Wednesday, September 30, 2015

Kualitas Hubungan antara Tuhan dan Manusia sebagai Sahabat (2)

(sambungan)

Amsal 17:17 berkata: "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." Sahabat sejati adalah mereka yang saling setia, saling mengasihi, saling mempercayai satu dengan lainnya baik dalam suka maupun duka. Jika seorang manusia saja bisa menjadi sahabat dalam pengertian sesuai dengan Amsal 17:17 tersebut, bayangkan jika Allah sendiri yang menjadi sahabat kita.

Apakah mungkin? Abraham menunjukkan bahwa itu mungkin. Sangat mungkin. Hubungan yang terjalin antara Abraham dan Allah merupakan sebuah hubungan yang luar biasa. Saya percaya Tuhan selalu rindu untuk menjadikan kita sahabat-sahabatNya. Jika tidak, tentu Tuhan tidak harus repot-repot membuat manusia segambar denganNya. Tuhan selalu mengulurkan salam persahabatan kepada kita, anak-anakNya. Semua tergantung kita, apakah kita mampu untuk selalu bersepakat denganNya, tidak mempertanyakan segala keputusanNya, seperti halnya Abraham taat penuh mengenai Ishak, melainkan mempercayakan semuanya kepada Tuhan dan menjalankan perintahNya tanpa banyak tanya.

Bagaimana komunikasi kita dengan Tuhan saat ini? Jangan bermimpi bisa menjadi sahabat Tuhan kalau kita masih jarang berdoa, kalau masih sering lupa untuk berdoa saat hendak melakukan sesuatu, atau kalau kita masih menjadikan doa hanya sebagai sarana untuk meminta sesuatu saja. Ada banyak orang yang mengira doa hanyalah berlangsung satu arah saja, hanya dilakukan saat ada perlu, apakah meminta pertolongan, meminta agar sembuh, agar bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan berbagai daftar permintaan lainnya. Atau tidak sedikit pula yang menjalankan doa hanya sebatas kewajiban saja tanpa menyadari manfaat maupun tujuannya. Mungkin dipaksa orang tua, atau karena memang sudah dibiasakan sejak kecil tanpa diajarkan untuk apa sebenarnya kita berdoa. Doa berhenti pada tata cara atau sarana minta-minta. Kalau itu masih bentuk kehidupan doa kita, maka sampai kapanpun kita tidak akan bisa masuk ke sebuah hubungan berkualitas tinggi bagai dua sahabat.

Doa seharusnya juga dipakai untuk menyimak apa kata Tuhan. Dengan kata lain, kita juga mendengar bukan cuma bicara. Mendengar nasihatNya, mendengar teguranNya, mendengar pendapatNya, mendapat masukan dariNya. Doa juga seharusnya bisa menjadi sarana untuk berbincang-bincang dan menyatakan kasih dan rasa syukur kita. Singkat kata, doa seharusnya berkualitas dan tidak hanya dilakukan kalau tidak lupa, kalau lagi tidak ada kerjaan atau kalau sedang perlu sesuatu.

Saat Yesus menyatakan diriNya sebagai sahabat kita, orang berdosa, Yesus justru terlebih dahulu melakukan sesuatu buat kita, sahabat-sahabatNya. Apa yang Dia berikan adalah sebuah bentuk karunia yang tidak ada duanya dan tidak bisa dilakukan oleh siapapun selain Tuhan, yaitu keselamatan. Dan itu diberikan lewat mengorbankan diriNya sendiri.  Tuhan Yesus berkata: "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." Dan itulah yang dilakukan Kristus. Dia memberikan nyawaNya untuk menebus kita semua. That's the real friendship we have in Jesus. 

Tuhan selalu siap bahkan rindu untuk membangun hubungan persahabatan yang dekat, akrab dan berkualitas dengan kita. Apakah kita sudah siap dan mau menjadi sahabat Allah?

Dalam persahabatan sejati terdapat komunikasi dua arah satu sama lain, antara kita dan Tuhan pun sama

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, September 29, 2015

Kualitas Hubungan antara Tuhan dan Manusia sebagai Sahabat (1)

Ayat bacaan: Kejadian 18:16
======================
"Berpikirlah TUHAN: "Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan ini?"

Mungkinkah seorang dikatakan sebagai sahabat jika kita jarang berkomunikasi dengannya? Rasanya tidak ada orang yang menjadikan sahabat mereka sebagai orang terakhir yang mereka hubungi jika mereka mengalami sesuatu. Sebuah hubungan persahabatan akan berisi serangkaian hubungan erat penuh komunikasi tanpa perlu menutup-nutupi sesuatu. Tidak perlu takut bicara, kita bisa selalu jujur dan terbuka akan segala sesuatu, tidak menutup-nutupi, menyimpan atau memendam, apalagi membohongi. Sebaliknya pun demikian. Itu bedanya salah satu perbedaan nyata antara sahabat dengan teman biasa.

Kemarin kita sudah melihat bagaimana kualitas iman Abraham yang disempurnakan lewat perbuatan nyata sehingga bukan saja ia digelari Bapa Orang Beriman tapi juga dianggap sebagai Sahabat Allah. Hari ini kita melihat lebih jauh mengenai bagaimana bentuk hubungan Abraham dengan Allah sebagai seorang sahabat. Pertanyaannya sekarang, apakah Abraham juga seperti itu? Ya, Abraham jelas seperti itu. Abraham rajin berkomunikasi dengan Tuhan!

Ayat bacaan hari ini menggambarkan sesuatu yang luar biasa. Ketika Tuhan menganggap seseorang sudah berstatus sebagai sahabatNya, ternyata Tuhan gelisah untuk berbicara, menyampaikan apa yang hendak Dia lakukan. Lihatlah saat Tuhan hendak menjalankan rencanaNya pada Sodom, Tuhan sampai-sampai harus berpikir bagaimana Dia harus menyampaikan hal itu kepada Abraham. "Berpikirlah TUHAN: "Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan ini? Bukankah sesungguhnya Abraham akan menjadi bangsa yang besar serta berkuasa, dan oleh dia segala bangsa di atas bumi akan mendapat berkat? Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya." (Kejadian 18:19). Anda lihat, Tuhan Sang Pencipta dan Pemilik seluruh isi alam semesta yang berarti punya kekuasaan mutlak untuk menentukan apapun yang ingin Dia lakukan, ternyata merasa berat untuk merahasiakan rencananya kepada sahabatNya, yaitu Abraham. Dengan kata lain, kualitas hubungan persahabatan antara keduanya membuat Tuhan merasa punya kewajiban untuk menyampaikan apa yang akan Dia lakukan kepada Abraham. Wow, ini luar biasa!

Bagaimana ini mungkin terjadi? Selain apa yang kita baca kemarin tentang ketaatan, kesetiaan dan iman penuh Abraham, ayat-ayat selanjutnya menunjukkan sebuah jalinan komunikasi antar dua sahabat dalam kekerabatan yang erat. Mari kita lihat bagaimana hubungan erat tersebut dalam Kejadian 18:20-33. Abraham datang mendekat dan berkata: "Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik? Bagaimana sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? Apakah Engkau akan melenyapkan tempat itu dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar yang ada di dalamnya itu? Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?" (ay 23-25). Dan Tuhan menjawab: "Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka."(ay 26). Lalu Abraham menyahut: "Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu. Sekiranya kurang lima orang dari kelima puluh orang benar itu, apakah Engkau akan memusnahkan seluruh kota itu karena yang lima itu?" (ay 27-28a). Tuhan kembali menjawab: "Aku tidak memusnahkannya, jika Kudapati empat puluh lima di sana."(ay 28b), dan seterusnya hingga ayat 33. Lihatlah jalinan percakapan yang terjalin antara Abraham dan Tuhan secara jelas menunjukkan bentuk komunikasi yang dekat dan akrab antara dua sahabat. Abraham bisa berdialog seperti halnya kepada sesamanya manusia dan yang jelas, bentuk kedekatannya sangat terasa lewat bentuk tawar-menawar diantara mereka.

(bersambung)


Monday, September 28, 2015

Sahabat Allah (2)

(sambungan)

Ketika kita sedang ditimpa masalah, seberapa besar keyakinan kita bahwa Tuhan mampu melepaskan kita? Ketika kita sakit, seberapa besar keyakinan kita bahwa Tuhan sanggup menyembuhkan? Ketika kita sudah berulangkali berdoa, namun kelihatannya Tuhan belum juga berkenan menjawab, seberapa tinggi kesabaran kita untuk mempercayaiNya? Ada banyak orang yang segera mencari alternatif-alternatif duniawi, bahkan menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam kuasa-kuasa kegelapan karena ingin hasil instan tanpa memperhitungkan konsekuensi sebagai akibat dari keputusan mereka. Apa reaksi kita saat iman kita diuji, yang mungkin tingkatannya masih jauh dibawah Abraham? Bayangkan jika permintaan ini menimpa kita, seberapa tinggi ketaatan kita? Tapi lihatlah Abraham mampu taat sepenuhnya. Dia siap mempersembahkan Ishak sesuai permintaan Tuhan. Dan kita tahu kelanjutan ceritanya. Dan inilah bukti dari sebuah iman yang tidak kosong dan tidak mati, iman yang disertai perbuatan. Imannya sudah memang ada, dan menjadi disempurnakan lewat perbuatan-perbuatan nyata, seperti yang dikatakan Yakobus pada ayat 22 di atas. Abraham berhasil membuktikannya.

Dengan kualitas seperti itu, tidaklah mengherankan jika Tuhan menganggap Abraham sebagai sahabat. Dalam Kejadian 26, Allah berbicara pada Ishak dan kembali meneguhkan janji yang Dia berikan pada Abraham. Demikian firman Tuhan: "Tinggallah di negeri ini sebagai orang asing, maka Aku akan menyertai engkau dan memberkati engkau, sebab kepadamulah dan kepada keturunanmu akan Kuberikan seluruh negeri ini, dan Aku akan menepati sumpah yang telah Kuikrarkan kepada Abraham, ayahmu. Aku akan membuat banyak keturunanmu seperti bintang di langit; Aku akan memberikan kepada keturunanmu seluruh negeri ini, dan oleh keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkat." (Kejadian 26:3-4).

Apa dasar Tuhan untuk meneguhkan janji ini? Ayat berikutnya adalah alasannya. "karena Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku." (ay 5). Perhatikan bagaimana Tuhan memegang erat perjanjiannya dengan Abraham. Ketika Abraham tidak melanggar, maka Tuhan pun akan memegang janjiNya.

Kembali kepada soal menjadi sahabat Tuhan, Yesus pun mengajarkan hal yang sama mengenai bagaimana agar kita bisa menjadi sahabatNya. "Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu." (Yohanes 15:14).  Inilah salah satu dari kualitas Abraham. Begitu istimewanya Abraham di mata Allah, sehingga kemudian kita menemukan firman Tuhan dalam Yesaya sebagai berikut: "Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi; engkau yang telah Kuambil dari ujung-ujung bumi dan yang telah Kupanggil dari penjuru-penjurunya, Aku berkata kepadamu: "Engkau hamba-Ku, Aku telah memilih engkau dan tidak menolak engkau"; janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan." (Yesaya 41:8-10). Luar biasa bukan?

Kita merupakan keturunan Abraham yang tidak lain adalah sahabat Allah. Abraham adalah manusia seperti kita secara jasmani, namun keteguhan iman dan ketaatannya mengakibatkan terjalinnya sebuah hubungan persahabatan yang hangat dan istimewa dengan Tuhan.

