalnya besar supaya dilihat hebat, diingat oleh pramusajinya atau ada pula yang memberi karena genit. Tapi giliran ada pengemis kumuh dan kotor, mereka bukannya mengasih tapi malah marah. Memberi persepuluhan apakah harus tepat 10% atau seiklasnya, 10% sesudah atau sebelum dipotong pengeluaran masih menjadi perdebatan di kalangan anak Tuhan. Tapi giliran mentraktir teman dan hidup dalam lingkungan pertemanan yang wah, kalau perlu hutang pun jadi. Ada saja alasan yang bisa disampaikan. Ada yang pernah berkata kepada saya bahwa ia ragu kalau uangnya nanti diselewengkan oleh pengurus di gereja, tapi lucunya ia tidak berpikir seperti itu dalam mengeluarkan uang kepada hal-hal yang jelas-jelas tidak penting. Padahal apa urusannya bagi kita? Benar atau salah pemakaiannya itu menjadi tanggung jawab mereka, sedangkan tanggung jawab kita adalah memberi yang terbaik kepada Tuhan. Itu adalah dua hal yang berbeda yang tidak ada gunanya dicampur-adukkan.

Begitulah yang banyak terjadi di kalangan orang percaya. Semua orang yang mengharapkan berkat yang terbaik dari Tuhan, tapi ironisnya banyak yang hanya memberikan sisa-sisa kepada Tuhan. Itupun dengan rasa berat hati dan bersungut-sungut. Bukannya memberi dengan sukacita tapi malah dalam keadaan terpaksa dan merasa seperti dirampok. Bayangkan apabila kita melakukan hal seperti itu kepada ayah kita di dunia. Ayah baru boleh makan kalau kita sudah kenyang, tinggal sisa-sisa atau remah-remah, itupun kalau ia makan kita berikan tampang seperti tidak ikhlas, karena terpaksa saja supaya tetap hidup dan kita tidak disalahkan kalau ada apa-apa. Bukankah itu merupakan sikap durhaka? Kalau kepada ayah kita saja seperti itu, apalagi kepada Tuhan, Bapa Surgawi kita.

Dalam kitab Maleakhi kita bisa melihat bagaimana Tuhan sempat merasa muak dan murka ketika mendapat perlakuan yang tidak pantas dari umatNya. "Seorang anak menghormati bapanya dan seorang hamba menghormati tuannya. Jika Aku ini bapa, di manakah hormat yang kepada-Ku itu? Jika Aku ini tuan, di manakah takut yang kepada-Ku itu? firman TUHAN semesta alam kepada kamu, hai para imam yang menghina nama-Ku. Tetapi kamu berkata: "Dengan cara bagaimanakah kami menghina nama-Mu?" (Maleakhi 1:6). Jika kepada ayah kita saja kita harus bersikap hormat, tidakkah kita seharusnya lebih hormat lagi kepada Tuhan, pencipta segalanya termasuk diri kita? Dia menciptakan kita dengan begitu indahnya, lengkap dengan segala rancangan penuh damai sejahtera agar kita semua memiliki masa depan yang penuh harapan. (Yeremia 29:11). Bahkan Yesus Kristus, anakNya yang tunggal pun rela Dia berikan agar kita semua tidak lagi berakhir dalam kebinasaan melainkan bisa memperoleh hidup yang kekal. (Yohanes 3:16). Tapi sebagian orang tidak menghargai betapa besar kasih dan kebaikan Tuhan dalam hidup mereka. Bukannya bersyukur dan rindu untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan, mereka malah sibuk menimbang-nimbang neraca keuangan dan segala yang mereka miliki agar jangan sampai berkurang saat 'terpaksa' memberi kepada Tuhan supaya jangan masuk neraka, atau supaya usaha mereka lancar jaya jauh dari kebangkrutan. Wajar jika Tuhan marah besar melihat kelakuan seperti ini.

Kita bisa melihat apa yang memicu kemarahan Tuhan yang merasa diperlakukan tidak hormat ini dalam ayat selanjutnya dalam Maleakhi pasal 1. "Apabila kamu membawa seekor binatang buta untuk dipersembahkan, tidakkah itu jahat? Apabila kamu membawa binatang yang timpang dan sakit, tidakkah itu jahat? Cobalah menyampaikannya kepada bupatimu, apakah ia berkenan kepadamu, apalagi menyambut engkau dengan baik? firman TUHAN semesta alam." (Maleakhi 1:8). Perilaku seperti ini sangatlah tidak pantas, dan bagi Tuhan merupakan sebuah kecemaran bahkan penghinaan (ay 7). Begitu murkanya Tuhan terhadap sikap-sikap demikian, hingga Dia berkata "Terkutuklah penipu, yang mempunyai seekor binatang jantan di antara kawanan ternaknya, yang dinazarkannya, tetapi ia mempersembahkan binatang yang cacat kepada Tuhan. Sebab Aku ini Raja yang besar, firman TUHAN semesta alam, dan nama-Ku ditakuti di antara bangsa-bangsa." (ay 14). Sangat keras, dan itu wajar karena dengan berbuat demikian kita merendahkan Tuhan, yang seharusnya ditinggikan di atas segalanya.

Sikap seperti ini jelas tidak pantas untuk dilakukan. Tidak kepada orang yang kita hormati di dunia, apalagi kepada Tuhan semesta alam. Apalagi kalau kita melihat betapa banyaknya janji berkat, perlindungan bahkan keselamatan yang sudah diberikan Tuhan kepada kita manusia, yang ia ciptakan dalam posisi sebagai anak dan ahli warisNya. Salah satu firmanNya dalam Mazmur bunyinya seperti ini: "Tetapi umat-Ku akan Kuberi makan gandum yang terbaik dan dengan madu dari gunung batu Aku akan mengenyangkannya." (Mazmur 81:17). Janji berkat Tuhan lainnya dibeberkan panjang lebar dalam Ulangan 28:1-14. Tuhan jelas menjanjikan segala yang terbaik buat kita. Dia memberikan yang terbaik. Tapi bagaimana dengan kita? Jika kepada orang tua kita, dan kepada orang-orang yang kita hormati saja kita harus memberikan yang terbaik, bukan sesuatu yang asal-asalan atau malah sisa-sisa saja, tidakkah Allah jauh lebih layak untuk mendapatkan yang terbaik dari kita yang mengaku anak-anakNya? Hari ini mari kita renungkan, apakah selama ini kita sudah memberi apa yang terbaik dari kita untuk Tuhan? Atau kita masih mengedepankan neraca untung rugi, hitung-hitungan dalam pengukuran duniawi ketika hendak memberi untuk Tuhan? Apakah kita rindu untuk memberi yang terbaik atau kita malah memberi remah-remah atau sisa-sisa karena terpaksa? Have we offered Him nothing but the best of us, or are we still thinking of giving him just the left-overs? 

Persembahkan yang terbaik bagi Tuhan, sebab Dia layak menerimanya

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, July 27, 2014

Pesan Terakhir Yosua (2)

(sambungan)

Dalam hidup kita akan selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan dan akan selalu bertemu dengan saat-saat dimana kita harus mengambil keputusan demi keputusan. Tuhan sendiri tidak menciptakan kita sebagai robot-robot atau bagai boneka yang diikat dengan tali. Itu bukanlah kehendakNya, karena Dia ingin menciptakan kita menurut gambar dan rupaNya dengan kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik serta bijaksana, agar kita tampil bukan sebagai mahluk tak berjiwa tapi bisa menjadi anak-anakNya yang mampu berinteraksi secara intim denganNya. Tuhan memberikan kita kehendak bebas, dan disana jelas diperlukan kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan yang benar dalam setiap langkah. Apakah kita mau mendengar dan menuruti serta melakukan FirmanNya, sesuai dengan kehendakNya agar bisa menuai janji-janjiNya termasuk keselamatan yang telah Dia anugerahkan lewat Kristus atau kita memilih untuk mengabaikan semuanya dan lebih suka untuk masuk ke dalam tempat yang sangat berbanding terbalik dengan Surga yang penuh kemuliaan Tuhan.

Keputusan yang kita ambil akan berdampak pada langkah selanjutnya. Hidup sesungguhnya merupakan rangkaian sekuens yang saling tersambung satu sama lain. Secara garis besar ada dua pilihan yang bisa kita pilih, apakah berkat atau kutuk seperti dalam Ulangan 28. Ayat 1-14 berisi janji berkat, sementara ayat 15-46 berisi kutuk. Karena semuanya sudah dituliskan dengan terperinci, pilihan mana yang akan mengarah kepada salah satunya, dan apa saja yang akan terjadi apabila kita memilih satu diantaranya, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk mengatakan kita tidak tahu atau tidak peduli.

Rangkaian kotbah terakhir Musa sebelum digantikan Yosua pun mengingatkan: "Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan." (Ulangan 30:15). Lalu selanjutnya ia berpesan: "Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub..." (ay 19-20). Kelak Yosua pun mengingatkan lagi soal pilihan ini. "Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini." (Yosua 24:15a). Sekali lagi, life is full of choices and needs our ability to make good decisions. Tapi bagi Yosua dan keluarganya, beribadah kepada Tuhan merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Yosua mengambil pilihan itu. Itu tergambar dari seluruh perjalanan hidupnya dan itulah yang ia sampaikan sebagai kesaksiannya kepada bangsa Israel sebelum ia dipanggil Tuhan. "Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!" (ay 15b).

