Ayat bacaan: Roma 1:17
===============
"Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman."
Apa yang kita butuhkan untuk bisa bertahan hidup? Kebutuhan primer yaitu sandang, pangan dan papan (tempat tinggal) mungkin akan menjadi jawaban kita. Itu memang kebutuhan yang paling mendasar yang akan menjadi ukuran apakah kita sudah hidup dengan layak atau tidak. Karena itulah maka ketiganya disebut sebagai kebutuhan yang primer, yang utama. Bisakah anda membayangkan hidup tanpa makan? Atau tidak punya baju, lalu tidak punya tempat tinggal? Meski mungkin kita bisa bertahan hidup dengan menumpang, tetapi kita tidak bisa selamanya menumpang di rumah orang lain. Tetapi selain ketiga hal ini, Alkitab menyebutkan satu hal lain yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan menjadi ukuran dari kehidupan seperti apa yang kita jalani dalam status kita sebagai orang percaya. Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa ternyata kebutuhan primer saja tidaklah cukup untuk hidup sebagai orang benar. Untuk sekedar hidup di dunia mungkin ya, tetapi untuk dapat hidup sebagai orang benar, nanti dulu. Alkitab mengatakan ada satu hal lagi yang dibutuhkan untuk hidup sebagai orang benar. Dan itu adalah iman.
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma nengatakan: "Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman." (Roma 1:17). Ia menyampaikan sebuah pesan penting agar mereka, dan juga kita hidup oleh iman. Apa artinya hidup oleh iman ini? Tanpa iman, maka saya tidak akan hidup. Itu jelas. Tetapi apa yang digambarkan sebagai iman bukanlah berbicara hanya sekedar selamat dari lubang jarum saja. Benar, kita selamat oleh kasih karunia Allah, tapi lihatlah bahwa iman sangatlah berperan di dalamnya. "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah." (Efesus 2:8). Tuhan memberi kasih karuniaNya untuk menyelamatkan kita, tetapi semua akan sangat tergantung dengan iman yang ada pada kita. Iman akan sangat menentukan bagi keselamatan kita kelak, tetapi untuk di dunia pun iman akan sangat menentukan seperti apa hidup yang kita jalani. Orang benar, itu hidup oleh iman. Artinya iman sangat menentukan langkah orang untuk menjadi orang benar.
Iman bukan hanya berarti sekedar menerima Yesus, and that's it. Titik. kita tidak perlu berbuat apa-apa lagi. Yang penting saya menerima Yesus, bagaimana saya hidup itu lain soal. Hidup boleh seenaknya, tidak perlu memperhatikan atau mengasihi orang lain, terus diombang-ambingkan rasa takut atau kuatir. Bukan seperti itu. Lewat Paulus kita bisa mendapatkan bambaran yang jelas bahwa iman akan sangat berperan dan harus ada dalam setiap sisi kehidupan kita sehari-hari. Kata "hidup" dalam Roma 1:17 di atas mengacu kepada sebuah proses, daya, atau kekuatan yang berkelanjutan yang harus ada untuk menopang hidup kita. Dengan demikian, kapan, bagaimana dan dimanapun kita harus hidup oleh iman. Ketika bekerja, belajar, berbelanja, bertetangga, berteman, saat kita mengambil keputusan, hingga disaat-saat kesabaran kita diuji, mendapat perlakuan tidak adil atau ketika kita mulai kehilangan kesabaran, iman akan menentukan bagi kita. Iman memberi hidup bagi kita, iman akan sangat penting apakah kita hidup sebagai orang benar atau tidak.
Ambil satu contoh yang sederhana saja. Apakah kita bisa tidur dengan nyenyak dengan rasa damai di malam hari atau kita kerap gelisah, tidak bisa tidur karena takut dalam menghadapi sesuatu? Apakah rasa damai sukacita ada dalam diri kita ketika kita berhadapan dengan orang lain, termasuk orang-orang yang sangat sulit dan selalu memancing emosi sekalipun, atau kita terus membiarkan diri kita dikuasai emosi? Dalam contoh tidur itu, kita bisa melihat bagaimana hasil iman yang bekerja dalam diri orang benar lewat kata-kata Daud berikut: "Aku membaringkan diri, lalu tidur; aku bangun, sebab TUHAN menopang aku!" (Mazmur 3:6). Seperti itulah iman bekerja dalam kehidupan sehari-hari kita. Artinya, iman bukan hanya sekedar berbicara mengenai sekedar lolos dari neraka dan masuk surga saja. Tidak. Kualitas hidup akan sangat tergantung dari seberapa jauh iman bekerja dalam diri kita. Bacalah ilustrasi tentang para saksi iman dalam Ibrani 11:1-40 dan kita bisa mendapat gambaran yang lebih jelas. Ada banyak tokoh-tokoh yang bisa menjadi teladan tentang bagaimana kita hidup. Penulis Ibrani sudah menuliskan begitu banyak contoh orang-orang yang hidup lewat iman lalu berhasil mencapai hidup yang berkemenangan dengan iman mereka. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1), begitulah Penulis Ibrani memulai uraiannya tentang para saksi iman ini. Sebuah defenisi iman yang seharusnya mampu mengubah setiap sendi kehidupan kita, termasuk didalamnya bagaimana cara kita memandang hidup dan masa depan kita.
Iman seharusnya berada dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam setiap hal yang kita lakukan, putuskan atau jalani. Sebuah kualitas hidup orang benar sesungguhnya sangatlah ditentukan oleh seberapa besar iman mengisi hidup mereka. Apakah kehidupan yang penuh ketakutan, kebimbangan atau hidup yang dipenuhi damai sukacita tanpa tergantung situasi yang tengah dihadapi, apakah hidup dengan sikap positif atau mudah berburuk sangka, apakah hidup dengan ketulusan dalam mengasihi atau pamrih, semua akan bermula dari iman seperti apa yang ada dalam diri kita. Kebutuhan primer bisa menjamin hidup setiap orang, tetapi jika ingin hidup berkualitas sebagai orang benar, maka tidak bisa tidak, itu haruslah bersumber kepada iman. Orang benar, kata Firman Tuhan, itu hidup oleh iman. Sebaliknya orang yang tidak mengindahkan itu akan menjadi orang-orang yang tidak disenangi Tuhan. "Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya." (Ibrani 10:38). Jika ada yang bertanya dari mana iman itu bisa timbul, maka Paulus mengatakan pada ayat sebelum ayat bacaan kita hari ini: "Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani." (Roma 1:16), atau ingat pula bahwa "..iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (10:17). Dimana letak kita hari ini? Seperti apa iman yang ada di dalam hidup kita? Mari pastikan bahwa iman tengah memimpin kita dalam setiap sisi kehidupan, karena orang benar itu hidup oleh iman.
Iman timbul dari pendengaran firman Kristus, dan orang benar akan hidup oleh iman
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, April 30, 2011
Friday, April 29, 2011
Di Puncak Gunung
Ayat bacaan: Habakuk 3:19
=================
"ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku."
Seorang teman yang hobi mendaki gunung bercerita tentang pengalaman-pengelamannya dalam mendaki bersama klub pecinta alamnya. Ia berverita bahwa proses mendaki itu begitu melelahkan dan berat. Oksigen bisa tipis sekali di ketinggian sehingga bernafas bisa menjadi sangat sulit. Jalan yang dituju mendaki, berbatu-batu dan terkadang sangat terjal, belum lagi terkadang harus memanjat dan harus siap menghadapi banyak resiko binatang buas dalam perjalanan. Sama sekali tidak mudah untuk bisa mencapai puncak gunung katanya. Bagi orang yang memiliki masalah dengan pernafasan seperti asma atau rasa takut akan ketinggian, mendaki gunung sedikit saja sekalipun bisa jadi hal yang tersulit untuk dilakukan. Tetapi ia kemudian berkata, begitu sampai ke puncak gunung, pemandangan yang luar biasa indah membuat semua kesulitan itu tidak lagi berasa apa-apa. "Begitu menakjubkan..pesonanya luar biasa, dan itu tidak dilihat oleh semua orang. Hanya yang mau bersusah payah mendakilah yang bisa menikmatinya." katanya bangga. Di puncak gunung ia lupa akan kesusahan mendaki dan segala sakit yang ia rasakan. Di puncak gunung ia melihat sebuah keindahan yang tidak dilihat oleh semua orang. Di puncak gunung, ia bisa merasakan kemuliaan Tuhan, bahkan mungkin memandang dari sebuah jarak pandang atas seperti apa yang dilihat Tuhan ketika Dia memandang ciptaan-ciptaanNya di dunia ini.
Sebuah pelajaran saya dapatkan dari ceritanya, yaitu jika kita tidak mendaki gunung, maka kita tidak akan bisa merasakan pengalaman yang luar biasa, tidak akan bisa menikmati sebuah pemandangan yang sangat langka yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Apa maksudnya? Saya berpikir bahwa dalam perjalanan hidup kita, ada kalanya kita akan berhadapan dengan bukit-bukit terjal, jalan berbatu-batu yang akan sangat sakit untuk kita jalani. Kita bisa memilih apakah tetap ditempat tanpa mau berjalan melewatinya, atau kita mencoba sedikit lalu mundur, atau malah mengelak. Tetapi seperti apa yang dialami oleh teman saya, hanya yang mampu bertahan dan dengan semangat pantang mundurlah yang akan mampu berdiri tegak di atas bukit merasakan kemuliaan Tuhan. Kabar baiknya, Tuhan siap membantu kita untuk itu. Yang diperlukan hanyalah kemauan dan kesediaan kita, serta sejauh mana kita bisa percaya kepada Tuhan bahwa Dia akan menuntun kita melewati jalan-jalan yang sulit itu untuk akhirnya kelak sampai di atas bukit.
Lihatlah Firman Tuhan dalam Habakuk. "ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku." (Habakuk 3:19) Sebuah ayat yang kurang lebih sama bisa kita dapatkan dalam Mazmur. "Allah, Dialah yang mengikat pinggangku dengan keperkasaan dan membuat jalanku rata; yang membuat kakiku seperti kaki rusa dan membuat aku berdiri di bukit." (Mazmur 18:34). Mengandalkan kemampuan kita yang terbatas, cepat atau lambat kita akan menyerah dalam berjuang melewati jalan terjal dan berbatu-batu. Tapi lihatlah bahwa Tuhan selalu siap menyediakan pertolongan. Tuhan mampu membuat kaki-kaki kita menjadi lincah seperti rusa yang mampu melewati atau melompati jalan-jalan berbatu dan terjal untuk sampai ke puncak gunung. Tuhan mau kita naik lebih tinggi mengatasi masalah dan keluar menjadi pemenang, merasakan keindahan, kemurahan dan kemuliaanNya yang semua telah tersedia di atas sana.
Dalam Yesaya dikatakan di tempat tinggi itulah rumah Tuhan akan berdiri tegak, bukan terhuyung-huyung dan mudah jatuh ketika diterpa badai. "Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah TUHAN akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem." (Yesaya 2:2-3).Lihatlah bahwa berada di tempat tinggi di atas bukit menjanjikan sebuah tempat dimana masalah tidak lagi mampu menyulitkan kita. Rumah Tuhan atau Bait Allah berbicara mengenai diri kita sendiri, seperti yang tertulis dalam 1 Korintus 3:16. Disana kita bisa melihat bahwa Tuhan menyediakan pertolongan untuk memampukan kaki kita menjadi lincah, melompat melewati berbagai masalah dan berdiri tegak di atas gunung menikmati segala kemuliaanNya.
Firman Tuhan mengajarkan kita bahwa ujian-ujian yang berat jika kita sikapi dengan benar akan mampu membuat iman kita bertumbuh dan naik lebih tinggi lagi. Paulus mengatakan: "Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." (Roma 5:3-5). Firman Tuhan mengingatkan kita agar jangan menjadi lemah ketika mengalami kesengsaraan, ketika berjalan di jalan berbatu tajam dan terjal. Kita diingatkan agar tidak putus asa, dan terus bertekun, karena jika kita ingin memenangkan ujian, kita harus bisa melepaskan segala yang merintangi kita dan dosa-dosa yang menjerat kita. Penulis Ibrani berkata: "Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita." (Ibrani 12:1). Lalu serahkan semuanya kepada Tuhan. Dia siap membuat kaki-kaki kita menjadi lincah agar sanggup melompati bebatuan hingga sampai ke puncak gunung. Disana kita bisa tetap tegar meski digoyang masalah seberat apapun. Masalah mungkin akan tetap ada, tetapi di puncak itu kita akan berada lebih tinggi dari masalah. Segala sakit dan beban selama perjalanan yang ditempuh akan sirna begitu kita menyaksikan keindahan kemuliaan Tuhan. Tuhan siap menolong kita untuk itu, sudahkah kita mempercayakan langkah kita kepadaNya? Sudahkah kita memiliki niat yang teguh untuk naik lebih tinggi lagi? Sekarang saatnya bagi kita untuk mendaki dengan bantuan Tuhan. Kelak ketika kita berada lebih tinggi dari kesengsaraan, kita tidak akan gampang lagi digoyang oleh masalah apapun. Disanalah kita bisa berkata: "Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku." (Habakuk 3:17-18)
Tuhan siap membantu kita menjadi lincah hingga mampu berdiri tegak di atas bukit
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=================
"ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku."
Seorang teman yang hobi mendaki gunung bercerita tentang pengalaman-pengelamannya dalam mendaki bersama klub pecinta alamnya. Ia berverita bahwa proses mendaki itu begitu melelahkan dan berat. Oksigen bisa tipis sekali di ketinggian sehingga bernafas bisa menjadi sangat sulit. Jalan yang dituju mendaki, berbatu-batu dan terkadang sangat terjal, belum lagi terkadang harus memanjat dan harus siap menghadapi banyak resiko binatang buas dalam perjalanan. Sama sekali tidak mudah untuk bisa mencapai puncak gunung katanya. Bagi orang yang memiliki masalah dengan pernafasan seperti asma atau rasa takut akan ketinggian, mendaki gunung sedikit saja sekalipun bisa jadi hal yang tersulit untuk dilakukan. Tetapi ia kemudian berkata, begitu sampai ke puncak gunung, pemandangan yang luar biasa indah membuat semua kesulitan itu tidak lagi berasa apa-apa. "Begitu menakjubkan..pesonanya luar biasa, dan itu tidak dilihat oleh semua orang. Hanya yang mau bersusah payah mendakilah yang bisa menikmatinya." katanya bangga. Di puncak gunung ia lupa akan kesusahan mendaki dan segala sakit yang ia rasakan. Di puncak gunung ia melihat sebuah keindahan yang tidak dilihat oleh semua orang. Di puncak gunung, ia bisa merasakan kemuliaan Tuhan, bahkan mungkin memandang dari sebuah jarak pandang atas seperti apa yang dilihat Tuhan ketika Dia memandang ciptaan-ciptaanNya di dunia ini.
Sebuah pelajaran saya dapatkan dari ceritanya, yaitu jika kita tidak mendaki gunung, maka kita tidak akan bisa merasakan pengalaman yang luar biasa, tidak akan bisa menikmati sebuah pemandangan yang sangat langka yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Apa maksudnya? Saya berpikir bahwa dalam perjalanan hidup kita, ada kalanya kita akan berhadapan dengan bukit-bukit terjal, jalan berbatu-batu yang akan sangat sakit untuk kita jalani. Kita bisa memilih apakah tetap ditempat tanpa mau berjalan melewatinya, atau kita mencoba sedikit lalu mundur, atau malah mengelak. Tetapi seperti apa yang dialami oleh teman saya, hanya yang mampu bertahan dan dengan semangat pantang mundurlah yang akan mampu berdiri tegak di atas bukit merasakan kemuliaan Tuhan. Kabar baiknya, Tuhan siap membantu kita untuk itu. Yang diperlukan hanyalah kemauan dan kesediaan kita, serta sejauh mana kita bisa percaya kepada Tuhan bahwa Dia akan menuntun kita melewati jalan-jalan yang sulit itu untuk akhirnya kelak sampai di atas bukit.
Lihatlah Firman Tuhan dalam Habakuk. "ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku." (Habakuk 3:19) Sebuah ayat yang kurang lebih sama bisa kita dapatkan dalam Mazmur. "Allah, Dialah yang mengikat pinggangku dengan keperkasaan dan membuat jalanku rata; yang membuat kakiku seperti kaki rusa dan membuat aku berdiri di bukit." (Mazmur 18:34). Mengandalkan kemampuan kita yang terbatas, cepat atau lambat kita akan menyerah dalam berjuang melewati jalan terjal dan berbatu-batu. Tapi lihatlah bahwa Tuhan selalu siap menyediakan pertolongan. Tuhan mampu membuat kaki-kaki kita menjadi lincah seperti rusa yang mampu melewati atau melompati jalan-jalan berbatu dan terjal untuk sampai ke puncak gunung. Tuhan mau kita naik lebih tinggi mengatasi masalah dan keluar menjadi pemenang, merasakan keindahan, kemurahan dan kemuliaanNya yang semua telah tersedia di atas sana.
Dalam Yesaya dikatakan di tempat tinggi itulah rumah Tuhan akan berdiri tegak, bukan terhuyung-huyung dan mudah jatuh ketika diterpa badai. "Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah TUHAN akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem." (Yesaya 2:2-3).Lihatlah bahwa berada di tempat tinggi di atas bukit menjanjikan sebuah tempat dimana masalah tidak lagi mampu menyulitkan kita. Rumah Tuhan atau Bait Allah berbicara mengenai diri kita sendiri, seperti yang tertulis dalam 1 Korintus 3:16. Disana kita bisa melihat bahwa Tuhan menyediakan pertolongan untuk memampukan kaki kita menjadi lincah, melompat melewati berbagai masalah dan berdiri tegak di atas gunung menikmati segala kemuliaanNya.
Firman Tuhan mengajarkan kita bahwa ujian-ujian yang berat jika kita sikapi dengan benar akan mampu membuat iman kita bertumbuh dan naik lebih tinggi lagi. Paulus mengatakan: "Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." (Roma 5:3-5). Firman Tuhan mengingatkan kita agar jangan menjadi lemah ketika mengalami kesengsaraan, ketika berjalan di jalan berbatu tajam dan terjal. Kita diingatkan agar tidak putus asa, dan terus bertekun, karena jika kita ingin memenangkan ujian, kita harus bisa melepaskan segala yang merintangi kita dan dosa-dosa yang menjerat kita. Penulis Ibrani berkata: "Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita." (Ibrani 12:1). Lalu serahkan semuanya kepada Tuhan. Dia siap membuat kaki-kaki kita menjadi lincah agar sanggup melompati bebatuan hingga sampai ke puncak gunung. Disana kita bisa tetap tegar meski digoyang masalah seberat apapun. Masalah mungkin akan tetap ada, tetapi di puncak itu kita akan berada lebih tinggi dari masalah. Segala sakit dan beban selama perjalanan yang ditempuh akan sirna begitu kita menyaksikan keindahan kemuliaan Tuhan. Tuhan siap menolong kita untuk itu, sudahkah kita mempercayakan langkah kita kepadaNya? Sudahkah kita memiliki niat yang teguh untuk naik lebih tinggi lagi? Sekarang saatnya bagi kita untuk mendaki dengan bantuan Tuhan. Kelak ketika kita berada lebih tinggi dari kesengsaraan, kita tidak akan gampang lagi digoyang oleh masalah apapun. Disanalah kita bisa berkata: "Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku." (Habakuk 3:17-18)
Tuhan siap membantu kita menjadi lincah hingga mampu berdiri tegak di atas bukit
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, April 28, 2011
Mempertahankan Kejujuran
Ayat bacaan: Mazmur 64:11
==================
"Orang benar akan bersukacita karena TUHAN dan berlindung pada-Nya; semua orang yang jujur akan bermegah."
Secara teori semua orang mengajarkan untuk hidup jujur, tetapi lucunya dalam banyak keadaan dunia justru cenderung menolak kejujuran. Ada seorang teman yang justru tersingkir dari jabatannya justru karena ia memilih untuk tetap jujur. Ia tidak mau ikut-ikutan melakukan penggelembungan dana bersama pimpinan dan rekan-rekannya, dan akibatnya ia pun disingkirkan. Betapa mahalnya harga kejujuran, begitu katanya, dan ia pun sempat mempertanyakan apakah kejujuran sudah merupakan sebuah nilai yang tidak bermakna apa-apa lagi, yang malah bisa merugikan ketika dilakukan. "Masih adakah orang yang menghargai kejujuran?" katanya. Demikianlah potret yang kini semakin sering kita saksikan. Kita harus pintar mengikuti arus agar bisa bertahan pada posisi dalam karir, berbohong, menutupi kebenaran atau ikut melakukan penyelewengan. Semakin lama kejujuran semakin menjadi barang langka yang meski selalu diajarkan dimana-mana tetapi pada kenyataannya semakin dipinggirkan. Di mata dunia mungkin seperti itu, tetapi ingatlah bahwa kejujuran yang sekecil apapun memiliki nilai yang sangat tinggi di mata Tuhan.
Alkitab mengajarkan pentingnya hidup dengan berlaku jujur dalam begitu banyak kesempatan. Imbalan yang disediakan Tuhan bagi orang jujur pun bukan main besarnya. Lihatlah ayat berikut ini: "Orang yang hidup dalam kebenaran, yang berbicara dengan jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya, supaya jangan menerima suap, yang menutup telinganya, supaya jangan mendengarkan rencana penumpahan darah, yang menutup matanya, supaya jangan melihat kejahatan, dialah seperti orang yang tinggal aman di tempat-tempat tinggi, bentengnya ialah kubu di atas bukit batu; rotinya disediakan air minumnya terjamin." (Yesaya 33:15-16). Betapa besar nilai kejujuran di mata Tuhan. Mungkin di dunia ini kita bisa mengalami kerugian atau bahkan malah mendapat masalah karena memutuskan untuk berlaku jujur, seringkali dunia memang memperlakukan kita dengan tidak adil, tetapi itu bukanlah masalah karena kelak dalam kehidupan selanjutnya yang abadi semua itu akan diperhitungkan sebagai kebenaran yang berkenan di hadapan Allah. Dalam Mazmur dikatakan: "Orang benar akan bersukacita karena TUHAN dan berlindung pada-Nya; semua orang yang jujur akan bermegah." (Mazmur 64:11). Pada saat ini mungkin kita rugi akibat memutuskan untuk jujur, tetapi kelak pada saatnya kita akan bermegah dan bersyukur karena telah mengambil keputusan yang benar.
Anggaplah itu sebuah ujian ketika kita dipinggirkan akibat berlaku jujur dan menolak untuk ikut-ikutan berbuat curang. Seperti layaknya ujian, untuk menghadapinya memang bisa jadi berat. Tetapi lulus tidaknya kita dalam ujian akan sangat tergantung dari keseriusan dan ketekunan kita dalam menghadapinya, dan juga tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Mempertahankan kejujuran dalam hidup pun bisa demikian. Akan ada saat-saat dimana anda merasa diperlakukan tidak adil, sudah jujur malah disalahkan dan dirugikan. Meski berat, terimalah itu sebagai sebuah ujian, dan fokuskan pandangan jauh ke depan, kepada sebuah kehidupan abadi yang akan anda jalani kelak setelah fase di dunia ini selesai. Yakobus pun berkata: "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun." (Yakobus 1:2-4). Ujian akan menumbuhkan ketekunan, dan dari sana kita bisa menghasilkan buah-buah yang matang. Karakter kita akan disempurnakan lewat ujian-ujian itu. Ujian adalah kesempatan bagi kita untuk naik ke tingkatan yang lebih tinggi, dan karena itu seharusnya kita bisa berbahagia. Buat sesaat kecurangan mungkin bisa memberi banyak keuntungan, tetapi itu semua hanyalah sesaat dan fana. Untuk sebuah hidup yang abadi, kecurangan tidak akan pernah membawa keuntungan malah mendatangkan kerugian. Jangan lupa bahwa Tuhan sudah berkata bahwa Dia tidak akan menutup mata dari apapun yang kita lakukan dalam hidup kita. "Malah Ia mengganjar manusia sesuai perbuatannya, dan membuat setiap orang mengalami sesuai kelakuannya." (Ayub 34:11). Baik atau tidak akan membawa ganjaran atau konsekuensinya sendiri. Baik atau tidak ganjaran yang kita terima akan tergantung dari bagaimana cara kita hidup.