Kalau Abraham bisa menjadi sahabat Tuhan, kita pun bisa. Tuhan selalu mengulurkan tangan untuk bersahabat dengan kita semua. Apakah kita mau menyambut uluran tangan Tuhan itu? Jika ya, belajarlah dari ketaatan dan kesetiaan penuh dan tanpa syarat dari Abraham. Latih terus iman anda agar terus bertumbuh, tapi jangan lupa tetap sertai dengan perbuatan-perbuatan nyata yang akan menyempurnakan iman kita. Disanalah kita akan bisa seperti Abraham, menjadi sahabat Allah.

Memiliki iman disertai bukti perbuatan dan ketaatan agar kita bisa menjadi sahabat Allah

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, September 27, 2015

Sahabat Allah (1)

Ayat bacaan: Yakobus 2:23
=====================
"Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: "Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Karena itu Abraham disebut: "Sahabat Allah."

Apakah anda punya sahabat? Sahabat kualitasnya beda dengan sekedar kawan atau teman. Seorang sahabat akan ada disamping kita baik pada saat suka maupun duka, bukan sosok yang hanya mencari senang saja dan menghilang disaat kita butuh bantuan. Sahabat juga mengenal kita luar dalam, sifat baik dan buruk kita pun mereka hafal sehingga mereka tidak gampang sakit hati atau kecewa saat berhadapan dengan sifat buruk kita. Mereka akan mengerti lebih dari orang lain dan menjaga privasi sehingga kita tidak perlu ragu menceritakan apa-apa pada mereka. Jika anda punya sahabat, beruntunglah anda karena tidak semua orang punya sahabat. Teman ya, tapi sahabat itu sulit dicari. Orang yang nyetel dan akan menjadi orang yang pertama kita cari saat kita mengalami sesuatu.

Sekarang coba pikirkan, bagaimana kalau seandainya saya katakan bahwa kita bisa menjadi sahabat Tuhan, dan Tuhan menjadi sahabat kita? Wah, itu tentu luar biasa dan sepertinya sulit dipercaya. Jangankan Tuhan, kalau anda berteman dengan seorang pemimpin negara, orang terkenal atau selebritis saja itu sudah spesial. Ini adalah Sang Pencipta langit dan bumi. Bersahabat denganNya, itu bukan lagi masuk kategori membanggakan tetapi harusnya disikapi dengan penuh rasa syukur dan harus benar-benar dijaga. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa Tuhan membuka kesempatan untuk itu, dan itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin atau sekedar isapan jempol saja. Mengapa saya bisa yakin? Karena Alkitab sendiri sudah menyatakan hal itu.

Mari kita lihat ayatnya. Dalam suratnya pasal 2 ayat 14 sampai 26, Yakobus secara panjang lebar menerangkan bahwa adalah sia-sia saja mengaku punya iman tetapi tidak disertai perbuatan. bentuk seperti ini ia katakan sebagai iman yang kosong (ay 20) atau bahkan mati (ay 17). Untuk menerangkan lebih jauh akan hal ini, Yakobus mengambil contoh lewat Abraham. "Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?" (ay 21). Kita tahu bahwa Abraham sudah menunjukkan imannya secara jelas dalam beberapa kesempatan sebelumnya. Tapi lihatlah ketika imannya diuji pada tingkat yang sangat tinggi menurut kemampuan manusia, yaitu saat ia diminta mempersembahkan Ishak, anak yang ia peroleh di usia sangat lanjut dan harus menunggu lebih dari dua puluh tahun di usia seperti itu setelah Tuhan menjanjikannya. Ia harus menyembelih dan mempersembahkan anaknya. Itu sangat mengerikan. Kalau anda punya anak, anda tentu tahu itu terlalu berat untuk dilakukan. Tapi Abraham memilih untuk taat dan siap menjalankannya meski hatinya pasti sangat hancur. Kita tahu bahwa itu hanya ujian iman dan tidak sampai terjadi. Ia lulus dan sampai hari ini digelari Bapa Orang Beriman.

Yakobus kemudian mengatakan "Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna." (ay 22). Tapi Yakobus menyatakan bahwa bukan itu saja gelar yang ia peroleh. Lihatlah apa yang tertulis pada ayat 23. "Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: "Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Karena itu Abraham disebut: "Sahabat Allah." 

Yakobus 2:23 mengatakan bahwa "Abraham disebut sebagai "Sahabat Allah". Pengakuan Abraham sebagai sahabat Allah itu pun tertulis dalam 2 Tawarikh 20:7. Bukankah itu sangat luar biasa? Tidak banyak orang yang bisa mencapai tingkatan istimewa seperti itu. Tapi kalau Abraham bisa, tentu kita pun sebagai manusia yang sama seperti Abraham punya kesempatan yang sama.

Ada banyak diantara kita yang mengaku percaya, mengaku beriman, namun banyak pula diantaranya yang hanya berupa iman kosong belaka. Kita mengaku punya iman, tapi seberapa jauh kita bisa taat menuruti perintah Allah? Itu sebuah pertanyaan yang kedengarannya gampang, namun pelaksanaannya seringkali sulit.

(bersambung)


Saturday, September 26, 2015

Eastern Coral Snake dan Scarlet King Snake

Ayat bacaan: Yakobus 1:15-16
========================
"Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut."

Coba perhatikan gambar dua jenis ular disebelah kiri. Mirip bukan? Kalau hanya sepintas dan sebagai orang biasa, kedua ular yaitu Eastern Coral Snake (kiri) dan Scarlet King Snake (kanan) akan susah dibedakan, apalagi kalau tiba-tiba salah satu dari ular ini melintas di depan kaki anda. Pola warnanya sama, yaitu garis-garis hitam, kuning dan merah. Yang membedakan hanyalah ukuran dari variasi warna tersebut. Pada coral snake yang tebal adalah warna merah dan hitam, sedang pada Scarlet King Snake warna yang dominan hanyalah merah sedang hitam dan kuning berbagi ukuran yang jauh lebih kecil ketimbang merah. Masalahnya muncul karena meski mirip, kedua ular ini sangat berbeda nilai bahayanya. Ular King Snake tidak berbisa sehingga apabila anda digigit anda masih bisa tenang karena hanya menderita luka saja, tapi kalau anda digigit oleh Eastern Coral Snake, anda sedang berada dalam bahaya besar. Coral Snake merupakan salah satu ular yang kadar racunnya sangat tinggi. Kekuatan racunnya menurut para ahli adalah sekitar dua kali lipat dari ular derik atau rattlesnake yang tersohor itu. Oleh karena itu Eastern Coral Snake dianggap sebagai salah satu jenis ular atau bahkan hewan yang paling berbisa yang ada di muka bumi ini. Bayangkan jika anda salah mengira karena kemiripan kedua jenis ular ini. Anda mengira itu ular kingsnake yang tidak berbisa, padahal itu adalah coral snake yang sangat tinggi kadar racunnya. Keliru sedikit maka nyawa anda jadi taruhannya.

Dari segi daya tarik, saya rasa anda akan setuju kalau saya mengatakan bahwa Coral Snake terlihat lebih menarik dengan perpaduan warna hitam dan merah yang seimbang disertai lis kuning ditengah kedua warna tersebut. Selain itu kadar terang warnanya pun berbeda. Kingsnake memiliki warna yang lebih redup dibanding Coral Snake yang warnanya menyala. Ditinjau dari sudut ilmu biologi, adalah sebuah fakta bahwa pada umumnya binatang berbisa atau beracun di dunia ini memiliki warna yang sangat terang dan menarik untuk dilihat. Warna terang yang pada umumnya dimiliki oleh hewan berbisa ini biasanya dipakai untuk memberi peringatan terlebih dahulu kepada apapun atau siapapun yang berada terlalu dekat dengan mereka, atau di sisi lain untuk menarik perhatian mangsa mereka. Warna mereka yang indah dan cerah memang bisa terlihat menarik perhatian, tetapi lihatlah betapa berbahayanya bermain-main di dekat mereka.

Dosa tepat seperti itu. Dosa seringkali hadir dari sesuatu yang kelihatannya indah dan menyenangkan. Dosa akan selalu terlihat nikmat, menggiurkan dan memikat. Kita bisa tertarik pada jebakan dosa lewat hal-hal yang sepintas seolah mendatangkan kepuasan atau kenikmatan sesaat. Pada awalnya mungkin terlihat menyenangkan dan kita terpikat, padahal itu hanyalah semu dan pada akhirnya menjerumuskan kita pada dosa yang ujung-ujungnya menuju pada maut.

Ada banyak orang yang lari pada obat-obat terlarang karena stres. Mereka mengira bisa menjadi rileks dan lepas dari masalah jika mengkonsumsi obat-obatan itu, tapi kita tahu bagaimana nanti akhirnya. Ada yang korupsi karena tergiur kemilau harta, ada yang tidak tahan nafsu lalu berselingkuh atau berzinah. Dan ada banyak lagi contoh mengenai daya pikat tinggi dosa yang bisa menggoda kita. Seperti halnya Coral Snake, dosa-dosa itu mungkin terlihat menyenangkan, tetapi semua itu adalah dosa yang sangat mematikan.

Yakobus mengajarkan bahwa keinginan akan kenikmatan-kenikmatan yang tidak bisa kita kendalikan akan menyeret kita ke dalam pusar kesesatan. Ketika keinginan itu berhasil memikat kita, dosa pun hadir. Seiring berjalannya waktu, dosa itu pun akan matang dan melahirkan maut. Begitu jelasnya pesan Yakobus ini dicatat dalam Alkitab: "Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut." (Yakobus 1:15-16). Racun biasanya membutuhkan waktu untuk menyebar hingga akhirnya membunuh, begitu juga dosa biasanya membutuhkan waktu hingga kita merasakan dampaknya. Cepat atau lambat itu relatif, tapi mengarahnya akan selalu kepada malapetaka besar buat kita. Awalnya nikmat, namun berakhir maut.

Berbicara mengenai keinginan dagin seperti yang disebutkan Yakobus, apa saja bentuknya yang bisa menjadi perangkap "beracun" iblis ini? Paulus sudah merincinya. "Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah." (Galatia 5:19-21). Terhadap segala keinginan daging ini, kita harus berhati-hati agar tidak terseret ke dalam jurang kesesatan yang berujung maut.

Jangan main-main terhadap dosa. Jangan pernah kasih kesempatan atau beri toleransi. Semenarik-menariknya tawaran yang memoles sebuah dosa hingga kadang tidak terlihat kasat mata, ingatlah kita harus mewaspadai betul semua jebakan ini. Ketahuilah bahwa Tuhan menganggap dosa sebagai "kejijikan yang Aku benci" (Yeremia 4:44). Dosalah yang menjadi jurang pemisah hubungan kita dengan Allah. "Tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu." (Yesaya 59:2).

Tuhan sudah mengasihi kita sebegitu besar hingga Dia bahkan rela menganugerahkan Kristus untuk datang ke dunia dan menebus segala dosa kita di atas kayu salib. Dari sanalah hubungan kita dengan Tuhan dipulihkan dan kita dilayakkan untuk menerima janji-janjiNya. Itu sebuah kasih karunia luar biasa, sebuah bentuk kasih atau hadiah yang diberikan kepada kita yang sesungguhnya tidak layak menerimanya. Tuhan sangat mengasihi kita dan sangat peduli pada keselamatan kita. Dia tidak ingin satupun dari kita harus berakhir ke dalam siksaan yang kekal. Maka dari itu, hendaklah kita jangan bermain-main dengan dosa, melainkan hargailah dengan betul-betul kasih karunia  yang diberikan Tuhan dengan menjaga hidup kita dengan sebaik-baiknya dalam ketaatan menjalankan seluruh ketetapanNya. Selalu hindari dosa sejak dini, waspadalah terhadap segala sesuatu keinginan yang berasal dari daging sebelum keburu melahirkan dosa dan setelah matang membuahkan maut.