Berdasarkan pengalaman hidupnya, Yosua menyampaikan kunci keberhasilan dalam menjalani hidup. Ia sudah membuktikan sendiri bagaimana iman yang percaya penuh pada Tuhan mampu membawanya satu kemenangan kepada kemenangan lain. Ia sudah menunjukkan betapa hebatnya dikala Tuhan ada bersama kita, berdiri di pihak kita. Pesan terakhir merupakan sesuatu yang dianggap terpenting untuk disampaikan, dan Yosua menyampaikan hal yang sangat penting agar kita bisa menuai keberhasilan demi keberhasilan dalam hidup kita. Takutlah akan Tuhan, beribadahlah dengan tulus, ikhlas dan setia, dan jauhilah allah-allah lain, bukan saja terhadap kuasa-kuasa kegelapan yang menawarkan berbagai hal instan yang bisa terlihat seolah menjanjikan pertolongan, tetapi juga hal-hal duniawi yang sepintas terlihat memuaskan keinginan daging tapi mengarah kepada datangnya kebinasaan bagi kita. Yosua telah menyampaikan sebuah amanah yang akan membawa kita ke dalam kemenangan hingga garis akhir, tergantung kita apakah kita mau mendengarnya atau tidak.

Pesan terakhir Yosua berisi kunci yang membawa keberhasilan dalam hidup kita

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, July 26, 2014

Pesan Terakhir Yosua (1)

Ayat bacaan: Yosua 24:14
====================
"Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN."

Jika hidup tengah berada di saat-saat terakhir, biasanya orang akan menyampaikan pesan yang ia anggap terpenting karena ia tidak lagi punya waktu untuk berpesan panjang-panjang. Itulah sebabnya selama masih ada kesempatan, pesan terakhir dari orang sedang menjelang ajal menjadi sangat penting untuk diingat oleh pasangan, anak-anak atau anggota keluarga terdekat lainnya. Kakek saya meninggalkan pesan secara khusus kepada saya sebelum ia jatuh koma dan kemudian meninggal beberapa jam sesudahnya. Ia meminta saya untuk menjaga kerukunan keluarga besar dari ayah saya, mengingatkan meski banyak perbedaan disana, tapi semuanya harus tetap bersatu dan rukun. Ibu saya memberi pesan terakhir agar saya tetap akur dengan adik saya. Kedua pesan terakhir ini sampai hari ini masih saya pegang teguh sebagai amanah yang tidak boleh saya langgar, apapun alasannya. Mengapa? Karena saya menganggap pesan terakhir sebagai sesuatu yang dianggap sangat penting oleh kedua orang yang sangat saya sayangi ini.

Hari ini mari kita melihat pesan terakhir dari Yosua. Yosua punya sejarah hidup yang sangat menarik untuk disimak. Penuh warna, penuh petualangan dengan beragam pengalaman sejak masa mudanya yang akhirnya membentuk karakter Yosua secara luar biasa. Yosua pernah di utus sebagai satu dari selusin mata-mata yang dikirim untuk mengintai kondisi tanah yang dijanjikan Tuhan selama 40 hari. (Bilangan 13:8,16). Sekembalinya, ia adalah satu dari dua orang bersama Kaleb yang membawa hasil pengamatan positif, bukan berdasarkan apa yang ia lihat tapi semata-mata karena mempergunakan mata iman yang percaya kepada janji Tuhan. Ia juga pernah mengalami masa sebagai prajurit perang yang gagah berani menghadapi orang Amalek (Keluaran 17:8-16). Yang tidak kalah menariknya adalah saat Yosua masih muda sebagai abdi Musa, yang mengikuti kemanapun Musa pergi selama masa perjalanan di padang gurun. Pengalaman menariknya hadir pada suatu kali ketika ia menyertai Musa untuk bertemu dengan Tuhan di atas gunung Sinai. Bukan para tua-tua yang dibawa Musa ke atas, tetapi justru Yosua muda lah yang ia bawa. (Keluaran 24:12-14). Disana Yosua mengalami sebuah pengalaman yang luar biasa. Alkitab mencatat: "Dan TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya; kemudian kembalilah ia ke perkemahan. Tetapi abdinya, Yosua bin Nun, seorang yang masih muda, tidaklah meninggalkan kemah itu." (33:11). Mengapa Yosua? Saya yakin Tuhan sejak semula mempersiapkan Yosua untuk menerima tanggungjawab berat kelak menggantikan Musa. Menyaksikan kemuliaan Tuhan secara langsung seperti itu ternyata sangatlah berkesan baginya, sampai-sampai ia dikatakan tidak mau beranjak keluar dari kemah yang penuh hadirat Tuhan. Maka selanjutnya kita menyaksikan bahwa ia diangkat Tuhan untuk menggantikan Musa dan memimpin bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan. "Kepada Yosua bin Nun diberi-Nya perintah, firman-Nya: "Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkau akan membawa orang Israel ke negeri yang Kujanjikan dengan sumpah kepada mereka, dan Aku akan menyertai engkau."(Ulangan 31:23).

Petualangan yang panjang penuh pengalaman mengesankan mengisi buku sejarah hidup Yosua dengan sangat indah. Akhirnya dalam Yosua pasal 24 kita bertemu dengan Yosua di penghujung hidupnya. Saat itu ia sudah berumur lebih dari seratus tahun. Ia tahu bahwa sisa umurnya tidaklah lama lagi, maka ia menganggap bahwa saat untuk menyampaikan pesan terakhirnya pun sudah tiba. "Kemudian Yosua mengumpulkan semua suku orang Israel di Sikhem. Dipanggilnya para tua-tua orang Israel, para kepalanya, para hakimnya dan para pengatur pasukannya, lalu mereka berdiri di hadapan Allah." (Yosua 24:1). Sikhem merupakan tempat yang penuh makna bagi bangsa Israel baik dalam kisah Abraham, Yakub dan sebagainya. Maka tepatlah jika sebuah tempat yang bersejarah ini dipakai oleh Yosua untuk menyampaikan pesan terakhirnya sekaligus memperbaharui perjanjian antara bangsa Israel dengan Tuhan. Melihat sepak terjang Yosua sejak masa mudanya hingga di penghujung hidup, tentu ada banyak yang bisa diceritakan oleh Yosua sebagai pesan maupun peringatan bagi bangsa Israel bagaimana mereka harus hidup setelah ia mangkat. Ada begitu banyak pesan penting yang bisa ia sampaikan, tetapi sebagaimana pentingnya sebuah pesan terakhir, Yosua mengambil sebuah kalimat yang singkat sebagai rangkuman dari sejarahnya yang sangat berharga untuk dibagikan. Pengalaman yang membawa keteladanan dirangkum dalam satu kesimpulan untuk disampaikan sebagai amanah yang harus dicamkan oleh bangsa Israel. Inilah yang dikatakan Yosua. "Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN." (Yosua 24:14). Itulah bunyi pesan terakhir sebagai rangkuman atau kesimpulan dari segala pengalaman hidupnya.

Ada tiga pesan yang ia sampaikan yaitu:
1. Takutlah akan Tuhan,
2. beribadahlah kepada tuhan dengan (a). tulus, (b). iklas dan (c). setia, dan
3. jangan menyembah allah-allah lain melainkan kepada Tuhan saja.
Tiga pesan yang teramat penting hadir sebagai peringatan yang didasarkan pada pengalaman hidupnya yang luar biasa.

(bersambung)

Friday, July 25, 2014

Keragaman Karakter Manusia dan Amanat Agung (2)

(sambungan)

Kita bisa melihat sebuah contoh dari Paulus. Selama bertahun-tahun setelah pertobatannya Paulus terus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mewartakan kabar keselamatan. Perjalanan yang ia tempuh tidaklah pendek. Ia terus bergerak hingga menyentuh Asia Kecil sebelum akhirnya ia ditangkap dan dipenjarakan di Roma. Meski ia banyak mendapat hambatan dalam pelayanannya, Paulus kita kenal sebagai seorang yang teguh dan taat dalam menjalankan tugasnya. Ia sepenuhnya mengabdikan sisa hidupnya untuk memperluas Kerajaan Allah di muka bumi ini. Ia gigih berusaha menyentuh orang dengan pemberitaan Injil, bukan karena mencari aman buat dirinya sendiri melainkan karena peduli terhadap keselamatan orang lain dan rindu agar semakin banyak orang yang mengenal Yesus sehingga bisa diselamatkan pula bersama-sama dengannya.

Segala kesulitan yang dialami Paulus, ancaman, deraan, siksaan bahkan hukuman bagi banyak orang mungkin akan dianggap sebagai akhir dari pelayanan. Kesulitan akan membuat kita patah semangat dan menyerah. Kalau sudah ada tanda-tanda bakal sulit, kitapun cenderung mundur teratur atau berhenti seketika itu juga. Tapi Paulus punya cara pandang berbeda. Dia tidak memandang halangan sebagai akhir dari segalanya. Justru Paulus memandang keterbatasan-keterbatasannya bergerak sebagai sebuah kesempatan. Kemanapun ia pergi, apapun resiko yang ia hadapi, ia terus maju menjangkau banyak jiwa, meski jiwanya sendiri harus menjadi taruhannya.