Meski kita mungkin harus menanggung konsekuensi berat akibat kejujuran kita, bertahanlah. Firman Tuhan berpesan: "Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan" (Filipi 2:14). Ini termasuk pula komitmen kita untuk tetap mempertahankan kejujuran dan kesetiaan dengan tidak mengeluh terhadap konsekuensi apapun yang kita alami di dunia ini. Mengapa demikian? Sebab Firman Tuhan kemudian berkata: "supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia." (ay 15). Sebagai anak-anak Allah dan bukan anak-anak dunia seharusnya membuat kita tampil beda. Kita tidak boleh ikut-ikutan arus sesat dari angkatan yang bengkok hatinya karena kita menyandang status sebagai anak-anak Tuhan. Dan percayalah bahwa kelak pada saat Kristus datang kembali, kita akan melihat bahwa perjuangan kita terhadap kejujuran tidak akan sia-sia. Muda atau tua, siapapun kita, peganglah prinsip kejujuran setinggi mungkin dan jangan gadaikan itu untuk alasan apapun. Kepada Timotius Paulus berpesan: "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12). Meskipun masih muda kita tetap dituntut untuk bisa menjadi teladan dalam segala hal. Kita hidup di dalam masyarakat yang mau menghalalkan segala cara, yang hidup dengan standar-standar ganda dan yang tidak selalu memberikan penghargaan yang tinggi atas penyampaian kebenaran dan kejujuran. Seperti itulah dunia hari ini, tetapi bertahanlah dan pegang kuat prinsip-prinsip tersebut. Meski dunia berlaku seperti itu, tetapi adalah hal yang tidak bisa ditawar bahwa pengikut Kristus seharusnya memiliki standar kejujuran tinggi yang berbeda dari standar yang ditetapkan dunia. Apapun situasinya, tetaplah pertahankan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran, jangan tukarkan itu dengan apapun, dan lihatlah pada saatnya nanti setiap orang jujur akan bersukacita memetik buahnya.
Meski dunia menolak kejujuran, di mata Tuhan sekecil apapun itu akan sangat berharga
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==================
"Orang benar akan bersukacita karena TUHAN dan berlindung pada-Nya; semua orang yang jujur akan bermegah."
Secara teori semua orang mengajarkan untuk hidup jujur, tetapi lucunya dalam banyak keadaan dunia justru cenderung menolak kejujuran. Ada seorang teman yang justru tersingkir dari jabatannya justru karena ia memilih untuk tetap jujur. Ia tidak mau ikut-ikutan melakukan penggelembungan dana bersama pimpinan dan rekan-rekannya, dan akibatnya ia pun disingkirkan. Betapa mahalnya harga kejujuran, begitu katanya, dan ia pun sempat mempertanyakan apakah kejujuran sudah merupakan sebuah nilai yang tidak bermakna apa-apa lagi, yang malah bisa merugikan ketika dilakukan. "Masih adakah orang yang menghargai kejujuran?" katanya. Demikianlah potret yang kini semakin sering kita saksikan. Kita harus pintar mengikuti arus agar bisa bertahan pada posisi dalam karir, berbohong, menutupi kebenaran atau ikut melakukan penyelewengan. Semakin lama kejujuran semakin menjadi barang langka yang meski selalu diajarkan dimana-mana tetapi pada kenyataannya semakin dipinggirkan. Di mata dunia mungkin seperti itu, tetapi ingatlah bahwa kejujuran yang sekecil apapun memiliki nilai yang sangat tinggi di mata Tuhan.
Alkitab mengajarkan pentingnya hidup dengan berlaku jujur dalam begitu banyak kesempatan. Imbalan yang disediakan Tuhan bagi orang jujur pun bukan main besarnya. Lihatlah ayat berikut ini: "Orang yang hidup dalam kebenaran, yang berbicara dengan jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya, supaya jangan menerima suap, yang menutup telinganya, supaya jangan mendengarkan rencana penumpahan darah, yang menutup matanya, supaya jangan melihat kejahatan, dialah seperti orang yang tinggal aman di tempat-tempat tinggi, bentengnya ialah kubu di atas bukit batu; rotinya disediakan air minumnya terjamin." (Yesaya 33:15-16). Betapa besar nilai kejujuran di mata Tuhan. Mungkin di dunia ini kita bisa mengalami kerugian atau bahkan malah mendapat masalah karena memutuskan untuk berlaku jujur, seringkali dunia memang memperlakukan kita dengan tidak adil, tetapi itu bukanlah masalah karena kelak dalam kehidupan selanjutnya yang abadi semua itu akan diperhitungkan sebagai kebenaran yang berkenan di hadapan Allah. Dalam Mazmur dikatakan: "Orang benar akan bersukacita karena TUHAN dan berlindung pada-Nya; semua orang yang jujur akan bermegah." (Mazmur 64:11). Pada saat ini mungkin kita rugi akibat memutuskan untuk jujur, tetapi kelak pada saatnya kita akan bermegah dan bersyukur karena telah mengambil keputusan yang benar.
Anggaplah itu sebuah ujian ketika kita dipinggirkan akibat berlaku jujur dan menolak untuk ikut-ikutan berbuat curang. Seperti layaknya ujian, untuk menghadapinya memang bisa jadi berat. Tetapi lulus tidaknya kita dalam ujian akan sangat tergantung dari keseriusan dan ketekunan kita dalam menghadapinya, dan juga tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Mempertahankan kejujuran dalam hidup pun bisa demikian. Akan ada saat-saat dimana anda merasa diperlakukan tidak adil, sudah jujur malah disalahkan dan dirugikan. Meski berat, terimalah itu sebagai sebuah ujian, dan fokuskan pandangan jauh ke depan, kepada sebuah kehidupan abadi yang akan anda jalani kelak setelah fase di dunia ini selesai. Yakobus pun berkata: "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun." (Yakobus 1:2-4). Ujian akan menumbuhkan ketekunan, dan dari sana kita bisa menghasilkan buah-buah yang matang. Karakter kita akan disempurnakan lewat ujian-ujian itu. Ujian adalah kesempatan bagi kita untuk naik ke tingkatan yang lebih tinggi, dan karena itu seharusnya kita bisa berbahagia. Buat sesaat kecurangan mungkin bisa memberi banyak keuntungan, tetapi itu semua hanyalah sesaat dan fana. Untuk sebuah hidup yang abadi, kecurangan tidak akan pernah membawa keuntungan malah mendatangkan kerugian. Jangan lupa bahwa Tuhan sudah berkata bahwa Dia tidak akan menutup mata dari apapun yang kita lakukan dalam hidup kita. "Malah Ia mengganjar manusia sesuai perbuatannya, dan membuat setiap orang mengalami sesuai kelakuannya." (Ayub 34:11). Baik atau tidak akan membawa ganjaran atau konsekuensinya sendiri. Baik atau tidak ganjaran yang kita terima akan tergantung dari bagaimana cara kita hidup.
Meski kita mungkin harus menanggung konsekuensi berat akibat kejujuran kita, bertahanlah. Firman Tuhan berpesan: "Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan" (Filipi 2:14). Ini termasuk pula komitmen kita untuk tetap mempertahankan kejujuran dan kesetiaan dengan tidak mengeluh terhadap konsekuensi apapun yang kita alami di dunia ini. Mengapa demikian? Sebab Firman Tuhan kemudian berkata: "supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia." (ay 15). Sebagai anak-anak Allah dan bukan anak-anak dunia seharusnya membuat kita tampil beda. Kita tidak boleh ikut-ikutan arus sesat dari angkatan yang bengkok hatinya karena kita menyandang status sebagai anak-anak Tuhan. Dan percayalah bahwa kelak pada saat Kristus datang kembali, kita akan melihat bahwa perjuangan kita terhadap kejujuran tidak akan sia-sia. Muda atau tua, siapapun kita, peganglah prinsip kejujuran setinggi mungkin dan jangan gadaikan itu untuk alasan apapun. Kepada Timotius Paulus berpesan: "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12). Meskipun masih muda kita tetap dituntut untuk bisa menjadi teladan dalam segala hal. Kita hidup di dalam masyarakat yang mau menghalalkan segala cara, yang hidup dengan standar-standar ganda dan yang tidak selalu memberikan penghargaan yang tinggi atas penyampaian kebenaran dan kejujuran. Seperti itulah dunia hari ini, tetapi bertahanlah dan pegang kuat prinsip-prinsip tersebut. Meski dunia berlaku seperti itu, tetapi adalah hal yang tidak bisa ditawar bahwa pengikut Kristus seharusnya memiliki standar kejujuran tinggi yang berbeda dari standar yang ditetapkan dunia. Apapun situasinya, tetaplah pertahankan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran, jangan tukarkan itu dengan apapun, dan lihatlah pada saatnya nanti setiap orang jujur akan bersukacita memetik buahnya.
Meski dunia menolak kejujuran, di mata Tuhan sekecil apapun itu akan sangat berharga
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Wednesday, April 27, 2011
Berbakti kepada Orang Tua
Ayat bacaan: 1 Timotius 5:3
===================
"Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah yang berkenan kepada Allah."
Saya selalu merasa kagum melihat beberapa keluarga yang rutin beribadah di gereja saya dengan tekun membawa orang tua mereka yang sudah jompo. Salah satunya baru terkena stroke dan memiliki kesulitan untuk menelan air liurnya. Tetapi ia tetap bersemangat, dan keluarganya dengan telaten menyeka air liurnya yang kerap mengalir keluar. Pemandangan mengharukan ini kerap menjadi perhatian saya, karena ini bukanlah pemandangan yang biasa kita lihat sehari-hari. Semakin lama orang yang peduli terhadap orang tuanya semakin sedikit. Mereka merasa terlalu sibuk untuk merawat orang tuanya, risih membersihkan kotoran-kotoran, merasa malu dilihat orang "menenteng-nenteng" orang tuanya atau alasan-alasan lain. Tidak jarang pula pasangan mereka menentang karena tidak mau direpotkan oleh kehadiran orang tua yang sakit-sakitan di rumahnya. Betapa miris melihat nasib para orang tua yang tidak dikehendaki anaknya lagi. Tidak jarang saya mendengar para orang tua seperti ini berkata lebih ingin mati saja daripada menjadi masalah bagi hidup anak-anaknya, dan merasa kecewa melihat mereka tidak lagi disayangi. Panti jompo pun akhirnya menjadi tempat "terakhir" bagi mereka untuk menghabiskan sisa hidupnya. Tidak ada lagi anak atau cucu yang menyambangi, tidak ada lagi yang peduli. Jika seorang anak saja sanggup untuk tidak mempedulikan sisa umur orang tuanya sendiri, bagaimana dengan menantu? Tidak jarang ada jurang membentang diantara mertua dan menantu, apalagi di zaman sekarang ketika orang yang berusia lebih muda sudah tidak lagi mementingkan untuk bersikap hormat kepada orang yang lebih tua.Karena itulah melihat keluarga-keluarga yang masih menyayangi orang tuanya yang sudah tinggal sendirian dan mau repot-repot membawa mereka untuk menyembah Tuhan bersama-sama. Tidak saja mengharukan untuk kita lihat, tetapi Tuhan pun sangat menghargai hal ini.
Alkitab mencatat dengan jelas hal tersebut. "Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah yang berkenan kepada Allah." (1 Timotius 5:3). Dengan jelas dikatakan bahwa anak cuculah yang seharusnya menjadi orang pertama yang wajib memperhatikan nasib mereka. Dikatakan belajar berbakti dan belajar membalas budi orang tua dan nenek atau kakek mereka. Disaat orang tua sudah tidak bisa lagi berbuat banyak karena usia mereka yang sudah lanjut, itulah saatnya bagi para anak dan cucu untuk berbakti dan membalas budi mereka yang dahulu mati-matian dalam membesarkan anak-anaknya dengan penuh cucuran keringat dan air mata. Alangkah ironisnya melihat orang-orang yang merasa malu atau risih untuk sekedar bertemu dengan orang tua mereka, apalagi mengurus dan merawatnya. Begitu teganya mereka lupa akan perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan orang tua disaat mereka masih kecil. Disaat dulu tidak bisa apa-apa, orang tua berjuang habis-habisan agar anak-anaknya mendapat yang terbaik, tetapi di saat kini orang tua yang tidak bisa apa-apa lagi, bukannya membalas budi tetapi anak-anak yang tidak berbakti ini justru meninggalkan orang tuanya.
Firman Tuhan dengan tegas berkata bahwa anak dan cucu yang mau berbakti dan ingat untuk membalas budi inilah yang berkenan bagiNya. Tuhan tidak suka orang-orang percaya yang tidak tahu membalas budi, bersikap habis manis sepah dibuang apalagi terhadap orang tua mereka sendiri. Tuhan sangat menganggap penting hal ini. Lihatlah satu dari 10 Perintah Allah yang turun lewat Musa berbunyi: "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Ulangan 5:16). Hormati, itu bukan hanya mengacu pada hubungan disaat keduanya masih segar bugar, tetapi justru akan sangat terlihat dari bagaimana sikap kita menghadapi orang tua yang sudah sakit-sakitan atau lemah karena usia lanjut.
Kita bisa melihat sebuah contoh indah akan hal ini dalam kisah Rut. Setelah suaminya meninggal, sebenarnya ia punya hak untuk meninggalkan Naomi mertuanya dan kembali kepada bangsanya sendiri. Bahkan Naomi pun sudah merelakannya. Tetapi lihatlah bagaimana keputusan Rut. "Tetapi kata Rut: "Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku." (Rut 1:16). Rut memilih ikut mertuanya masuk ke negeri dimana bangsanya tidaklah dipandang sama sekali. Hidup tidak mudah bagi Rut. Ia harus melakukan pekerjaan yang sangat rendah sebagai pemungut jelai, sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan membuntuti orang-orang yang menyabit gandum dan memunguti sisa-sisa serpihan dari hasil sabitan mereka. Rut dengan rela melakukannya bukan saja buat menyambung hidupnya sendiri, tetapi ia melakukan itu untuk menunjukkan baktinya kepada mertuanya juga. "Maka ia memungut di ladang sampai petang; lalu ia mengirik yang dipungutnya itu, dan ada kira-kira seefa jelai banyaknya.Diangkatnyalah itu, lalu masuklah ia ke kota. Ketika mertuanya melihat apa yang dipungutnya itu, dan ketika dikeluarkannya dan diberikannya kepada mertuanya sisa yang ada setelah kenyang itu." (2:17-18). Seefa itu sekitar 10 kg. Itu hasil jerih payahnya bekerja seharian, dan itu dibawanya kepada Naomi. Begitulah besarnya bakti yang ditunjukkan Rut, sehingga tidaklah heran apabila Tuhan berkenan kepadanya.
Ayah, ibu, nenek, kakek maupun mertua, mereka semua adalah orang tua kita yang harusnya kita kasihi dan peduli. Mereka berjuang dengan segala daya upaya untuk membesarkan dan menyekolahkan kita. Jika kita sudah bekerja mapan hari ini, semua itu tidaklah terlepas dari usaha orang tua kita juga. Sudahkah kita membalas budi mereka dan mengucapkan terimakasih kepada mereka? Jangan tunda lagi, nyatakanlah bahwa anda mengasihi mereka dan usahakanlah agar mereka bisa bahagia di hari-hari akhir mereka. Dulu kita masih belum bisa apa-apa dan orang tua kitalah yang berjuang untuk masa depan kita, sekarang saatnya bagi kita untuk membalas jasa mereka dan membuat mereka bersyukur, bangga dan berbahagia di hari tua mereka karena memiliki anak cucu dan keluarga yang mengasihi mereka.
Tuhan berkenan kepada anak-anak yang berbakti dan tahu membalas budi kepada orangtuanya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
===================
"Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah yang berkenan kepada Allah."
Saya selalu merasa kagum melihat beberapa keluarga yang rutin beribadah di gereja saya dengan tekun membawa orang tua mereka yang sudah jompo. Salah satunya baru terkena stroke dan memiliki kesulitan untuk menelan air liurnya. Tetapi ia tetap bersemangat, dan keluarganya dengan telaten menyeka air liurnya yang kerap mengalir keluar. Pemandangan mengharukan ini kerap menjadi perhatian saya, karena ini bukanlah pemandangan yang biasa kita lihat sehari-hari. Semakin lama orang yang peduli terhadap orang tuanya semakin sedikit. Mereka merasa terlalu sibuk untuk merawat orang tuanya, risih membersihkan kotoran-kotoran, merasa malu dilihat orang "menenteng-nenteng" orang tuanya atau alasan-alasan lain. Tidak jarang pula pasangan mereka menentang karena tidak mau direpotkan oleh kehadiran orang tua yang sakit-sakitan di rumahnya. Betapa miris melihat nasib para orang tua yang tidak dikehendaki anaknya lagi. Tidak jarang saya mendengar para orang tua seperti ini berkata lebih ingin mati saja daripada menjadi masalah bagi hidup anak-anaknya, dan merasa kecewa melihat mereka tidak lagi disayangi. Panti jompo pun akhirnya menjadi tempat "terakhir" bagi mereka untuk menghabiskan sisa hidupnya. Tidak ada lagi anak atau cucu yang menyambangi, tidak ada lagi yang peduli. Jika seorang anak saja sanggup untuk tidak mempedulikan sisa umur orang tuanya sendiri, bagaimana dengan menantu? Tidak jarang ada jurang membentang diantara mertua dan menantu, apalagi di zaman sekarang ketika orang yang berusia lebih muda sudah tidak lagi mementingkan untuk bersikap hormat kepada orang yang lebih tua.Karena itulah melihat keluarga-keluarga yang masih menyayangi orang tuanya yang sudah tinggal sendirian dan mau repot-repot membawa mereka untuk menyembah Tuhan bersama-sama. Tidak saja mengharukan untuk kita lihat, tetapi Tuhan pun sangat menghargai hal ini.
Alkitab mencatat dengan jelas hal tersebut. "Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah yang berkenan kepada Allah." (1 Timotius 5:3). Dengan jelas dikatakan bahwa anak cuculah yang seharusnya menjadi orang pertama yang wajib memperhatikan nasib mereka. Dikatakan belajar berbakti dan belajar membalas budi orang tua dan nenek atau kakek mereka. Disaat orang tua sudah tidak bisa lagi berbuat banyak karena usia mereka yang sudah lanjut, itulah saatnya bagi para anak dan cucu untuk berbakti dan membalas budi mereka yang dahulu mati-matian dalam membesarkan anak-anaknya dengan penuh cucuran keringat dan air mata. Alangkah ironisnya melihat orang-orang yang merasa malu atau risih untuk sekedar bertemu dengan orang tua mereka, apalagi mengurus dan merawatnya. Begitu teganya mereka lupa akan perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan orang tua disaat mereka masih kecil. Disaat dulu tidak bisa apa-apa, orang tua berjuang habis-habisan agar anak-anaknya mendapat yang terbaik, tetapi di saat kini orang tua yang tidak bisa apa-apa lagi, bukannya membalas budi tetapi anak-anak yang tidak berbakti ini justru meninggalkan orang tuanya.
Firman Tuhan dengan tegas berkata bahwa anak dan cucu yang mau berbakti dan ingat untuk membalas budi inilah yang berkenan bagiNya. Tuhan tidak suka orang-orang percaya yang tidak tahu membalas budi, bersikap habis manis sepah dibuang apalagi terhadap orang tua mereka sendiri. Tuhan sangat menganggap penting hal ini. Lihatlah satu dari 10 Perintah Allah yang turun lewat Musa berbunyi: "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Ulangan 5:16). Hormati, itu bukan hanya mengacu pada hubungan disaat keduanya masih segar bugar, tetapi justru akan sangat terlihat dari bagaimana sikap kita menghadapi orang tua yang sudah sakit-sakitan atau lemah karena usia lanjut.
Kita bisa melihat sebuah contoh indah akan hal ini dalam kisah Rut. Setelah suaminya meninggal, sebenarnya ia punya hak untuk meninggalkan Naomi mertuanya dan kembali kepada bangsanya sendiri. Bahkan Naomi pun sudah merelakannya. Tetapi lihatlah bagaimana keputusan Rut. "Tetapi kata Rut: "Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku." (Rut 1:16). Rut memilih ikut mertuanya masuk ke negeri dimana bangsanya tidaklah dipandang sama sekali. Hidup tidak mudah bagi Rut. Ia harus melakukan pekerjaan yang sangat rendah sebagai pemungut jelai, sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan membuntuti orang-orang yang menyabit gandum dan memunguti sisa-sisa serpihan dari hasil sabitan mereka. Rut dengan rela melakukannya bukan saja buat menyambung hidupnya sendiri, tetapi ia melakukan itu untuk menunjukkan baktinya kepada mertuanya juga. "Maka ia memungut di ladang sampai petang; lalu ia mengirik yang dipungutnya itu, dan ada kira-kira seefa jelai banyaknya.Diangkatnyalah itu, lalu masuklah ia ke kota. Ketika mertuanya melihat apa yang dipungutnya itu, dan ketika dikeluarkannya dan diberikannya kepada mertuanya sisa yang ada setelah kenyang itu." (2:17-18). Seefa itu sekitar 10 kg. Itu hasil jerih payahnya bekerja seharian, dan itu dibawanya kepada Naomi. Begitulah besarnya bakti yang ditunjukkan Rut, sehingga tidaklah heran apabila Tuhan berkenan kepadanya.
Ayah, ibu, nenek, kakek maupun mertua, mereka semua adalah orang tua kita yang harusnya kita kasihi dan peduli. Mereka berjuang dengan segala daya upaya untuk membesarkan dan menyekolahkan kita. Jika kita sudah bekerja mapan hari ini, semua itu tidaklah terlepas dari usaha orang tua kita juga. Sudahkah kita membalas budi mereka dan mengucapkan terimakasih kepada mereka? Jangan tunda lagi, nyatakanlah bahwa anda mengasihi mereka dan usahakanlah agar mereka bisa bahagia di hari-hari akhir mereka. Dulu kita masih belum bisa apa-apa dan orang tua kitalah yang berjuang untuk masa depan kita, sekarang saatnya bagi kita untuk membalas jasa mereka dan membuat mereka bersyukur, bangga dan berbahagia di hari tua mereka karena memiliki anak cucu dan keluarga yang mengasihi mereka.
Tuhan berkenan kepada anak-anak yang berbakti dan tahu membalas budi kepada orangtuanya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, April 26, 2011
Sempurna dalam Kelemahan
Ayat bacaan: 2 Korintus 12:9
=====================
"Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna."
Pernahkah anda membayangkan bagaimana mungkin menghidupi keluarga hanya dengan penghasilan Rp 250 ribu dalam tiga bulan terakhir? Itulah yang sedang saya alami belakangan ini. Kampus dimana saya biasanya mengajar kolaps karena manajemen yang buruk sehingga saya pun berpindah ke tempat lain. Sebagai orang yang baru saya tentu harus memulai lagi dari awal dan masih belum mendapat banyak kesempatan untuk mengajar. Pendapatan hanya sebanyak itu selama tiga bulan tentu saja terlihat mengerikan. Tetapi percayakah anda bahwa Tuhan ternyata tidak membiarkan kami berkekurangan? Entah dari mana saja pertolongan Tuhan datang, dan nyatanya kami sama sekali tidak menderita meski secara logika seharusnya saya dan keluarga bakal morat marit dengan kenyataan yang ada. Tuhan sanggup melakukan banyak hal diluar logika. KekuasaanNya tak terbatas. Dan yang satu hal yang jelas, dalam situasi seperti ini saya dan keluarga melihat langsung bagaimana Tuhan menepati janji-janjiNya. Dalam keadaan seperti sekarang justru saya mendapat kesempatan langsung untuk melihat bagaimana Tuhan bekerja dengan ajaib. Ditengah kesulitan, dalam kelemahan, kuasa Tuhan justru menjadi sempurna.