Dosa bisa terlihat nikmat dan menarik, tapi sesungguhnya sangat mematikan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, September 25, 2015

Akar Pahit (2)

(sambungan)

Akan halnya tips, ada sebuah ayat yang berisi kunci untuk menghindari tumbuhnya akar pahit ini dalam kitab Ibrani. "Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan Kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang." (Ibrani 12:15). Agar kita bisa mencegah tumbuhnya akar pahit, yang bukan saja merugikan diri sendiri tapi juga mampu menimbulkan masalah dan mencemarkan banyak orang, kita harus senantiasa melekat erat pada kasih karunia Allah. Menyadari kasih karuniaNya dan memupuknya terus dalam hati kita. Itulah yang dikatakan bisa mencegah tubuhnya akar pahit yang mencemarkan dan menghancurkan ini. Melekatlah seerat-eratnya, semampu-mampunya, sekuat-kuatnya. Itu akan mampu mencegah tumbuhnya akar pahit itu dalam diri kita. Perhatikanlah bahwa jika kepahitan kita biarkan tumbuh semakin dalam di dalam diri kita, maka buah-buah yang kita hasilkan pun akan pahit, bahkan bisa membinasakan bukan saja diri kita tetapi juga diri orang lain. (Wahyu 8:11).

Perhatikanlah apa bunyi ayat penutup dalam rangkaian keseluruhan Alkitab: "Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu sekalian! Amin." (Wahyu 22:21). Alkitab diakhiri dengan pesan kasih karunia. Ini menunjukkan betapa pentingnya bagi kita untuk sadar akan kasih karunia Tuhan Yesus di dalam perjalanan hidup ini.

Sedalam apapun akar pahit itu sudah terlanjur menusuk hati kita, ingatlah bahwa kita harus terus belajar untuk mengampuni. Yesus bersabda: "ampunilah dan kamu akan diampuni." (Lukas 6:37). Lebih lanjut dikatakan pula: "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu. (Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.)". (Markus 11:25-26).

Betapa pentingnya bagi kita untuk memampukan diri kita akan hal ini. Tidak peduli sebesar apapun kekecewaan atau sakit hati kita terhadap seseorang, Tuhan mau kita mengampuni mereka. Mengampuni sepenuhnya, bukan setengah-setengah, bukan hanya dimulut tapi dilepaskan dari hati yang terdalam dengan sungguh-sungguh. Mungkin rasa sakit itu begitu luar biasa sampai kita tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasinya, tetapi kita bisa belajar untuk mengandalkan Tuhan. Sadari kasih karuniaNya dan teruslah melekat padanya, serahkan sepenuhnya semua kepada Tuhan dan biarkan Roh Kudus bekerja dalam diri anda. Itu akan memampukan anda untuk melakukan hal tersulit yang terlihat tidak mungkin sekalipun, termasuk dalam hal memberi pengampunan.

Cegahlah akar pahit sejak dini sebelum ia keburu tertanam dalam hati kita. Jika sudah terlanjur dalam, belajarlah untuk mengampuni. Jika anda tidak sanggup melakukannya sendiri, ijinkan Tuhan yang membantu anda, tetapi miliki terlebih dahulu kelembutan hati. Tanpa itu karya Tuhan tidak akan bisa terjadi dalam diri kita. Akar pahit ini bisa membinasakan diri anda, dan juga merepotkan orang-orang disekitar anda. Anda tidak akan pernah bisa melangkah maju menikmati segala janji dan rencana Tuhan apabila anda terus membiarkan diri anda terbelenggu oleh akar-akar pahit ini.

Memelihara akar pahit tidak akan membawa hasil apapun selain menambah beban dalam hidup kita yang akan membuat kita semakin lama semakin berat dalam melangkah. Hidup cuma satu kali, dan Tuhan merencanakan banyak hal istimewa bagi masa depan anda. Jangan biarkan akar pahit ini mencemarkan hidup anda dan menggagalkan dalam menerima janji-janji Tuhan termasuk keselamatan dalam Kristus.

Adakah akar pahit yang hari ini menghambat langkah anda? Lepaskanlah segera dengan melepaskan pengampunan yang dimampukan oleh kasih karunia Allah. Jangan menjauh daripadanya dan masuklah ke dalam hidup yang ringan, damai dan penuh sukacita.

Akar pahit yang tumbuh dalam hati tidak membawa manfaat melainkan berbagai penderitaan kepada kita maupun orang lain

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, September 24, 2015

Akar Pahit (1)

Ayat bacaan: Ibrani 12:15
===================
"Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan Kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang."

Entah benar atau tidak, ada seorang teman yang bercerita bahwa ia menemukan relief daun sambiloto di Candi Borobudur saat ia berlibur kesana. Saya tidak mendalami betul bentuk-bentuk tanaman, tapi sambiloto memang sudah terbukti punya khasiat yang sangat banyak buat kesehatan sejak lama di berbagai tempat di Asia. Sambiloto terkenal dengan daunnya yang sangat pahit tetapi mampu memerangi begitu banyak penyakit, mulai dari yang ringan seperti masuk angin dan mengobati luka sampai kepada yang sudah serius seperti berbagai infeksi dan yang masih diteliti adalah kemungkinan untuk obat HIV. Hebatnya, bukan hanya daunnya yang berkhasiat, tapi tanaman sambiloto dimanfaatkan sebagai obat mulai dari daun, bunga, batang sampai akar. Daunnya sangat pahit, entah kalau akarnya karena saya belum pernah mencoba menggigit akar sambiloto. Mungkin pahit juga, atau hanya berasa kayu biasa.

Masalah pahit, Alkitab mengingatkan kita dalam banyak kesempatan agar berhati-hati terhadap timbulnya kepahitan. Bagai tanaman, kepahitan biasanya muncul akarnya dulu, yang kalau dibiarkan kemudian tumbuh membesar hingga sudah sulit diatasi. Akarnya bisa bercabang, begitu pula batangnya. Daun-daun kepahitan bisa sangat rimbun sehingga susah untuk dibuang. Kalau tanaman sambiloto meski pahit tapi punya banyak manfaat, kepahitan yang tumbuh di hati kita tidak membawa manfaat apa-apa selain justru membawa kerugian.

Betapa banyak orang yang mengalami kepahitan dalam hidupnya. Saya sudah bertemu dengan begitu banyak orang yang tidak bisa maju, terluka, trauma dan menderita berawal dari akar pahit yang dibiarkan dalam hatinya. Ada yang menjadi orang dingin dan susah bergaul, ada yang cepat marah dan mendendam, ada yang sisi psikologisnya punya banyak masalah, gambar diri yang hancur dan banyak lagi kerusakan yang ditimbulkan oleh akar pahit. Kalau terlalu lama, maka akar itu sudah terlanjur menyebar dan sulit untuk dicabut. Bukan saja kita yang menderita, tapi orang lain pun bisa terkena dampaknya. Akan dibutuhkan proses konseling yang lama atau bahkan pelepasan agar seseorang bisa dibebaskan dari akar pahit yang sudah terlanjur menyebar dan membesar ini. Yang paling ideal adalah tidak membiarkannya tumbuh. Cabut akar pahit ini langsung begitu mulai timbul sebelum kita kesulitan mengatasinya. Tapi saat kita disakiti, apalagi disakiti oleh orang dekat yang kita sayang, adakah cara untuk mencegah timbulnya akar pahit ini?

Sebelum kita sampai kesana, mari kita lihat beberapa tokoh Alkitab yang ternyata disebutkan pernah mengalami kepahitan ini. Yang tampak cukup jelas misalnya terjadi pada Ayub. Lihatlah bagaimana kata-kata yang keluar dari kepahitannya itu. "Semuanya itu sama saja, itulah sebabnya aku berkata: yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan-Nya.Bila cemeti-Nya membunuh dengan tiba-tiba, Ia mengolok-olok keputusasaan orang yang tidak bersalah.Bumi telah diserahkan ke dalam tangan orang fasik, dan mata para hakimnya telah ditutup-Nya; kalau bukan oleh Dia, oleh siapa lagi?" (Ayub 9:22-24) Atau, "Allah menyerahkan aku kepada orang lalim, dan menjatuhkan aku ke dalam tangan orang fasik. Aku hidup dengan tenteram, tetapi Ia menggelisahkan aku, aku ditangkap-Nya pada tengkukku, lalu dibanting-Nya, dan aku ditegakkan-Nya menjadi sasaran-Nya." (16:11-12) Lihatlah kepahitan mampu membuat orang kehilangan pegangan atau harapan dan bisa mengarah kepada sikap sinis bahkan kasar terhadap Tuhan.

Contoh lain bisa kita lihat pada diri Naomi. "Janganlah sebutkan aku Naomi; sebutkanlah aku Mara, sebab Yang Mahakuasa telah melakukan banyak yang pahit kepadaku.Dengan tangan yang penuh aku pergi, tetapi dengan tangan yang kosong TUHAN memulangkan aku. Mengapakah kamu menyebutkan aku Naomi, karena TUHAN telah naik saksi menentang aku dan Yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku." (Rut 1:21-22) Demikianlah ketika kepahitan menguasai diri kita. Bagaimana mungkin kita bisa maju, bertumbuh dalam melakukan segala sesuatu ketika kita terikat erat oleh akar yang terus melingkari diri kita seperti ini? Itulah sebabnya secepat mungkin kita harus melepaskan diri sebelum akar itu terlanjur menghujam jauh ke dalam hati dan membelenggu diri kita.

(bersambung)


Wednesday, September 23, 2015

Kemana Sukacita Seharusnya Digantungkan?

Ayat bacaan: Nehemia 8:10b
======================
"Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena TUHAN itulah perlindunganmu!"

Bersukacita, itu biasanya akan dirasakan orang saat hidup sedang tenang tanpa ada masalah berarti. Semua tercukupi, sehat, tidak ada beban, pekerjaan bagus dan stabil, keluarga semua baik. Artinya, saat hidup sedang berada pada titik yang bisa dinikmati, disanalah rasa sukacita itu muncul. Begitu kan biasanya? Sebab, bagaimana kita bisa bersukacita saat sedang punya beban atau berada dalam tekanan. Di saat hidup makin berat, harga terus naik, pemenuhan kebutuhan menjadi semakin berat saat pendapatan tidak lagi sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan, maka sukacita pun terampas dari hidup kita. Tidak ada lagi rasa bahagia dan gembira, senyum saja sulit.

Itulah yang akan terjadi ketika kita menggantungkan gembira-tidaknya kita kepada situasi yang tengah kita alami. Kalau kesana kita menggantungkan sukacita, bagaimana mungkin kita bisa merasakan sebuah sukacita yang stabil? Hidup akan selalu punya masalah-masalahnya sendiri. Dan itu bisa muncul tiba-tiba, pada saat yang tidak terduga. Maka sukacita kita pun akan selalu datang dan pergi. Sekarang senang, sebentar kemudian sudah panik atau sedih. Lalu bagaimana seharusnya? Masalah akan selalu bisa muncul kapan saja. Problems may come anytime, tapi sukacita kita seharusnya tidak boleh tergantung pada keadaan melainkan harus dipasang pada titik lebih tinggi di atasnya. Apa yang bisa membuat kita tidak harus kehilangan sukacita ditengah himpitan masalah?

Alkitab sudah memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Bukan hanya dalam satu kalimat saja tetapi pesan dan tips agar kita tidak kehilangan sukacita sudah disampaikan dalam banyak kesempatan. Perhatikanlah ayat bacaan hari ini yang secara jelas memberikan jawaban: "Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena Tuhan itulah perlindunganmu!" (Nehemia 8:10b) Firman Tuhan berkata bahwa kita tidak perlu bersusah hati, bersedih atau kecewa. Mengapa? Sebab sukacita seharusnya bukan tergantung dari dunia tapi karena kita memiliki Tuhan. Tuhanlah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan kita, benteng kita yang teguh, yang akan memampukan kita untuk tetap bisa dipenuhi sukacita meski situasi sedang tidak kondusif. Be not grieved and depressed, for the joy of the Lord is your strength and stronghold. Maka kalau sukacita dirasakan karena Tuhan dan bukan karena keadaan dalam hidup yang tengah dialami, sukacita kita tidak akan mudah terguncang dan hilang.