Saat Paulus berada di Roma, ia dikawal dan diawasi oleh seorang prajurit. Tetapi untunglah ia masih diijinkan untuk menyewa sebuah rumah sendiri walaupun harus tetap hidup dalam pengawasan. "Setelah kami tiba di Roma, Paulus diperbolehkan tinggal dalam rumah sendiri bersama-sama seorang prajurit yang mengawalnya." (Kisah Para Rasul 28:16). Keterbatasan gerak sebagai tahanan rumah yang dialami Paulus ternyata tidak menghentikannya dalam melakukan pekerjaan Tuhan. Dalam beberapa ayat berikutnya kita bisa melihat ia tetap beraktivitas seperti sebelumnya. "Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya. Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus." (ay 30-31). Paulus tidak menutup diri dan tidak berhenti melayani. Ia membuka rumahnya seluas-luasnya bagi semua orang tanpa terkecuali. Apapun karakternya, sifatnya, gayanya, tingkahnya, Paulus terus dengan giat memberitakan tentang Kerajaan Allah dan Yesus Kristus agar mereka yang datang ke rumahnya turut mendapat anugerah keselamatan.

Ada begitu banyak roang di sekitar kita menunggu untuk dijangkau. Yesus sudah memanggil kita untuk menjadi saksiNya dan telah menganugerahkan Roh Kudus untuk turun atas kita demi panggilan tersebut. "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah Para Rasul 1:8). Tidaklah kebetulan kita berada di mana saat ini kita ada. Menjadi saksi baik di lingkungan terdekat kita dan terus bertumbuh hingga kita bisa menjadi saksi Kristus dalam sebuah lingkungan yang lebih besar, bahkan sampai ke ujung bumi tidaklah bisa kita lakukan jika kita terus memandang perbedaan sebagai alasan untuk menutup diri.

Sikap-sikap eksklusif, hanya mementingkan diri sendiri, tidak mau keluar dari comfort zone, tidak mau berkorban atau membagi sebagian dari yang kita punya, memilah-milah orang untuk dijangkau akan membuat kita sulit dalam menjalankan kewajiban kita sebagai murid Yesus. Kita semua memiliki tugas untuk membawa banyak orang memperoleh keselamatan, dan itu adalah tugas yang harus kita jalankan. Jangan menutup diri terlalu kaku, jangan terlalu cepat menghakimi, jangkaulah orang lain sebanyak-banyaknya, dan itu bukan harus selalu dengan berkotbah. Memberi pertolongan, menunjukkan kepedulian, atau bahkan memberi sedikit waktu saja bagi mereka untuk mendengarkan bisa menjadi sesuatu yang indah untuk mengenalkan bagaimana kasih Kristus mengalir melalui diri kita.

Nyatakan kasih kepada semua orang tanpa terkecuali

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, July 24, 2014

Keragaman Karakter Manusia dan Amanat Agung (1)

Ayat bacaan: Kisah Para Rasul 28:30
==========================
"Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya."

Dunia saat ini berisi milyaran jiwa. Kalau tahun 2012 saja jumlahnya sudah mencapai 7 milyar, saat ini entah sudah berapa jumlahnya. Sekiranya saat ini ada 8 milyar, berarti ada 8 milyar orang dengan sifat, gaya, tingkah, polah, sikap dan perilaku berbeda. Mungkin kita bisa mencari persamaan, tetapi tidak akan ada satupun yang persis sama. Kalau angka 8 milyar terdengar terlalu besar, lihatlah dalam lingkungan kerja, sekolah/kampus atau lingkungan sekitar rumah anda. Dalam skala yang jauh lebih kecil ini saja kita akan mendapati beragam orang dengan beragam gaya. Ada yang cocok dan bisa langsung dekat dengan kita, ada yang sifatnya sangat jauh berbeda sehingga sulit untuk didekati. Ada yang kita suka, ada yang biasa saja, ada yang kurang cocok dan ada yang kalau bisa kita hindari saja. Saat saya masih mengajar, setiap ada kelas baru saya bertemu dengan sekelompok orang dengan beragam sifat. Ada yang mudah diajar, ada yang tidak. Ada yang rajin, ada yang malas. Ada yang pendiam, ada yang heboh. Belum lagi kalau saya sudah mengenal mereka lebih dekat, maka masalah mereka pun tidak akan ada yang persis sama. Ada yang lamban menangkap pelajaran, ada yang cepat. Ada yang cepat tapi bermasalah dengan percaya diri, ada yang terlalu pede tapi salah melulu. Wah, macam-macam pokoknya karakter orang.

Anda bisa bayangkan ketika Yesus menyampaikan Amanat Agungnya yaitu bagi kita untuk pergi dan menjadikan semua bangsa muridNya seperti yang dicatat oleh Matius dalam pasal 28:19-20. Di lingkungan kecil saja kita sudah susah cocok dengan semua kalangan, bagaimana jadinya kalau kita menjalankan Amanat Agung Yesus hingga ke seluruh pelosok dunia? Anda bisa bayangkan skala yang lebih kecil saja, pendeta dan gembala. Domba yang dititipkan Tuhan menjadi tanggung jawab mereka berbeda-beda karakternya. Tugas mereka sulit, apalagi kalau berhadapan dengan orang-orang keras kepala/hati, bandel atau yang hobinya melawan. Saya pernah menanyakan hal itu kepada seorang gembala. Ia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa itu merupakan panggilan dan ia harus menjalaninya dengan hati hamba. Tidak ada orang yang sulit, katanya, karena kasih tidak pernah gagal. Apa yang ia katakan mengacu kepada ayat dalam 1 Korintus 13:8. Menjalaninya mungkin tidak semudah itu, tapi dengan memiliki hati hamba, menghadapi mereka yang berbeda-beda dengan kerendahan hati dan kasih Allah yang mengalir dalam diri, itu akan memampukan kita. Sebuah hati yang tidak lagi mementingkan diri sendiri, sudah melepaskan ke'aku'an, berorientasi melayani atas dasar kasih akan membuat kita memiliki pandangan yang berbeda dalam menghadapi orang-orang yang beragam karakter atau sifatnya.

Keragaman manusia merupakan rahmat Tuhan yang luar biasa dan seharusnya tidak dijadikan penghalang atau penghambat kita untuk maju, demikian pula untuk menjalankan Amanat Agung. Tuhan menciptakan manusia dengan penuh keragaman. Banyak orang yang memandang perbedaan itu sebagai berkat Tuhan yang patut disyukuri, ada pula yang memandangnya sebagai alasan untuk menjauh, atau bahkan menghujat. Ada orang yang bisa melihat perbedaan sebagai sesuatu yang bisa dijadikan kesempatan untuk belajar banyak, ada yang menyikapinya dengan sekat pembatas karena menganggap perbedaan sebagai sebuah ancaman. Jangankan dengan yang tidak seiman, dengan saudara seiman saja perbedaan masih sering disikapi secara negatif. Berbeda denominasi bisa membuat orang saling memandang sinis satu sama lain. Padahal seharusnya kita tidak boleh berlaku demikian.

Semua anak-anak Tuhan punya tugas dan kapasitasnya masing-masing, terlepas dari perbedaan tata cara peribadatan masing-masing. Dan kita pun memiliki tugasnya sendiri-sendiri juga. Paulus mengatakannya seperti ini: "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:4-5). Jika diantara kita saja sudah saling tuding dan merendahkan, bagaimana mungkin kita bisa menunaikan tugas kita seperti Amanat Agung yang sudah dipesankan Yesus kepada setiap muridNya, termasuk kita didalamnya?

(bersambung)

Wednesday, July 23, 2014

Yosia, Raja Belia (2)

(sambungan)

Anak muda belia menjadi raja sejak kecil. Ia berdiri di tampuk kekuasaan tertinggi, memegang kendali atas negerinya. Semua orang menghormati dan melayaninya, sebagai raja ia pasti tidak berkekurangan. Bagaimana mungkin ia bisa tetap hidup lurus, tidak menyimpang ke kanan dan ke kiri dan terus melakukan hal-hal yang benar? Saya yakin Yosia mengerti bahwa meski ia memegang jabatan sebagai seorang raja, tetapi ia tahu bahwa ada Raja yang lebih tinggi dari dia yang harus ia patuhi, seperti halnya bapa leluhurnya Daud. Dia memang raja yang memerintah rakyatnya, tapi ada otoritas yang jauh lebih tinggi di atasnya yang kepadaNya ia harus menundukkan diri. Tanpa pemikiran seperti itu rasanya sulit seorang anak muda bisa tampil benar dan hidup dengan/dalam kebenaran saat sedang punya kuasa tinggi di dunia. Jangankan anak muda yang jadi raja, lihatlah orang-orang dewasa yang kekuasaannya jauh lebih rendah tapi tidak malu menunjukkan perilaku-perilaku yang sangat bertentangan dengan ketetapan Tuhan. Korupsi, kesombongan, gaya hidup mewah, besar omong, gemar berbohong, banyak gaya, semua mereka pertontonkan di depan masyarakat tanpa ada sedikitpun rasa malu. Yosia memberikan sebuah keteladanan yang sangat luar biasa, yang tentunya akan berguna bagi perbaikan diri kita apabila sudah terlanjur jatuh, dan akan sangat bermanfaat pula bagi para anak muda yang baru mulai membangun hidupnya secara benar.