Paulus mengalami situasi yang juga sulit dalam pergerakan pelayanannya. Tidak tanggung-tanggung, ia menyatakan bahwa ia seperti "diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan iblis untuk menggocoh aku.." (2 Korintus 12:7). Adilkah jika itu harus dialami oleh Paulus ketika ia justru sedang bergerak mewartakan berita keselamatan lewat Kristus ke seluruh dunia? Logika kita akan berkata tidak. Mungkin jika kita ditempatkan pada posisinya, maka kita akan bersungut-sungut, kecewa atau mempertanyakan keadilan Tuhan, bahkan mungkin meragukan eksistensi Tuhan. Tetapi lihatlah bahwa Paulus tidak merasa seperti itu. Ayat selanjutnya berkata: "Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku." (ay 8). Justru ditengah kesulitan dan kelemahannya itulah Paulus malah mendapat kesempatan untuk menyaksikan bagaimana kuasa Tuhan disempurnakan. Oleh sebab itu Paulus bisa berkata: "Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (ay 10). Saya yakin ditengah kesulitan atau penderitaan yang tengah ia alami, ia mengalami dan menyaksikan banyak hal yang menyatakan besarnya kuasa Tuhan. Saya sering berkata bahwa kesulitan merupakan kesempatan bagi kita untuk belajar sesuatu yang baru sekaligus merupakan kesempatan emas pula untuk menyaksikan keajaiban Tuhan. Paulus merasakan hal itu, dan hari-hari ini saya pun mengalami sendiri semua itu dalam kehidupan saya.
Tetap bersukacita dan sama sekali tidak berkekurangan meski dengan penghasilan sekecil itu. Bagaimana mungkin? Seorang teman bertanya seperti itu kepada saya, dan saya pun menjawab, "mengapa tidak?" Bukankah Tuhan yang kita sembah jauh lebih besar dari masalah sebesar apapun? Jika Dia ada bersama kita, mengapa kita harus takut? Apapun hal yang terlihat menakutkan atau mengkhawatirkan yang tengah kita hadapi di dunia ini, itu sama sekali tidak bisa melewati besarnya kekuasaan Allah dan kemampuanNya dalam memberkati anak-anakNya. Sama sekali tidak. Iman saya terus berpegang pada janji-janji Tuhan, saya tidak perlu merasa takut, kecewa atau perasaan-perasaan negatif lainnya, saya hanya terus berbuat yang terbaik tanpa banyak tanya. Saya memilih untuk mempercayakan seluruh hidup saya dan keluarga ke dalam tanganNya, membiarkan semua terjadi sesuai kehendakNya. Nyatanya, Tuhan memang memelihara secara luar biasa. Bukan hanya saya, tetapi orang-orang disekitar sayapun menyaksikan sendiri bagaimana saya dan istri tetap bergembira dan hidup normal meski dalam situasi yang bagi mereka sudah terlihat menakutkan. Biarlah itu semua menjadi sebuah kesaksian tersendiri akan kebaikan Tuhan.
Tuhan sudah berjanji, "TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk. Mata sekalian orang menantikan Engkau, dan Engkaupun memberi mereka makanan pada waktunya; Engkau yang membuka tangan-Mu dan yang berkenan mengenyangkan segala yang hidup." (Mazmur 145:14-16). Semua ini nyata betul kebenarannya. Tuhan juga berjanji: "Takutlah akan TUHAN, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia!" (Mazmur 34:10). Janji-janji yang luar biasa bukan? Pegang janji itu, maka dalam situasi seperti apapun anda akan bisa memperoleh sebuah kesimpulan seperti apa kata Daud: "TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya." (Mazmur 145:9). Bahkan dalam situasi sulitpun kita akan bisa merasakannya apabila kita hidup takut akan Tuhan seperti yang tertulis dalam Mazmur diatas. Mengapa? Karena Tuhan tetap memelihara kita dan menjanjikan kita untuk tetap tidak berkekurangan dalam kondisi apapun.
Ketika hidup tengah sulit, itu saatnya untuk belajar sesuatu yang baru dan mengalami langsung bagaimana hebatnya kuasa Tuhan sanggup mengatasi segala batas-batas logika manusia. Di saat kita meregang dalam keterbatasan kemampuan kita, ketika kita sampai pada situasi yang membuat kelemahan kita terasa nyata, disanalah kuasa Tuhan justru menjadi sempurna. Saya belum tahu kapan kondisi finansial saya akan pulih lagi, tetapi saya tidak perlu takut dan kehilangan sukacita. Tidak, sama sekali tidak. Sebab disaat inilah saya benar merasakan bagaimana kuasa Tuhan itu disempurnakan. Saya akan terus berjalan, memuji dan menyembahNya, memenuhi hidup dengan ucapan syukur, dan terus berbuat yang terbaik dalam setiap langkah. Lord, I'm excited to see how Your strength and power are made perfect, fulfilled and completed.
Justru dalam kelemahanlah kuasaNya menjadi sempurna, oleh sebab itu jika aku lemah, maka aku kuat
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=====================
"Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna."
Pernahkah anda membayangkan bagaimana mungkin menghidupi keluarga hanya dengan penghasilan Rp 250 ribu dalam tiga bulan terakhir? Itulah yang sedang saya alami belakangan ini. Kampus dimana saya biasanya mengajar kolaps karena manajemen yang buruk sehingga saya pun berpindah ke tempat lain. Sebagai orang yang baru saya tentu harus memulai lagi dari awal dan masih belum mendapat banyak kesempatan untuk mengajar. Pendapatan hanya sebanyak itu selama tiga bulan tentu saja terlihat mengerikan. Tetapi percayakah anda bahwa Tuhan ternyata tidak membiarkan kami berkekurangan? Entah dari mana saja pertolongan Tuhan datang, dan nyatanya kami sama sekali tidak menderita meski secara logika seharusnya saya dan keluarga bakal morat marit dengan kenyataan yang ada. Tuhan sanggup melakukan banyak hal diluar logika. KekuasaanNya tak terbatas. Dan yang satu hal yang jelas, dalam situasi seperti ini saya dan keluarga melihat langsung bagaimana Tuhan menepati janji-janjiNya. Dalam keadaan seperti sekarang justru saya mendapat kesempatan langsung untuk melihat bagaimana Tuhan bekerja dengan ajaib. Ditengah kesulitan, dalam kelemahan, kuasa Tuhan justru menjadi sempurna.
Paulus mengalami situasi yang juga sulit dalam pergerakan pelayanannya. Tidak tanggung-tanggung, ia menyatakan bahwa ia seperti "diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan iblis untuk menggocoh aku.." (2 Korintus 12:7). Adilkah jika itu harus dialami oleh Paulus ketika ia justru sedang bergerak mewartakan berita keselamatan lewat Kristus ke seluruh dunia? Logika kita akan berkata tidak. Mungkin jika kita ditempatkan pada posisinya, maka kita akan bersungut-sungut, kecewa atau mempertanyakan keadilan Tuhan, bahkan mungkin meragukan eksistensi Tuhan. Tetapi lihatlah bahwa Paulus tidak merasa seperti itu. Ayat selanjutnya berkata: "Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku." (ay 8). Justru ditengah kesulitan dan kelemahannya itulah Paulus malah mendapat kesempatan untuk menyaksikan bagaimana kuasa Tuhan disempurnakan. Oleh sebab itu Paulus bisa berkata: "Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (ay 10). Saya yakin ditengah kesulitan atau penderitaan yang tengah ia alami, ia mengalami dan menyaksikan banyak hal yang menyatakan besarnya kuasa Tuhan. Saya sering berkata bahwa kesulitan merupakan kesempatan bagi kita untuk belajar sesuatu yang baru sekaligus merupakan kesempatan emas pula untuk menyaksikan keajaiban Tuhan. Paulus merasakan hal itu, dan hari-hari ini saya pun mengalami sendiri semua itu dalam kehidupan saya.
Tetap bersukacita dan sama sekali tidak berkekurangan meski dengan penghasilan sekecil itu. Bagaimana mungkin? Seorang teman bertanya seperti itu kepada saya, dan saya pun menjawab, "mengapa tidak?" Bukankah Tuhan yang kita sembah jauh lebih besar dari masalah sebesar apapun? Jika Dia ada bersama kita, mengapa kita harus takut? Apapun hal yang terlihat menakutkan atau mengkhawatirkan yang tengah kita hadapi di dunia ini, itu sama sekali tidak bisa melewati besarnya kekuasaan Allah dan kemampuanNya dalam memberkati anak-anakNya. Sama sekali tidak. Iman saya terus berpegang pada janji-janji Tuhan, saya tidak perlu merasa takut, kecewa atau perasaan-perasaan negatif lainnya, saya hanya terus berbuat yang terbaik tanpa banyak tanya. Saya memilih untuk mempercayakan seluruh hidup saya dan keluarga ke dalam tanganNya, membiarkan semua terjadi sesuai kehendakNya. Nyatanya, Tuhan memang memelihara secara luar biasa. Bukan hanya saya, tetapi orang-orang disekitar sayapun menyaksikan sendiri bagaimana saya dan istri tetap bergembira dan hidup normal meski dalam situasi yang bagi mereka sudah terlihat menakutkan. Biarlah itu semua menjadi sebuah kesaksian tersendiri akan kebaikan Tuhan.
Tuhan sudah berjanji, "TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk. Mata sekalian orang menantikan Engkau, dan Engkaupun memberi mereka makanan pada waktunya; Engkau yang membuka tangan-Mu dan yang berkenan mengenyangkan segala yang hidup." (Mazmur 145:14-16). Semua ini nyata betul kebenarannya. Tuhan juga berjanji: "Takutlah akan TUHAN, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia!" (Mazmur 34:10). Janji-janji yang luar biasa bukan? Pegang janji itu, maka dalam situasi seperti apapun anda akan bisa memperoleh sebuah kesimpulan seperti apa kata Daud: "TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya." (Mazmur 145:9). Bahkan dalam situasi sulitpun kita akan bisa merasakannya apabila kita hidup takut akan Tuhan seperti yang tertulis dalam Mazmur diatas. Mengapa? Karena Tuhan tetap memelihara kita dan menjanjikan kita untuk tetap tidak berkekurangan dalam kondisi apapun.
Ketika hidup tengah sulit, itu saatnya untuk belajar sesuatu yang baru dan mengalami langsung bagaimana hebatnya kuasa Tuhan sanggup mengatasi segala batas-batas logika manusia. Di saat kita meregang dalam keterbatasan kemampuan kita, ketika kita sampai pada situasi yang membuat kelemahan kita terasa nyata, disanalah kuasa Tuhan justru menjadi sempurna. Saya belum tahu kapan kondisi finansial saya akan pulih lagi, tetapi saya tidak perlu takut dan kehilangan sukacita. Tidak, sama sekali tidak. Sebab disaat inilah saya benar merasakan bagaimana kuasa Tuhan itu disempurnakan. Saya akan terus berjalan, memuji dan menyembahNya, memenuhi hidup dengan ucapan syukur, dan terus berbuat yang terbaik dalam setiap langkah. Lord, I'm excited to see how Your strength and power are made perfect, fulfilled and completed.
Justru dalam kelemahanlah kuasaNya menjadi sempurna, oleh sebab itu jika aku lemah, maka aku kuat
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, April 25, 2011
Kekerasan Terhadap Anak
Ayat bacaan: Kolose 3:21
==================
"Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya."
Ingat kisah tragis Arie Hanggara? Anak malang berusia 8 tahun ini tewas akibat penyiksaan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri dan menjadi berita heboh pada saat kejadiannya di tahun 1984. Seperti anak-anak lainnya mungkin Arie memiliki sifat bandel yang masih harus diarahkan. Tetapi alih-alih diarahkan, ia malah mendapat hukuman-hukuman fisik lebih dari yang sanggup ia tanggung. Ia menjadi tempat pelampiasan kemarahan ayahnya yang kecewa pada hidupnya sendiri hingga diluar batas sampai pada akhirnya Arie tidak lagi sanggup menahan siksaan lebih lama. Penyesalan datang menyeruak begitu melihat Arie terbujur kaku, tetapi semua sudah terlambat. Kasus ini mungkin yang pertama diblow up besar-besaran di media massa pada saat itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika semakin banyak orang yang depresi dan tidak siap untuk mendidik anak, kasus-kasus "Arie Hanggara" lainnya pun kerap menghias berbagai sudut harian. Orang tua yang menyiram minyak tanah dan menyulut anaknya hidup-hidup, pemukulan keras bahkan dengan benda-benda pada bagian tubuh yang rawan, semua itu kita saksikan terjadi dimana-mana. Ada anak-anak yang dipukul dengan rotan berulang-ulang sampai rotannya patah di badan mereka. Bayangkan hal seperti itu dilakukan kepada anak yang masih sangat lemah dan belum mengerti banyak tentang hidup. Bagi saya yang belum dikaruniai anak hingga hari ini, rasanya miris sekali melihat betapa orang-orang tua seperti itu tidak lagi memiliki rasa syukur dan tanggung jawab terhadap anugerah besar yang telah mereka terima.
Banyak orang tua yang kurang atau bahkan tidak mengerti bagaimana cara membesarkan anak secara bijaksana. Banyak diantara mereka yang melupakan pentingnya kasih sebagai dasar kehidupan yang seharusnya juga menyentuh hubungan antara orang tua dengan anaknya. Kita melihat anak-anak yang tumbuh dari keluarga yang keras dan kasar akhirnya menjadi orang-orang dengan mental yang porak poranda. Outputnya pun kemudian bisa bermacam-macam. Itu masih mending ketimbang anak-anak lain yang mungkin harus berakhir nyawanya bukan ditangan orang lain, tetapi justru ditangan orang tuanya sendiri. Di satu sisi, anak-anak memang terkadang harus dihukum agar menyadari kesalahan mereka dan tidak mengulangi lagi. Tetapi bentuk kekerasan fisik yang berlebihan bisa berakibat fatal, baik bagi masa depan mereka maupun nyawa mereka. Jika kita berpikir bahwa kekerasan fisik saja yang menjadi masalah, ada banyak pula anak-anak yang menjadi kacau karena sering dimaki, dikutuk atau dihujani kata-kata kasar dalam frekuensi tinggi. Tanpa disadari, hal seperti ini kemudian menghancurkan mental mereka hingga dewasa.
Alkitab menyatakan dengan jelas agar orang tua bertindak bijaksana dan berhati-hati dalam mendidik atau menghukum anak-anaknya. "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." (Kolose 3:21). Hati yang terlanjur tawar atau mungkin sudah pahit seringkali susah untuk dipulihkan. Jangan sampai karena tidak mampu menahan emosi kita bertindak melewati batas dan meninggalkan luka di hati mereka. Itu bisa berpengaruh besar terhadap masa depan mereka. Pada kesempatan lain kita pun membaca "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus 6:4). Do not irritate and provoke your children to anger, demikian bunyi pesan Paulus, but rear them tenderly in the training and discipline and the councel and admonition of the Lord. Mengajar atau menghukum anak bertujuan agar mereka menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik lagi bukan untuk menyiksa atau menjadikan mereka tempat pelampiasan. Jelas dikatakan bahwa anak-anak haruslah dididik dalam ajaran dan nasihat Tuhan, dan kekerasan baik secara fisik maupun mental bukannya membuat mereka mengenal Tuhan, tetapi justru sebaliknya akan membuat mereka tawar dan sulit untuk percaya kepada siapapun, termasuk kepada Tuhan.
Betapa indahnya pesan dalam Mazmur yang berkata: "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (Mazmur 127:4-5). Anak-anak, itu adalah bagaikan anak panah di tangan seorang pahlawan. Selayaknya pahlawan yang sedang memanah, ia harus pintar mengarahkan busurnya ke arah yang dituju, bukan menembak sembarangan. Apa yang bisa dipetik sebagai hasilnya bukan saja bermanfaat bagi masa depan anak-anak saja, melainkan orang tuanya pun kelak akan merasakan kebahagiaan lewat mereka. Betapa manusia sering lupa bahwa anak bukanlah hasil dari hubungan suami istri semata, tetapi seperti apa yang dikatakan Alkitab, anak merupakan warisan atau pusaka dari Tuhan. "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah." (Mazmur 127:3) Dalam bahasa Inggrisnya dikatakan: "Behold, children are a heritage from the Lord, the fruit of the womb a reward." Jadi bukan saja anak laki-laki, tetapi anak perempuan pun merupakan pusaka yang indah dari Tuhan. Jika kita menyadari kehadiran mereka sebagai anugerah yang sangat indah, bukankah itu berarti bahwa kita harus mensyukurinya dengan bertanggung jawab penuh atas mereka? Dan kekerasan atau makian jelas tidak termasuk di dalamnya.
Orang tua butuh memiliki hikmat Tuhan agar bisa mendidik anak-anak mereka dengan bijaksana. Dan Firman Tuhan berkata bahwa "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian." (Amsal 9:10). Awalilah langkah dengan rasa segan dan hormat akan Tuhan, dan dari sana melangkahlah maju dengan berpusat terus di dalamnya. Memang terkadang dibutuhkan kesabaran terlebih dalam menghadapi anak-anak yang tingkat kenakalannya di atas normal, dan jangan lupa bahwa bersama Tuhan kita akan bisa lebih sabar dalam menghadapi segala masalah. Ingatlah bahwa Firman Tuhan berkata: "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota." (Amsal 16:32). Tuhan menghargai kesabaran kita dengan begitu tinggi, karena selain dalam kasih itu memang terdapat kesabaran (1 Korintus 13:4) dan kita harus mengaplikasikan kasih dalam segala hal, kita pun harus sadar pula bahwa tanpa kesabaran kita bisa terjerumus melakukan banyak hal yang akan kita sesali di kemudian hari. Jika ada di antara teman-teman yang sempat atau pernah menyakiti hati anak-anak anda, berbesar hatilah untuk mengakui dan meminta maaf kepada mereka. Selalu ada lembaran baru disediakan Tuhan untuk memulihkan kembali hubungan antar keluarga termasuk antara orang tua dan anak-anaknya, pergunakanlah itu untuk memperoleh ikatan keluarga yang kokoh dengan kasih menjadi pengikatnya.
Jangan sakiti anak-anak lewat perbuatan atau perkataan karena itu bisa berdampak luas bagi masa depan mereka
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==================
"Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya."
Ingat kisah tragis Arie Hanggara? Anak malang berusia 8 tahun ini tewas akibat penyiksaan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri dan menjadi berita heboh pada saat kejadiannya di tahun 1984. Seperti anak-anak lainnya mungkin Arie memiliki sifat bandel yang masih harus diarahkan. Tetapi alih-alih diarahkan, ia malah mendapat hukuman-hukuman fisik lebih dari yang sanggup ia tanggung. Ia menjadi tempat pelampiasan kemarahan ayahnya yang kecewa pada hidupnya sendiri hingga diluar batas sampai pada akhirnya Arie tidak lagi sanggup menahan siksaan lebih lama. Penyesalan datang menyeruak begitu melihat Arie terbujur kaku, tetapi semua sudah terlambat. Kasus ini mungkin yang pertama diblow up besar-besaran di media massa pada saat itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika semakin banyak orang yang depresi dan tidak siap untuk mendidik anak, kasus-kasus "Arie Hanggara" lainnya pun kerap menghias berbagai sudut harian. Orang tua yang menyiram minyak tanah dan menyulut anaknya hidup-hidup, pemukulan keras bahkan dengan benda-benda pada bagian tubuh yang rawan, semua itu kita saksikan terjadi dimana-mana. Ada anak-anak yang dipukul dengan rotan berulang-ulang sampai rotannya patah di badan mereka. Bayangkan hal seperti itu dilakukan kepada anak yang masih sangat lemah dan belum mengerti banyak tentang hidup. Bagi saya yang belum dikaruniai anak hingga hari ini, rasanya miris sekali melihat betapa orang-orang tua seperti itu tidak lagi memiliki rasa syukur dan tanggung jawab terhadap anugerah besar yang telah mereka terima.
Banyak orang tua yang kurang atau bahkan tidak mengerti bagaimana cara membesarkan anak secara bijaksana. Banyak diantara mereka yang melupakan pentingnya kasih sebagai dasar kehidupan yang seharusnya juga menyentuh hubungan antara orang tua dengan anaknya. Kita melihat anak-anak yang tumbuh dari keluarga yang keras dan kasar akhirnya menjadi orang-orang dengan mental yang porak poranda. Outputnya pun kemudian bisa bermacam-macam. Itu masih mending ketimbang anak-anak lain yang mungkin harus berakhir nyawanya bukan ditangan orang lain, tetapi justru ditangan orang tuanya sendiri. Di satu sisi, anak-anak memang terkadang harus dihukum agar menyadari kesalahan mereka dan tidak mengulangi lagi. Tetapi bentuk kekerasan fisik yang berlebihan bisa berakibat fatal, baik bagi masa depan mereka maupun nyawa mereka. Jika kita berpikir bahwa kekerasan fisik saja yang menjadi masalah, ada banyak pula anak-anak yang menjadi kacau karena sering dimaki, dikutuk atau dihujani kata-kata kasar dalam frekuensi tinggi. Tanpa disadari, hal seperti ini kemudian menghancurkan mental mereka hingga dewasa.
Alkitab menyatakan dengan jelas agar orang tua bertindak bijaksana dan berhati-hati dalam mendidik atau menghukum anak-anaknya. "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." (Kolose 3:21). Hati yang terlanjur tawar atau mungkin sudah pahit seringkali susah untuk dipulihkan. Jangan sampai karena tidak mampu menahan emosi kita bertindak melewati batas dan meninggalkan luka di hati mereka. Itu bisa berpengaruh besar terhadap masa depan mereka. Pada kesempatan lain kita pun membaca "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus 6:4). Do not irritate and provoke your children to anger, demikian bunyi pesan Paulus, but rear them tenderly in the training and discipline and the councel and admonition of the Lord. Mengajar atau menghukum anak bertujuan agar mereka menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik lagi bukan untuk menyiksa atau menjadikan mereka tempat pelampiasan. Jelas dikatakan bahwa anak-anak haruslah dididik dalam ajaran dan nasihat Tuhan, dan kekerasan baik secara fisik maupun mental bukannya membuat mereka mengenal Tuhan, tetapi justru sebaliknya akan membuat mereka tawar dan sulit untuk percaya kepada siapapun, termasuk kepada Tuhan.
Betapa indahnya pesan dalam Mazmur yang berkata: "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (Mazmur 127:4-5). Anak-anak, itu adalah bagaikan anak panah di tangan seorang pahlawan. Selayaknya pahlawan yang sedang memanah, ia harus pintar mengarahkan busurnya ke arah yang dituju, bukan menembak sembarangan. Apa yang bisa dipetik sebagai hasilnya bukan saja bermanfaat bagi masa depan anak-anak saja, melainkan orang tuanya pun kelak akan merasakan kebahagiaan lewat mereka. Betapa manusia sering lupa bahwa anak bukanlah hasil dari hubungan suami istri semata, tetapi seperti apa yang dikatakan Alkitab, anak merupakan warisan atau pusaka dari Tuhan. "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah." (Mazmur 127:3) Dalam bahasa Inggrisnya dikatakan: "Behold, children are a heritage from the Lord, the fruit of the womb a reward." Jadi bukan saja anak laki-laki, tetapi anak perempuan pun merupakan pusaka yang indah dari Tuhan. Jika kita menyadari kehadiran mereka sebagai anugerah yang sangat indah, bukankah itu berarti bahwa kita harus mensyukurinya dengan bertanggung jawab penuh atas mereka? Dan kekerasan atau makian jelas tidak termasuk di dalamnya.