Tuhan berulang kali mengingatkan kita untuk senantiasa bersukacita dan memahami betul dari mana sumber sukacita itu berasal. Bersukacita tentu mudah jika kita sedang dalam kondisi baik dan berlimpah, tapi biasanya menjadi sulit ketika tengah didera masalah. Masalah kecil saja sudah bisa merusak mood atau suasana hati kita, apalagi kalau masalah besar. Apakah kita mampu? Tergantung kita sendiri, apa keputusan kita dan kemana kita menggantungkan hati kita. Ingat bahwa Tuhan mau kita mampu berada pada level di atas masalah yang ada dalam hidup, karena disanalah kita nantinya bisa mengukur seberapa besar iman kita pada Tuhan. Kalau saja kita mau belajar untuk percaya sepenuhnya dengan menyerahkan seluruh hidup kita ke dalam tanganNya, kita pun akan berada dalam pemeliharaan Tuhan yang luar biasa. Itu janji Tuhan yang akan selalu ditepati. Oleh karena itu kita jangan sampai kehilangan sukacita. Kita harus bisa terus bersukacita, sekali lagi bukan tergantung situasi hidup tetapi karena Tuhan, dan sesungguhnya itulah kuncinya karena disana terletak perlindungan atas kita.

Jika kita membaca Galatia 5:22-23, maka kita bisa melihat bahwa sukacita merupakan salah satu buah Roh. Itu artinya, selama kita hidup dengan bimbingan Roh Kudus yang diam dalam diri kita, maka sukacita sudah seharusnya atau secara otomatis menjadi bagian dari hidup kita. Ingatlah bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Seberat apapun beban yang anda hadapi hari ini, yang paling mustahil bisa selesai menurut logika terpintar kita sekalipun, itu hanya akan menjadi sebuah lahan subur bagi Tuhan untuk menyatakan kuasaNya. Dalam sukacita karena Tuhan terletak perlindungan kita, bukan dari baik tidaknya hidup yang tengah anda jalani hari ini.

Daud berkata: "dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu." (Mazmur 37:4). Meski hati sedang tidak enak, mood sedang kacau, kita harus ingat bahwa Tuhan bisa memberi kelegaan dan menggantikan perasaan yang penuh kemelut dengan sebentuk hati penuh sukacita. Anda mungkin sulit untuk bisa menggantikannya sendiri, tetapi ayat ini mengatakan bahwa Tuhan sendirilah yang akan mengabulkan keinginan hati untuk terus bisa dipenuhi sukacita. Sukacita harus bersumber dari Tuhan, sukacita berasal dari Tuhan dan sukacita bergantung pada Tuhan. Sukacita tidak boleh berakar pada dunia dan situasi terkini kita tetapi harus berpusat pada Tuhan.

Adakah diantara anda yang saat ini tengah galau, berbeban berat, merasa kosong dan kehilangan sukacita? Atau anda merasa terlalu sulit untuk bisa mengembalikan sukacita dalam diri anda? Malam ini, datanglah kepadaNya, bukan untuk mengais harapan kosong, bukan untuk sekedar mencoba, tapi untuk membuktikan bahwa Tuhan bisa mengembalikan sukacita sepenuhnya tidak peduli apapun suasana hati anda saat ini. sandarkan seluruh hidup anda padaNya dengan sukacita, seperti halnya Daud yang berkata: "Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!" (Mazmur 100:2). Mengapa? "Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun." (ay 5).

Percayakan hidup anda sepenuhnya pada Tuhan, dan nikmatilah sukacita sesungguhnya ditengah kesulitan. "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Filipi 4:4), demikian bunyi Firman Tuhan yang lain, dan kata 'sekali lagi' pada ayat ini menunjukkan penekanan supaya kita tidak lupa pada saat tengah berada dalam kesulitan hidup. Bersukacitalah senantiasa, bukan atas baik tidaknya hidup saat ini melainkan di dalam Tuhan.

Bersukacitalah dalam Tuhan, bukan karena yang lain

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, September 22, 2015

Burger Kerikil

Ayat bacaan: Amsal 20:17
========================
"Roti hasil tipuan sedap rasanya, tetapi kemudian mulutnya penuh dengan kerikil."

Kalau mau cepat dapat duit, cara paling mudah jelas lewat hal curang. Bentuk dan jalannya tak terhingga banyaknya. Korupsi, mengemplang uang yang bukan jadi hak kita, menggelembungkan angka-angka pada proposal, sampai menjual produk-produk yang sangat berbahaya buat kesehatan. Ikan yang sudah busuk, daging yang sudah tidak layak konsumsi, bahkan ayam dan sapi yang digelontor air lewat selang hidup-hidup agar terlihat gendut sehingga harganya bisa mahal. Itu bisa mendatangkan keuntungan berkali lipat dari normal. Atau makanan yang diawetkan dengan formalin supaya tahan lama atau memakai bahan-bahan kimia lainnya yang berbahaya buat kesehatan baik dalam jangka waktu lama maupun singkat, gorengan yang dicampur plastik saat digoreng supaya tetap renyah. Sulit dimengerti kenapa manusia bisa sampai sekejam itu, tega mengorbankan nyawa orang lain, kejam terhadap manusia dan hewan hanya karena mengejar keuntungan pribadi yang fana. Tapi kenyataannya seperti itulah sifat banyak orang. Dengan alasan terdesak tekanan ekonomi, mereka tidak lagi punya hati dan perasaan. Kenapa bisa begitu? Ya karena memang keuntungannya cepat dan menggiurkan nilainya. Mau bagaimana resiko atau konsekuensi itu soal nanti. Dosa? Itu juga nanti saja pikirkan. Yang penting keruk dulu sebanyak-banyaknya sekarang, kalau perlu mengorbankan orang lain ya apa boleh buat.

Hikmat Salomo ada yang berbicara mengenai perilaku penipuan. "Roti hasil tipuan sedap rasanya, tetapi kemudian mulutnya penuh dengan kerikil." (Amsal 20:17). Ilustrasi gambar yang saya pakai hari ini dengan jelas menjelaskan ayat ini secara visual. Secara sepintas anda melihat sebuah burger yang siap disantap. Tapi kalau anda teliti lagi baik-baik, maka anda akan melihat bahwa burger tersebut berisi kerikil-kerikil tajam yang pasti merusak dan menghancurkan mulut siapapun yang mengunyahnya. Seperti itulah bentuknya segala harta atau keuntungan yang kita peroleh lewat kecurangan atau menipu. Menggiurkan, terlihat sedap, tapi sangatlah berbahaya kalau dilakukan.

Bayangkan kalau seandainya kita disuruh makan kerikil. Jangankan memakannya, memasukkannya ke mulut saja saya yakin tidak ada yang mau. Mulut bisa luka dan gigi bisa patah kalau dipaksa mengunyah kerikil. Dan seperti itulah kalau kita makan dari roti hasil tipuan. Roti disini berbicara lebih luas dari sekedar roti biasa. Roti bisa mewakili kebutuhan-kebutuhan jasmani lainnya dan harta kekayaan. Sebuah peringatan yang cukup keras kepada orang-orang yang mencari keuntungan lewat tipuan atau cara-cara curang.

Dalam kitab Ratapan kita kembali bertemu dengan penderitaan yang digambarkan dengan mulut penuh kerikil karena menempuh cara yang curang. "Ia meremukkan gigi-gigiku dengan memberi aku makan kerikil; Ia menekan aku ke dalam debu" (Ratapan 3:16). Begitu banyak orang yang tidak berpikir panjang dan hanya fokus untuk memperoleh keuntungan cepat lewat cara-cara yang tidak benar. Berpikir cepat tanpa pertimbangan, hanya mengejar keuntungan sesaat tanpa menyadari apa yang nantinya harus siap ditanggung sebagai konsekuensinya. Bencana dan kebinasaan pun menanti mereka-mereka ini. "Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana, dan tongkat amarahnya akan habis binasa." (Amsal 22:8). Hal itu terjadi karena kecurangan adalah sebuah kekejian di mata Tuhan. "Sebab setiap orang yang melakukan hal yang demikian, setiap orang yang berbuat curang, adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu." (Ulangan 25:16). Bukankah sangat disayangkan apabila keuntungan yang hanya bisa dinikmati sesaat lewat kecurangan nantinya berubah menjadi bencana penuh penderitaan menuju kebinasaan?

Dalam hidup kita godaan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya akan selalu ada. Keinginan untuk memiliki segalanya terus menjadi racun bagi siapapun yang siap membinasakan apabila terminum. Ingat bahwa Tuhan tidak melarang anak-anakNya untuk memiliki banyak harta, tetapi agar kita berhati-hati menyikapi masalah harta. Dari mana datangnya, apakah merupakan berkat dari Tuhan yang hadir lewat keseriusan dan kejujuran kita dalam bekerja, atau lewat jalan-jalan yang curang atau kejahatan yang tega mengorbankan hidup orang lain.  Tidak akan pernah ada kata cukup bagi mereka yang mendasarkan hidup pada kecintaan terhadap harta benda, dan semua itu akan berakhir sia-sia. "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkotbah 5:10).  Karenanya kita harus waspada. Keuntungan lewat cara curang mungkin bisa terlihat senikmat burger, tapi isinya penuh kerikil yang akan menyakiti kita kalau tergigit.

Harta lewat kecurangan mungkin sedap rasanya, tapi itu bagai mengunyah kerikil yang hanya akan mendatangkan penderitaan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, September 21, 2015

Harus Diikat Biar Menurut?

Ayat bacaan: Mazmur 32:9
======================
"Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau"

Saya memelihara 6 ekor anjing di rumah. Karena semuanya diasuh secara personil sejak kecil, semuanya tergolong sangat patuh. Meski pintu depan terbuka, mereka hanya akan keluar kalau perlu buang air saja dan akan segera kembali kalau sudah selesai. Tidak ada yang mencuri-curi kabur, tidak ada yang berbuat onar saat di dalam rumah. Kalau butuh keluar mereka akan mendatangi saya atau istri untuk minta dibukakan pintu. Ada teman lain yang juga memelihara anjing tapi bermasalah soal ketaaatan peliharaannya. Anjingnya ribut dan tidak menurut saat dimarahi, suka buang air sembarangan di dalam rumah, punya catatan bisa menggigit tamu atau orang yang datang dan kalau lengah sedikit, kaburnya bisa jauh dan susah dicari. Sudah beberapa kali anjingnya hilang, ada yang setelah sehari ketemu, ada pula yang tidak pernah lagi ditemukan. Mau tidak mau, satu-satunya jalan baginya untuk mengendalikan peliharaannya adalah dengan mengikat mereka dengan tali. Kalau tidak diikat atau dikerangkeng ya bisa berabe. Dan dari yang saya lihat sendiri, anjing-anjingnya tidak suka diikat saat dibawa jalan. Mereka sering mogok jalan dan susah untuk dikendalikan. Bisa jadi mereka merasa diperlakukan tidak adil. Padahal itu dilakukan demi kebaikan dirinya sendiri juga, karena ia akan menghadapi banyak bahaya apabila ia dibiarkan lepas kemana-mana sendirian.