Bagi teman-teman yang masih berusia muda belia, mulailah hidup lurus dari sekarang. Jangan menunda lagi dan terus terlena dalam gaya hidup dan nafsu dunia anak muda di jaman modern seperti sekarang ini yang penuh dengan berbagai bentuk penyesatan. Ada begitu banyak tawaran dan godaan yang akan terlihat menyenangkan tetapi sesungguhnya sangat berbahaya untuk dicoba. Obat-obatan, pengaruh seks bebas, berbagai pesta yang penuh perilaku buruk hingga tindak-tindak kriminal, semua itu merupakan godaan-godaan yang bisa menyesatkan bahkan membinasakan sejak di usia muda. Jangan pernah buka celah bagi iblis untuk masuk, karena iblis tidak pernah peduli berapapun usia kita.

Kepada Timotius yang juga pada saat itu masih muda, Paulus pun memberi sebuah pesan yang sama yang baik untuk diingat oleh teman-teman yang masih muda. "Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni." (2 Timotius 2:22).

Kita tidak tahu berapa panjang umur kita. Kita pun tidak tahu kapan akhir jaman akan datang. "Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa saja." (Markus 13:32). Tidak satupun juga yang tahu kapan masa dan kesempatan hidup kita di dunia ini akan berakhir. Jika kita tidak bersiap sejak sekarang, bisa jadi penyesalan akan datang pada saat yang terlambat. Seperti Yosia, jadilah teladan sejak muda. Begitu pula bagi kita semua yang mungkin sedang berada pada posisi pemimpin, jadilah pemimpin yang mencerminkan keteladanan Kristus. Jangan salah gunakan posisi yang dipercayakan Tuhan pada diri anda saat ini, tapi muliakanlah Tuhan dengan itu. Didik dan bimbinglah anggota anda dengan jujur dan lurus. Demikian pula anak-anak yang sudah dipercayakan Tuhan kepada anda. Bimbinglah mereka menurut jalanNya. "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." (Amsal 22:6). Sebagai orang tua, jadilah pahlawan dengan "busur panah" yang baik untuk mengarahkan "anak-anak panah" anda ke arah yang benar, seperti yang diingatkan dalam Mazmur 127:4. Jika anda masih baru mulai menata hidup, tatalah dengan sebuah tatanan menurut ketetapan Allah sejak semula agar anda tidak perlu membuang waktu kelak untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terlanjur terjadi. Mari kita semua mulai mengambil komitmen untuk hidup lurus, benar di mata Tuhan tanpa memandang berapapun umur kita saat ini.

Berapapun umur kita, hiduplah sesuai firman dan jadilah saksi Kristus yang benar

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, July 22, 2014

Yosia, Raja Belia (1)

Ayat bacaan: 2 Tawarikh 34:2
=======================
"Ia melakukan apa yang benar di mata TUHAN dan hidup seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri."

Apakah ada umur minimal untuk kita mulai hidup benar? Jawabannya pasti tidak, tapi pada prakteknya banyak orang yang masih bersantai-santai menikmati kehidupan dengan cara dan perilaku keliru karena merasa masih punya banyak waktu. "Ah nanti saja, selagi masih muda nikmati dulu saja." begitu kira-kira. Bahkan ada iklan yang menyampaikan pesannya dengan jargon 'puasin muda lo." Puaskan dengan cara bagaimana? Itu yang jadi pertanyaan. Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah dengan hidup benar berarti kita tidak akan pernah bisa menikmati kehidupan baik saat masih muda maupun bagi kita yang sudah dewasa dengan asyik? Can we still able to have some fun by doing everything the right way? Dari anak-anak muda yang aktif melayani Tuhan saya melihat bahwa mereka masih tetap bisa bermain bersama teman-temannya tanpa harus kehilangan kegembiraan sedikitpun. Tidak harus minum-minum, tidak harus bergaya hidup hedonisme, tidak harus melakukan hal-hal yang mengarah kepada tindakan asusila, kriminal, merugikan orang lain dan sebagainya. Status kita sebagai anak Raja berlaku di segala usia, karenanya di segala usia pula kita seharusnya bisa menjalani hidup selayaknya anak Raja dengan kasih Kristus sebagai pondasinya. Muda tapi bisa berprestasi, bahkan sudah bisa ambil bagian dalam hal perbuatan baik yang merupakan aplikasi nyata dari kasih pun sudah bisa dilakukan sejak usia belia.

Mengenai sosok yang sudah bersinar di usia belia, ada seorang raja muda yang dicatat dalam kitab 2 Tawarkih bernama Yosia. Yosia dinobatkan menjadi raja di Yerusalem pada usia yang masih sangat muda yaitu sejak ia masih berumur 8 tahun! Masa pemerintahannya terbilang lama mencapai 31 tahun. Betapa mengagumkan kalau kita melihat bahwa Yosia tercatat memiliki gaya hidup yang lurus sejak kecil. "Ia melakukan apa yang benar di mata TUHAN dan hidup seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri." (2 Tawarikh 34:2). Di ayat berikut kita baca seperti berikut "Pada tahun kedelapan dari pemerintahannya, ketika ia masih muda belia, ia mulai mencari Allah Daud, bapa leluhurnya, dan pada tahun kedua belas ia mulai mentahirkan Yehuda dan Yerusalem dari pada bukit-bukit pengorbanan, tiang-tiang berhala, patung-patung pahatan dan patung-patung tuangan." (ay 3). Pada usia kedelapan dari pemerintahannya, berarti usia Yosia masih 16 tahun ketika ia memutuskan untuk mencari Tuhan. Ini usia yang masih terbilang sangat muda.

Kalau kita lihat ada banyak anak-anak di usia sama masih tidak peduli dengan kebenaran dan merasa tidak perlu mencari Tuhan, maka Yosia terbilang berbeda. Apalagi mengingat statusnya sebagai raja, agenda kegiatannya pasti sangat padat. Selain itu memiliki kekuasaan tertinggi juga bisa membuat orang merasa berhak melakukan apa saja sekehendak hatinya. Kita yang dewasa yang logikanya lebih bijaksana saja masih gampang tergiur dalam berbagai bentuk dosa ketika kita memiliki kekuasaan setinggi itu. Tetapi ternyata Yosia memiliki gaya hidup yang berbeda meski ia punya seribu satu macam alasan untuk hidup seenaknya demi kepuasan diri sendiri. Yosia berbeda dari banyak raja lainnya yang gaya hidupnya tidak berkenan bagi Tuhan.

Pada tahun ke dua belas, ini artinya 4 tahun kemudian saat ia berusia 20 tahun, Yosua sudah mulai mentahirkan Yehuda dan Yerusalem dari berbagai bentuk penyembahan berhala. "Mezbah-mezbah para Baal dirobohkan di hadapannya; ia menghancurkan pedupaan-pedupaan yang ada di atasnya; ia meremukkan dan menghancurluluhkan tiang-tiang berhala, patung-patung pahatan dan patung-patung tuangan, dan menghamburkannya ke atas kuburan orang-orang yang mempersembahkan korban kepada berhala-berhala itu." (ay 4). Pada usia yang masih sangat muda, Yosia sudah berperilaku lurus dan tidak menyimpang kemana-mana, ia mempergunakan statusnya sebagai raja dengan benar, dan tidak menyalahgunakan jabatan yang ia pegang. Di usia mudanya Yosia menjadi pelopor dalam pergerakan reformasi rohani di wilayah pemerintahannya. Bukankah itu luar biasa?


(bersambung)

Monday, July 21, 2014

Ciri Anak Raja (2)

(sambungan)

3. Mengasihi Allah
"Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah." (1 Korintus 8:3)
Anak-anak Allah adalah orang-orang yang hidup dalam kasih. Apapun yang ia perbuat adalah karena dan untuk Tuhan, bukan karena ingin populer, ingin terlihat hebat maupun jenis-jenis motivasi lainnya selain untuk Tuhan. Sibuk melakukan pekerjaan Tuhan belum tentu menjamin seseorang dikenal Tuhan apabila semua itu dilakukan bukan karena mengasihi Allah. (Matius 7:21-23). Anak-anak Allah juga dikatakan sebagai orang yang mengasihi Allah serta melakukan perintahNya sebagai wujud kasih itu. (1 Yohanes 5:2-3). Dan tentunya kalau kita mengasihi Allah, kita pun akan menuruti segala perintahNya. (Yohanes 14:15).