Orang tua butuh memiliki hikmat Tuhan agar bisa mendidik anak-anak mereka dengan bijaksana. Dan Firman Tuhan berkata bahwa "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian." (Amsal 9:10). Awalilah langkah dengan rasa segan dan hormat akan Tuhan, dan dari sana melangkahlah maju dengan berpusat terus di dalamnya. Memang terkadang dibutuhkan kesabaran terlebih dalam menghadapi anak-anak yang tingkat kenakalannya di atas normal, dan jangan lupa bahwa bersama Tuhan kita akan bisa lebih sabar dalam menghadapi segala masalah. Ingatlah bahwa Firman Tuhan berkata: "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota." (Amsal 16:32). Tuhan menghargai kesabaran kita dengan begitu tinggi, karena selain dalam kasih itu memang terdapat kesabaran (1 Korintus 13:4) dan kita harus mengaplikasikan kasih dalam segala hal, kita pun harus sadar pula bahwa tanpa kesabaran kita bisa terjerumus melakukan banyak hal yang akan kita sesali di kemudian hari. Jika ada di antara teman-teman yang sempat atau pernah menyakiti hati anak-anak anda, berbesar hatilah untuk mengakui dan meminta maaf kepada mereka. Selalu ada lembaran baru disediakan Tuhan untuk memulihkan kembali hubungan antar keluarga termasuk antara orang tua dan anak-anaknya, pergunakanlah itu untuk memperoleh ikatan keluarga yang kokoh dengan kasih menjadi pengikatnya.
Jangan sakiti anak-anak lewat perbuatan atau perkataan karena itu bisa berdampak luas bagi masa depan mereka
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sunday, April 24, 2011
Tidak Berbuah
Ayat bacaan: Filipi 1:22
================
"Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah."
Serangan hama tanaman membuat beberapa pohon di halaman rumah saya mati. Semua berjalan dalam waktu singkat. Awalnya daun-daunnya terlihat layu, saya pun berpikir mungkin itu hanya karena cuaca atau kurang disiram atau dipupuk. Ternyata di belakang daun terdapat bintik-bintik putih seperti jamur. Dan bukan saja di daun, setelah diperiksa pada akar-akarnya pun terdapat penyakit yang sama. Maka beberapa pohon pun habis menjadi botak kemudian mati. Adakah gunanya mempertahankan tanaman yang tinggal batang kering saja? Saya pun terpaksa mencabutnya dari pot lalu membakarnya. Sangat disayangkan memang, karena saya tadinya berharap bisa mendapatkan buah-buah yang manis dan segar dari pohon-pohon ini, namun serangan penyakit membuat saya harus merelakan beberapa pohon itu, dan untuk lain kali mengawasi dengan hati-hati setiap sisi dan lekuk daun sebelum kejadian yang sama terjadi lagi.
Sadarkah kita untuk apa kita hidup? Ada banyak orang tidak menyadari apa yang menjadi tujuan hidupnya. Mereka hanya menjalani sekenanya saja tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Mereka sibuk berhitung tanpa mau berbuat. Tidak jarang pula dosa-dosa terus menyerang seperti penyakit bintik-bintik putih di daun dan akar pohon. Terkadang letaknya pun tersembunyi sehingga jika tidak awas kita tidak menyadari bahwa kita sedang diserang hama dosa yang akibatnya bisa mematikan. Sama seperti pohon yang terserang penyakit, kita pun lama-lama akan kering, tidak lagi menghasilkan buah lalu binasa sia-sia. Menghasilkan buah bukan hanya penting bagi sebuah pohon, tetapi Alkitab jelas berkata bahwa hidup kita pun perlu menghasilkan buah. Bahkan dengan jelas dikatakan bahwa itulah tujuan kita di saat kita masih diberikan kesempatan untuk hidup di muka bumi ini.
Hal itu bisa kita baca dalam surat Filipi 1:22. "Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." Paulus mengingatkan kita semua bahwa hidup ini harus penuh dengan buah. Life has to be fruitful, or else it will just become a useless one. Untuk itu Paulus pun siap menanggung resiko apapun. Bahkan ia berkata: "Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan." (ay 21). Berbuah adalah satu hal yang harus kita hasilkan selama hidup. Seperti apakah berbuah itu? Berbuah berbicara tentang hidup yang bermakna, bermanfaat dan berguna, bukan saja bagi diri sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Berbuah berbicara tentang sebuah pertumbuhan dan perkembangan menghasilkan sesuatu yang manis. Berbuah, itu merupakan keharusan bagi orang-orang percaya, dan Yesus pun berulang kali memberi penekanan akan hal ini.
Lihatlah apa kata Yesus berikut: "Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal." (Matius 12:33). Dari buahnyalah sebuah pohon dikenal. Hal ini diulang Yesus beberapa kali dalam berbagai kesempatan, seperti ketika Dia menyampaikan perihal pengajar-pengajar yang sesat dalam Matius 7:15-23. Agar dapat membedakan mana yang benar dan sesat, kita bisa melihat itu dari buah-buah yang dihasilkan. "Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri?" (ay 16). Seperti apa buah yang kita hasilkan akan sangat menentukan seperti apa kita sudah menjalani tujuan hidup kita. Dan Tuhan tidak main-main mengenai kehidupan yang berbuah atau tidak ini."Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api." (ay 19). Lalu kembali kita menemukan peringatan Yesus yang sama: "Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka." (ay 20). Pohon yang tidak menghasilkan buah tidak ada gunanya dipertahankan. Batang kering itu hanya akan berakhir dengan ditebang lalu dibakar. Seperti itu pula kehidupan yang kita jalani dengan sia-sia. Semua hanya akan berakhir dalam api yang menyala-nyala.
Adalah baik jika kita sudah bertobat, tetapi kita harus melanjutkannya dengan menghasilkan buah yang baik, yang akan terasa segar dan manis pula bagi orang lain. Sebuah pertobatan harus berlanjut kepada berbuah, seperti apa yang dikatakan Yesus: "Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan." (ay 8). Kita pun harus menjaga diri kita baik-baik agar jangan sampai dosa-dosa kembali menyerang kita baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Semua itu bisa membuat kita berhenti menghasilkan buah sehingga akibatnya bisa menjadi sangat fatal di kemudian hari.
Adalah penting bagi kita untuk menyadari tujuan hidup, dan itu adalah dengan bekerja memberi buah. Tidak jarang kita lupa akan hal ini. Kita merasa puas dengan menjadi orang percaya, atau merasa sudah cukup ketika kita mencapai jabatan-jabatan tertentu baik dalam pekerjaan maupun dalam pelayanan. Semua itu tidaklah salah asal jangan kemudian merubah kita menjadi sombong. Tetapi kita pun perlu menyadari bahwa Tuhan tidak peduli setinggi apa jabatan kita, atau berapa lama kita sudah menjadi pengikutNya. Apa yang Dia perhatikan adalah buah yang kita hasilkan, apakah kita sudah bertumbuh dengan subur dan menghasilkan banyak buah ranum yang rasanya manis dan segar, atau kita tidak kunjung menghasilkan apapun dalam hidup ini. Maka Yesus mengingatkan: "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar." (Yohanes 15:4-6). Jangan lupa bahwa ranting-ranting yang tidak berbuah akhirnya akan dipotong (ay 2a), lalu dikumpulkan dan dicampakkan ke dalam api. Ini adalah sesuatu yang tidak main-main. Oleh karena itu selama kita masih diberi kesempatan untuk hidup, pastikanlah bahwa kita terus berbuah.
Teruslah bertumbuh dan hasilkan buah-buah yang manis sesuai pertobatan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
================
"Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah."
Serangan hama tanaman membuat beberapa pohon di halaman rumah saya mati. Semua berjalan dalam waktu singkat. Awalnya daun-daunnya terlihat layu, saya pun berpikir mungkin itu hanya karena cuaca atau kurang disiram atau dipupuk. Ternyata di belakang daun terdapat bintik-bintik putih seperti jamur. Dan bukan saja di daun, setelah diperiksa pada akar-akarnya pun terdapat penyakit yang sama. Maka beberapa pohon pun habis menjadi botak kemudian mati. Adakah gunanya mempertahankan tanaman yang tinggal batang kering saja? Saya pun terpaksa mencabutnya dari pot lalu membakarnya. Sangat disayangkan memang, karena saya tadinya berharap bisa mendapatkan buah-buah yang manis dan segar dari pohon-pohon ini, namun serangan penyakit membuat saya harus merelakan beberapa pohon itu, dan untuk lain kali mengawasi dengan hati-hati setiap sisi dan lekuk daun sebelum kejadian yang sama terjadi lagi.
Sadarkah kita untuk apa kita hidup? Ada banyak orang tidak menyadari apa yang menjadi tujuan hidupnya. Mereka hanya menjalani sekenanya saja tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Mereka sibuk berhitung tanpa mau berbuat. Tidak jarang pula dosa-dosa terus menyerang seperti penyakit bintik-bintik putih di daun dan akar pohon. Terkadang letaknya pun tersembunyi sehingga jika tidak awas kita tidak menyadari bahwa kita sedang diserang hama dosa yang akibatnya bisa mematikan. Sama seperti pohon yang terserang penyakit, kita pun lama-lama akan kering, tidak lagi menghasilkan buah lalu binasa sia-sia. Menghasilkan buah bukan hanya penting bagi sebuah pohon, tetapi Alkitab jelas berkata bahwa hidup kita pun perlu menghasilkan buah. Bahkan dengan jelas dikatakan bahwa itulah tujuan kita di saat kita masih diberikan kesempatan untuk hidup di muka bumi ini.
Hal itu bisa kita baca dalam surat Filipi 1:22. "Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." Paulus mengingatkan kita semua bahwa hidup ini harus penuh dengan buah. Life has to be fruitful, or else it will just become a useless one. Untuk itu Paulus pun siap menanggung resiko apapun. Bahkan ia berkata: "Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan." (ay 21). Berbuah adalah satu hal yang harus kita hasilkan selama hidup. Seperti apakah berbuah itu? Berbuah berbicara tentang hidup yang bermakna, bermanfaat dan berguna, bukan saja bagi diri sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Berbuah berbicara tentang sebuah pertumbuhan dan perkembangan menghasilkan sesuatu yang manis. Berbuah, itu merupakan keharusan bagi orang-orang percaya, dan Yesus pun berulang kali memberi penekanan akan hal ini.
Lihatlah apa kata Yesus berikut: "Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal." (Matius 12:33). Dari buahnyalah sebuah pohon dikenal. Hal ini diulang Yesus beberapa kali dalam berbagai kesempatan, seperti ketika Dia menyampaikan perihal pengajar-pengajar yang sesat dalam Matius 7:15-23. Agar dapat membedakan mana yang benar dan sesat, kita bisa melihat itu dari buah-buah yang dihasilkan. "Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri?" (ay 16). Seperti apa buah yang kita hasilkan akan sangat menentukan seperti apa kita sudah menjalani tujuan hidup kita. Dan Tuhan tidak main-main mengenai kehidupan yang berbuah atau tidak ini."Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api." (ay 19). Lalu kembali kita menemukan peringatan Yesus yang sama: "Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka." (ay 20). Pohon yang tidak menghasilkan buah tidak ada gunanya dipertahankan. Batang kering itu hanya akan berakhir dengan ditebang lalu dibakar. Seperti itu pula kehidupan yang kita jalani dengan sia-sia. Semua hanya akan berakhir dalam api yang menyala-nyala.
Adalah baik jika kita sudah bertobat, tetapi kita harus melanjutkannya dengan menghasilkan buah yang baik, yang akan terasa segar dan manis pula bagi orang lain. Sebuah pertobatan harus berlanjut kepada berbuah, seperti apa yang dikatakan Yesus: "Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan." (ay 8). Kita pun harus menjaga diri kita baik-baik agar jangan sampai dosa-dosa kembali menyerang kita baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Semua itu bisa membuat kita berhenti menghasilkan buah sehingga akibatnya bisa menjadi sangat fatal di kemudian hari.
Adalah penting bagi kita untuk menyadari tujuan hidup, dan itu adalah dengan bekerja memberi buah. Tidak jarang kita lupa akan hal ini. Kita merasa puas dengan menjadi orang percaya, atau merasa sudah cukup ketika kita mencapai jabatan-jabatan tertentu baik dalam pekerjaan maupun dalam pelayanan. Semua itu tidaklah salah asal jangan kemudian merubah kita menjadi sombong. Tetapi kita pun perlu menyadari bahwa Tuhan tidak peduli setinggi apa jabatan kita, atau berapa lama kita sudah menjadi pengikutNya. Apa yang Dia perhatikan adalah buah yang kita hasilkan, apakah kita sudah bertumbuh dengan subur dan menghasilkan banyak buah ranum yang rasanya manis dan segar, atau kita tidak kunjung menghasilkan apapun dalam hidup ini. Maka Yesus mengingatkan: "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar." (Yohanes 15:4-6). Jangan lupa bahwa ranting-ranting yang tidak berbuah akhirnya akan dipotong (ay 2a), lalu dikumpulkan dan dicampakkan ke dalam api. Ini adalah sesuatu yang tidak main-main. Oleh karena itu selama kita masih diberi kesempatan untuk hidup, pastikanlah bahwa kita terus berbuah.
Teruslah bertumbuh dan hasilkan buah-buah yang manis sesuai pertobatan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, April 23, 2011
Bai Fang Li : Sebuah Kasih Luar Biasa
Ayat bacaan: 1 Yohanes 3:18
======================
"Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran."
Sebuah email yang mampir hari ini dari seorang teman membuat saya menitikkan air mata. Email itu menceritakan tentang seorang kakek tua di Tianjin, Cina bernama Bai Fang Li. Ia bukanlah orang yang berkelimpahan harta. Li adalah kakek yang miskin secara materi, tetapi punya hati yang luar biasa kaya.
Kemiskinan tidak membuatnya punya alasan untuk memberi. Ia terpanggil untuk memberi sumbangan kepada sekolah-sekolah dan universitas di kotanya untuk menolong lebih dari 300 anak miskin agar mampu memperoleh pendidikan demi masa depan mereka. Selama 20 tahun ia menggenjot becaknya demi memperoleh uang agar bisa menambah jumlah sumbangannya. Ia memilih hidup secukupnya agar bisa semakin banyak memberi. Makan siangnya hanyalah dua buah kue kismis dan air tawar, sedang malamnya ia hanya makan sepotong daging atau sebutir telur. Baju yang ia kenakan diambil dari tempat sampah, jika mendapat beberapa helai pakaian itu sudah merupakan suatu kemewahan. Li menarik becak tanpa henti, 365 hari setahun tanp peduli kondisi cuaca. Baik ketika salju turun atau panas terik menyengat, dia terus mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi hingga jam 8 malam. "Tidak apa-apa saya menderita",tetapi biarlah anak-anak yang miskin itu dapat bersekolah" katanya. Ketika usianya menginjak 90 tahun, ia tahu ia tidak mampu lagi mengayuh becaknya. Tabungan terakhirnya berjumlah 500 yuan atau sekitar Rp 650.000, dan semuanya ia sumbangkan ke sekolah Yao Hua. Dia berkata, "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin terakhir yang dapat saya sumbangkan.." Dan semua guru disana pun menangis. Tiga tahun kemudian, Bai Fang Li wafat dan dikatakan meninggal dalam kemiskinan. Tetapi lihatlah dibalik kemiskinannya itu ia telah menyumbang 350.000 yuan secara total, atau sekitar Rp 455 juta rupiah selama hidupnya. Ia membaktikan hidupnya secara penuh demi membantu anak-anak miskin yang tidak sanggup sekolah. Sebuah kisah inspiratif yang sungguh mengharukan, dan saya pun tak kuasa untuk membendung air mata ketika membaca dan melihat foto-fotonya.
Di tengah kehidupan dunia yang berpusat pada kepentingan pribadi, kalau perlu saling sikut dan membinasakan demi keuntungan sendiri, apa yang dilakukan Bai Fang Li menunjukkan bahwa ternyata masih ada orang-orang berhati mulia melebihi emas di muka bumi ini. Ketika orang terus merasa dirinya tidak mampu dan menolak membantu orang yang susah meski hanya sedikit saja sekalipun, Bai Fang Li menunjukkan bahwa ia masih terus bisa memberi dalam kekurangannya. Jika kita membaca rincian kasih yang sangat luar biasa indahnya oleh Paulus dalam 1 Korintus 13:4-7, maka kita pun akan mendapati bahwa gambaran kasih yang sejati itu semuanya tercakup dalam apa yang dilakukan Li semasa hidupnya. "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." Demikian bunyi rangkaian ayat yang menjelaskan secara rinci mengenai kasih yang sebenarnya, dan lihatlah bahwa semua itu terangkum indah dalam perbuatan Li. Kontribusinya bukanlah sebatas kata-kata simpati saja, tetapi semua tertumpah nyata lewat pengorbanan-pengorbanan yang ia lakukan demi membantu anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Dari milyaran orang di dunia ini, ada berapa banyak Bai Fang Li yang peduli terhadap sesamanya dan mau mengorbankan diri demi membantu mereka? Orang miskin seperti Bai Fang Li mau melakukan itu, sementara banyak orang kaya masih saja merasa tidak cukup untuk bisa berbuat sesuatu bagi sesamanya.
Alkitab berkata: "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran." (1 Yohanes 3:18). Ini adalah seruan yang sangat penting dimana perbuatan kakek Li mencerminkan keteladanan yang bersinar cemerlang akan hal ini. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri, ia bahkan rela berkorban habis-habisan sampai batas terakhir kekuatannya demi menolong sesamanya. Dan perhatikan bagaimana Tuhan menghargai orang-orang berhati mulia seperti ini. Ketika Yesus melihat seorang janda miskin memberi dua peser seperti yang bisa kita baca dalam Markus 12:41-44, kita bisa melihat seperti apa suara hati Tuhan menyikapi orang-orang dengan hati seperti Li. "Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (Markus 12:43-44). Tuhan menghargai betul pengorbanan sekecil apapun yang dilakukan orang atas dasar kasih. Betapa langkanya orang-orang seperti Li, betapa mahalnya hati yang tulus dan penuh kasih seperti yang ia miliki. Dan betapa memalukannya jika kita yang mengaku anak-anak Tuhan ternyata tidak memiliki secuilpun hati seperti dia.
Bai Fang Li sudah tiada, namun jasanya akan terus dikenang orang. Ia tidak membutuhkan pujian, ada atau tidak ia terus memberi kepada sesamanya. Saya yakin meskipun secara fisik ia menderita, tetapi hatinya bahagia karena mampu melakukan sesuatu bagi orang lain. "Sebuah cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa", itu bunyi tulisan di atas foto terakhirnya. Sebuah ungkapan kasih untuk orang yang memiliki kasih yang begitu luar biasa. Bai Fang Li membuktikan bahwa kasih tidak mengenal batas dan sekat. Dia membuktikan bahwa tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak melakukan sesuatu bagi penderitaan orang lain. Li menunjukkan bahwa talenta sekecil apapun akan mampu memberi sumbangan besar bagi dunia. Dan Li membuktikan bahwa "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah Para Rasul 20:35). Ketika dunia menunjukkan sikap penuh kebencian terhadap sesama terutama kepada orang-orang yang berseberangan, when "every men for himself" is the way to live according to the world, Li has shown the kind of heart that will shine forever like a rare diamond. Sebagai orang percaya, kita semua dipanggil untuk menunjukkan kasih Allah yang sejati, kasih yang tidak membeda-bedakan atau mengkotak-kotakkan, kasih yang rela berkorban demi sesama tanpa terkecuali. Betapa kita membutuhkan Bai Fang Li-Bai Fang Li lainnya di dunia ini agar dunia menjadi tempat yang jauh lebih indah untuk dihidupi. Mari teladani kisah ini dan nyatakan kasih Allah yang indah kepada sesama kita.
Kemiskinan tidak membatasi orang untuk bisa berbuat sesuatu dengan kekayaan hatinya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
======================
"Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran."
Sebuah email yang mampir hari ini dari seorang teman membuat saya menitikkan air mata. Email itu menceritakan tentang seorang kakek tua di Tianjin, Cina bernama Bai Fang Li. Ia bukanlah orang yang berkelimpahan harta. Li adalah kakek yang miskin secara materi, tetapi punya hati yang luar biasa kaya.
Kemiskinan tidak membuatnya punya alasan untuk memberi. Ia terpanggil untuk memberi sumbangan kepada sekolah-sekolah dan universitas di kotanya untuk menolong lebih dari 300 anak miskin agar mampu memperoleh pendidikan demi masa depan mereka. Selama 20 tahun ia menggenjot becaknya demi memperoleh uang agar bisa menambah jumlah sumbangannya. Ia memilih hidup secukupnya agar bisa semakin banyak memberi. Makan siangnya hanyalah dua buah kue kismis dan air tawar, sedang malamnya ia hanya makan sepotong daging atau sebutir telur. Baju yang ia kenakan diambil dari tempat sampah, jika mendapat beberapa helai pakaian itu sudah merupakan suatu kemewahan. Li menarik becak tanpa henti, 365 hari setahun tanp peduli kondisi cuaca. Baik ketika salju turun atau panas terik menyengat, dia terus mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi hingga jam 8 malam. "Tidak apa-apa saya menderita",tetapi biarlah anak-anak yang miskin itu dapat bersekolah" katanya. Ketika usianya menginjak 90 tahun, ia tahu ia tidak mampu lagi mengayuh becaknya. Tabungan terakhirnya berjumlah 500 yuan atau sekitar Rp 650.000, dan semuanya ia sumbangkan ke sekolah Yao Hua. Dia berkata, "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin terakhir yang dapat saya sumbangkan.." Dan semua guru disana pun menangis. Tiga tahun kemudian, Bai Fang Li wafat dan dikatakan meninggal dalam kemiskinan. Tetapi lihatlah dibalik kemiskinannya itu ia telah menyumbang 350.000 yuan secara total, atau sekitar Rp 455 juta rupiah selama hidupnya. Ia membaktikan hidupnya secara penuh demi membantu anak-anak miskin yang tidak sanggup sekolah. Sebuah kisah inspiratif yang sungguh mengharukan, dan saya pun tak kuasa untuk membendung air mata ketika membaca dan melihat foto-fotonya.
Di tengah kehidupan dunia yang berpusat pada kepentingan pribadi, kalau perlu saling sikut dan membinasakan demi keuntungan sendiri, apa yang dilakukan Bai Fang Li menunjukkan bahwa ternyata masih ada orang-orang berhati mulia melebihi emas di muka bumi ini. Ketika orang terus merasa dirinya tidak mampu dan menolak membantu orang yang susah meski hanya sedikit saja sekalipun, Bai Fang Li menunjukkan bahwa ia masih terus bisa memberi dalam kekurangannya. Jika kita membaca rincian kasih yang sangat luar biasa indahnya oleh Paulus dalam 1 Korintus 13:4-7, maka kita pun akan mendapati bahwa gambaran kasih yang sejati itu semuanya tercakup dalam apa yang dilakukan Li semasa hidupnya. "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." Demikian bunyi rangkaian ayat yang menjelaskan secara rinci mengenai kasih yang sebenarnya, dan lihatlah bahwa semua itu terangkum indah dalam perbuatan Li. Kontribusinya bukanlah sebatas kata-kata simpati saja, tetapi semua tertumpah nyata lewat pengorbanan-pengorbanan yang ia lakukan demi membantu anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Dari milyaran orang di dunia ini, ada berapa banyak Bai Fang Li yang peduli terhadap sesamanya dan mau mengorbankan diri demi membantu mereka? Orang miskin seperti Bai Fang Li mau melakukan itu, sementara banyak orang kaya masih saja merasa tidak cukup untuk bisa berbuat sesuatu bagi sesamanya.
Alkitab berkata: "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran." (1 Yohanes 3:18). Ini adalah seruan yang sangat penting dimana perbuatan kakek Li mencerminkan keteladanan yang bersinar cemerlang akan hal ini. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri, ia bahkan rela berkorban habis-habisan sampai batas terakhir kekuatannya demi menolong sesamanya. Dan perhatikan bagaimana Tuhan menghargai orang-orang berhati mulia seperti ini. Ketika Yesus melihat seorang janda miskin memberi dua peser seperti yang bisa kita baca dalam Markus 12:41-44, kita bisa melihat seperti apa suara hati Tuhan menyikapi orang-orang dengan hati seperti Li. "Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (Markus 12:43-44). Tuhan menghargai betul pengorbanan sekecil apapun yang dilakukan orang atas dasar kasih. Betapa langkanya orang-orang seperti Li, betapa mahalnya hati yang tulus dan penuh kasih seperti yang ia miliki. Dan betapa memalukannya jika kita yang mengaku anak-anak Tuhan ternyata tidak memiliki secuilpun hati seperti dia.