Dalam perjalanan kita bersama Tuhan pun sebenarnya sama. Betapa sulitnya bagi kita untuk taat dalam menjalani hidup yang dikaruniai kehendak bebas untuk menentukan jalan kita sendiri. Dibebaskan kita berlaku seenaknya, dan saat diikat oleh peraturan kita merasa seperti dibatasi dan seolah tidak boleh senang-senang. Kita tidak menyadari bahwa sebenarnya itu semua adalah demi kebaikan kita sendiri. Apakah Tuhan senang menyiksa dan mengikat kita? Sama sekali tidak. Tuhan tidak menciptakan kita sebagai robot, tapi kita diciptakan sebagai mahluk berakal budi, yang punya kehendak bebas, bahkan diciptakan seperti gambar dan rupaNya sendiri secara begitu istimewa. Dikasihi, dijaga, dilindungi dan diberikan rencana-rencana besarNya termasuk agar kita semua selamat masuk ke dalam kekekalan yang bahagia, tinggal bersama denganNya. Dalam hidup kita diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan-pilihan, dimana setiap pilihan itu akan membawa konsekuensi sendiri. Itu kehendak bebas. Sebuah karunia yang seharusnya kita sikapi dengan penuh rasa syukur dan penghargaan besar lewat ketaatan kita, bukannya diisi dengan berbagai sikap 'mumpung' yang kalau tidak hati-hati bukan saja mengecewakan dan menyedihkan hati Tuhan tapi justru merugikan kita sendiri.

Pada suatu kali bangsa Israel mengeluh kepada Mikha. Mereka sepertinya berkeluh kesah bahwa untuk menyenangkan Tuhan itu tampaknya sangatlah sulit. Mereka mengalami banyak teguran bahkan hukuman sepanjang perjalanan mereka dari generasi ke generasi. Mereka merasakan itu bagai tali yang mengekang atau membatasi gerak mereka, bahkan terkadang berfungsi sebagai cambuk penghukum. Tali atau rantai yang mengekang atau menyakitkan bagai cambuk? Itu bukanlah keinginan Tuhan. Lihatlah jawaban Tuhan lewat Mikha. "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6:8).

Sebenarnya memang sesederhana itu. It's that simple. Menurut Tuhan, apa yang dituntut dari kita sebenarnya tidaklah banyak. Ia hanya ingin kita bisa berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapanNya. Itu sudah mampu menyenangkan Tuhan. Itu akan membawa kita untuk menjadi orang-orang yang bebas, tanpa perlu diikat tali sama sekali. He wants us to walk in full obedience with Him, tanpa harus diikat dan dikekang segala. Tuhan akan sangat senang jika Dia tidak lagi perlu mengikat kita untuk menjadi anak-anakNya yang patuh. Tentu tidak ada tali yang perlu disematkan kepada kita jika kita mampu menjadi pribadi-pribadi yang patuh dan taat bukan? Hal seperti itulah yang Tuhan mau dan yang akan menyenangkan hatiNya.

Dalam Mazmur Daud berkata: "Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau." (Mazmur 32:9). Kita seharusnya lebih baik dari kuda bukan? Kita diciptakan dengan akal budi yang mampu membedakan mana yang baik dan buruk, sehingga seharusnya kita tidak memerlukan tali kekang agar bisa selamat. Apa yang diinginkan Tuhan adalah seperti ini: "Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu." (ay 8). Dan pengajaran Tuhan seharusnya bisa kita dapatkan dengan lemah lembut. Tapi kekerasan hati dan kepala kita sebagai manusia seringkali membawa kita untuk harus terlebih dahulu mengalami pengajaran secara keras agar bisa mengerti. Kita sering lebih memilih untuk melalui hukuman terlebih dahulu agar bisa hidup seturut kehendak Tuhan. Hal itu tidak diinginkan Tuhan, tapi jika itu bisa mencegah kita dari kebinasaan, maka itu harus dilakukan, demi kebaikan kita sendiri juga.

Paulus berpesan kepada jemaat Galatia seperti ini: "Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:16-17). Ada Roh Kudus yang tinggal diam di dalam kita, yang akan selalu siap mengingatkan kita apabila kita melakukan hal yang salah. Lihatlah bahwa pada hakekatnya kita sudah diperlengkapi sedemikian rupa sehingga bentuk-bentuk teguran, cambukan atau hukuman tidak perlu menerpa kita lagi. Apa yang perlu kita lakukan adalah senantiasa hidup oleh Roh dan bukan oleh daging. Kedagingan memang banyak menjanjikan kenikmatan, namun ada banyak jebakan bersembunyi di balik itu semua. Sebuah kehidupan yang dipimpin oleh Roh, dimana Roh Allah yang memegang kendali atas kita, akan membawa kita mampu berjalan sesuai kehendak Allah.

Apakah kita masih membutuhkan tali kekang untuk selamat? Apakah kita masih terus memilih untuk hidup dengan kekerasan hati dan terus merepotkan Tuhan demi keselamatan dan kebahagiaan kita sendiri? Tuhan akan senang jika kita hidup sebagai anak-anakNya yang bisa dipercaya penuh tanpa harus diikat terlebih dahulu. Tuhan akan senang jika kita bisa taat dan patuh sepenuhnya meski dibiarkan bebas. Apakah kita masih perlu diikat atau dikekang, atau bisa dibiarkan bebas dalam perjalanan bersama Tuhan, semua tergantung keputusan kita. Jika kita bisa patuh dan taat kepada perintahNya, mengimani hidup merdeka sepenuhnya sesuai dengan apa yang dirindukan Tuhan, maka tidak ada tali apapun yang perlu disematkan bagi kita. Lewat Kristus kita telah menjadi orang-orang yang merdeka, hendaklah kita senantiasa mengisinya dengan kepatuhan lewat kesadaran sendiri sepenuhnya.

He is pleased when He doesn't have to hold our leash anymore

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, September 20, 2015

Teladan dari Paulus (2)

(sambungan)

Dalam menjalankan misinya Paulus mengalami banyak hal yang mungkin akan mudah membuat kita kecewa apabila berada di posisinya. Tetapi tidak demikian dengan Paulus. Lihatlah apa yang ia katakan: "Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah." (1 Korintus 4:11-13a). Itu jelas menunjukkan sebuah keteladanan luar biasa. Ia tetap memberkati walau dimaki, ia tetap sabar walau dianiaya, ia tetap ramah meski difitnah. Itu bukan hanya sebatas pengajaran lewat perkataan saja melainkan ia tunjukkan langsung dengan perbuatan nyata. Kita bisa melihat sendiri bagaimana karakter dan sikap Paulus dalam menghadapi berbagai hambatan dalam pelayanannya. Apa yang ia ajarkan semuanya telah dan terus ia lakukan sendiri dalam kehidupannya. Oleh sebab itu pantaslah jika Paulus berani menjadikan dirinya sebagai teladan seperti yang tertulis pada ayat bacaan hari ini.

Dalam masa hidupNya yang singkat di muka bumi ini, Yesus juga menunjukkan hal yang sama. Segala yang Dia ajarkan telah Dia contohkan secara langsung pula. Lihatlah sebuah contoh dari perkataan Yesus sendiri ketika ia mengingatkan kita untuk merendahkan diri kita menjadi pelayan dan hamba dalam Matius 20:26-27. Yesus berkata: "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (ay 28). Apa yang diajarkan Yesus telah Dia contohkan pula secara nyata. Ketika Yesus berkata "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu." (Yohanes 15:12), kita secara jelas bisa melihat sebesar apa kasihNya kepada kita. Yesus mengasihi kita sebegitu rupa sehingga Dia rela memberikan nyawaNya untuk menebus kita semua. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (ay 13). Yesus membuktikannya secara langsung lewat karya penebusanNya.

Jauh lebih mudah untuk menegur dan menasihati orang ketimbang menjadi teladan, karena sebagai teladan sikap kita haruslah sesuai dengan perkataan yang kita ajarkan.  Sikap hidup yang sesuai dengan pengajaran seperti itu sudah semakin sulit saja ditemukan hari ini. Tuhan menghendaki kita semua agar tidak berhenti hanya dengan memberi nasihat, teguran atau pengajaran saja, melainkan terus berproses hingga bisa menjadi teladan dengan memiliki karakter, gaya hidup, sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran. Alkitab mengatakan : "Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu" (Titus 2:7).

Kita dituntut untuk bisa menjadi teladan di muka bumi ini. Sesungguhnya itu jauh lebih bermakna ketimbang hanya menyampaikan ajaran-ajaran lewat perkataan kosong. Baik sebagai orang tua, abang, kakak, dan teman kita harus sampai kepada sebuah tingkatan untuk menjadi contoh teladan.

Tetapi tugas menjadi teladan pun bukan hanya menjadi keharusan untuk orang-orang tua saja. Sejak muda pun kita sudah bisa, dan sangat dianjurkan untuk bisa menjadi teladan bahkan bagi orang-orang yang lebih tua sekalipun. Firman Tuhan berkata: "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12).

Kalau Paulus bisa dengan berani dan tegas meminta jemaat di Korintus untuk meneladani cara hidup dan perbuatannya, mengapa kita tidak? Sebuah kehidupan yang mengaplikasikan firman secara nyata akan mampu berbicara banyak. Hal keteladanan sangatlah penting karena orang cenderung lebih mudah percaya dan menerima sebuah kebenaran yang dipraktekkan secara langsung ketimbang hanya lewat kata-kata atau teoritis saja. Orang yang hidup sesuai kebenaran akan memiliki banyak kesaksian untuk dibagikan yang sanggup mengenalkan kebenaran kepada orang-orang yang belum mengetahuinya. Tidak perlu muluk-muluk, hal-hal sederhana saja bisa menjadi sebuah bukti penyertaan Tuhan yang luar biasa yang mampu menjadi berkat bagi orang lain.

Seperti apa karakter yang kita tunjukkan hari ini? Apakah kita sudah atau setidaknya sedang berusaha untuk menjadi teladan dalam berbuat baik? Atau kita masih hidup egois, eksklusif, pilih kasih, kasar, membeda-bedakan orang bahkan masih melakukan banyak hal yang jahat meski kerap mengajarkan kebaikan. Semoga tidak. Sadarilah bahwa cara hidup kita akan selalu diperhatikan oleh orang lain. Anak-anak kita akan melihat sejauh mana kita melakukan hal-hal yang kita nasihati kepada mereka, begitu juga dengan teman-teman dan orang-orang di sekitar kita. Menjadi teladan adalah sebuah keharusan, marilah kita terus melatih diri kita untuk menjadi teladan seperti yang dikehendaki Tuhan atas anak-anakNya.

Menjadi teladan tidak mudah, tapi wajib dilakukan oleh orang percaya

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, September 19, 2015

Teladan dari Paulus (1)

Ayat bacaan: 1 Korintus 4:16
====================
"Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!"

Keteladanan  biasanya mengacu kepada sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh seperti dalam sifat, sikap, perbuatan, perilaku dan sebagainya. Hanya saja, ada banyak orang yang mengidolakan orang-orang yang justru tidak pantas jadi teladan karena memberi contoh atau pengaruh buruk. Musisi, artis atau selebritis yang hidupnya penuh dengan obat-obat terlarang, hubungan bebas, menyampaikan pengajaran-pengajaran buruk dalam karyanya dan sebagainya, itu tentu bukan merupakan teladan yang baik meski banyak yang mengidolakan. Ada yang malah mengidolakan tokoh dunia yang terkenal kejam dan sudah membantai begitu banyak jiwa karena mereka pikir akan membuat mereka keren di mata orang lain. Ada saja memang orang yang seperti itu, tetapi itu bukanlah sebuah keteladanan menurut pengertian sebenarnya. Seorang yang bisa dijadikan panutan atau teladan adalah orang yang terus menanamkan nilai-nilai kebenaran, budi pekerti dan berbagai kebaikan lainnya yang bukan hanya sebatas ajaran lewat kata-kata saja tetapi tercermin langsung dalam keseharian hidup mereka. Artinya, orang-orang yang menjadi teladan adalah orang berintegritas yang punya kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.