4. Taat kepada Allah
"Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih." (Efesus 5:1-8)
Sebagai kelanjutan dari ciri ke 3, orang yang mengasihi Allah tentu akan bertumbuh sebagai orang yang taat, mematuhi ketetapan-ketetapanNya. Ketaatan tidak bisa dimulai jika kita tidak mengenal pribadi Allah. Oleh karena itu kita perlu mengenal siapa Allah itu sesungguhnya, bagaimana besar kasihNya dan betapa kita berharga di mataNya. Untuk mengenalnya kita perlu membaca, merenungkan firman-firman Tuhan, membangun sebuah hubungan yang erat dengan Tuhan lewat doa-doa dan persekutuan pribadi kita denganNya. Tapi jangan berhenti di situ, karena setelahnya kita harus pula menjadi pelaku-pelaku firman yang mengaplikasikan segala yang telah kita pelajari ke dalam kehidupan lewat perbuatan-perbuatan nyata. "Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya."(Yakobus 1:25).  Dalam 1 Yohanes 5:2-3 di atas kita melihat juga bahwa anak-anak Allah itu adalah orang yang dengan taat melakukan firmanNya sebagai pernyataan kasih kita kepadaNya.

5. Hidup dalam terang
"Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang," (Efesus 5:8). Sebelum bertobat kita hidup dalam kegelapan. Tapi setelah kita meninggalkan manusia lama kita dan lahir kembali sebagai ciptaan baru, kitapun beroleh terang dalam Tuhan. Oleh sebab itu kita dituntut untuk hidup sebagai anak-anak terang, dan inilah salah satu ciri yang dimiliki anak Allah. Menjadi anak terang berarti menjadi orang yang berbuah kebaikan, keadilan dan kebenaran dalam hidupnya. (ay 9).

Berpindah dari gelap ke dalam terang, dari bukan siapa-siapa menjadi anak Raja, itu anugerah Tuhan yang sangat besar yang Dia berikan kepada kita. Dan dengan demikian kita pun menjadi ahli waris Allah. "Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah." (Galatia 4:7). Apakah kita sudah memiliki ciri-ciri sebagai anak Allah seperti ke 5 point diatas? Marilah kita sama-sama bersyukur dan menjaga anugerah begitu besar yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Hiduplah sebagai anak-anak Allah yang sesungguhnya.

Aku anak Raja, engkau anak Raja, kita semua anak Raja

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, July 20, 2014

Ciri Anak Raja (1)

Ayat bacaan: Roma 8:17
====================
"Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia."

Bagi anda yang pernah sekolah minggu ketika masih kecil, anda tentu mengenal lagu "Aku Anak Raja". Lagunya sangat sederhana sehingga tidak sulit dicerna anak-anak. Bagi yang sudah dewasa mungkin lagu ini terasa terlalu ringan, tetapi makna yang terkandung di dalamnya sesungguhnya sangat penting bagi orang dewasa sekalipun. Lagu ini mengingatkan kita akan status yang kita sandang. We are not a nobody but we are the children of the King of kings. Sebagai anak kita seharusnya mewarisi sifat Bapa dan sedikit banyak akan berdampak pada nama baikNya. Layaknya seorang pangeran, jika pangeran itu berbudi dan mengasihi, maka harum pula nama ayahnya, sang raja. Sebaliknya, meskipun raja baik tapi pangeran punya perilaku buruk, maka nama ayahnya pun akan turut tercoreng.

Status kita sebagai anak berarti pula bahwa kita adalah ahli waris, yang artinya kita dilayakkan untuk menerima berkat-berkat yang telah disediakan Allah sebagai Bapa. "Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia." (Roma 8:17). Status sebagai anak tidaklah main-main. Itu adalah sebuah kehormatan besar yang seharusnya kita jaga. Jika kita bisa bangga menjadi anak dari orang tua kita, apalagi menjadi anak Allah. Tapi sayangnya banyak orang yang tidak memperhitungkan anugerah Tuhan yang begitu luar biasa besarnya ini. Hari ini saya ingin mengajak anda untuk merenungkan sudah sejauh mana kita berlaku selayaknya anak Raja, alias anak Allah. Apakah apa yang kita lakukan sudah memuliakan Tuhan, sehingga orang bisa mendapatkan gambaran Kristus yang benar seutuhnya, atau malah kita terus menjadi batu sandungan sehingga Kristus pun menjadi tercoreng karena sikap kita yang tidak baik.

Agar kita bisa mencermati sampai sejauh mana kita sudah berdiri sebagai anak Raja, ada beberapa ciri yang bisa kita jadikan landasan seperti yang tertulis di dalam Alkitab. Apa saja cirinya?  Mari kita lihat satu persatu.

1. Dipimpin Roh Allah
"Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah....Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah." (Roma 8:14,16).
Anak-anak Allah adalah orang-orang  yang hidupnya dipimpin langsung oleh Roh Allah. Inilah Roh yang dijanjikan Tuhan Yesus sebagai Penolong untuk menyertai kita selama-lamanya seperti yang disebutkan dalam Yohanes 14:16. Artinya kehidupan anak-anak Allah adalah sebuah kehidupan yang selalu disertai oleh Roh Kudus dalam setiap perbuatan dan perilaku sehari-hari. Roh Kudus diberikan kepada siapapun yang menjadi anak Allah yang sejati. "Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (Galatia 4:6). Hidup yang dipimpin Roh Allah akan mendasari keputusan-keputusannya dalam kebenaran, mengacu kepada ketetapan firman Tuhan. Hidup seperti ini tidak lagi berpusat pada diri sendiri tetapi diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Apabila kita masih gamang dalam melangkah, tidak bertanya kepada Tuhan sebelum mengambil keputusan-keputusan, jika kita masih hidup menurut pandangan dunia, mentolerir dosa, mendahulukan keinginan daging, itu artinya kita belumlah hidup sebagai anak Allah, meski sudah mengaku beriman kepada Kristus sekalipun.

2. Dibaptis dalam nama Yesus Kristus
"Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus." (Galatia 3:26-27).
Memberi diri dibaptis adalah sebuah langkah ketaatan dalam iman akan Kristus. Mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, dan merupakan lambang menenggelamkan (meninggalkan) hidup kita yang lama untuk kemudian lahir baru, menjadi ciptaan yang sama sekali baru. Predikat anak Allah diberikan Tuhan kepada kita ketika kita memberi diri dibaptis dalam Kristus, yang artinya mengijinkan Kristus bertahta dan berkuasa dalam hidup kita.

(bersambung)

Saturday, July 19, 2014

Anak Raja Hati Hamba

Ayat bacaan: Matius 20:26
=====================
"Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu; dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu"

Seperti apa rasanya menjadi anak raja? Kita tentu membayangkan akses bebas keluar masuk istana, hidup penuh kemewahan, tidak ada yang berani melawan, punya kuasa besar yang mungkin hanya raja yang bisa melebihi dan sebagainya. Dalam banyak kasus, anak-anak petinggi negara seolah kebal hukum. Jangankan anak raja, anak menteri saja kalau sudah melanggar hukum dan/atau mencelakakan orang tidak ada aparat yang berani menangkap. Hari ini diberitakan, besok menguap entah kemana. Tidak heran kalau banyak dari anak-anak petinggi ini kemudian menjadi arogan, punya gaya hidup mewah dan merasa berhak berbuat seenaknya. Perilaku ini yang agaknya diadopsi oleh banyak anak-anak Tuhan, termasuk yang melayani sekalipun. Mengaku hamba Tuhan, mengaku terlibat dalam pelayanan, tapi perilakunya masih sangat duniawi. Iri hati, dengki, sombong, kasar masih saja menjadi penyakit yang menjangkiti banyak pelayan Tuhan di mana-mana. Bisa jadi mereka yang seperti ini keliru mengartikan nilai-nilai kasih menurut iman mereka, mungkin mereka lupa diri karena berada pada posisi lebih tinggi dibanding orang biasa. Atau mungkin juga, mereka menyalah artikan status. Bingung menyikapi posisi antara hamba Tuhan dan anak Raja. Kebingungan bisa timbul kalau kita mengadopsi prinsip-prinsip pemahaman dunia tentang status seseorang, tetapi sesungguhnya itu tidaklah sulit kalau kita mengacu kepada firman Tuhan. Menjadi anak Raja bukan berarti kita bisa berlaku seenaknya, bukan berarti kita bisa tinggi hati, tetapi justru harus punya hati bagai seorang hamba.

Mari kita lihat perikop dalam Matius 20:20-28. Pada suatu hari datanglah ibu dari anak-anak Zebedeus bersama kedua anaknya, yaitu Yakobus dan Yohanes, yang keduanya diberi Yesus julukan Boanerges atau anak-anak guruh. (Markus 3:17). Kedatangan sang ibu saat itu adalah untuk memohon kepada Yesus agar kedua anaknya bisa beroleh kedudukan yang baik kelak di Kerajaan surga. Ini adalah hal wajar yang dilakukan seorang ibu terhadap anak-anaknya. "Kata Yesus: "Apa yang kaukehendaki?" Jawabnya: "Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." (Matius 20:21). Mendengar ucapan ibu ini, Yesus lalu menjawab: "Kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?" (ay 22a). Yesus ternyata menjawab dengan mengacu kepada kesanggupan mereka untuk menderita dalam mengikuti Kristus, turut memikul salib, turut minum dari cawan penderitaan yang harus Dia minum. Ini sejalan dengan pesan Kristus bahwa siapapun yang mau mengikuti Kristus haruslah siap untuk menyangkal dirinya sendiri dan memikul salib. (Markus 8:34,Lukas 9:23). Sebab, "Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku." (Matius 10:38).