Bai Fang Li sudah tiada, namun jasanya akan terus dikenang orang. Ia tidak membutuhkan pujian, ada atau tidak ia terus memberi kepada sesamanya. Saya yakin meskipun secara fisik ia menderita, tetapi hatinya bahagia karena mampu melakukan sesuatu bagi orang lain. "Sebuah cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa", itu bunyi tulisan di atas foto terakhirnya. Sebuah ungkapan kasih untuk orang yang memiliki kasih yang begitu luar biasa. Bai Fang Li membuktikan bahwa kasih tidak mengenal batas dan sekat. Dia membuktikan bahwa tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak melakukan sesuatu bagi penderitaan orang lain. Li menunjukkan bahwa talenta sekecil apapun akan mampu memberi sumbangan besar bagi dunia. Dan Li membuktikan bahwa "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah Para Rasul 20:35). Ketika dunia menunjukkan sikap penuh kebencian terhadap sesama terutama kepada orang-orang yang berseberangan, when "every men for himself" is the way to live according to the world, Li has shown the kind of heart that will shine forever like a rare diamond. Sebagai orang percaya, kita semua dipanggil untuk menunjukkan kasih Allah yang sejati, kasih yang tidak membeda-bedakan atau mengkotak-kotakkan, kasih yang rela berkorban demi sesama tanpa terkecuali. Betapa kita membutuhkan Bai Fang Li-Bai Fang Li lainnya di dunia ini agar dunia menjadi tempat yang jauh lebih indah untuk dihidupi. Mari teladani kisah ini dan nyatakan kasih Allah yang indah kepada sesama kita.
Kemiskinan tidak membatasi orang untuk bisa berbuat sesuatu dengan kekayaan hatinya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Friday, April 22, 2011
Sumber Kekuatan
Ayat bacaan: Mazmur 28:7
==================
"TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya."
Pernahkah anda merasakan bahwa usaha keras yang anda lakukan sepertinya tidak membawa hasil seperti yang anda harapkan? Pernahkah anda merasakan bahwa meski anda sudah mati-matian berbuat sesuatu seperti dalam pekerjaan atau belajar misalnya, tetapi semua terasa sia-sia? Ada masa-masa dimana kita bisa merasakan hal seperti itu. Saat ini saya sedang merasakannya. Segenap tenaga, pikiran dan usaha sudah saya kerahkan, namun hasilnya tidak juga sepadan dengan pengorbanan saya. Ibarat menanam benih di dalam sebuah pot tetapi tunas tidak kunjung tumbuh keluar dari tanah. Hari ini saya terpaksa tidak tidur karena pekerjaan baru saja selesai sementara pagi-pagi benar sudah ada pekerjaan lain yang menanti. Terlalu tanggung untuk tidur, bisa-bisa saya tidak terbangun pada saatnya. Waktu yang sedikit ini sedang saya pakai untuk menulis sebuah renungan yang berasal dari apa yang saya pikirkan saat ini. Secara kasat mata hasil belum terlihat, tetapi iman saya menolak untuk menyerah atau kecewa. It's just a matter of time, I believe on that. Kalaupun tidak ada hasilnya, yang penting saya sudah melakukan yang terbaik, seperti melakukannya untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
Sebuah penantian memang terkadang terasa melelahkan. Itu bisa lebih melelahkan ketimbang capai fisik. Apakah saya harus bersedih, bimbang dan ragu? Hidup adalah pilihan, dan saya memilih untuk tidak seperti itu. Saya percaya Tuhan tahu keseriusan dan kesungguhan saya, Dia yang menguji hati tentu akan tahu bagaimana ketulusan saya melakukan segala sesuatu, karenanya saya tidak perlu meragukan Tuhan. Ketika badan saya terasa lelah seperti saat ini dan rasanya rindu merasakan empuknya kasur, saya masih bisa merasakan sukacita. Jika mengandalkan kekuatan sendiri mungkin saya sudah menyerah sejak lama, tetapi kekuatan dari Tuhan membuat saya mampu terus bertahan, terus melakukan yang terbaik tanpa kehilangan sukacita dan rasa syukur setitikpun.
Firman Tuhan hari ini semakin meneguhkan batin saya. Dengarlah apa kata Firman Tuhan yang bagi saya terasa seperti sebuah pelukan hangat dari Tuhan disertai pesan bahwa Dia mendengar dan merasakan apa yang saya rasakan. Sebuah petikan Mazmur dari Daud yang ditulis dengan sangat indah, berbunyi: "TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya." (Mazmur 28:7). The Lord is my Strength and my Shield. Bukan diri saya, bukan usaha saya, bukan kepandaian ataupun kemampuan saya, tetapi sumber kekuatan itu datangnya adalah dari Tuhan. Dialah sumber kekuatan dan sumber perlindungan. Dia selalu menolong dan menggirangkan hati kita, dan karena itu dalam kondisi apapun tidak ada satupun alasan bagi saya untuk tidak bersukacita dan memuji Dia dengan penuh ungkapan syukur. Saya percaya Dia akan selalu ada bersama saya, menguatkan, meneguhkan dan membimbing setiap langkah. Dia tidak akan meninggalkan dan mengabaikan saya. Dia mengasihi saya dan tidak akan pernah menutup mataNya atau memalingkan mukaNya. Demikian pula kepada anda semua, anak-anakNya yang sama dikasihiNya. Daud melanjutkan: "TUHAN adalah kekuatan umat-Nya dan benteng keselamatan bagi orang yang diurapi-Nya!" (ay 8). Betapa kedua ayat ini menggambarkan dengan jelas siapa Tuhan bagi kita, terlebih dalam keadaan sulit yang tengah dihadapi.
Dalam 1 Tawarikh kita bisa mendapati kembali iman Daud yang dia ungkapkan lewat pujian. "Keagungan dan semarak ada di hadapan-Nya, kekuatan dan sukacita ada di tempat-Nya." (1 Tawarikh 16:27). Di hadapan Tuhan selalu ada keagungan dan semarak tanpa pernah habis. Kekuatan dan sukacita tak terbatas selalu ada di tempatNya. Itulah sebabnya saya bisa terus tersenyum dan tidak merasakan kekurangan sedikitpun, sebab mata hati saya terus memandang mengarah kepadaNya. Saya tidak memandang kepada masalah, kepada ketidakpastian saat ini, kepada kesulitan yang tengah ada. Itu tidak akan membawa hasil apa-apa selain semakin memperlemah iman. Memandang kepada Tuhan, terus berpegang dan percaya sepenuhnya kepadaNya, menyerahkan seluruh hidup dan usaha yang saya lakukan kedalam tanganNya, terus berjalan dalam pengharapan tanpa henti sambil terus pula berbuat yang terbaik sekuat yang saya mampu, itu akan membuat saya tidak perlu kehilangan sukacita.
FirmanNya berkata: "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya..ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam..ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;" (Pengkotbah 3:1-4). Ketika kita berada pada situasi yang tidak kondusif, itu saatnya untuk memperhatikan betul kondisi hati kita, sehingga pada saatnya nanti kita bisa menuai hasil yang maksimal seperti yang Dia curahkan kepada kita. Apa yang perlu kita lakukan adalah berhenti memandang kepada masalah dan mengarahkan pandangan kepadaNya, terus berbuat yang terbaik seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia, sambil terus disertai rasa syukur. Itu akan membuat api sukacita terus menyala. Itu akan membuat kita mampu merasakan kekuatan dari Tuhan meneguhkan kita. Itu akan membuat kita tetap tenang dan terus bersemangat untuk berbuat sesuatu. "Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya.." (2 Petrus 3:9), dan itu saya percaya penuh. Kesulitan bagi saya adalah sebuah kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru dan menyaksikan mukjizatNya. Meski saat ini saya belum menuai sesuatu sesuai dengan usaha yang saya lakukan, saya tidak ragu sedikitpun kepada janjiNya. Saya masih tersenyum ditengah badan yang lelah, saya masih bersemangat untuk kembali bekerja sebentar lagi. Ada kekuatan Tuhan yang tidak terbatas bersama saya, ada Roh Kudus yang terus menyala mengobarkan semangat dalam hati saya, dan itu semua membuat saya masih merasakan sukacita sebesar-besarnya saat ini. Jika diantara teman-teman ada yang tengah mengalami pergumulan terhadap sesuatu, peganglah janji-janjiNya dan teruslah berjalan dalam iman. Dia tidak meninggalkan anak-anakNya, Dia tidak menutup mataNya. Dia akan selalu ada bersama kita, memperhatikan segala kebutuhan kita dan akan menyediakan semuanya berkelimpahan.
Tuhan tidak pernah lalai dan ingkar janji, Dia adalah sumber kekuatan yang penuh kasih
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==================
"TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya."
Pernahkah anda merasakan bahwa usaha keras yang anda lakukan sepertinya tidak membawa hasil seperti yang anda harapkan? Pernahkah anda merasakan bahwa meski anda sudah mati-matian berbuat sesuatu seperti dalam pekerjaan atau belajar misalnya, tetapi semua terasa sia-sia? Ada masa-masa dimana kita bisa merasakan hal seperti itu. Saat ini saya sedang merasakannya. Segenap tenaga, pikiran dan usaha sudah saya kerahkan, namun hasilnya tidak juga sepadan dengan pengorbanan saya. Ibarat menanam benih di dalam sebuah pot tetapi tunas tidak kunjung tumbuh keluar dari tanah. Hari ini saya terpaksa tidak tidur karena pekerjaan baru saja selesai sementara pagi-pagi benar sudah ada pekerjaan lain yang menanti. Terlalu tanggung untuk tidur, bisa-bisa saya tidak terbangun pada saatnya. Waktu yang sedikit ini sedang saya pakai untuk menulis sebuah renungan yang berasal dari apa yang saya pikirkan saat ini. Secara kasat mata hasil belum terlihat, tetapi iman saya menolak untuk menyerah atau kecewa. It's just a matter of time, I believe on that. Kalaupun tidak ada hasilnya, yang penting saya sudah melakukan yang terbaik, seperti melakukannya untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
Sebuah penantian memang terkadang terasa melelahkan. Itu bisa lebih melelahkan ketimbang capai fisik. Apakah saya harus bersedih, bimbang dan ragu? Hidup adalah pilihan, dan saya memilih untuk tidak seperti itu. Saya percaya Tuhan tahu keseriusan dan kesungguhan saya, Dia yang menguji hati tentu akan tahu bagaimana ketulusan saya melakukan segala sesuatu, karenanya saya tidak perlu meragukan Tuhan. Ketika badan saya terasa lelah seperti saat ini dan rasanya rindu merasakan empuknya kasur, saya masih bisa merasakan sukacita. Jika mengandalkan kekuatan sendiri mungkin saya sudah menyerah sejak lama, tetapi kekuatan dari Tuhan membuat saya mampu terus bertahan, terus melakukan yang terbaik tanpa kehilangan sukacita dan rasa syukur setitikpun.
Firman Tuhan hari ini semakin meneguhkan batin saya. Dengarlah apa kata Firman Tuhan yang bagi saya terasa seperti sebuah pelukan hangat dari Tuhan disertai pesan bahwa Dia mendengar dan merasakan apa yang saya rasakan. Sebuah petikan Mazmur dari Daud yang ditulis dengan sangat indah, berbunyi: "TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya." (Mazmur 28:7). The Lord is my Strength and my Shield. Bukan diri saya, bukan usaha saya, bukan kepandaian ataupun kemampuan saya, tetapi sumber kekuatan itu datangnya adalah dari Tuhan. Dialah sumber kekuatan dan sumber perlindungan. Dia selalu menolong dan menggirangkan hati kita, dan karena itu dalam kondisi apapun tidak ada satupun alasan bagi saya untuk tidak bersukacita dan memuji Dia dengan penuh ungkapan syukur. Saya percaya Dia akan selalu ada bersama saya, menguatkan, meneguhkan dan membimbing setiap langkah. Dia tidak akan meninggalkan dan mengabaikan saya. Dia mengasihi saya dan tidak akan pernah menutup mataNya atau memalingkan mukaNya. Demikian pula kepada anda semua, anak-anakNya yang sama dikasihiNya. Daud melanjutkan: "TUHAN adalah kekuatan umat-Nya dan benteng keselamatan bagi orang yang diurapi-Nya!" (ay 8). Betapa kedua ayat ini menggambarkan dengan jelas siapa Tuhan bagi kita, terlebih dalam keadaan sulit yang tengah dihadapi.
Dalam 1 Tawarikh kita bisa mendapati kembali iman Daud yang dia ungkapkan lewat pujian. "Keagungan dan semarak ada di hadapan-Nya, kekuatan dan sukacita ada di tempat-Nya." (1 Tawarikh 16:27). Di hadapan Tuhan selalu ada keagungan dan semarak tanpa pernah habis. Kekuatan dan sukacita tak terbatas selalu ada di tempatNya. Itulah sebabnya saya bisa terus tersenyum dan tidak merasakan kekurangan sedikitpun, sebab mata hati saya terus memandang mengarah kepadaNya. Saya tidak memandang kepada masalah, kepada ketidakpastian saat ini, kepada kesulitan yang tengah ada. Itu tidak akan membawa hasil apa-apa selain semakin memperlemah iman. Memandang kepada Tuhan, terus berpegang dan percaya sepenuhnya kepadaNya, menyerahkan seluruh hidup dan usaha yang saya lakukan kedalam tanganNya, terus berjalan dalam pengharapan tanpa henti sambil terus pula berbuat yang terbaik sekuat yang saya mampu, itu akan membuat saya tidak perlu kehilangan sukacita.
FirmanNya berkata: "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya..ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam..ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;" (Pengkotbah 3:1-4). Ketika kita berada pada situasi yang tidak kondusif, itu saatnya untuk memperhatikan betul kondisi hati kita, sehingga pada saatnya nanti kita bisa menuai hasil yang maksimal seperti yang Dia curahkan kepada kita. Apa yang perlu kita lakukan adalah berhenti memandang kepada masalah dan mengarahkan pandangan kepadaNya, terus berbuat yang terbaik seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia, sambil terus disertai rasa syukur. Itu akan membuat api sukacita terus menyala. Itu akan membuat kita mampu merasakan kekuatan dari Tuhan meneguhkan kita. Itu akan membuat kita tetap tenang dan terus bersemangat untuk berbuat sesuatu. "Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya.." (2 Petrus 3:9), dan itu saya percaya penuh. Kesulitan bagi saya adalah sebuah kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru dan menyaksikan mukjizatNya. Meski saat ini saya belum menuai sesuatu sesuai dengan usaha yang saya lakukan, saya tidak ragu sedikitpun kepada janjiNya. Saya masih tersenyum ditengah badan yang lelah, saya masih bersemangat untuk kembali bekerja sebentar lagi. Ada kekuatan Tuhan yang tidak terbatas bersama saya, ada Roh Kudus yang terus menyala mengobarkan semangat dalam hati saya, dan itu semua membuat saya masih merasakan sukacita sebesar-besarnya saat ini. Jika diantara teman-teman ada yang tengah mengalami pergumulan terhadap sesuatu, peganglah janji-janjiNya dan teruslah berjalan dalam iman. Dia tidak meninggalkan anak-anakNya, Dia tidak menutup mataNya. Dia akan selalu ada bersama kita, memperhatikan segala kebutuhan kita dan akan menyediakan semuanya berkelimpahan.
Tuhan tidak pernah lalai dan ingkar janji, Dia adalah sumber kekuatan yang penuh kasih
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, April 21, 2011
Sesama Manusia
Ayat bacaan: Zakharia 7:9
==================
"Beginilah firman TUHAN semesta alam: Laksanakanlah hukum yang benar dan tunjukkanlah kesetiaan dan kasih sayang kepada masing-masing!"
Betapa mudahnya mendapat teman di kala senang, tetapi begitu sulit mencari seorangpun dikala susah. Itu dialami begitu banyak orang, dan saya pun pernah mengalaminya. Ketika kita sedang sukses, orang pun berdatangan dengan sanjungan-sanjungannya, tidak jarang pula mereka membawa buah tangan dan menunjukkan sikap sangat manis. Tetapi ketika kita terjatuh, perlahan tapi pasti mereka pun mulai menjauh meninggalkan kita. Seorang artis senior pernah bercerita mengenai pengalamannya akan hal ini kepada saya. "Habis manis sepah dibuang", katanya. Jangankan menolong, untuk mengenal saja mereka sudah enggan. Betapa bedanya perilaku mereka dahulu ketika saya masih di atas dengan saat ini ketika saya sudah tidak ada apa-apanya lagi. Miris memang, tetapi begitulah perilaku banyak manusia yang hanya baik ketika ada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya. Tidak tertutup kemungkinan kita pun pernah atau bahkan masih menunjukkan sikap seperti itu. Ketika telepon seluler berdering, kita akan melihat dahulu siapa yang menghubungi, dan akan memilah-milah yang mana yang mau dijawab, mana yang mau diabaikan, atau dijawab seadanya saja dengan dingin. Maka ada istilah pilih kasih, tergantung standar kita, tergantung ukuran kita.
Mari kita lihat sejenak Lukas 10:25-37. Pada suatu kali datanglah seorang pemimpin agama menantang Yesus dengan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya yang disebut dengan sesamanya manusia itu. Siapa yang dapat diterima dan tidak dalam masyarakat yang terkotak-kotak yang masih saja berlaku hingga hari ini. Yesus memberi jawaban tidak atas pertanyaan itu secara langsung, tetapi Dia justru memberikan perumpamaan tentang sesama yang baik melalui kisah orang Samaria yang murah hati. Kisah ini tidaklah asing lagi bagi kita, menceritakan tentang seseorang yang dirampok dan dianiaya dalam perjalanan dan ditinggalkan dalam keadaan sekarat. Ada imam yang lewat namun tidak berbuat apa-apa malah menyingkir ke seberang jalan, kemudian ada orang Lewi yang berlaku sama. Tetapi selanjutnya lewatlah orang Samaria disana. Sebagai catatan, orang Samaria bukanlah orang yang terhormat bagi bangsa Yahudi ketika itu. Sejarah panjang antara orang Yahudi dan Samaria membuat mereka memandang negatif satu sama lain. Alkitab pun mencatatnya seperti ini: "Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria." (Yohanes 4:9). Tetapi ternyata orang Samaria ini menunjukkan belas kasihan yang tidak memandang etnis dan latar belakang sama sekali. "Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya." (Lukas 10:34). Ia pun kemudian membayar sepenuhnya penginapan dan biaya perawatannya. Saya membayangkan betapa merah muka pemimpin agama yang sok alim itu ketika mendengar sebuah perumpamaan yang menjadikan orang Samaria sebagai pahlawan dan keteladanan akan kebaikan hati. Tetapi itulah gambaran yang begitu indah akan suara hati Tuhan mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap sesama manusia. Tidak dikatakan bahwa kita hanya wajib membantu yang satu kepercayaan saja, tetapi yang disebut dengan sesama manusia adalah semua manusia lainnya tanpa terkecuali. Bahkan musuh atau orang yang jahat kepada kita sekalipun, mereka juga sesama manusia, dan mereka juga wajib untuk kita kasihi.
Ketika berbagai pengajaran hanya mementingkan kelompok sendiri saja bahkan ada yang merasa berhak untuk menghancurkan yang tidak sepaham dengannya dengan berbagai bentuk legalitas sendiri, Alkitab justru mengajarkan sebaliknya. Ada banyak orang yang memandang kata sesama itu sebagai orang-orang yang sepaham, seide, seideologi atau seiman, sedangkan yang berseberangan tidak perlu dipedulikan, atau kalau bisa malah dihancurkan saja. Kasih dalam Kekristenan tidak pandang bulu. Lihatlah penjabaran kasih dalam sebuah surat Paulus: "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." (1 Korintus 13:4-7). Tidak ada satupun gambaran kasih dalam Kekristenan yang menganjurkan kita untuk mengkotak-kotakkan orang. Kita wajib menyatakan kasih kepada siapapun, kapanpun dan dimanapun.
Lewat Zakharia kita bisa mendapatkan Firman Tuhan yang berkata seperti ini: "Beginilah firman TUHAN semesta alam: Laksanakanlah hukum yang benar dan tunjukkanlah kesetiaan dan kasih sayang kepada masing-masing!" (Zakharia 7:9). Laksanakanlah hukum yang benar sesuai Firman Tuhan, tunjukkan kesetiaan dan kasih sayang kepada masing-masing, kepada sesama kita, every man to his brother. Ini merupakan kewajiban setiap orang percaya yang harus diwujudkan dalam hidup masing-masing. Lalu lihat pula ayat selanjutnya: "Janganlah menindas janda dan anak yatim, orang asing dan orang miskin, dan janganlah merancang kejahatan dalam hatimu terhadap masing-masing." (ay 10). Kita tidak boleh menindas orang yang lemah, memanfaatkan posisi lemah orang lain, dan jangan pula berbuat kejahatan atau merencanakan dalam hati sekalipun terhadap orang lain. Dunia menunjukkan sikap yang berbeda, tetapi Firman Tuhan jelas menyatakan hal yang sebaliknya. Tunjukkan kesetiaan, kata Tuhan lewat Zakharia, dan seruan itu bisa kita lihat dengan penjabaran lebih panjang dalam Wahyu: "Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan." (Wahyu 2:10). Lalu renungkan pula ayat ini: "Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia." (Amsal 3:3-4).
Orang Samaria yang murah hati menunjukkan sebuah sikap mengasihi yang tidak terbatas pada sekat-sekat perbedaan. Untuk apa ia membantu orang yang berbeda darinya, orang yang berasal dari bangsa yang menganggapnya hina, orang yang tidak ia kenal sekalipun? Untuk apa ia membantu orang seperti itu ketika ia bisa menghadapi berbagai resiko apabila memberi pertolongan? Tetapi orang Samaria itu menunjukkan bahwa kasih berlaku bagi siapapun. Tidak masalah jika ia menjadi rugi atau repot dalam menyatakan kasih. Dimata dunia mungkin itu bisa terlihat bodoh, tetapi Tuhan akan sangat menghargai sikap seperti itu. Saatnya bagi kita untuk menunjukkan kasih menurut pandangan Tuhan kepada sesama kita tanpa terkecuali. Tanggalkan sekat-sekat pembeda yang seringkali merintangi kita untuk mengalirkan kasih Tuhan kepada sesama. Ada atau tidak ada apreasiasi dari orang lain bukanlah masalah, karena biar bagaimanapun itu akan sangat berharga di mata Tuhan.
Kasih dalam Kekristenan tidak mengenal sekat dan batas
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==================
"Beginilah firman TUHAN semesta alam: Laksanakanlah hukum yang benar dan tunjukkanlah kesetiaan dan kasih sayang kepada masing-masing!"
Betapa mudahnya mendapat teman di kala senang, tetapi begitu sulit mencari seorangpun dikala susah. Itu dialami begitu banyak orang, dan saya pun pernah mengalaminya. Ketika kita sedang sukses, orang pun berdatangan dengan sanjungan-sanjungannya, tidak jarang pula mereka membawa buah tangan dan menunjukkan sikap sangat manis. Tetapi ketika kita terjatuh, perlahan tapi pasti mereka pun mulai menjauh meninggalkan kita. Seorang artis senior pernah bercerita mengenai pengalamannya akan hal ini kepada saya. "Habis manis sepah dibuang", katanya. Jangankan menolong, untuk mengenal saja mereka sudah enggan. Betapa bedanya perilaku mereka dahulu ketika saya masih di atas dengan saat ini ketika saya sudah tidak ada apa-apanya lagi. Miris memang, tetapi begitulah perilaku banyak manusia yang hanya baik ketika ada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya. Tidak tertutup kemungkinan kita pun pernah atau bahkan masih menunjukkan sikap seperti itu. Ketika telepon seluler berdering, kita akan melihat dahulu siapa yang menghubungi, dan akan memilah-milah yang mana yang mau dijawab, mana yang mau diabaikan, atau dijawab seadanya saja dengan dingin. Maka ada istilah pilih kasih, tergantung standar kita, tergantung ukuran kita.