Seorang ahli teologia/filsuf asal Jerman yang semasa hidupnya bertugas sebagai misionaris di Afrika bernama Albert Schweitzer suatu kali berkata: "Example is not the main thing in influencing others. It's the only thing". Memberi contoh atau keteladanan bukanlah hal yang utama dalam mempengaruhi orang, tapi itu adalah satu-satunya cara. Artinya, menunjukkan keteladanan atau menjadi teladan itu sangat penting kalau kita mau menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Itu sebabnya untuk menjadi teladan bukanlah perkara mudah. Bila dalam mengajar kita hanya perlu membagikan ilmu dan pengetahuan lewat perkataan, tetapi dalam menerapkan keteladanan kita harus mengadopsi langsung seluruh nilai-nilai  yang kita ajarkan untuk tampil secara langsung dalam perbuatan kita. Ada orang-orang yang mampu menunjukkan nilai-nilai kebenaran dalam hidupnya sehingga mampu memberi pengajaran tersendiri meski tanpa mengucapkan kata-kata sekalipun. Sebaliknya ada orang yang terus berbicara tapi hasilnya tidak maksimal karena tidak disertai dengan contoh nyata dari cara atau sikap hidupnya.

Banyak orang tua yang sudah terlalu letih akibat kesibukan bekerja sehingga mereka merasa tidak lagi perlu menanamkan nilai-nilai luhur akan kebenaran kepada anak-anaknya. Mereka mudah memarahi anak-anaknya tanpa memeriksa terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Pengajaran hanya satu arah dan otoriter, kalau salah ya marahin saja sepuasnya supaya kapok, tanpa diberi penjelasan dimana letak salahnya dan kenapa itu salah. Di satu sisi mereka melarang, tapi di sisi lain mereka melanggar sendiri peraturan yang mereka buat. Mereka menganggap bahwa sebagai orang tua mereka punya kekuasaan absolut yang bisa dipakai seenaknya. Saya orang tua, kamu anak. Jadi pokoknya harus menurut. Titik. Perhatikan, ini bukanlah sikap orang menurut standar kekristenan karena hanya memerintah tanpa mencontohkan. Hanya menuntut tanpa memberi teladan. Anak pun akan sulit belajar tentang kebenaran jika berada dalam bentuk keluarga otoriter yang tidak menganggap penting proses mendidik dan keteladanan seperti itu.

Agar bisa menjadi teladan itu berat dan seringkali butuh pengorbanan. Kalau anda mengajarkan bahwa tidak baik untuk cepat marah, anda harus terlebih dahulu menunjukkan kesabaran, bukan malah menunjukkan betapa pendeknya sumbu kesabaran anda. Kalau anda mengajarkan harus hidup jujur dan bersih, anda harus terlebih dahulu melakukannya. Kalau anda mengajarkan harus rajin membangun hubungan dengan Tuhan, anda harus mencontohkannya dan bukan hanya menyuruh tapi sendirinya malas dengan dalih tidak lagi punya cukup waktu untuk itu. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang pintar mengajarkan tentang yang baik dan benar tapi kita sendiri tidak memberi keteladanan. Atau malah sehari-hari perilaku masih buruk dan secara transparan dilihat oleh orang lain.

Mengenai keteladanan, ada banyak tokoh dalam Alkitab yang sangat baik kita teladani. Salah satunya yang ingin saya angkat kali ini adalah Paulus. Pada suatu kali Paulus berkata dengan tegas kepada jemaat Korintus: "Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (1 Korintus 4:16). Hanya sebuah kalimat singkat dan sederhana, tapi tidak main-main. Paulus tidak mungkin berani berkata seperti itu apabila ia tidak atau belum mencontohkan apapun yang ia sampaikan mengenai kebenaran Firman Tuhan. Bukan cuma mendengar apa yang ia sampaikan, tapi ia pun menasihatkan orang untuk menuruti keteladanan yang sudah ia contohkan secara langsung. Artinya, Paulus bukan hanya mengajar, tapi juga memberi contoh langsung terhadap apa yang ia ajarkan. Dan cara termudah bagi orang untuk memahami apa yang ia ajarkan adalah dengan melihat keteladanannya.

Kita tahu seperti apa cara hidup Paulus. Ia mengalami perubahan hidup 180 derajat dalam waktu relatif singkat. Dari seorang yang jahat dan kejam, ia berubah menjadi orang yang sangat radikal dan berani dalam menyebarkan Injil keselamatan. Ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk pergi ke berbagai pelosok dalam menjalankan misinya bahkan hingga ke Asia kecil. Tidak ada pesawat waktu itu yang mampu mengantar orang dalam waktu singkat, tidak ada pula sarana internet yang memungkinkan orang bisa berhubungan tatap muka secara langsung meski berada jauh satu sama lain seperti chatting, tele conference dan sebagainya.

Kalau itu saja sudah luar biasa, perhatikan pula fakta yang tertulis di dalam Alkitab bahwa ia masih harus bekerja demi membiayai keperluan pelayanannya. Bisa kita bayangkan bagaimana beratnya perjuangan Paulus. Cobalah letakkan diri kita pada posisinya, rasanya kita bisa stres, depresi dan sebagainya diterpa kelelahan dan tekanan dalam menghadapi hari demi hari. Atau mungkin saja kita merasa kecewa dan tawar hati karena apa yang dialami berbeda dengan yang diharapkan. Tapi Paulus bukanlah orang yang punya mental seperti itu. Ia tahu diatas segalanya anugerah keselamatan yang ia terima merupakan sebuah anugerah yang luar biasa besar sehingga ia ingin melihat banyak orang lagi bisa mengikuti jejaknya. Ia memang berkeliling menyampaikan berita keselamatan, tetapi yang jauh lebih penting adalah ia mencontohkan sendiri aplikasi kebenaran dalam hidup lewat cara hidupnya. Ia benar-benar menghayati keselamatan yang diperolehnya dengan penuh rasa syukur dan mempergunakan seluruh sisa hidupnya secara penuh hanya untuk Tuhan.

(bersambung)


Friday, September 18, 2015

Jadi Teladan (2)

(sambungan)

Kalau kita mundur ke kitab Perjanjian Lama, perihal keteladanan juga telah disampaikan terutama ditujukan kepada orang tua. Ketika pesan "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun" (Ulangan 6:7) diberikan, itu kemudian disusul dengan keharusan untuk mengaplikasikan itu ke dalam kehidupan sehari-hari yang mampu memberikan teladan. "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9). Ayat ini berbicara dengan jelas mengenai keharusan kita untuk menunjukkan contoh secara langsung dalam hidup kita dan bukan hanya sebatas kata saja. Ini adalah hal yang wajib diaplikasikan setiap kehidupan anak-anak Tuhan. Kita tidak akan pernah cukup menyampaikan saja, tetapi terlebih pula harus mampu menunjukkan secara langsung melalui keteladanan lewat kehidupan kita.

Banyak yang mengira bahwa mewartakan kabar keselamatan hanya bisa dilakukan lewat kotbah panjang penuh berisi ayat. Itu dianggap hanya menjadi tugas para pendeta atau pelayan Tuhan di gereja saja. Dan itu jelas merupakan sebuah pemikiran keliru, karena semua orang percaya wajib menjadi agen-agen Tuhan di muka bumi ini dan menjadi teladan akan kebenaran. Sebagian dari kita tidak terlalu pintar berbicara, tetapi saat kita menunjukkan perbuatan-perbuatan baik yang sesuai dengan firman Tuhan kepada orang lain lewat keteladanan yang mencerminkan kebenaranNya, itu sudah lebih dari cukup untuk bisa memperkenalkan pribadi Kristus kepada orang lain. Bahkan anda akan jauh lebih mudah dalam menyampaikan kebenaran apabila hidup anda sudah mencerminkan kebenaran itu secara nyata. Sebab, bagaimana orang mau percaya kalau kita sendiri masih belum beres dan tidak punya kesaksian apa-apa?

Dari pengalaman sendiri, dari kesaksian sendiri, semua akan menjadi bukti-bukti bahwa firman Tuhan mampu membawa banyak hal luar biasa ketika dipatuhi dan dijalankan dengan benar. Keteladanan kita akan dan seharusnya mampu membawa sebuah perubahan besar dalam lingkungan di mana kita berada. Ada banyak orang yang mengaku anak Tuhan tetapi sama sekali tidak menunjukkan itu dalam perilaku dan perbuatan sehari-hari. Bukannya kesaksian yang datang, malah mereka menjadi batu sandungan. Bukannya menjadi teladan tapi malah ikut-ikutan melakukan perbuatan-perbuatan yang salah. That's not how we should be. Tuhan ingin kita menjadi teladan dalam perbuatan baik. Kita harus menunjukkan bahwa kita mampu.

Ingatlah bahwa tindakan yang kita lakukan akan membawa dampak, apakah itu baik atau buruk, dan itu tergantung dari tindakan seperti apa yang kita lakukan. Mari hari ini kita menjadi anak-anak Allah yang mampu menjadi teladan, khususnya dalam menyatakan kasih dan perbuatan baik bagi orang-orang di sekitar kita tanpa membedakan latar belakang dan siapa mereka.

Menjadi teladan dalam berbuat baik merupakan kewajiban dari umat Tuhan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, September 17, 2015

Jadi Teladan (1)

Ayat bacaan: Titus 2:7
================
"Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik."

Mana yang lebih mudah, ikut-ikutan teman atau menjadi teladan yang baik buat mereka? Pada kenyataannya jauh lebih banyak yang ikut-ikutan ketimbang memberi contoh baik. Alasan pun bisa banyak. Takut kehilangan teman, takut tidak diterima dalam kelompok, ingin terlihat gaul dan sebagainya. Memilih untuk hidup benar seringkali menjadi pilihan terakhir alias kalau memang sangat terpaksa. Bukan karena kesadaran tapi dianggap bagai menelan pil pahit. Selain itu, kita pun terbiasa untuk hanya taat aturan saat ada yang melihat, tapi akan seenaknya melanggar kalau merasa tidak ada yang memperhatikan. Lampu merah ditaati di siang dan sore hari, tapi kalau sudah larut malam maka lampu tidak lagi diindahkan, meski itu sangat beresiko mendatangkan malapetaka. Berbagai penyimpangan kebenaran menjadi hal yang sangat lumrah. Saking lumrahnya sampai-sampai orang yang mencoba hidup benarlah yang terlihat aneh. Maka orang percaya pun menyerah. Bukannya menunjukkan pola hidup yang benar menurut Kerajaan Allah tapi malah menyerah ikut-ikutan prinsip dunia dalam memandang hidup. Di tengah dunia yang semakin penuh gemerlap cahaya tapi semakin gelap secara moral, dimanakah seharusnya orang percaya berdiri? Apakah memang jumlah orang percaya yang benar terlalu sedikit sehingga kita harus terlalu mudah menyerah dan mengikuti cara hidup orang dunia? Pentingkah atau wajibkah kita menjadi teladan, atau memang kita diperbolehkan untuk ikut-ikutan dengan alasan-alasan tertentu?

Pertama-tama mari kita sadari bahwa Kepada kita semua telah disematkan tugas mulia untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia, menjadikan seluruh bangsa sebagai muridNya. (Matius 28:19-20). Kita diminta untuk menjadi saksi Kristus dimanapun kita berada, bahkan sampai ke ujung bumi. (Kisah Para Rasul 1:8). Banyak orang mengira bahwa itu berarti menginjili alias harus menyampaikan ayat lewat kata. Dan alasan tidak pintar bicara, pemalu atau bahkan tidak merasa itu sebagai panggilan pun dikemukakan. Tapi coba pikirkan, bagaimana mungkin kita bisa menjalankan tugas ini hanya dengan menyampaikannya sebatas kata-kata saja? Meski kita terus menyampaikan firman Tuhan sampai berbusa sekalipun tidak akan membawa hasil apabila itu tidak tercermin dari sikap hidup kita. Itu hanyalah akan menjadi bahan tertawaan atau olok-olok dari orang yang disampaikan.