Setelah Yohanes dan Yakobus menyatakan kesanggupannya, Yesus lalu menegaskan bahwa perihal siapa yang duduk di kiri dan kanan Kristus itu bukanlah hakNya, tapi merupakan hak Tuhan sepenuhnya. (ay 23). Meski demikian, Yesus menyampaikan sebuah hal penting. Yesus berkata, "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu" (ay 26-27). Para pemerintah di dunia merasa punya otoritas absolut sehingga bisa menindas rakyatnya dengan tangan besi, menjalankan kekuasaan dengan keras bahkan kejam, tetapi menyandang predikat sebagai murid Yesus tidaklah berarti bahwa kita berhak seperti itu. Yesus menegaskan bahwa untuk mencapai posisi yang baik, seseorang haruslah rela menjadi pelayan dan memiliki hati seorang hamba. Sebab, "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (ay 28).

Status yang kita sandang adalah anak Raja, berhak sebagai ahli waris yang artinya menerima janji-janji Allah. Itu disebutkan dalam Roma 8:17. Tapi jangan lupa bahwa seperti yang dikatakan Yesus di atas, status anak Raja kita bukan berarti kita boleh tinggi hati melainkan harus memiliki hati hamba. Saya suka menyebut status ini sebagai anak Raja berhati hamba.

Jika kita ingin besar dan terdepan di antara pengikut-pengikut Kristus, kita bukannya harus meninggikan diri kita dalam kekuasaan, tapi justru kita harus semakin merendahkan diri kita hingga menjadi seorang pelayan dan hamba. Petrus dikemudian hari mengingatkan kembali tentang hal ini, "Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya" (1 Petrus 5:6). The only way up is by going down. If we humble ourself under God, He's promised that He will exalt us in due time. Dunia tidak mengenal hal inni, tapi inilah prinsip Kerajaan Surga. Kita anak-anak Tuhan menyandang status sebagai anak Raja, anak dari Raja diatas segala raja. Tapi Kerajaan Surga tidaklah seperti kerajaan di dunia, dimana siapa mereka bisa berkuasa secara absolut sesuka hatinya karena punya kuasa untuk itu. Dalam Kerajaan surga justru kita diminta untuk memiliki kerendahan hati, mau melayani orang lain yang paling hina sekalipun dengan sebentuk hati seorang hamba.

 Memiliki hati hamba dan kerendahan hati untuk melayani berarti pula bahwa kita harus melakukannya dengan penuh kasih, yang menjadi dasar kekristenan. Paulus mengingatkan hal ini: "Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!" (1 Korintus 16:14). Seperti apa bentuk kasih itu? "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.a menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." (1 Korintus 13:4-7). Inilah bentuk kerendahan hati yang harus dimiliki seorang hamba yang mengabdi kepada Tuhan.

Tidak ada syarat lain untuk mengabdi kepada Tuhan di KerajaanNya selain rela untuk menjadikan diri kita sebagai pelayan yang merendahkan diri di bawah tangan Tuhan dan menjalankan semuanya berdasarkan kasih Bapa surgawi. It's not about how high we rise, but it's about how low we go down. Sudahkah kita memiliki sikap anak Raja yang benar menurut Kerajaan Allah, yaitu sikap yang melayani dengan hati hamba?

Pelayan yang baik akan mendahulukan kehendak tuannya ketimbang kepentingan diri sendiri

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, July 18, 2014

The Good Samaritan (2)

Siapa orang Samaria? Dalam Yohanes 4:9 tentang perempuan Samaria, ada catatan kecil mengenai orang Samaria. "(Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.)". Orang Samaria memiliki sejarah peseteruan yang panjang dengan bangsa Yahudi. Mereka menyembah allah lain dan dimusuhi oleh orang Yahudi. Tapi perhatikan, orang Samaria ini bergegas menolong orang Yahudi, meskipun dengan resiko ia akan dibenci oleh orang yang ditolongnya. Tapi dia tidak peduli. Hatinya tergerak oleh belas kasihan, dan ia melakukan tindakan nyata dengan langsung bergerak memberi pertolongan tanpa memandang apa agamanya, apa sukunya, siapa orang itu. Yang ia tahu adalah, ada orang sedang sekarat, butuh pertolongan, dan ia bisa melakukan sesuatu!

Menjadi orang Kristen saja tidaklah cukup. Menjadi hamba Tuhan, diaken, pelayan-pelayan Tuhan, itu pun belum cukup. Tuhan Yesus sudah mengingatkan bahwa sebagai muridNya kita harus menghasilkan buah-buah sesuai pertobatan kita. (Matius 3:8). Bagi orang Kristen yang tidak memiliki buah yang baik, yang sesuai dengan pertobatan diberikan peringatan yang sangat keras dan tegas. "Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api." (ay 10). Atau lihat ayat berikut: "Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api." (7:19).

Ayat-ayat ini adalah yang tidak main-main. Sebagai pengikut Kristus, kita dituntut untuk memiliki buah-buah yang baik, agar kita tidak berakhir ke dalam api untuk sebuah masa yang kekal. Imam dan orang Lewi adalah hamba-hamba Tuhan, tapi mereka tidak menunjukkan buah yang baik. Iman yang mereka sandang tidak diikuti dengan tindakan nyata. Kalau orang Samaria saja bisa menunjukkan belas kasih, alangkah keterlaluannya jika kita malah cuek, berpangku tangan dan diam saja tanpa tergerak untuk menyatakan kasih Kristus kepada sesama. Bukankah hal ini benar-benar terjadi di sekitar kita bahkan sampai hari ini?

Apa yang kita lakukan untuk saudara kita yang paling hina sekalipun, artinya kita melakukannya untuk Yesus. (Matius 25:40). Yesus juga mengingatkan demikian: "Jawabnya: "Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian." (Lukas 3:11).

Mengasihi sesama manusia, seperti diri sendiri, tanpa memandang suku, ras, agama, budaya, golongan, itulah yang diajarkan Kristus. Bukan hanya tidak boleh membenci, tapi malah kita harus siap menolong siapapun yang kekurangan dan menderita, tanpa melihat latar belakang orang tersebut, tidak pilih-pilih seperti apa yang diwajibkan oleh pengajaran di luar sana. Menjadi orang yang taat beribadah itu baik, menjadi hamba Tuhan itu baik, tetapi yang lebih penting adalah keseriusan kita mengamalkan itu semua dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu jalannya adalah dengan siap menolong siapapun disekitar kita yang membutuhkan, apapun latar belakangnya.

Yesus menunjukkan bahwa kenyang memahami isi Alkitab tidak menjamin orang akan mampu mengasihi sesama. Malah banyak orang yang kemudian menyombongkan diri dan merasa lebih rohani dibanding yang lain. Lewat perumpamaan ini kita bisa belajar bahwa apa yang dimaksud Yesus dengan mengasihi sesama itu sangat luas. Bukan hanya kepada sahabat-sahabat, atau saudara seiman saja, tapi tanpa perbedaan latar belakang, layak atau tidak, teman atau musuh sekalipun, mereka semua haruslah kita kasihi. Berat? Mungkin itu yang dirasakan imam dan orang Lewi, tapi tidak bagi orang Samaria. Jika orang Samaria saja sanggup, mengapa kita tidak?

Hasilkanlah buah sesuai pertobatan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, July 17, 2014

The Good Samaritan (1)

Ayat bacaan: Lukas 10:33
========================
"Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan."

Untuk apa kita melayani? Ada banyak yang mengira bahwa melayani menjamin datangnya keselamatan kepada mereka. Seorang teman saya pernah mengatakan bahwa ia terjun melayani di gereja karena mencari keselamatan dan supaya diberkati Tuhan dengan kekayaan. Ini tentu konsep yang sangat keliru. Melayani Tuhan tentu saja baik. Melayani pun tidak selalu harus dilakukan di gereja karena di luar tembok-tembok gereja pun kita bisa melakukan pelayanan sesuai panggilan kita dengan menggunakan talenta-talenta yang telah Tuhan sediakan. Tapi sekedar melayani tidak akan pernah cukup untuk menjaga agar keselamatan tidak menjauh dari kita. Atau dalam skala yang lebih luas, sekedar mendapat cap Kristen tidak serta merta membuat kita selamat. Ingatlah bahwa firman Tuhan sudah berkata bahwa "Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati." (Yakobus 2:17). Mungkin orang kemudian bisa berkata, "bukankah melayani itu adalah bentuk dari perbuatan?" Benar, tapi pelayanan yang tidak didasari motivasi yang benar akan membuat semua yang dikerjakan tidak berjalan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh iman kita akan Kristus. Melayani tapi sombong, kasar, atau mencari keuntungan-keuntungan sendiri, itu sama sekali bertentangan dengan prinsip kasih yang merupakan esensi dasar kekristenan. Kalau begitu, meski melayani, tapi kalau motivasinya keliru, itu berarti kita belum mewujudkan iman kita ke dalam bentuk-bentuk perbuatan nyata. Artinya iman yang kita miliki adalah mati, dan karenanya iman semacam ini tidaklah mendatangkan keselamatan. (ay 14).