Mari kita lihat sejenak Lukas 10:25-37. Pada suatu kali datanglah seorang pemimpin agama menantang Yesus dengan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya yang disebut dengan sesamanya manusia itu. Siapa yang dapat diterima dan tidak dalam masyarakat yang terkotak-kotak yang masih saja berlaku hingga hari ini. Yesus memberi jawaban tidak atas pertanyaan itu secara langsung, tetapi Dia justru memberikan perumpamaan tentang sesama yang baik melalui kisah orang Samaria yang murah hati. Kisah ini tidaklah asing lagi bagi kita, menceritakan tentang seseorang yang dirampok dan dianiaya dalam perjalanan dan ditinggalkan dalam keadaan sekarat. Ada imam yang lewat namun tidak berbuat apa-apa malah menyingkir ke seberang jalan, kemudian ada orang Lewi yang berlaku sama. Tetapi selanjutnya lewatlah orang Samaria disana. Sebagai catatan, orang Samaria bukanlah orang yang terhormat bagi bangsa Yahudi ketika itu. Sejarah panjang antara orang Yahudi dan Samaria membuat mereka memandang negatif satu sama lain. Alkitab pun mencatatnya seperti ini: "Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria." (Yohanes 4:9). Tetapi ternyata orang Samaria ini menunjukkan belas kasihan yang tidak memandang etnis dan latar belakang sama sekali. "Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya." (Lukas 10:34). Ia pun kemudian membayar sepenuhnya penginapan dan biaya perawatannya. Saya membayangkan betapa merah muka pemimpin agama yang sok alim itu ketika mendengar sebuah perumpamaan yang menjadikan orang Samaria sebagai pahlawan dan keteladanan akan kebaikan hati. Tetapi itulah gambaran yang begitu indah akan suara hati Tuhan mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap sesama manusia. Tidak dikatakan bahwa kita hanya wajib membantu yang satu kepercayaan saja, tetapi yang disebut dengan sesama manusia adalah semua manusia lainnya tanpa terkecuali. Bahkan musuh atau orang yang jahat kepada kita sekalipun, mereka juga sesama manusia, dan mereka juga wajib untuk kita kasihi.
Ketika berbagai pengajaran hanya mementingkan kelompok sendiri saja bahkan ada yang merasa berhak untuk menghancurkan yang tidak sepaham dengannya dengan berbagai bentuk legalitas sendiri, Alkitab justru mengajarkan sebaliknya. Ada banyak orang yang memandang kata sesama itu sebagai orang-orang yang sepaham, seide, seideologi atau seiman, sedangkan yang berseberangan tidak perlu dipedulikan, atau kalau bisa malah dihancurkan saja. Kasih dalam Kekristenan tidak pandang bulu. Lihatlah penjabaran kasih dalam sebuah surat Paulus: "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." (1 Korintus 13:4-7). Tidak ada satupun gambaran kasih dalam Kekristenan yang menganjurkan kita untuk mengkotak-kotakkan orang. Kita wajib menyatakan kasih kepada siapapun, kapanpun dan dimanapun.
Lewat Zakharia kita bisa mendapatkan Firman Tuhan yang berkata seperti ini: "Beginilah firman TUHAN semesta alam: Laksanakanlah hukum yang benar dan tunjukkanlah kesetiaan dan kasih sayang kepada masing-masing!" (Zakharia 7:9). Laksanakanlah hukum yang benar sesuai Firman Tuhan, tunjukkan kesetiaan dan kasih sayang kepada masing-masing, kepada sesama kita, every man to his brother. Ini merupakan kewajiban setiap orang percaya yang harus diwujudkan dalam hidup masing-masing. Lalu lihat pula ayat selanjutnya: "Janganlah menindas janda dan anak yatim, orang asing dan orang miskin, dan janganlah merancang kejahatan dalam hatimu terhadap masing-masing." (ay 10). Kita tidak boleh menindas orang yang lemah, memanfaatkan posisi lemah orang lain, dan jangan pula berbuat kejahatan atau merencanakan dalam hati sekalipun terhadap orang lain. Dunia menunjukkan sikap yang berbeda, tetapi Firman Tuhan jelas menyatakan hal yang sebaliknya. Tunjukkan kesetiaan, kata Tuhan lewat Zakharia, dan seruan itu bisa kita lihat dengan penjabaran lebih panjang dalam Wahyu: "Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan." (Wahyu 2:10). Lalu renungkan pula ayat ini: "Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia." (Amsal 3:3-4).
Orang Samaria yang murah hati menunjukkan sebuah sikap mengasihi yang tidak terbatas pada sekat-sekat perbedaan. Untuk apa ia membantu orang yang berbeda darinya, orang yang berasal dari bangsa yang menganggapnya hina, orang yang tidak ia kenal sekalipun? Untuk apa ia membantu orang seperti itu ketika ia bisa menghadapi berbagai resiko apabila memberi pertolongan? Tetapi orang Samaria itu menunjukkan bahwa kasih berlaku bagi siapapun. Tidak masalah jika ia menjadi rugi atau repot dalam menyatakan kasih. Dimata dunia mungkin itu bisa terlihat bodoh, tetapi Tuhan akan sangat menghargai sikap seperti itu. Saatnya bagi kita untuk menunjukkan kasih menurut pandangan Tuhan kepada sesama kita tanpa terkecuali. Tanggalkan sekat-sekat pembeda yang seringkali merintangi kita untuk mengalirkan kasih Tuhan kepada sesama. Ada atau tidak ada apreasiasi dari orang lain bukanlah masalah, karena biar bagaimanapun itu akan sangat berharga di mata Tuhan.
Kasih dalam Kekristenan tidak mengenal sekat dan batas
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Wednesday, April 20, 2011
I Shall Not Lack
Ayat bacaan: Mazmur 23:1
===================
"THE LORD is my Shepherd, I shall not lack."
Tanpa diketahui menderita sakit, tiba-tiba istri seorang gembala cabang di gereja saya dipanggil pulang ke rumah Bapa di Surga. Semua berlangsung begitu cepat, diawali keluhan pening tetapi beberapa jam kemudian beliau sudah tiada. Bisa dibayangkan kepergian mendadak pasti mengguncangkan suami dan anak-anak yang ditinggalkan. Sepintas mungkin kita bisa berpikir betapa tidak adilnya Tuhan mengambil kebahagiaan dari hidup hambaNya. Tetapi apakah itu yang dirasakan oleh bapak Pendeta? Tidak. Dia sudah kembali aktif melayani dalam waktu yang tidak terlalu lama. Beliau pasti kehilangan, itu pasti. Tetapi beliau pun menyadari bahwa semua itu merupakan hak Tuhan, dan beliau tahu harus merelakan kepergian istrinya tanpa harus menyalahkan Tuhan. Bagaimana ia sanggup? Sebuah ayat yang tidak pernah gagal menjadi kekuatan bagi saya pribadi pun ia hadirkan, dan itu saya jadikan ayat bacaan hari ini: "TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku." "The Lord is my Sheperd, I shall not lack." (Mazmur 23:1).
Ayat ini merupakan ayat yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Kita kenal dengan ayat yang berasal dari Mazmur Daud ini, tetapi seberapa jauh kita menghidupinya dalam keseharian kita? Seberapa jauh kita mampu mengimaninya ketika kita mengalami kepedihan atau penderitaan? Daud menyatakannya dengan singkat namun padat dan jelas. Ia mengatakan meski apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah kekurangan. Apakah karena kekuatannya, kehebatannya, kemampuannya dan ketahanannya? Sama sekali tidak. Daud tahu bahwa kekuatannya sebagai manusia sangat terbatas. Pada situasi-situasi tertentu kemampuan manusia yang sehebat apapun tidak akan mampu lagi berbuat apa-apa. Daud tahu adalah percuma untuk menggantungkan hidup kepada kemampuannya sendiri, meski ia adalah raja Israel sekalipun dengan kekuasaan yang besar. Daud bisa berkata bahwa ia tak akan kekurangan karena menyadari keberadaan Tuhan sebagai Gembala yang baik atas hidupnya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Bacalah ayat-ayat selanjutnya dalam Mazmur pasal 23 ini dan anda akan merasakan kebesaran Tuhan dengan peranNya sebagai Gembala yang baik dalam hidup anda. "Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya." (ay 2-3). Terasa begitu nyaman dan melegakan bukan? Ayat-ayat ini hadir dari Daud yang mengalami begitu banyak masalah dalam hidupnya. Berkali-kali ia menghadapi ancaman, dikejar-kejar dan tersisih dari bangsanya sendiri, berkali-kali ia menghadapi situasi yang mengancam nyawanya, tetapi ia bisa meletakkan dan mempercayakan seluruh hidupnya ke dalam pemeliharaan Tuhan. Daud mengatakan semua ini bukanlah disaat ia tengah bersenang-senang, namun imannya cukup untuk memberi rasa tenang karena percaya kepada Tuhan sebagai Gembala yang baik bagi dirinya. "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (ay 4). Baik dalam masa tenang maupun sukar, Daud menyadari bahwa Tuhan akan selalu ada bersamanya, sehingga ia bisa berkata: "Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa." (ay 6). Mengagumkan bukan? Mungkin mudah bagi kita untuk mengatakan hal ini di saat kita tengah berada dalam kondisi yang baik, tetapi seberapa jauh kita masih bisa mengimaninya ketika masalah tengah bertubi-tubi menghampiri kita?
Yesus sendiri berkata: "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya" (Yohanes 10:11). Ayat sebelumnya berkata: "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (ay 10). Seperti itulah sosok Gembala yang selalu menaungi kita. Masalah bisa saja datang melanda hidup kita, tetapi Tuhan menjanjikan kita untuk tetap memiliki hidup. Bukan sekedar hidup tetapi dalam segala kelimpahan. Kelimpahan? Tidak kekurangan? Ya, tepat. Meskipun masalah hadir dalam hidup kita, tetapi Tuhan menjanjikan penyertaanNya yang sanggup memberi kekuatan, memberi kelegaan, memberi perlindungan, memberi harapan, dan itu semua Dia sediakan bukan secukupnya melainkan secara berkelimpahan. Bapak Pendeta itu merasakan bagaimana Tuhan sanggup memberinya kekuatan pada masa-masa sulit, dan ia menyadari bahwa tidak ada alasan baginya untuk kecewa kepada Tuhan dan meninggalkanNya. Tidak. Dia tetap setia melayani Tuhan, meski belahan jiwanya telah dipanggil terlebih dahulu untuk masuk ke dalam KerajaanNya yang penuh damai sukacita, tanpa ratap tangis penderitaan lagi seperti yang kerap kita alami di dunia ini.
Ketika kita mengalami situasi penuh penderitaan, mampukah kita untuk terus percaya bahwa kita tidak akan pernah kekurangan kekuatan? Percayakah kita bahwa penyertaan Tuhan akan selalu memberi peneguhan dan kelegaan dalam memikul beban berat? Ketika jiwa kita serasa dicabik-cabik oleh penderitaan, yakinkah kita bahwa kita tidak akan pernah kekurangan sukacita? Ketika ada peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar kendali kita, mampukah kita mengandalkan Tuhan yang tidak terbatas atau kita masih sibuk menggantungkan diri kita kepada kekuatan diri sendiri atau manusia lain yang terbatas? Dalam situasi sesulit apapun, ingatlah bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dia tidak akan pernah kalah oleh apapun. Tidak ada satupun masalah yang tidak mampu Dia atasi. Percayalah bahwa Tuhan tidak akan tinggal diam ketika kita benar-benar membutuhkan jamahanNya. Dengan menyadari itu, kita pun bisa berkata seperti Daud, Tuhan adalah gembalku, takkan kekurangan Aku.
Tuhan akan selalu bersama kita dan menepati janjiNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
===================
"THE LORD is my Shepherd, I shall not lack."
Tanpa diketahui menderita sakit, tiba-tiba istri seorang gembala cabang di gereja saya dipanggil pulang ke rumah Bapa di Surga. Semua berlangsung begitu cepat, diawali keluhan pening tetapi beberapa jam kemudian beliau sudah tiada. Bisa dibayangkan kepergian mendadak pasti mengguncangkan suami dan anak-anak yang ditinggalkan. Sepintas mungkin kita bisa berpikir betapa tidak adilnya Tuhan mengambil kebahagiaan dari hidup hambaNya. Tetapi apakah itu yang dirasakan oleh bapak Pendeta? Tidak. Dia sudah kembali aktif melayani dalam waktu yang tidak terlalu lama. Beliau pasti kehilangan, itu pasti. Tetapi beliau pun menyadari bahwa semua itu merupakan hak Tuhan, dan beliau tahu harus merelakan kepergian istrinya tanpa harus menyalahkan Tuhan. Bagaimana ia sanggup? Sebuah ayat yang tidak pernah gagal menjadi kekuatan bagi saya pribadi pun ia hadirkan, dan itu saya jadikan ayat bacaan hari ini: "TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku." "The Lord is my Sheperd, I shall not lack." (Mazmur 23:1).
Ayat ini merupakan ayat yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Kita kenal dengan ayat yang berasal dari Mazmur Daud ini, tetapi seberapa jauh kita menghidupinya dalam keseharian kita? Seberapa jauh kita mampu mengimaninya ketika kita mengalami kepedihan atau penderitaan? Daud menyatakannya dengan singkat namun padat dan jelas. Ia mengatakan meski apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah kekurangan. Apakah karena kekuatannya, kehebatannya, kemampuannya dan ketahanannya? Sama sekali tidak. Daud tahu bahwa kekuatannya sebagai manusia sangat terbatas. Pada situasi-situasi tertentu kemampuan manusia yang sehebat apapun tidak akan mampu lagi berbuat apa-apa. Daud tahu adalah percuma untuk menggantungkan hidup kepada kemampuannya sendiri, meski ia adalah raja Israel sekalipun dengan kekuasaan yang besar. Daud bisa berkata bahwa ia tak akan kekurangan karena menyadari keberadaan Tuhan sebagai Gembala yang baik atas hidupnya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Bacalah ayat-ayat selanjutnya dalam Mazmur pasal 23 ini dan anda akan merasakan kebesaran Tuhan dengan peranNya sebagai Gembala yang baik dalam hidup anda. "Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya." (ay 2-3). Terasa begitu nyaman dan melegakan bukan? Ayat-ayat ini hadir dari Daud yang mengalami begitu banyak masalah dalam hidupnya. Berkali-kali ia menghadapi ancaman, dikejar-kejar dan tersisih dari bangsanya sendiri, berkali-kali ia menghadapi situasi yang mengancam nyawanya, tetapi ia bisa meletakkan dan mempercayakan seluruh hidupnya ke dalam pemeliharaan Tuhan. Daud mengatakan semua ini bukanlah disaat ia tengah bersenang-senang, namun imannya cukup untuk memberi rasa tenang karena percaya kepada Tuhan sebagai Gembala yang baik bagi dirinya. "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (ay 4). Baik dalam masa tenang maupun sukar, Daud menyadari bahwa Tuhan akan selalu ada bersamanya, sehingga ia bisa berkata: "Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa." (ay 6). Mengagumkan bukan? Mungkin mudah bagi kita untuk mengatakan hal ini di saat kita tengah berada dalam kondisi yang baik, tetapi seberapa jauh kita masih bisa mengimaninya ketika masalah tengah bertubi-tubi menghampiri kita?
Yesus sendiri berkata: "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya" (Yohanes 10:11). Ayat sebelumnya berkata: "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (ay 10). Seperti itulah sosok Gembala yang selalu menaungi kita. Masalah bisa saja datang melanda hidup kita, tetapi Tuhan menjanjikan kita untuk tetap memiliki hidup. Bukan sekedar hidup tetapi dalam segala kelimpahan. Kelimpahan? Tidak kekurangan? Ya, tepat. Meskipun masalah hadir dalam hidup kita, tetapi Tuhan menjanjikan penyertaanNya yang sanggup memberi kekuatan, memberi kelegaan, memberi perlindungan, memberi harapan, dan itu semua Dia sediakan bukan secukupnya melainkan secara berkelimpahan. Bapak Pendeta itu merasakan bagaimana Tuhan sanggup memberinya kekuatan pada masa-masa sulit, dan ia menyadari bahwa tidak ada alasan baginya untuk kecewa kepada Tuhan dan meninggalkanNya. Tidak. Dia tetap setia melayani Tuhan, meski belahan jiwanya telah dipanggil terlebih dahulu untuk masuk ke dalam KerajaanNya yang penuh damai sukacita, tanpa ratap tangis penderitaan lagi seperti yang kerap kita alami di dunia ini.
Ketika kita mengalami situasi penuh penderitaan, mampukah kita untuk terus percaya bahwa kita tidak akan pernah kekurangan kekuatan? Percayakah kita bahwa penyertaan Tuhan akan selalu memberi peneguhan dan kelegaan dalam memikul beban berat? Ketika jiwa kita serasa dicabik-cabik oleh penderitaan, yakinkah kita bahwa kita tidak akan pernah kekurangan sukacita? Ketika ada peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar kendali kita, mampukah kita mengandalkan Tuhan yang tidak terbatas atau kita masih sibuk menggantungkan diri kita kepada kekuatan diri sendiri atau manusia lain yang terbatas? Dalam situasi sesulit apapun, ingatlah bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dia tidak akan pernah kalah oleh apapun. Tidak ada satupun masalah yang tidak mampu Dia atasi. Percayalah bahwa Tuhan tidak akan tinggal diam ketika kita benar-benar membutuhkan jamahanNya. Dengan menyadari itu, kita pun bisa berkata seperti Daud, Tuhan adalah gembalku, takkan kekurangan Aku.
Tuhan akan selalu bersama kita dan menepati janjiNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, April 19, 2011
Sulit Dihubungi
Ayat bacaan: 1 Samuel 3:10
====================
"Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar."
Perkembangan teknologi membuat orang bisa terhubung satu sama lain dengan semakin mudah meskipun dipisahkan oleh jarak yang jauh. Dengan telepon genggam kita bisa dihubungi dan menghubungi kapan saja, tidak seperti dulu ketika kita harus berada di rumah, kantor dan sebagainya yang artinya berada dekat dengan pesawat telepon yang terpasang disana. Pesan singkat atau SMS pun merupakan sistem yang murah meriah untuk digunakan. Adanya jenis-jenis gadget yang lebih pintar seperti Blackberry membuat penggunanya lebih mudah lagi berinteraksi satu sama lain. Hanya dengan bertukar pin, kita pun bisa berhubungan tanpa biaya. Begitu mudah, begitu murah. Tetapi untuk bisa terhubung dengan orang yang kita tuju tetap tergantung dari kesediaan pihak kedua untuk menerima dan membalas kontak kita kepada mereka. Sebab meski teknologi memungkinkan, jika orang yang dihubungi tidak mau mengangkat teleponnya atau tidak membalas pesan kita, maka tidak akan ada hubungan yang tersambung. Ada banyak orang yang mungkin terlalu sibuk sehingga tidak mau membalas sambungan yang masuk kepadanya. Ada yang pilih-pilih, ada pula yang enggan diganggu. Telepon setiap saat bisa diletakkan pada posisi silent atau dimatikan total sehingga hubungan dengan kontak-kontak dalam telepon seluler pun terputus. Kita bisa berbicara kepada mereka, namun semua tergantung dari mereka apakah mereka bisa dihubungi dan berkenan merespon atau tidak.
Percayakah anda bahwa Tuhan selalu rindu untuk menghubungi anda? Tuhan selalu rindu untuk berbicara, baik untuk mengingatkan, meneguhkan, menyampaikan pesan dan tentu saja menyatakan kasihNya kepada kita. Tetapi semua tergantung sikap hati kita, apakah kita bisa dihubungi atau hati kita tengah berada pada posisi "silent" yang artinya tidak memberi respon terhadap suara Tuhan. Imam Eli dalam Perjanjian Lama mengalami hal itu. Sebagai seorang imam seharusnya ia peka mendengar suara Tuhan. Tetapi pada saat itu dengan jelas Alkitab berkata: "Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatanpun tidak sering." (1 Samuel 3:1b). Pada ayat berikutnya dikatakan bahwa Eli matanya mulai kabur, dan itu bukan hanya mata jasmaninya melainkan juga mata rohaninya. Keputusannya untuk membiarkan anak-anaknya berbuat dosa, bertindak lebih seperti preman ketimbang sebagai anak imam yang terpandang membuatnya kehilangan kemampuan rohaninya. Maka pada masanya firman Tuhan pun dikatakan jarang turun. Karena hubungan dengan Eli terputus, maka Tuhan pun mengalihkan perhatiannya kepada seorang anak muda yang hatinya bersih, yaitu Samuel. Dan kita bisa melihat bagaimana reaksi Samuel ketika dihubungi Tuhan. Pada mulanya Samuel bingung ketika mendengar panggilan Tuhan karena Firman Tuhan sebelumnya belum pernah dinyatakan kepadanya. (ay 7). Tetapi kemudian Samuel merespon. "Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar." (ay 10). Samuel bisa dihubungi, ia membuka diri untuk mendengar, maka hubungan antara Tuhan dan Samuel pun tersambung. Tuhan pun lalu menyampaikan pesan-pesan yang keras terhadap bangsa Israel terutama kepada imam Eli dan keluarganya. Dari sepenggal kisah ini kita bisa melihat bahwa untuk berkomunikasi dengan Tuhan kita harus peka. Tuhan selalu rindu untuk berbicara kepada kita, tetapi semua tergantung kepada kita apakah kita siap untuk mendengar suaraNya, apakah kita dapat dihubungi atau tidak.
Terlalu sibuk mementingkan pekerjaan dan aktivitas-aktivitas di dunia sering menjadi penghambat utama bagi kita untuk bisa peka mendengar suara Tuhan. Kita tidak lagi mementingkan waktu-waktu khusus untuk bersaat teduh dan berdoa, kalaupun berdoa kita lebih cenderung menyampaikan daftar permintaan dan keluhan ketimbang mendengarkan Tuhan berbicara kepada kita. Padahal Yesus sudah memulihkan hubungan yang terputus antara Tuhan dan ciptaanNya yang istimewa, manusia, sehingga saat ini kita bisa langsung terhubung dengan Tuhan tanpa harus melalui perantara lagi seperti halnya pada masa sebelum kedatangan Kristus. Betapa kita menyia-nyiakan anugerah yang seharusnya kita syukuri. Selain itu, dosa-dosa yang masih kita biarkan bercokol dalam diri kita merupakan penghalang terbesar bagi kita untuk terhubung dengan Tuhan yang kudus. Membiarkan dan bertoleransi pada dosa pun termasuk di dalamnya seperti yang terjadi pada imam Eli. Firman Tuhan berkata: "tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu." (Yesaya 59:2). Jadi untuk bisa peka, kita harus memastikan bahwa kita tidak lagi berselimut dosa dan kita pun harus mau membuka hati seluas-luasnya untuk mendengar suara Tuhan. Itulah yang akan membuat kita bisa dihubungi Tuhan dengan mudah, mendengar tuntunanNya, peringatanNya, nasihatNya dan kelembutan kasihNya.
Adalah penting bagi kita untuk bisa mendengar dengan hati yang lembut. Firman Tuhan berkata "Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. " (Lukas 8:18a), lalu ingat juga ayat berikut: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7). Tuhan selalu rindu untuk berbicara kepada kita. Ada banyak pesan yang ingin Tuhan sampaikan kepada anak-anak yang dikasihiNya. Tetapi mari kita tanyakan kepada diri kita, dapatkah kita dihubungi? Maukah kita merespon setiap panggilan dan teguran Tuhan? Atau kita sudah menjadi tuli akibat dosa, atau malah terlalu sibuk untuk berkomunikasi dengan Tuhan? Apakah kita mau menanggapi langsung hubungan Tuhan atau kita terus menunda-nunda dan menolaknya? Mari buka hati kita hari ini, lembutkanlah, dan pekalah terhadap suara Tuhan. Jadilah seperti Samuel dan berkatalah, "berbicaralah Tuhan, sebab hambaMu ini mendengar." Dia sedang menanti anda untuk mendengarNya saat ini.
Miliki hati yang peka untuk mendengar suara Tuhan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
====================
"Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar."