Firman Tuhan pada bagian lain menyatakan bahwa kita dituntut untuk menjadi terang dan garam dunia. (Matius 5:13-16). Perhatikan sifat garam dan lampu. Garam tidak akan bermanfaat kalau tidak dipakai secara langsung dalam masakan dan hanya dibiarkan diam di dalam botol saja. Terang pun demikian. Lampu tidak akan bermanfaat kalau hanya disimpan, tidak dinyalakan atau tidak diletakkan pada posisinya. Semua ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kabar gembira yang kita sampaikan dengan bentuk perbuatan nyata yang harus tercermin lewat sikap hidup kita sendiri. Dengan kata lain, keteladanan lewat sikap dan perbuatan kita merupakan hal yang mutlak untuk kita perhatikan apabila kita ingin menjadi agen-agen Tuhan yang berfungsi benar di dunia ini.

Maka menjadi teladan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Dalam Titus 2 kita bisa membaca serangkaian nasihat yang menggambarkan kewajiban kita, orang tua, pemuda dan hamba dalam kehidupan. Pertama, kita diminta untuk memberitakan apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat. (Titus 2:1). Pria dewasa diminta untuk "hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan." (ay 2). Sementara wanita dewasa "hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang." (ay 3-5). Anak-anak muda diminta agar mampu "menguasai diri dalam segala hal". (ay 6). Semua pesan ini menunjukkan perintah untuk memberikan keteladanan secara nyata tanpa memandang usia, gender maupun latar belakang lainnya. Itulah yang akan mampu membuat ajaran yang sehat bisa diterima oleh orang lain secara baik dan membuahkan perubahan. Seruannya jelas: "dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik." (ay 7). Jadikan diri kita teladan, menjadi agen-agen Tuhan menyampaikan kebenaran lewat perbuatan-perbuatan baik yang merupakan buah dari keselamatan yang kita terima dalam Kristus.

(bersambung)


Wednesday, September 16, 2015

Don't Be an Alien

Ayat bacaan: 1 Petrus 2:12
=====================
"Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka."

Sulitkah hidup di tengah-tengah saudara kita yang berlainan kepercayaan? Mungkin ya, mungkin tidak. Bisa sulit, apabila kita ada ditengah sekelompok masyarakat yang punya fanatisme berlebihan dan menekan yang minoritas. Sebaliknya bisa juga tidak sulit, jika kita tahu bagaimana menempatkan diri dan berada di tengah kelompok masyarakat dengan toleransi tinggi. Kesulitan bisa muncul saat lingkungan kebetulan tidak kondusif, tapi bisa pula muncul karena kita sendiri. Karena kita sendiri? Ya, apabila kita tidak tahu bagaimana menempatkan diri, jika kita tidak sanggup bersosialisasi dengan baik, atau jika kita memandang mereka sebagai orang yang tidak perlu dikenal. Tapi meski jawaban anda ya atau tidak, satu hal yang pasti, siapapun kita, akan selalu ada orang lain yang mengamati seperti apa gaya dan cara hidup kita. Apalagi jika kita berbeda sendiri di tengah lingkungan tempat tinggal kita, maka kita biasanya akan semakin menjadi bahan pengamatan orang.

Sekarang pertanyaannya, sudahkah kita mencerminkan gaya hidup Kristiani yang benar? Sudahkah kita hidup dengan mengasihi orang-orang di sekitar kita? Puji Tuhan jika sudah. karena alangkah ironisnya ketika Yesus meminta kita untuk mewartakan kabar gembira ke seluruh dunia, kita malah menjadi batu sandungan bagi orang lain. Sayangnya ada banyak orang Kristen yang bertindak atau terlihat bagai alien di tengah masyarakat. Hidupnya hanya di kalangan gereja, begitu di dunia luar mereka menjadi gagap dan tidak tahu bagaimana harus bersikap dan beretika. Saya bertemu dengan orang-orang percaya yang seperti ini. Padahal, berbeda kepercayaan, berbeda status sosial, berbeda suku, bangsa, budaya atau bahkan bahasa sekalipun, tidaklah pernah bisa dijadikan alasan untuk menjauhi mereka dan tidak menyatakan kasih. Justru seharusnya daya jangkau kasih menurut standar Kristus harus mampu menjangkau mereka. But then again, they don't have balance in life. They live among the believers only and have no idea what to do when facing the other people. Put it simple, they become an alien in the society. Dan itu membuat semuanya menjadi terlihat sulit.

Seringkali itulah yang menjadi pokok permasalahannya, dan kita malah menyalahkan orang lain secara terburu-buru. Coba pikir hal sederhana saja. Apakah pagar rumah kita saat ini sangat tinggi, sehingga kita tidak pernah kenal siapa yang tinggal di sebelah rumah kita? Atau pedulikah kita terhadap mereka? Apakah kita sudah tahu apa yang jadi permasalahan mereka dan bersediakah kita membantu tanpa memandang untung dan rugi? Apakah kita sudah berusaha mengulurkan tangan dan menunjukkan kehidupan yang baik lewat contoh nyata atau kita masih terus berkutat pada teori dan pengetahuan ayat-ayat saja tanpa disertai praktek? Apapun yang kita lakukan, semua itu ada yang memperhatikan. Terlebih lagi di atas segalanya, Tuhan melihat segala sesuatu yang kita perbuat.

Dalam suratnya hal ini disinggung Petrus. Ia mengingatkan demikian: "Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka." (1 Petrus 2:12). Perhatikan baik-baik ayat ini. Kita diingatkan untuk terus hidup suci dan taat ditengah-tengah orang yang belum percaya. Kita dituntut untuk menjadi pelaku firman, menjadi terang dan garam dunia (Matius 5:13-16). Inilah yang dikatakan Yesus. "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Matius 5:16). Ada banyak orang yang mengira bahwa melayani Tuhan hanyalah ketika kita aktif mengkotbahi orang lain, padahal yang jauh lebih penting adalah memperhatikan betul bagaimana kita hidup. Apakah sudah sesuai dengan firman Tuhan, sudah mencerminkan Kristus yang penuh kasih, atau malah bertolak belakang? Serajin apapun kita menjalankan tata cara beribadah, sekuat apapun kita meneriakkan firman Tuhan, semua hanya akan sia-sia jika ternyata pola hidup kita bertolak belakang dengan itu semua. Bersikap seolah-olah alim, tapi hidupnya ternyata berbeda dengan apa yang dipertontonkan di depan orang banyak. Sikap seperti ini dikecam langsung oleh Yesus dalam Matius 5:1-36. Intinya, mereka ini tidak melakukan apa yang mereka ajarkan. (ay 3). Ingatlah bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong (Yakobus 2:20), bahkan lebih parah lagi, berarti mati. (ay 26).

Kehidupan kita bisa menjadi sebuah kesaksian yang manis bagi saudara-saudara kita yang belum percaya. Mereka bisa mengenal siapa Yesus Kristus dan bagaimana kuasa Yesus sanggup bekerja secara luar biasa lewat hidup kita. Menjadi garam dan terang dunia, itulah yang seharusnya kita lakukan. Jika demikian, tidak ada jalan lain selain hidup sebagai pelaku firman. Mengasihi tetangga dan orang-orang disekitar kita, membantu mereka dalam kesulitan, peduli kepada mereka, bersikap ramah dan penuh kesabaran, menunjukkan sikap bersahabat, siapapun mereka, apapun latar belakang mereka, tanpa terkecuali. Hanya dengan demikian kita bisa menjadi duta-duta Kristus yang baik, sehingga kita bisa mengenalkan Kristus kepada mereka yang belum percaya.

Pagar rumah kita boleh saja tinggi, namun janganlah ketinggian pagar itu menjadi pembatas kita dengan orang-orang yang bersebelahan dengan kita. Jadi sebelum kita mengeluh atau malah menyalahkan, mari kita periksa terlebih dahulu sikap kita. Sebab Firman Tuhan juga berkata: "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!" (Roma 12:18). Toleransi adalah hal yang juga harus kita lakukan, bukan sesuatu yang hanya kita tuntut dari mereka yang berbeda keyakinan. Are you ready to show the true love of Christ to the world around you?

Jangan jadi alien di dunia, tapi nyatakan terang Kristus lewat perbuatan nyata

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, September 15, 2015

Mulai Sombong? Tekapkan Tangan pada Mulut (2)

(sambungan)

Dari mana sikap sombong muncul? Kesombongan ini merupakan salah satu produk yang keluar dari dalam, yaitu dari hati yang tidak dijaga dengan baik. Dalam Markus 7 kita membaca perkataan Yesus yang berbunyi demikian: "sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang." (Markus 7:21-23). Kita harus sadar bahwa ada hubungan antara apa yang keluar dari mulut dengan kondisi hati kita, "karena yang diucapkan mulut meluap dari hati." (Matius 12:34b). Jika demikian, agar terhindar dari sikap ini kita juga harus terus menjaga hati kita, karena Alkitab sudah mengatakan bahwa kita harus menjaga hati dengan segala kewaspadaan, karena dari hati lah kehidupan sebenarnya terpancar. (Amsal 4:23).

Akan halnya bentuk kesombongan yang lahir lewat perkataan yang sia-sia, Yesus pun mengingatkan demikian: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman." (ay 36). Kita harus berhati-hati dengan apa yang kita ucapkan. Dari mulut yang sama bisa keluar berkat, tapi bisa pula keluar kutuk. (Yakobus 3:10), karenanya kita perlu untuk menjaga mulut kita. Lalu ingat pula ayat ini: "Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum."(Matius 12:37).

Apabila kita memang harus mengungkapkan keberhasilan atau pencapaian yang berhasil kita capai, ungkapkanlah secukupnya saja disertai dengan ucapan syukur, dan jangan terjebak pada dosa kesombongan. Kesombongan sesungguhnya tidak membawa manfaat apapun melainkan sangat berpotensi menjadi awal dari kehancuran. Dan itu pun sudah disebutkan pada sebuah ayat dalam Alkitab:  "Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan." (Amsal 16:18). Hanya dengan menjaga hati dengan baik kita bisa menghindari pembusukan yang terjadi di dalam diri kita, dimana salah satu produknya adalah kesombongan. Tuhan benci kepada kesombongan dan tidak suka saat kita melakukan itu, "Karena Allah merendahkan orang yang angkuh tetapi menyelamatkan orang yang menundukkan kepala!"(Ayub 22:29). Pada suatu saat nanti akan datang hukuman Tuhan atas orang-orang yang congkak dan angkuh. "Sebab TUHAN semesta alam menetapkan suatu hari untuk menghukum semua yang congkak dan angkuh, serta menghukum semua yang meninggikan diri, supaya direndahkan." (Yesaya 2:12).

Menjadi sukses dalam segala hal menjadi dambaan semua orang. Tidak satupun dari kita yang bercita-cita untuk gagal. Kita sekolah setinggi mungkin, membekali diri dengan banyak ilmu pengetahuan, mengasah kemampuan dan terus membawa segala usaha kita dalam doa agar diberkati Tuhan sehingga kita bisa berhasil dalam perjalanan hidup ini. Ketika kesuksesan datang, apabila tidak disikapi hati-hati kita bisa terjerumus dalam dosa kesombongan. Terlalu meninggikan atau membanggakan diri sendiri, selain tidak enak di dengar orang, tapi juga menunjukkan lupanya kita kepada peran Tuhan dibalik kesuksesan kita. Memang, mungkin kesuksesan hadir atas kerja keras kita, tapi tanpa seijin Tuhan, tidak akan ada kesuksesan yang mungkin hadir. Selain itu, bukankah Tuhan juga yang memberikan talenta dan kemampuan ke dalam diri kita sehingga kita mampu berusaha untuk memperoleh keberhasilan?