Sangat menarik apabila kita melihat contoh yang diberikan Yakobus. "Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?" (ay 15-16). Contoh ini berbicara mengenai sikap orang percaya yang tidak melakukan tindakan nyata untuk menjawab panggilan dari hatinya. Hanya bicara tapi tidak ada tindakan nyata apapun disana, apa gunanya? Alangkah ironis apabila orang-orang percaya yang katanya punya kasih Kristus dalam diri mereka masih saja terjebak dalam perilaku-perilaku seperti ini. Yesus sudah mengantisipasi kemungkinan penyimpangan perilaku ini sejak jauh hari, seperti yang bisa kita lihat dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati.

Kisah orang Samaria yang murah hati dicatat dalam Lukas 10:25-37. Yesus memulai ceritanya seperti berikut: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati." (Lukas 10:30). Dalam keadaan sekarat, orang itu ditinggalkan begitu saja di tengah jalan, sementara harta bendanya dirampas oleh perampok-perampok itu.

Lalu lewatlah seorang imam disana. "Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan." (ay 31). Ada imam yang lewat dan melihat orang yang sedang sekarat di depannya. Bukannya menolong tapi si imam malah bergegas melewatinya. Mungkin sang imam takut tersangkut masalah kalau menolong, mungkin dia merasa tugasnya hanya berkotbah dan bukan mengurusi orang sekarat, atau mungkin dia sedang buru-buru hendak kotbah atau malah buru-buru hendak pulang karena merasa capai sehabis melayani. Yang jelas ia tidak melakukan apa-apa. Ia malah pindah jalur dan dengan enteng meneruskan perjalanannya.

Selanjutnya lewatlah orang Lewi. "Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan." (ay 32). Siapa orang Lewi? Jika kita melihat kitab Perjanjian Lama, kita akan melihat bahwa orang Lewi berbicara tentang pelayan-pelayan dan hamba Tuhan. Kalau di jaman sekarang, orang Lewi berbicara tentang orang-orang Kristen yang melayani. Tapi sama seperti sang imam, ia pun pindah jalur dan hanya melewati saja tanpa berbuat apa-apa. Mungkin dia terburu-buru karena takut terlambat pelayanan, mungkin dia takut ditegur oleh gembalanya, mungkin dia tidak mau terlibat, atau alasan lain.

Akhirnya lewatlah orang Samaria. "Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali."(ay 33-35).

(bersambung)

Wednesday, July 16, 2014

Sikap sebagai Pelayan Tuhan

Ayat bacaan: 1 Korintus 9:19
========================
"Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang."

"Saya beruntung punya pemimpin yang ramah terhadap bawahannya, senang bercanda dan kalaupun menegur caranya halus banget.." kata seorang teman saya yang baru saja pindah kerja ke sebuah perusahaan lain. Ia lega karena sebelumnya ia bekerja di bawah pimpinan yang otoriter, kasar, suka membentak dan gemar menyelewengkan uang perusahaan. Kalau ia bisa bertahan terhadap perilaku kasar pimpinannya, ia terpaksa harus keluar karena tidak mau ikut-ikutan korupsi ramai-ramai seperti beberapa rekan kerjanya yang lain. Sosok pemimpin seperti ini mewakili banyak pemimpin lainnya yang silau kekuasaan dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Lucunya, para hamba atau pelayan Tuhan pun banyak yang punya perilaku sama seperti ini. Lihatlah sebuah contoh dari teman saya lainnya yang tasnya digeser pakai kaki oleh salah seorang pengurus gereja. Saat ia berkata bahwa tindakan seperti itu tidak baik, ia malah dibentak. "Lalu kamu mau apa? Saya yang kepala di sini, tahu?!" Kalau kita bicara soal kasih yang menjadi inti dasar kekristenan, sikap seperti ini tentu sama sekali tidak layak untuk disandang orang percaya, apalagi pelayan Tuhan. Dan kalau bicara soal pelayan atau hamba, tentu hal ini pun sangat ironis. Namanya melayani dan hamba tentu harusnya rendah hati, sabar dan sopan, bukan angkuh, sok kuasa dan otoriter. Tidak bisa dipungkiri, di kalangan gereja sekalipun terjadi pergeseran nilai-nilai karena terpengaruh bentuk dunia. Namanya saja gereja, namanya saja pelayan, tapi sikapnya sama saja seperti preman di luar sana, atau malah lebih buruk dari itu.

Hari ini mari kita kembali melihat bagaimana sikap Paulus sebagai seorang hamba Tuhan. Meski ia berada pada sebuah posisi penting dalam pewartaan Injil ke seluruh belahan dunia, ia tidak menjadi lupa diri dan menganggap penting dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ia hanyalah satu dari setiap orang percaya yang telah disematkan tugas untuk mengemban Amanat Agung. "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:19-20). Paulus tahu bahwa itu adalah landasan dari pelayanannya, karenanya tidak ada satupun yang layak untuk disombongkan. Ia tidak punya alasan agar bisa sombong dan membangggakan dirinya dalam menjalankan pelayanan. Karena itulah dalam berbagai kesempatan kita bisa melihat bagaimana Paulus menunjukkan keteladanan sebagai hamba Tuhan. Ia bisa mencerminkan pribadi Yesus sendiri yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani bahkan memberikan nyawaNya demi keselamatan semua orang.

Yesus berkata "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:26b-28). Bukan orang-orang sombong yang lupa diri atas kekuasaan atau otoritas yang mereka sandang, tapi orang-orang yang punya hati hamba, yang mau turun ke bawah melayani, seperti itulah yang Tuhan cari. Paulus melakukan hal itu dalam pelayanannya. Ada kalanya ia harus tegas dalam mewartakan injil, tapi tidak keras apalagi kasar dan sok kuasa. Ia selalu berusaha menyesuaikan diri agar dapat diterima dengan tangan terbuka dan dengan demikian terus memiliki kesempatan untuk dapat memberitakan Injil kemanapun ia pergi. Hal tersebut ia katakan dengan sangat jelas. "Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang." (1 Korintus 9:19). Menjadikan dirinya hamba dari semua orang, ini menunjukkan keteladanan dari pengajaran Yesus. Dalam kesempatan lain Yesus pernah menengahi perdebatan di antara murid-muridNya mengenai siapa yang teresar diantara mereka lewat ucapan seperti ini: "Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar." (Lukas 9:48b). Seperti halnya Paulus, Yohanes Pembaptis pun menerapkan hal yang sama. "Kamu sendiri dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah berkata: Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya...Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil." (Yohanes 3:28,30). Di balik kerendahan hati kitalah kita bisa meninggikan kemuliaan Tuhan di muka bumi ini. Sikap arogan, cemburu, iri hati, kasar, angkuh dan sebagainya dari pelayan-pelayan Tuhan tidak akan membawa manfaat apapun. Tidak bagi orang lain, tidak pula bagi diri sendiri. Bukannya mewartakan kabar keselamatan, orang akan semakin keliru dalam mengenal Yesus dan kebenaran yang Dia bawa. Bukannya jadi terang dan garam tapi malah jadi batu sandungan. Alih-alih menyelamatkan banyak jiwa, jiwa sendiri justru terancam tidak selamat.

Paulus selalu membuka dirinya untuk berhubungan baik kepada setiap orang tanpa terkecuali. Tapi meskipun demikian, ia tidak berkompromi dengan cara-cara hidup yang mengarah pada dosa. Ia tidak mau terpengaruh kepada keinginan-keinginan daging melainkan terus mengarahkan pandangannya ke depan, untuk memperoleh panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus. Kepada Timotius ia pun berpesan: "Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." (2 Timotius 4:2). Inilah pesan penting yang harus selalu kita ingat pula. Dalam kondisi apapun, siap sedialah untuk mewartakan Firman Tuhan. Namun dalam melakukannya hendaklah kita memiliki kesabaran. Menjadikan diri sebagai hamba, memiliki sikap rendah hati dalam melayani akan menjadi awal yang sangat baik untuk melayani. Sebaliknya dengan silau akan kekuasaan dan jabatan, merasa berhak untuk sombong kalau sudah menyandang sebuah status, itu sama sekali bukan bentuk orang-orang yang melayani menurut sistem Kerajaan Allah.

Kerendahan hati, keramahan dan kesabaran merupakan sikap dasar yang harus dimiliki semua orang percaya termasuk yang melayani. Jauhkanlah diri kita dari berbagai sikap negatif. Jika anda punya posisi dalam struktural gereja, anda harus benar-benar mewaspadai setiap sikap buruk yang mungkin muncul karena semuanya akan terang benderang terlihat oleh orang. Lebih daripada itu, Tuhan yang selalu melihat hati pun akan tahu apa fokus dan motivasi kita dalam melakukannya. Kita tidak boleh terjatuh pada sikap tinggi hati atau sombong, melainkan teruslah hidup dengan melayani dengan hati hamba untuk Tuhan. Belajarlah dari cara Paulus dalam melakukan misi pelayanannya terutama teladani bagaimana sikap Yesus saat hadir di dunia ini. Selama para hamba dan pelayan Tuhan masih ada yang berperilaku buruk, jangan harap kita bisa melihat transformasi terjadi atas bangsa-bangsa.