Perkembangan teknologi membuat orang bisa terhubung satu sama lain dengan semakin mudah meskipun dipisahkan oleh jarak yang jauh. Dengan telepon genggam kita bisa dihubungi dan menghubungi kapan saja, tidak seperti dulu ketika kita harus berada di rumah, kantor dan sebagainya yang artinya berada dekat dengan pesawat telepon yang terpasang disana. Pesan singkat atau SMS pun merupakan sistem yang murah meriah untuk digunakan. Adanya jenis-jenis gadget yang lebih pintar seperti Blackberry membuat penggunanya lebih mudah lagi berinteraksi satu sama lain. Hanya dengan bertukar pin, kita pun bisa berhubungan tanpa biaya. Begitu mudah, begitu murah. Tetapi untuk bisa terhubung dengan orang yang kita tuju tetap tergantung dari kesediaan pihak kedua untuk menerima dan membalas kontak kita kepada mereka. Sebab meski teknologi memungkinkan, jika orang yang dihubungi tidak mau mengangkat teleponnya atau tidak membalas pesan kita, maka tidak akan ada hubungan yang tersambung. Ada banyak orang yang mungkin terlalu sibuk sehingga tidak mau membalas sambungan yang masuk kepadanya. Ada yang pilih-pilih, ada pula yang enggan diganggu. Telepon setiap saat bisa diletakkan pada posisi silent atau dimatikan total sehingga hubungan dengan kontak-kontak dalam telepon seluler pun terputus. Kita bisa berbicara kepada mereka, namun semua tergantung dari mereka apakah mereka bisa dihubungi dan berkenan merespon atau tidak.
Percayakah anda bahwa Tuhan selalu rindu untuk menghubungi anda? Tuhan selalu rindu untuk berbicara, baik untuk mengingatkan, meneguhkan, menyampaikan pesan dan tentu saja menyatakan kasihNya kepada kita. Tetapi semua tergantung sikap hati kita, apakah kita bisa dihubungi atau hati kita tengah berada pada posisi "silent" yang artinya tidak memberi respon terhadap suara Tuhan. Imam Eli dalam Perjanjian Lama mengalami hal itu. Sebagai seorang imam seharusnya ia peka mendengar suara Tuhan. Tetapi pada saat itu dengan jelas Alkitab berkata: "Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatanpun tidak sering." (1 Samuel 3:1b). Pada ayat berikutnya dikatakan bahwa Eli matanya mulai kabur, dan itu bukan hanya mata jasmaninya melainkan juga mata rohaninya. Keputusannya untuk membiarkan anak-anaknya berbuat dosa, bertindak lebih seperti preman ketimbang sebagai anak imam yang terpandang membuatnya kehilangan kemampuan rohaninya. Maka pada masanya firman Tuhan pun dikatakan jarang turun. Karena hubungan dengan Eli terputus, maka Tuhan pun mengalihkan perhatiannya kepada seorang anak muda yang hatinya bersih, yaitu Samuel. Dan kita bisa melihat bagaimana reaksi Samuel ketika dihubungi Tuhan. Pada mulanya Samuel bingung ketika mendengar panggilan Tuhan karena Firman Tuhan sebelumnya belum pernah dinyatakan kepadanya. (ay 7). Tetapi kemudian Samuel merespon. "Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar." (ay 10). Samuel bisa dihubungi, ia membuka diri untuk mendengar, maka hubungan antara Tuhan dan Samuel pun tersambung. Tuhan pun lalu menyampaikan pesan-pesan yang keras terhadap bangsa Israel terutama kepada imam Eli dan keluarganya. Dari sepenggal kisah ini kita bisa melihat bahwa untuk berkomunikasi dengan Tuhan kita harus peka. Tuhan selalu rindu untuk berbicara kepada kita, tetapi semua tergantung kepada kita apakah kita siap untuk mendengar suaraNya, apakah kita dapat dihubungi atau tidak.
Terlalu sibuk mementingkan pekerjaan dan aktivitas-aktivitas di dunia sering menjadi penghambat utama bagi kita untuk bisa peka mendengar suara Tuhan. Kita tidak lagi mementingkan waktu-waktu khusus untuk bersaat teduh dan berdoa, kalaupun berdoa kita lebih cenderung menyampaikan daftar permintaan dan keluhan ketimbang mendengarkan Tuhan berbicara kepada kita. Padahal Yesus sudah memulihkan hubungan yang terputus antara Tuhan dan ciptaanNya yang istimewa, manusia, sehingga saat ini kita bisa langsung terhubung dengan Tuhan tanpa harus melalui perantara lagi seperti halnya pada masa sebelum kedatangan Kristus. Betapa kita menyia-nyiakan anugerah yang seharusnya kita syukuri. Selain itu, dosa-dosa yang masih kita biarkan bercokol dalam diri kita merupakan penghalang terbesar bagi kita untuk terhubung dengan Tuhan yang kudus. Membiarkan dan bertoleransi pada dosa pun termasuk di dalamnya seperti yang terjadi pada imam Eli. Firman Tuhan berkata: "tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu." (Yesaya 59:2). Jadi untuk bisa peka, kita harus memastikan bahwa kita tidak lagi berselimut dosa dan kita pun harus mau membuka hati seluas-luasnya untuk mendengar suara Tuhan. Itulah yang akan membuat kita bisa dihubungi Tuhan dengan mudah, mendengar tuntunanNya, peringatanNya, nasihatNya dan kelembutan kasihNya.
Adalah penting bagi kita untuk bisa mendengar dengan hati yang lembut. Firman Tuhan berkata "Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. " (Lukas 8:18a), lalu ingat juga ayat berikut: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7). Tuhan selalu rindu untuk berbicara kepada kita. Ada banyak pesan yang ingin Tuhan sampaikan kepada anak-anak yang dikasihiNya. Tetapi mari kita tanyakan kepada diri kita, dapatkah kita dihubungi? Maukah kita merespon setiap panggilan dan teguran Tuhan? Atau kita sudah menjadi tuli akibat dosa, atau malah terlalu sibuk untuk berkomunikasi dengan Tuhan? Apakah kita mau menanggapi langsung hubungan Tuhan atau kita terus menunda-nunda dan menolaknya? Mari buka hati kita hari ini, lembutkanlah, dan pekalah terhadap suara Tuhan. Jadilah seperti Samuel dan berkatalah, "berbicaralah Tuhan, sebab hambaMu ini mendengar." Dia sedang menanti anda untuk mendengarNya saat ini.
Miliki hati yang peka untuk mendengar suara Tuhan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, April 18, 2011
Processor Overheat
Ayat bacaan: Pengktobah 7:9
=======================
"Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh."
Pernahkah anda mengalami komputer yang semakin lama menjadi semakin berat dan lambat? Biasanya masalah ada pada processor yang menjadi panas atau dikenal dengan istilah overheat. Processor yang panas akan mengakibatkan kinerja komputer menjadi menurun, proses berjalan lambat dan berat untuk dipakai, bahkan pada suatu ketika komputer pun akan sering mati sendiri. Ada beberapa cara untuk mengatasinya. Yang pertama, kita harus memastikan bahwa kipas tidak tertutup debu tebal dan masih berputar dengan normal. Atau bisa juga dengan menambahkan kipas pada dudukan laptop yang banyak dijual di toko-toko komputer apabila anda menggunakan laptop, netbook dan sebagainya. Satu kesimpulan yang bisa kita petik dari sini adalah, hawa panas itu akan mengakibatkan turunnya kinerja komputer dan bisa membuat kerusakan pada suatu ketika, dan solusinya adalah dengan mendinginkan kembali processor sebagai pusat untuk mengontrol dan memproses kerja sebuah komputer.
Panasnya processor yang mengakibatkan komputer kita menjadi berat merupakan analogi yang sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana panasnya amarah atau emosi dalam diri kita. Ada banyak orang yang tidak menyadari akibat yang bisa ditimbulkan oleh kebiasaan membiarkan amarah menguasai diri kita. Sebagian menganggap bahwa sikap emosional bisa memberi rasa aman bagi mereka, ada yang berpikir bahwa mereka bisa terlihat hebat dan berkuasa dengan sering marah, ada pula yang membiarkan saja diri mereka gampang tersulut emosi meski atas hal yang sebenarnya sepele saja. Api kemarahan biasanya tidak langsung menyala dengan besar. Seringkali aramah mulai dari setitik api kecil saja. Namun jika tidak kita padamkan dengan segera, api itu akan bertambah besar dan pada suatu ketika kita tidak lagi bisa memadamkannya. Disaat seperti itulah berbagai dosa mengintip dan iblis pun siap menerkam kita hingga tidak berkutik lagi. Penyesalan di kemudian hari bisa jadi sudah menjadi terlambat jika kita terlanjur melakukan sesuatu yang bodoh karena tidak bisa berpikir jernih akibat dikuasai emosi. Berbagai penyakit pun bisa menyerang kita dimana beberapa diantaranya berpotensi mengakhiri hidup kita. Selain itu, coba bayangkan jika anda hidup dengan kemarahan, sakit hati, dendam, kesal atau kebencian kepada banyak orang, tidakkah itu akan membuat diri anda seolah ditumpuki beban yang semakin lama semakin berat? Seperti halnya processor yang panas, hati yang terus menerus panas oleh kobaran amarah pun akan membuat diri kita menjadi semakin berat dan lambat dalam melangkah. Dan salah-salah, kita pun bisa menemui ajal karenanya.
Firman Tuhan mengatakan: "Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh." (Pengkotbah 7:9). Lihatlah Alkitab berkata hanya orang bodohlah yang membiarkan hidupnya terus dikuasai amarah. Orang yang bijak akan tahu resiko-resiko dari kemarahan, mulai dari yang sederhana hingga yang fatal. Kita bersinggungan dengan begitu banyak orang setiap hari, dan kita memang tidak bisa menghindari pertemuan dengan orang-orang yang sulit, provokatif atau sengaja membuat ulah, tetapi itu bukanlah alasan untuk membiarkan diri kita terus menerus dikuasai amarah. Kita bisa terus memastikan hati dan kepala kita tetap dingin sehingga biar bagaimanapun kita ditekan, kita bisa meresponnya dengan tenang karena hati dan otak kita tetap sejuk. Firman Tuhan mengatakan "janganlah lekas-lekas marah dalam hati." Janganlah mudah terpancing emosi. Jangan sedikit-sedikit sudah marah. Itu bunyi Firman Tuhan yang saya ambil sebagai ayat bacaan hari ini. Kalimat ini menunjukkan satu hal, bahwa marah itu adalah pilihan, dan bukan keharusan, bukan pula keterpaksaan. Artinya, marah atau tidak itu tergantung dari keputusan kita. Memastikan hati tetap dingin akan membuat emosi tidak bisa bertumbuh dalam hati kita, dan itu akan mencegah kita dari melakukan perbuatan-perbuatan bodoh yang pada suatu saat akan kita sesali.
Terus mendendam, menyimpan kemarahan, membiarkan rasa sakit hati bercokol dalam diri kita dan lain-lain bukanlah sesuatu yang dianjurkan dalam Alkitab. Sebaliknya, kita justru diminta untuk memberi pengampunan seluas-luasnya kepada siapapun. Lihatlah ketika Petrus mendatangi Yesus untuk menanyakan seberapa banyak ia bisa mengampuni, "Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." (Matius 18:22). Ini artinya kita diminta untuk bisa memberi pengampunan tanpa batas, seperti halnya Tuhan mengampuni kita. Ada keterkaitan antara mengampuni dan diampuni, seperti apa yang dikatakan Yesus: "..ampunilah dan kamu akan diampuni." (Lukas 6:37). Atau lihatlah ayat berikut: "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.)" (Markus 11:25-26). Mengampuni itu pun merupakan pilihan, walaupun memang tidak pernah segampang mengucapkannya. Tapi perhatikanlah bahwa membiarkan sakit hati, kebencian dan kemarahan untuk berkuasa atas kita akan membuat kita terus ditambahi beban berat di atas punggung kita, hingga pada suatu ketika kita tidak akan bisa lagi berdiri dan hanya akan terjatuh terhimpit beban-beban berat. Sebaliknya mengampuni itu sama dengan melepaskan beban. Apakah ada yang bisa tetap merasa enteng ketika sedang benci atau marah kepada seseorang? tentu tidak. Rasa enteng akan terasa jika kita mulai sungguh-sungguh melepaskan pengampunan dan tidak terjebak pada kemarahan.
Yakobus mengingatkan: "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." (Yakobus 1:19). Ini ada alasannya, yaitu: "sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah." (ay 20). Kita harus ingat pula bahwa apa yang kita tabur itu akan kita tuai. (Galatia 6:7). "Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (ay 8). Jika kita terus menabur kebaikan dalam Roh, meski dalam situasi atau kondisi apapun yang kita hadapi, maka kita pun akan menghasilkan tuaian yang baik atasnya. Tidaklah gampang untuk mengampuni atau menahan amarah jika kita terus ditekan. Tetapi ingatlah bahwa marah atau tidak adalah pilihan dan bukan keterpaksaan. Tuhan mengingatkan kita agar tidak cepat marah, dan apabila marah pun jangan membiarkan marah itu menetap di dalam diri kita. Itu akan membuat hati kita tetap sejuk dan karenanya kita pun bisa jauh lebih enteng dalam menjalani hidup.
Kemarahan akan memperlambat dan memperberat hidup kita bahkan bisa menggagalkan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=======================
"Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh."
Pernahkah anda mengalami komputer yang semakin lama menjadi semakin berat dan lambat? Biasanya masalah ada pada processor yang menjadi panas atau dikenal dengan istilah overheat. Processor yang panas akan mengakibatkan kinerja komputer menjadi menurun, proses berjalan lambat dan berat untuk dipakai, bahkan pada suatu ketika komputer pun akan sering mati sendiri. Ada beberapa cara untuk mengatasinya. Yang pertama, kita harus memastikan bahwa kipas tidak tertutup debu tebal dan masih berputar dengan normal. Atau bisa juga dengan menambahkan kipas pada dudukan laptop yang banyak dijual di toko-toko komputer apabila anda menggunakan laptop, netbook dan sebagainya. Satu kesimpulan yang bisa kita petik dari sini adalah, hawa panas itu akan mengakibatkan turunnya kinerja komputer dan bisa membuat kerusakan pada suatu ketika, dan solusinya adalah dengan mendinginkan kembali processor sebagai pusat untuk mengontrol dan memproses kerja sebuah komputer.
Panasnya processor yang mengakibatkan komputer kita menjadi berat merupakan analogi yang sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana panasnya amarah atau emosi dalam diri kita. Ada banyak orang yang tidak menyadari akibat yang bisa ditimbulkan oleh kebiasaan membiarkan amarah menguasai diri kita. Sebagian menganggap bahwa sikap emosional bisa memberi rasa aman bagi mereka, ada yang berpikir bahwa mereka bisa terlihat hebat dan berkuasa dengan sering marah, ada pula yang membiarkan saja diri mereka gampang tersulut emosi meski atas hal yang sebenarnya sepele saja. Api kemarahan biasanya tidak langsung menyala dengan besar. Seringkali aramah mulai dari setitik api kecil saja. Namun jika tidak kita padamkan dengan segera, api itu akan bertambah besar dan pada suatu ketika kita tidak lagi bisa memadamkannya. Disaat seperti itulah berbagai dosa mengintip dan iblis pun siap menerkam kita hingga tidak berkutik lagi. Penyesalan di kemudian hari bisa jadi sudah menjadi terlambat jika kita terlanjur melakukan sesuatu yang bodoh karena tidak bisa berpikir jernih akibat dikuasai emosi. Berbagai penyakit pun bisa menyerang kita dimana beberapa diantaranya berpotensi mengakhiri hidup kita. Selain itu, coba bayangkan jika anda hidup dengan kemarahan, sakit hati, dendam, kesal atau kebencian kepada banyak orang, tidakkah itu akan membuat diri anda seolah ditumpuki beban yang semakin lama semakin berat? Seperti halnya processor yang panas, hati yang terus menerus panas oleh kobaran amarah pun akan membuat diri kita menjadi semakin berat dan lambat dalam melangkah. Dan salah-salah, kita pun bisa menemui ajal karenanya.
Firman Tuhan mengatakan: "Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh." (Pengkotbah 7:9). Lihatlah Alkitab berkata hanya orang bodohlah yang membiarkan hidupnya terus dikuasai amarah. Orang yang bijak akan tahu resiko-resiko dari kemarahan, mulai dari yang sederhana hingga yang fatal. Kita bersinggungan dengan begitu banyak orang setiap hari, dan kita memang tidak bisa menghindari pertemuan dengan orang-orang yang sulit, provokatif atau sengaja membuat ulah, tetapi itu bukanlah alasan untuk membiarkan diri kita terus menerus dikuasai amarah. Kita bisa terus memastikan hati dan kepala kita tetap dingin sehingga biar bagaimanapun kita ditekan, kita bisa meresponnya dengan tenang karena hati dan otak kita tetap sejuk. Firman Tuhan mengatakan "janganlah lekas-lekas marah dalam hati." Janganlah mudah terpancing emosi. Jangan sedikit-sedikit sudah marah. Itu bunyi Firman Tuhan yang saya ambil sebagai ayat bacaan hari ini. Kalimat ini menunjukkan satu hal, bahwa marah itu adalah pilihan, dan bukan keharusan, bukan pula keterpaksaan. Artinya, marah atau tidak itu tergantung dari keputusan kita. Memastikan hati tetap dingin akan membuat emosi tidak bisa bertumbuh dalam hati kita, dan itu akan mencegah kita dari melakukan perbuatan-perbuatan bodoh yang pada suatu saat akan kita sesali.
Terus mendendam, menyimpan kemarahan, membiarkan rasa sakit hati bercokol dalam diri kita dan lain-lain bukanlah sesuatu yang dianjurkan dalam Alkitab. Sebaliknya, kita justru diminta untuk memberi pengampunan seluas-luasnya kepada siapapun. Lihatlah ketika Petrus mendatangi Yesus untuk menanyakan seberapa banyak ia bisa mengampuni, "Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." (Matius 18:22). Ini artinya kita diminta untuk bisa memberi pengampunan tanpa batas, seperti halnya Tuhan mengampuni kita. Ada keterkaitan antara mengampuni dan diampuni, seperti apa yang dikatakan Yesus: "..ampunilah dan kamu akan diampuni." (Lukas 6:37). Atau lihatlah ayat berikut: "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.)" (Markus 11:25-26). Mengampuni itu pun merupakan pilihan, walaupun memang tidak pernah segampang mengucapkannya. Tapi perhatikanlah bahwa membiarkan sakit hati, kebencian dan kemarahan untuk berkuasa atas kita akan membuat kita terus ditambahi beban berat di atas punggung kita, hingga pada suatu ketika kita tidak akan bisa lagi berdiri dan hanya akan terjatuh terhimpit beban-beban berat. Sebaliknya mengampuni itu sama dengan melepaskan beban. Apakah ada yang bisa tetap merasa enteng ketika sedang benci atau marah kepada seseorang? tentu tidak. Rasa enteng akan terasa jika kita mulai sungguh-sungguh melepaskan pengampunan dan tidak terjebak pada kemarahan.
Yakobus mengingatkan: "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." (Yakobus 1:19). Ini ada alasannya, yaitu: "sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah." (ay 20). Kita harus ingat pula bahwa apa yang kita tabur itu akan kita tuai. (Galatia 6:7). "Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (ay 8). Jika kita terus menabur kebaikan dalam Roh, meski dalam situasi atau kondisi apapun yang kita hadapi, maka kita pun akan menghasilkan tuaian yang baik atasnya. Tidaklah gampang untuk mengampuni atau menahan amarah jika kita terus ditekan. Tetapi ingatlah bahwa marah atau tidak adalah pilihan dan bukan keterpaksaan. Tuhan mengingatkan kita agar tidak cepat marah, dan apabila marah pun jangan membiarkan marah itu menetap di dalam diri kita. Itu akan membuat hati kita tetap sejuk dan karenanya kita pun bisa jauh lebih enteng dalam menjalani hidup.
Kemarahan akan memperlambat dan memperberat hidup kita bahkan bisa menggagalkan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sunday, April 17, 2011
Fear of Flying
Ayat bacaan: Lukas 17:5
===================
"Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!"
Apakah anda termasuk orang yang takut terbang dengan pesawat? Ada banyak orang yang mengalami rasa takut ketika mereka berada di dalam pesawat terbang. Ada yang meski takut tapi bisa memberanikan diri, ada pula yang betul-betul tidak mau sama sekali. Dennis Berkamp seorang pesepak bola terkenal yang sudah pensiun dulu merupakan andalan tim Arsenal dan timnas Belanda. Tetapi ia selalu hanya mau memilih jalan darat ketimbang naik pesawat bersama teman-temannya. Ia bahkan rela melepas peluang untuk bermain di ajang prestisius sekelas Piala Dunia karena ia takut terbang dengan pesawat. Istri saya termasuk orang yang tidak nyaman berada di dalam pesawat. Tetapi ia masih mau dan paling-paling menggenggam tangan saya erat-erat sambil terus berdoa. Mengapa banyak orang takut naik pesawat? Data statistik menunjukkan jumlah kecelakaan dengan mengendarai mobil atau transportasi darat lainnya jauh lebih tinggi dibanding kecelakaan di udara. Bahkan kecelakaan menyeberang jalan pun lebih tinggi dibanding kecelakaan dalam penerbangan. Mungkin orang takut pesawatnya jatuh, pilotnya kurang cakap, takut ketika berada di ketinggian, takut berada dalam ruang tertutup dan sebagainya. Tapi menariknya, sebuah penelitian menyimpulkan bahwa penyebabnya bukan karena takut pesawatnya jatuh, tetapi karena rasa takut kehilangan kendali ketika meninggalkan tanah.
Rasa takut bisa muncul dalam berbagai bentuk. Alasannya pun bermacam-macam. Kita mengenal kata phobia yang bisa tersambung dengan banyak hal menakutkan yang berbeda pada masing-masing individu. Diantara orang percaya rasa takut yang berlebihan seperti ini pun masih sering terjadi. Sudah rajin ke gereja, rajin berdoa, tetapi rasa takut masih saja berkuasa atas diri mereka. Mulai dari rasa takut yang sepele seperti takut berjalan di dalam gelap, takut menatap masa depan, stres menghadapi masalah finansial, putus asa dalam menghadapi anak atau pasangan dan sebagainya. Ada banyak orang yang memang melakukan ibadah secara rajin, tapi kekurangan iman dalam hidupnya. Mungkin mereka sulit mempercayakan hidup kepada Allah yang tidak bisa dilihat kasat mata dan lebih percaya kepada apa yang bisa dilihat di muka bumi yang kita jalani sehari-hari. Akibatnya fokus hanyalah kepada hal-hal duniawi, dan itu dianggap realistis. Masalahnya terletak pada iman yang belum cukup percaya untuk mampu menjawab segala kekhawatiran kita.
Sebesar apa iman itu seharusnya? Tuhan Yesus justru menyatakan bahwa iman sekecil biji sesawi saja sudah mampu menghasilkan sesuatu. "Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (Lukas 17:6). Hal ini dikatakan Yesus untuk menjawab permintaan murid-muridNya akan iman yang lebih besar. Ketika itu Yesus tengah mengajarkan mereka untuk meningkatkan kemampuan mengampuni ke level yang lebih tinggi. Dan mereka menanggapinya dengan meminta tambahan iman kepada Yesus. "Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" (Lukas 17:5). Maka iman sebesar biji sesawi merupakan jawaban dari Yesus yang sungguh penting. Seringkali kita berpikir bahwa kita membutuhkan iman yang tidak pernah cukup besarnya. Kita ingin lebih dan lebih lagi, padahal sebesar biji sesawi saja, yang ukurannya cuma seujung kecil jari sudah bisa membawa mukjizat yang besar. Ketika para murid gagal menyembuhkan seorang pemuda yang dikuasai roh jahat dalam Matius 17:14-21, ternyata Yesus kembali mengulangi pesan yang sama. "Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (ay 20). Ya, iman sebesar biji sesawi saja sudah mampu membuat hal yang mustahil menjadi mungkin. Iman sebesar biji sesawi sekalipun sudah mampu untuk membawa kita mengalami keajaiban mukjizat Tuhan.