Semakin tinggi tingkat keberhasilan kita, semakin rawan pula kita akan masuknya dosa kesombongan. Maka saya merasa pepatah yang berbunyi: "Ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk" adalah sangat tepat. Kita harus semakin rendah hati ketika kita semakin menapak naik. Meskipun demikian, terkadang sulit bagi manusia untuk tidak merasa bangga ketika mereka mencapai sesuatu yang membanggakan. Dalam batas tertentu kita boleh bangga, tetapi jangan sampai itu hadir secara berlebihan sehingga menimbulkan sikap sombong. Secara spontan terkadang kesombongan bisa mencelat keluar tanpa direncanakan.

Mengingat kesombongan ini bisa timbul tanpa direncanakan dan akan selalu mencari celah untuk masuk disela-sela keberhasilan kita, tips dari Agur bin Yake di atas bisa menjadi solusi cepat yang tidaklah sulit untuk dilakukan untuk menghindari kita dari jerat maut. "Bila engkau menyombongkan diri tanpa atau dengan berpikir, tekapkanlah tangan pada mulut!"

Segera tekapkan tangan pada mulut begitu kesombongan mulai timbul

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, September 14, 2015

Mulai Sombong? Tekapkan Tangan pada Mulut (1)

Ayat bacaan: Amsal 30:32
======================
"Bila engkau menyombongkan diri tanpa atau dengan berpikir, tekapkanlah tangan pada mulut!"

Lucu sekali melihat anak salah seorang teman yang masih balita. Setiap kali ia salah ngomong, ia segera menutup mulut dengan tangannya dan berkata "ups, salah.." dengan muka yang kocak. Menutup mulut dengan tangan, atau menekapkan tangan pada mulut akan membuat orang berhenti bicara. Coba saja lakukan itu saat teman anda tengah bicara, ia pasti akan segera berhenti. Cara ini bisa efektif untuk menghindari kita dari terus mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, menghentikan kita dari terus berbohong atau saat kita terjebak pada kesombongan yang keluar lewat perkataan.

Anda tentu pernah bertemu orang yang hobi omong besar. Bukan saja suka melebih-lebihkan, tapi mereka ini kerap mengisi pembicaraan dengan meninggikan diri sendiri. Secara psikologis, seringkali hal ini dilakukan orang untuk menutupi kelemahannya sendiri. Ada juga yang setiap ketemu terus menceritakan kehebatan di masa lalu bisa jadi agar tetap terlihat wah meski kondisi faktual yang tengah dialami tidaklah sebaik dahulu. Ada juga yang tidak siap mental saat menjadi sukses sehingga sikapnya berubah menjadi angkuh dan sombong, dan salah satu keluarannya adalah lewat ucapan. Bentuk ucapan yang bermuara pada kesombongan pun bisa banyak modelnya. Ada yang membesarkan atau meninggikan diri, bisa lewat ucapan-ucapan yang merendahkan, menyepelekan atau menghina orang dan sebagainya. Apa yang dilakukan oleh anak teman saya tadi bisa ditiru untuk menghentikan keluarnya kesombongan lewat ucapan kita, dan itu ternyata tertulis persis sama di dalam Alkitab.

"Bila engkau menyombongkan diri tanpa atau dengan berpikir, tekapkanlah tangan pada mulut!" (Amsal 30:32). Tips ini sangat gampang untuk dilakukan tapi rasanya cukup efektif. Agur bin Yake mengatakan bahwa apabila kita mulai meninggikan atau menyombongkan diri baik sadar atau tidak, tanpa atau dengan berpikir, sengaja atau tidak sengaja, segeralah tekapkan tangan pada mulut. Itu artinya kita harus segera berhenti begitu kita mulai menyombongkan diri.

Mengapa tidak boleh? Menyombongkan diri bukanlah perbuatan yang berkenan di hadapan Tuhan. Perbuatan ini sebenarnya menggambarkan sebuah sikap mencuri apa yang menjadi hak Tuhan demi kebanggaan diri sendiri. Lihatlah apa yang disampaikan Paulus kepada jemaat Korintus berikut ini. "Siapakah yang menjadikan Saudara lebih dari orang lain? Bukankah segala sesuatu Saudara terima dari Allah? Jadi, mengapa mau menyombongkan diri, seolah-olah apa yang ada pada Saudara itu bukan sesuatu yang diberi?" (1 Korintus 4:7-versi BIS). Itulah sebabnya kenapa tidak boleh ada kesombongan yang muncul dari dalam kita walau dengan alasan apapun.

Dalam Amsal dikatakan: "Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat." (Amsal 8:13). Masih dalam Amsal, selanjutnya dikatakan "Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara." (Amsal 6:16-17). Dengan jelas sikap sombong disebutkan menjadi satu dari perkara yang dibenci Tuhan. Ada kata 'mata sombong' dalam ayat ini. Dalam versi Bahasa Inggris disebutkan sebagai 'proud look', yaitu sikap angkuh, sombong atau arogan yang tercermin lewat air muka atau sikap yang kasat mata dilihat orang lain.

(bersambung)


Sunday, September 13, 2015

Lega

Ayat bacaan: Matius 11:28
====================
"Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." 

Lega. Betapa menyenangkannya mendengar kata ini, terlebih saat kita sedang berada pada keadaan kurang baik. Orang merasa lega bisa karena berbagai hal. Ruangan yang sumpek dan terlalu penuh akan terasa lega saat sebagian dikeluarkan dari sana. Kalau hidung sedang tersumbat, bernafas bisa kembali lega saat bagian yang mampet teratasi lewat obat atau balsem. Penderita asma akan kembali bernafas lega setelah mendapat semprotan obat asma lewat mulut. Lega saat ujian sudah selesai, semakin lega kalau hasilnya memuaskan. Lega saat semua tugas-tugas bisa diselesaikan sesuai tenggat waktu. Kita juga merasa lega atau plong waktu masalah dengan orang lain sudah diselesaikan dengan baik. Dan ada banyak lagi bentuk lega yang semuanya terasa menyenangkan.

Lantas bagaimana saat hidup sedang banyak masalah? Saat kita tertimpa beban-beban yang berat, saat kita kehilangan tenaga maupun semangat karena terus menerus berada dalam himpitan problema? Satu persatu masalah datang ke dalam hidup kita, mempengaruhi perasaan kita. Semakin berat masalahnya, semakin banyak yang harus dihadapi, perasaan-perasaan itu pun akan semakin membebani hati kita. Itu bisa membuat kita tidak bersemangat, mematikan kreativitas dan membuat mood kita jelek. Akibatnya kita tidak lagi produktif dan jadi malas berbuat apa-apa. Bagai batu-batu yang terus ditambah, digantungkan atau dikalungkan ke dalam hati kita sehingga berat benar rasanya.

Yang lebih parah kalau itu membuat kita dicekam kekuatiran, merasa cemas dan takut. Kesehatan kita pun bisa jadi ikut terganggu. Seringkali kita sudah tahu cara mengatasinya, tapi tetap saja saat mengalami perasaan yang berkecamuk di hati seperti badai yang mengganggu hidup. Kita ingin semuanya selesai, melewati itu dengan sukses agar bisa kembali lega, tapi kita pun membutuhkan kelegaan dalam berurusan dengan semua masalah dan beban hidup agar mampu menyelesaikannya satu persatu dengan baik. Kita butuh kelegaan. Kelegaan agar bisa berpikir jernih, agar tidak terus menerus berkubang dalam perasaan-perasaan negatif dan mulai kembali positif, agar bisa lebih ringan dalam mengambil langkah atau keputusan. Mungkin tidak serta merta pulih, mungkin masalah tersebut tidak segera selesai saat ini juga, tapi setidaknya keringanan atau kelegaan hati akan membuat kita bisa mengarah kepada situasi-situasi yang lebih baik. Dari mana kita bisa mendapatkan bentuk kelegaan seperti itu?

Sangatlah melegakan apabila kita menyadari bahwa Tuhan tahu itu. Tuhan memang menjanjikan banyak pertolongan. Mukjizat dan kuasaNya lebih dari cukup untuk melepaskan kita dari masalah seberat apapun. Itu sudah disebutkan dalam banyak kesempatan sepanjang isi Alkitab. Tapi jangan lupa bahwa saat kita masih harus berhadapan dengan semua itu, Tuhan juga menjanjikan sebuah kelegaan. Kelegaan yang bisa meringankan kita dalam melangkah mengatasi semuanya satu persatu. Bayangkan jika anda  tengah mengangkat banyak beban berat, tapi kemudian anda tahu ada orang yang mau membantu anda, mengangkat sebagian dari beban itu sehingga anda bisa lebih ringan, bukankah itu sangat menyenangkan? Tuhan juga menyediakan itu buat kita.

Itu dinyatakan bukan lewat perantaraan siapa-siapa melainkan langsung oleh Yesus sendiri. "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28). Dalam bahasa Inggris versi Amplified dikatakan "Come to Me, all you who labor and are heavy-laden and overburdened, and I will cause you to rest. [I will ease and relieve and refresh your souls.]" Perhatikan bagaimana versi English Amplified ini menjabarkan kata kelegaan. Jesus will give a kind of rest that can ease (meringankan), relieve (melegakan) and refresh (menyegarkan) our soul (jiwa kita).

Tuhan selalu siap menyertai kita, dan selalu siap pula memberi kelegaan bahkan melepaskan kita dari belenggu masalah. Mungkin jawaban tidak langsung hadir seketika, tetapi jika kita memiliki iman yang teguh kita akan tahu bahwa menaruh harapan pada Tuhan tidak akan pernah berakhir sia-sia. Menaruh pengharapan penuh di dalam Tuhan akan membuat kita tidak mudah goyah meski angin sedang kencang menerpa, dan dengan demikian kita tidak harus kehilangan sukacita walau sedang berada dalam keadaan yang tidak baik. Kegembiraan akan membuat banyak hal positif hadir dalam kehidupan kita, sebaliknya hati yang selalu susah akan membuat segalanya tampak buruk.

Ada Firman Tuhan berkata: "Hari orang berkesusahan buruk semuanya, tetapi orang yang gembira hatinya selalu berpesta." (Amsal 15:15). Ayat ini menunjukkan bahwa buruk-baiknya hari ternyata bukanlah bergantung pada situasi, kondisi atau keadaan, tapi dari sikap hati kita. Kita yang memutuskan apakah kita mau terus bergelut dalam kesusahan atau mau memiliki sukacita dalam hati, despite the factual condition we're facing daily. Ini adalah hal yang kita sering lupa. Tapi bukankah masalah itu nyata, dan perasaan kita memang bisa terpengaruh tergantung dari situasi yang kita hadapi? Benar, tapi jangan lupa bahwa pertolongan Tuhan dan keinginanNya memberi kita kelegaan pun nyata. Masalah bisa saja masih ada, dan akan tetap ada, tapi bersama Tuhan kita seharusnya berada pada kelompok orang-orang yang tidak gampang goyah, orang-orang yang selalu menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan.

Anda butuh kelegaan? Datanglah pada Yesus, Dia siap meringankan, melegakan dan menyegarkan kembali jiwa yang lelah akibat harus menanggung beban berat.

Tuhan memberi kelegaan agar beban-beban berat yang kita pikul bisa terasa ringan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Belajar dari Rehabeam (2)

 (sambungan) Mengharap berkat itu satu hal, tapi ingat bahwa menyikapi berkat itu hal lain. Dan salah menyikapi berkat bukannya baik tapi ma...