Sikap sabar, rendah hati dan ramah merupakan kunci penting dalam memenangkan banyak jiwa

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, July 15, 2014

Marta dan Maria

Ayat bacaan: Lukas 10:39
=====================
"Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya"

Alkisah seorang anak yang terus melayani ayahnya dengan rajin. Setiap ayahnya pulang kerja ia menyiapkan segelas kopi hangat, camilan kesukaan sang ayah dan koran. Ia terus sibuk memastikan ayahnya bisa melepas lelah dengan nyaman, termasuk merapikan ruang tamu agar ayahnya bisa dengan santai menonton televisi. Beberapa kali si ayah memanggil anaknya agar duduk disana bersamanya, tapi anak ini seolah tidak punya waktu untuk itu dan terus menyediakan bermacam-macam hal yang ia anggap bisa menyenangkan hati ayahnya. Si ayah kemudian datang menghampirinya. Sambil tersenyum ayah berkata: "Nak, ayah senang kamu sudah bersusah-payah melakukan hal-hal yang baik untuk ayah, tapi ayah akan jauh lebih senang kalau kamu mau berhenti sejenak dan duduk ngobrol sama ayah. Ada banyak yang ingin ayah sampaikan kepadamu, pengalaman-pengalaman ayah, nasihat dan sebagainya yang ayah yakin bisa membantumu untuk menjadi orang yang berhasil dan berintegritas. Selain itu, kamu harus tahu bahwa tidak ada yang lebih menyenangkan hati ayah selain menikmati kebersamaan denganmu."

Ilustrasi sederhana di atas sedikit banyak menggambarkan hati Bapa. Ada banyak orang yang salah kaprah mengira bahwa mereka harus sibuk melayani. Semakin terlihat sibuk, semakin baik pula mereka pastinya di mata Allah. Tidak jarang pula orang berpikir untuk 'menyogok' Allah lewat aktivitas pelayanan mereka. Lewat kesibukan melayani, mereka berpikir bahwa mereka akan memperoleh keistimewaan, pasti akan jauh dari masalah dan akan melimpahi mereka harta kekayaan di dunia. Usaha tidak akan bangkrut, hidup tidak akan kurang tapi melimpah, dan memperoleh jalan tol menuju surga lebih daripada orang lain. Ada banyak orang yang aktif melayani tapi tidak paham terhadap firman-firman Tuhan. Mereka hidup dengan gaya dunia, termasuk rentan terhadap perasaan-perasaan negatif seperti takut, gelisah, kuatir, juga sifat-sifat yang buruk seperti mudah curiga, menghakimi, menuduh, berburuk sangka, ketus, egois, merasa paling benar, mau menang sendiri dan lain-lain. Ini sebuah konsep yang sangat keliru, karena lewat kisah Yesus berkunjung ke rumah Marta dan Maria kita bisa melihat bahwa bukan kesibukan melayani yang membuat Tuhan senang, tetapi justru kerinduan kita untuk duduk di kakiNya dan mendengar perkataanNya.

Ketika Yesus datang berkunjung, kedua wanita ini memberi reaksi berbeda dalam menyikapi sebuah kehormatan menerima Tuhan datang ke rumahnya. Reaksi yang timbul dari Marta sepertinya mewakili kebanyakan orang. Jika ada seorang pemimpin negara datang ke rumah anda, bagaimana reaksi anda? Rata-rata orang akan segera sibuk-sibuk bergerak melayani dan memberikan yang terbaik yang mereka miliki agar tamu istimewa itu betah dan nyaman disana. Kalau kedatangan pemimpin negara saja bisa membuat kita repot bukan main, ini yang datang Raja diatas segala raja. Tentu kita akan jauh lebih sibuk lagi mondar mandir kesana kemari memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik. Seperti itulah yang dilakukan Marta. Mendapat kunjungan dari Yesus, Marta langsung sibuk melayani. Ia ingin menunjukkan bahwa ia sangat menghargai kunjungan Yesus lewat cara menyediakan segala hal yang dia anggap akan menyenangkan hati Yesus. Marta melakukan itu, tapi tidak dengan Maria. Ia ternyata punya pemikiran yang beda. Ia tahu bahwa kedatangan Yesus secara pribadi ke rumahnya tidak terjadi setiap hari, bahkan mungkin tidak akan terulang lagi. Itu sebuah kesempatan yang sangat istimewa yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, karena ada banyak yang bisa ia dapatkan dengan mendengar langsung dari Yesus sendiri. Maka Maria memutuskan untuk duduk diam di dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataanNya.

Melihat Maria seperti itu, Marta menganggap Maria malas karena tidak membantunya dalam melayani. Ia bahkan meminta Yesus mengingatkan Maria untuk membantunya. Tapi ternyata Yesus malah menegurnya dengan halus. Kata Yesus, "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Lukas 10:41-42).

Banyak orang yang terjerbak pada motivasi keliru dalam melayani. Mereka mengira bisa mendapat berbagai keistimewaan termasuk jaminan keselamatan dengan berusaha melayani sesibuk mungkin. Ada pula yang melayani demi popularitas diri sendiri dan bentuk-bentuk mencuri apa yang menjadi hak Tuhan lainnya, Semua ini merupakan motivasi keliru yang hanya akan sia-sia saja. Benar kita wajib menjadi saluran berkat dan wajib pula melayani Tuhan, tetapi jangan lupa bahwa yang terpenting adalah menyisakan cukup waktu untuk duduk berdiam di kakiNya dan merasakan betapa Tuhan begitu dekat dan begitu mengasihi kita. Kita harus tahu kapan kita harus diam, mengambil momen khusus untuk bersekutu denganNya, menikmati hadirat Tuhan yang kudus dan membangun kedekatan hubungan yang erat dengan Tuhan seperti layaknya antara ayah dan anak. Hanya sibuk melayani tapi lupa membangun hubungan secara pribadi dengan Tuhan akan membuat kita menjauh dari kebenaran. Kita tidak mengenal pribadi Bapa sesungguhnya, tidak mendengar suaraNya, pesan-pesan, nasihat-nasihat dan teguran-teguranNya, merasa asing dengan kebenaran firmanNya dan itu tentu akan sangat merugikan bahkan berbahaya bagi kita dalam menjalani kehidupan. Kehilangan fokus dan motivasi dalam melayani, salah menyusun prioritas dan rentan untuk terjebak pada banyak perbuatan dosa akan menjadi akibat apabila kita memiliki persepsi salah akan hal ini.

Sebuah pelajaran penting bisa kita petik dari kisah kedatangan Yesus ke rumah Marta dan Maria, yaitu bahwa lebih dari segala pelayanan yang kita lakukan, Tuhan merindukan waktu-waktu yang kita ambil secara khusus untuk datang kepadaNya dengan telinga yang siap mendengar dan hati yang siap menerima. Kita bisa saja sibuk bekerja, bersosialisasi, bermain, belajar dan sebagainya, termasuk melayani, tapi jangan abaikan pentingnya menginjak rem dari kesibukan kita lalu mempergunakan waktu tersebut untuk duduk diam di kaki Tuhan, menyatakan betapa kita mengasihiNya dan bersyukur atas segala yang telah Dia sediakan bagi kita. Disana kita bisa merasakan kasihNya yang begitu damai, mendengar suaraNya menyampaikan hal-hal yang ingin Dia katakan pada kita, menikmati persekutuan pribadi yang indah dengan Bapa. Yesus sendiri sudah mengatakan bahwa inilah bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari kita.

Tuhan rindu menikmati saat-saat teduh bersama anak-anakNya, Tuhan rindu memeluk anak-anakNya, berbicara dengan kita, dan itu tidak akan terjadi jika kita tidak tahu kapan saatnya menghentikan ritme kesibukan kita sehari-hari. Tuhan tidak pernah terlelap, tidak pernah lengah menjaga kita, dan sangat tahu apa yang kita butuhkan. Dia mengerti segala pergumulan kita dan Dia akan selalu siap menjadi sumber pertolongan. Tapi yang menjadi masalah, apakah kita sudah tahu apa yang paling menyenangkan hati Bapa? Apakah kita peduli akan hal itu, atau masih menganggap Tuhan sebagai bodyguard, provider uang, pertolongan dan sebagainya, yang hanya kita datangi saat kita butuh sesuatu? Apakah kita masih berpikir bahwa jumlah pelayanan akan menentukan posisi kita di mata Tuhan? Saatnya bagi kita untuk duduk diam dan mendengar apa yang hendak Tuhan nyatakan dalam hidup kita. Duduk di kakiNya, memandang wajahNya dan mendengar suaraNya, itulah bagian yang terbaik yang tidak akan diambil dari kita.

Berikan waktu terbaik untuk duduk diam di kakiNya, memandang wajahNya dan mendengar suaraNya

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Kacang Lupa Kulit (5)

 (sambungan) Kapok kah mereka? Ternyata tidak. Bukan sekali dua kali bangsa ini melupakan Tuhannya. Kita melihat dalam banyak kesempatan mer...