Penulis Ibrani mendefenisikan iman secara sangat baik. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Kalau kita mempercayai sesuatu yang terlihat itu bukan iman lagi namanya. Bisa tidaknya kita percaya bahwa Tuhan akan melakukan sesuatu bagi kita nanti sementara kita masih belum melihatnya saat ini, itu tergantung sepenuhnya dari iman. Percaya tidaknya kita terhadap jawaban Tuhan atas sesuatu yang kita harapkan, itu tergantung dari iman. Dan ketika orang berpikir bahwa imannya masih terlalu kecil, Yesus menyatakan sebesar biji sesawi sekalipun itu sudah cukup untuk melihat mukjizat Tuhan dinyatakan atas hidup kita. Yang menjadi masalah adalah seperti jawaban Yesus di atas: yaitu "Karena kamu kurang percaya." Berulang-ulang Yesus mengingatkan kita agar jangan takut dan percaya kepadaNya, tetapi kita terus saja ragu dan memandang hanya kepada masalahnya saja. Kita terus mendesak Tuhan untuk melakukan pertolongan sesuai dengan waktu yang kita inginkan. Kita kurang percaya dan tidak mau membiarkan Tuhan melakukan tepat pada waktunya, kita sulit meyakini bahwa waktu yang dianggap Tuhan paling baik adalah yang terbaik pula buat kita. Iman yang kecil saja sudah membawa dampak luar biasa, dan apabila kita masih belum mengalaminya itu berarti iman kita masih berada di bawah ukuran yang sekecil biji sesawi, dan ingatlah bahwa iman itu tidak akan pernah bisa tumbuh apabila kita tidak kunjung belajar untuk percaya kepada Tuhan. Anda memiliki ketakutan akan sesuatu hari ini? Jika ya, inilah saatnya untuk mulai belajar percaya kepada Tuhan. Pegang janjiNya dan lakukan segala sesuatu sesuai kehendakNya. Disanalah anda akan melihat bagaimana iman itu akan mulai bertumbuh, dan ketika sampai kepada ukuran sebesar biji sesawi saja anda akan mengalami banyak hal menakjubkan dari kuasa Tuhan.
Belajarlah percaya agar iman anda bisa bertumbuh
Follow us on twitter: http://twitter.com./dailyrho
===================
"Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!"
Apakah anda termasuk orang yang takut terbang dengan pesawat? Ada banyak orang yang mengalami rasa takut ketika mereka berada di dalam pesawat terbang. Ada yang meski takut tapi bisa memberanikan diri, ada pula yang betul-betul tidak mau sama sekali. Dennis Berkamp seorang pesepak bola terkenal yang sudah pensiun dulu merupakan andalan tim Arsenal dan timnas Belanda. Tetapi ia selalu hanya mau memilih jalan darat ketimbang naik pesawat bersama teman-temannya. Ia bahkan rela melepas peluang untuk bermain di ajang prestisius sekelas Piala Dunia karena ia takut terbang dengan pesawat. Istri saya termasuk orang yang tidak nyaman berada di dalam pesawat. Tetapi ia masih mau dan paling-paling menggenggam tangan saya erat-erat sambil terus berdoa. Mengapa banyak orang takut naik pesawat? Data statistik menunjukkan jumlah kecelakaan dengan mengendarai mobil atau transportasi darat lainnya jauh lebih tinggi dibanding kecelakaan di udara. Bahkan kecelakaan menyeberang jalan pun lebih tinggi dibanding kecelakaan dalam penerbangan. Mungkin orang takut pesawatnya jatuh, pilotnya kurang cakap, takut ketika berada di ketinggian, takut berada dalam ruang tertutup dan sebagainya. Tapi menariknya, sebuah penelitian menyimpulkan bahwa penyebabnya bukan karena takut pesawatnya jatuh, tetapi karena rasa takut kehilangan kendali ketika meninggalkan tanah.
Rasa takut bisa muncul dalam berbagai bentuk. Alasannya pun bermacam-macam. Kita mengenal kata phobia yang bisa tersambung dengan banyak hal menakutkan yang berbeda pada masing-masing individu. Diantara orang percaya rasa takut yang berlebihan seperti ini pun masih sering terjadi. Sudah rajin ke gereja, rajin berdoa, tetapi rasa takut masih saja berkuasa atas diri mereka. Mulai dari rasa takut yang sepele seperti takut berjalan di dalam gelap, takut menatap masa depan, stres menghadapi masalah finansial, putus asa dalam menghadapi anak atau pasangan dan sebagainya. Ada banyak orang yang memang melakukan ibadah secara rajin, tapi kekurangan iman dalam hidupnya. Mungkin mereka sulit mempercayakan hidup kepada Allah yang tidak bisa dilihat kasat mata dan lebih percaya kepada apa yang bisa dilihat di muka bumi yang kita jalani sehari-hari. Akibatnya fokus hanyalah kepada hal-hal duniawi, dan itu dianggap realistis. Masalahnya terletak pada iman yang belum cukup percaya untuk mampu menjawab segala kekhawatiran kita.
Sebesar apa iman itu seharusnya? Tuhan Yesus justru menyatakan bahwa iman sekecil biji sesawi saja sudah mampu menghasilkan sesuatu. "Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (Lukas 17:6). Hal ini dikatakan Yesus untuk menjawab permintaan murid-muridNya akan iman yang lebih besar. Ketika itu Yesus tengah mengajarkan mereka untuk meningkatkan kemampuan mengampuni ke level yang lebih tinggi. Dan mereka menanggapinya dengan meminta tambahan iman kepada Yesus. "Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" (Lukas 17:5). Maka iman sebesar biji sesawi merupakan jawaban dari Yesus yang sungguh penting. Seringkali kita berpikir bahwa kita membutuhkan iman yang tidak pernah cukup besarnya. Kita ingin lebih dan lebih lagi, padahal sebesar biji sesawi saja, yang ukurannya cuma seujung kecil jari sudah bisa membawa mukjizat yang besar. Ketika para murid gagal menyembuhkan seorang pemuda yang dikuasai roh jahat dalam Matius 17:14-21, ternyata Yesus kembali mengulangi pesan yang sama. "Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (ay 20). Ya, iman sebesar biji sesawi saja sudah mampu membuat hal yang mustahil menjadi mungkin. Iman sebesar biji sesawi sekalipun sudah mampu untuk membawa kita mengalami keajaiban mukjizat Tuhan.
Penulis Ibrani mendefenisikan iman secara sangat baik. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Kalau kita mempercayai sesuatu yang terlihat itu bukan iman lagi namanya. Bisa tidaknya kita percaya bahwa Tuhan akan melakukan sesuatu bagi kita nanti sementara kita masih belum melihatnya saat ini, itu tergantung sepenuhnya dari iman. Percaya tidaknya kita terhadap jawaban Tuhan atas sesuatu yang kita harapkan, itu tergantung dari iman. Dan ketika orang berpikir bahwa imannya masih terlalu kecil, Yesus menyatakan sebesar biji sesawi sekalipun itu sudah cukup untuk melihat mukjizat Tuhan dinyatakan atas hidup kita. Yang menjadi masalah adalah seperti jawaban Yesus di atas: yaitu "Karena kamu kurang percaya." Berulang-ulang Yesus mengingatkan kita agar jangan takut dan percaya kepadaNya, tetapi kita terus saja ragu dan memandang hanya kepada masalahnya saja. Kita terus mendesak Tuhan untuk melakukan pertolongan sesuai dengan waktu yang kita inginkan. Kita kurang percaya dan tidak mau membiarkan Tuhan melakukan tepat pada waktunya, kita sulit meyakini bahwa waktu yang dianggap Tuhan paling baik adalah yang terbaik pula buat kita. Iman yang kecil saja sudah membawa dampak luar biasa, dan apabila kita masih belum mengalaminya itu berarti iman kita masih berada di bawah ukuran yang sekecil biji sesawi, dan ingatlah bahwa iman itu tidak akan pernah bisa tumbuh apabila kita tidak kunjung belajar untuk percaya kepada Tuhan. Anda memiliki ketakutan akan sesuatu hari ini? Jika ya, inilah saatnya untuk mulai belajar percaya kepada Tuhan. Pegang janjiNya dan lakukan segala sesuatu sesuai kehendakNya. Disanalah anda akan melihat bagaimana iman itu akan mulai bertumbuh, dan ketika sampai kepada ukuran sebesar biji sesawi saja anda akan mengalami banyak hal menakjubkan dari kuasa Tuhan.
Belajarlah percaya agar iman anda bisa bertumbuh
Follow us on twitter: http://twitter.com./dailyrho
Saturday, April 16, 2011
Berulang-ulang
Ayat bacaan: Ulangan 6:7
==================
"haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."
Saya baru saja membaca sebuah majalah yang menceritakan apa yang suka dilakukan para ibu yang sedang hamil di Jepang. Mereka senang mengajak bayinya bicara sejak dalam kandungan. Tidak hanya berbicara, tetapi mereka ternyata rajin mengajarkan penjumlahan. 1+1=2, 2+2=4 dan sebagainya. Sepintas mungkin terlihat lucu bagi kita, untuk apa mengajarkan penjumlahan kepada bayi yang masih dalam kandungan? Tetapi faktanya ternyata sungguh menakjubkan. Dikatakan disana anak-anak yang ibunya sering mengajarkan penjumlahan dan rajin mengajak berbicara ternyata jauh lebih cepat berhitung dan menangkap berbagai pelajaran sejak usia 3 tahun dibanding anak-anak lainnya. Hasil penelitian di Jepang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap pengajaran berulang-ulang sejak bayi masih berada di dalam perut ibunya. Jika dilakukan sekali saja tentu tidak akan membawa hasil apa-apa. Agar metode ini bisa berhasil, si ibu harus terus menerus mengajarkan kepada bayinya. Dengan kata lain, pengulangan dalam mengajar akan membuahkan hasil yang signifikan.
Manusia akan lebih mudah mengingat sesuatu yang didengar berulang-ulang atau sesuatu yang sering dilakukan. Pola-pola perulangan baik yang positif maupun negatif pun mampu mengubah pola pikir seseorang. Coba ingat-ingat, adakah sesuatu yang diajarkan oleh orang tua anda secara berulang-ulang ketika anda kecil dan masih berbekas dalam ingatan anda hari ini? Rasanya semua orang pasti memiliki memori tersendiri akan itu. Kepribadian atau watak kita pun akan terbentuk menurut seperti apa pengajaran yang kita terima sejak kecil secara berulang-ulang. Pola perulangan akan membuat kita mampu mengingat sesuatu dalam waktu yang lama, bahkan sampai mati sekalipun. Sejauh mana kita menganggap penting untuk mengajarkan anak-anak kita sejak bayi? Jika metode pengajaran penjumlahan seperti yang dilakukan ibu-ibu di Jepang mampu membawa hasil yang hebat terhadap kepintaran anak-anak mereka kelak, bukankah sebuah metode pengajaran yang berulang-ulang sejak usia dini akan membawa manfaat yang baik sebagai bekal bagi masa depan mereka kelak?
Tuhan tahu betul akan hal ini. Lihatlah pesan Tuhan yang diberikan kepada bangsa Israel lewat Musa. Salah satu pesannya mengingatkan kita akan pentingnya memperhatikan segala perintah yang diberikan Tuhan kepada mereka (Ulangan 6:6). Dan bukan itu saja, selanjutnya dikatakan: "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (ay 7). Ayat ini menggambarkan betapa pentingnya bagi kita untuk mengajarkan anak-anak kita mengenai ketetapan-ketetapan Tuhan secara berulang-ulang, kapan saja, dimana saja. Lewat dongeng sebelum tidur, ketika sedang bermain, ketika sedang dalam perjalanan dan sebagainya. Pola pengajaran berulang akan mampu menanamkan benih Firman Tuhan di dalam hati mereka sehingga mereka bisa terbentuk sebagai pribadi yang takut akan Tuhan sejak kecil. Itu akan sangat bermanfaat bagi masa depan mereka. Pada suatu ketika nanti, anda akan tersenyum bangga melihat mereka tumbuh menjadi orang-orang sukses yang mampu menjadi teladan bagi banyak orang.
Akan tetapi penting pula bagi kita untuk ingat bahwa mengajarkan secara lisan saja tidak akan bisa berpengaruh jauh terhadap keimanan mereka. Lebih dari sekedar lewat kata-kata, kita pun harus menunjukkan keteladanan dengan kesesuaian antara apa yang kita katakan dengan apa yang kita perbuat. Anak-anak tidak akan mau menanggapi serius nasihat orang tuanya apabila orang tuanya malah melanggar sendiri segala sesuatu yang mereka ajarkan. Ayat selanjutnya mengatakan hal itu dengan jelas: "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9). Tidak bisa tidak, apabila kita mengharapkan anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berbuah lebat dalam segala hal ketika mereka dewasa, kita harus rajin mengajarkan dan memberi teladan secara berulang-ulang sedini mungkin.
Kita harus ingat bahwa anak-anak kita merupakan anugerah yang sangat indah dari Tuhan. Dalam Mazmur kita bisa membaca perenungan Penulisnya akan hal ini: "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah." (Mazmur 127:3). Selayaknya kita menerima titipan Tuhan sebagai anugerahNya, adalah penting bagi kita untuk bersyukur dan menghargai betul pemberian itu. Dan Alkitab mengatakan hal tersebut dengan kiasan yang bagi saya terdengar sangat indah. "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda." (ay 4). Bukan hanya anak-anak kita yang akan merasakan manfaatnya kelak setelah mereka bertumbuh dewasa, tetapi bagi kita sebagai orang tuanya pun akan memetik hasilnya nanti. "Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (ay 5).
Bukan hanya anak-anak, tetapi bagi orang dewasa pun sebuah proses belajar atau latihan yang dilakukan secara kontinu akan mampu membuat diri kita terbiasa dalam melakukan hal-hal yang baik terutama dalam hal beribadah. Firman Tuhan mengatakan bahwa keseriusan dalam beribadah merupakan sebuah proses yang harus dilakukan secara teratur dan kontinu, bukan sesuatu yang instan. "Latihlah dirimu beribadah." (1 Timotius 4:7). Practice makes perfect, itu kata pepatah, dan latihan memerlukan proses berkesinambungan. Jika melatih diri untuk menyadari pentingnya berolah raga bagi kesehatan atau kebugaran tubuh kita, melatih diri untuk rajin beribadah akan membawa faedah yang jauh lebih penting lagi, karena "Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang." (ay 8).
Lewat penelitian mendalam perulangan dalam pengajaran dan keteladanan dipercaya mampu memberikan dampak positif yang mampu bertahan hingga waktu yang panjang. Dan Alkitab pun mengatakan hal yang sama tentang itu. Kita harus menanamkan pengenalan akan Tuhan dan Firman-FirmanNya sedini mungkin kepada anak-anak kita lewat metode pengajaran yang berulang-ulang. Anda bisa memakai metode-metode yang menyenangkan bagi anak seperti lewat dongeng sebelum tidur, lewat hal-hal yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, lewat perumpamaan dan sebagainya. Jangan lupa pula bahwa ketika kita mengajarkan mereka, kita pun harus pula memperhatikan kesesuaian antara sikap dan perbuatan kita dengan apa yang kita ajarkan. Itu akan mampu membawa manfaat besar bagi anak-anak kita hingga akhir hayat mereka, dan itu pun akan membawa kebahagiaan bagi kita. Siapa yang tidak bahagia jika melihat anak-anaknya tumbuh menjadi orang-orang sukses yang membawa pengaruh positif bagi sesamanya? Disamping itu kita pun harus terus menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada diri kita sendiri lewat latihan rohani yang dilakukan secara berulang-ulang, secara kontinu dan teratur serta tanamkan pengenalan akan Tuhan bagi anak-anak kita sedini mungkin, sehingga kelak kita dan anak-anak kita akan berbahagia memetik buahnya. Jika belajar penjumlahan kepada janin saja sudah mampu memberikan kebaikan yang bermanfaat bagi perkembangan kepintaran dan kemampuan anak-anak, apalagi pengenalan akan Firman Tuhan yang bukan saja berguna dalam hidup di dunia ini tetapi juga akan sangat bermanfaat bagi hidup yang akan datang.
Jangan hanya sekali-kali tetapi ajarkanlah kebenaran Firman Tuhan secara berulang-ulang
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==================
"haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."
Saya baru saja membaca sebuah majalah yang menceritakan apa yang suka dilakukan para ibu yang sedang hamil di Jepang. Mereka senang mengajak bayinya bicara sejak dalam kandungan. Tidak hanya berbicara, tetapi mereka ternyata rajin mengajarkan penjumlahan. 1+1=2, 2+2=4 dan sebagainya. Sepintas mungkin terlihat lucu bagi kita, untuk apa mengajarkan penjumlahan kepada bayi yang masih dalam kandungan? Tetapi faktanya ternyata sungguh menakjubkan. Dikatakan disana anak-anak yang ibunya sering mengajarkan penjumlahan dan rajin mengajak berbicara ternyata jauh lebih cepat berhitung dan menangkap berbagai pelajaran sejak usia 3 tahun dibanding anak-anak lainnya. Hasil penelitian di Jepang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap pengajaran berulang-ulang sejak bayi masih berada di dalam perut ibunya. Jika dilakukan sekali saja tentu tidak akan membawa hasil apa-apa. Agar metode ini bisa berhasil, si ibu harus terus menerus mengajarkan kepada bayinya. Dengan kata lain, pengulangan dalam mengajar akan membuahkan hasil yang signifikan.
Manusia akan lebih mudah mengingat sesuatu yang didengar berulang-ulang atau sesuatu yang sering dilakukan. Pola-pola perulangan baik yang positif maupun negatif pun mampu mengubah pola pikir seseorang. Coba ingat-ingat, adakah sesuatu yang diajarkan oleh orang tua anda secara berulang-ulang ketika anda kecil dan masih berbekas dalam ingatan anda hari ini? Rasanya semua orang pasti memiliki memori tersendiri akan itu. Kepribadian atau watak kita pun akan terbentuk menurut seperti apa pengajaran yang kita terima sejak kecil secara berulang-ulang. Pola perulangan akan membuat kita mampu mengingat sesuatu dalam waktu yang lama, bahkan sampai mati sekalipun. Sejauh mana kita menganggap penting untuk mengajarkan anak-anak kita sejak bayi? Jika metode pengajaran penjumlahan seperti yang dilakukan ibu-ibu di Jepang mampu membawa hasil yang hebat terhadap kepintaran anak-anak mereka kelak, bukankah sebuah metode pengajaran yang berulang-ulang sejak usia dini akan membawa manfaat yang baik sebagai bekal bagi masa depan mereka kelak?
Tuhan tahu betul akan hal ini. Lihatlah pesan Tuhan yang diberikan kepada bangsa Israel lewat Musa. Salah satu pesannya mengingatkan kita akan pentingnya memperhatikan segala perintah yang diberikan Tuhan kepada mereka (Ulangan 6:6). Dan bukan itu saja, selanjutnya dikatakan: "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (ay 7). Ayat ini menggambarkan betapa pentingnya bagi kita untuk mengajarkan anak-anak kita mengenai ketetapan-ketetapan Tuhan secara berulang-ulang, kapan saja, dimana saja. Lewat dongeng sebelum tidur, ketika sedang bermain, ketika sedang dalam perjalanan dan sebagainya. Pola pengajaran berulang akan mampu menanamkan benih Firman Tuhan di dalam hati mereka sehingga mereka bisa terbentuk sebagai pribadi yang takut akan Tuhan sejak kecil. Itu akan sangat bermanfaat bagi masa depan mereka. Pada suatu ketika nanti, anda akan tersenyum bangga melihat mereka tumbuh menjadi orang-orang sukses yang mampu menjadi teladan bagi banyak orang.
Akan tetapi penting pula bagi kita untuk ingat bahwa mengajarkan secara lisan saja tidak akan bisa berpengaruh jauh terhadap keimanan mereka. Lebih dari sekedar lewat kata-kata, kita pun harus menunjukkan keteladanan dengan kesesuaian antara apa yang kita katakan dengan apa yang kita perbuat. Anak-anak tidak akan mau menanggapi serius nasihat orang tuanya apabila orang tuanya malah melanggar sendiri segala sesuatu yang mereka ajarkan. Ayat selanjutnya mengatakan hal itu dengan jelas: "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9). Tidak bisa tidak, apabila kita mengharapkan anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berbuah lebat dalam segala hal ketika mereka dewasa, kita harus rajin mengajarkan dan memberi teladan secara berulang-ulang sedini mungkin.
Kita harus ingat bahwa anak-anak kita merupakan anugerah yang sangat indah dari Tuhan. Dalam Mazmur kita bisa membaca perenungan Penulisnya akan hal ini: "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah." (Mazmur 127:3). Selayaknya kita menerima titipan Tuhan sebagai anugerahNya, adalah penting bagi kita untuk bersyukur dan menghargai betul pemberian itu. Dan Alkitab mengatakan hal tersebut dengan kiasan yang bagi saya terdengar sangat indah. "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda." (ay 4). Bukan hanya anak-anak kita yang akan merasakan manfaatnya kelak setelah mereka bertumbuh dewasa, tetapi bagi kita sebagai orang tuanya pun akan memetik hasilnya nanti. "Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (ay 5).
Bukan hanya anak-anak, tetapi bagi orang dewasa pun sebuah proses belajar atau latihan yang dilakukan secara kontinu akan mampu membuat diri kita terbiasa dalam melakukan hal-hal yang baik terutama dalam hal beribadah. Firman Tuhan mengatakan bahwa keseriusan dalam beribadah merupakan sebuah proses yang harus dilakukan secara teratur dan kontinu, bukan sesuatu yang instan. "Latihlah dirimu beribadah." (1 Timotius 4:7). Practice makes perfect, itu kata pepatah, dan latihan memerlukan proses berkesinambungan. Jika melatih diri untuk menyadari pentingnya berolah raga bagi kesehatan atau kebugaran tubuh kita, melatih diri untuk rajin beribadah akan membawa faedah yang jauh lebih penting lagi, karena "Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang." (ay 8).
Lewat penelitian mendalam perulangan dalam pengajaran dan keteladanan dipercaya mampu memberikan dampak positif yang mampu bertahan hingga waktu yang panjang. Dan Alkitab pun mengatakan hal yang sama tentang itu. Kita harus menanamkan pengenalan akan Tuhan dan Firman-FirmanNya sedini mungkin kepada anak-anak kita lewat metode pengajaran yang berulang-ulang. Anda bisa memakai metode-metode yang menyenangkan bagi anak seperti lewat dongeng sebelum tidur, lewat hal-hal yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, lewat perumpamaan dan sebagainya. Jangan lupa pula bahwa ketika kita mengajarkan mereka, kita pun harus pula memperhatikan kesesuaian antara sikap dan perbuatan kita dengan apa yang kita ajarkan. Itu akan mampu membawa manfaat besar bagi anak-anak kita hingga akhir hayat mereka, dan itu pun akan membawa kebahagiaan bagi kita. Siapa yang tidak bahagia jika melihat anak-anaknya tumbuh menjadi orang-orang sukses yang membawa pengaruh positif bagi sesamanya? Disamping itu kita pun harus terus menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada diri kita sendiri lewat latihan rohani yang dilakukan secara berulang-ulang, secara kontinu dan teratur serta tanamkan pengenalan akan Tuhan bagi anak-anak kita sedini mungkin, sehingga kelak kita dan anak-anak kita akan berbahagia memetik buahnya. Jika belajar penjumlahan kepada janin saja sudah mampu memberikan kebaikan yang bermanfaat bagi perkembangan kepintaran dan kemampuan anak-anak, apalagi pengenalan akan Firman Tuhan yang bukan saja berguna dalam hidup di dunia ini tetapi juga akan sangat bermanfaat bagi hidup yang akan datang.
Jangan hanya sekali-kali tetapi ajarkanlah kebenaran Firman Tuhan secara berulang-ulang
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Subscribe to:
Posts (Atom)
Belajar dari Rehabeam (2)
(sambungan) Mengharap berkat itu satu hal, tapi ingat bahwa menyikapi berkat itu hal lain. Dan salah menyikapi berkat bukannya baik tapi ma...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...