Ayat bacaan: Mazmur 119:105
====================
"Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku."
Pernahkah anda tersesat di sebuah jalan gelap di malam hari? Saya pernah mengalaminya di sebuah tempat yang sama sekali masih asing bagi saya. Tidak ada penerangan apapun, karena di kiri kanan saya hanyalah pohon-pohon tinggi seperti sebuah hutan. Jalan yang bisa dilalui mobil pun begitu sempit, sehingga keadaan cukup menyeramkan untuk dilewati pada saat itu. Apa yang bisa diandalkan hanyalah penerangan dari lampu mobil yang tidak cukup jauh untuk bisa menyinari jalan keluar. Artinya, pada saat itu saya belum melihat kemana akhir dari jalan itu, apakah saya akan kembali ke jalan utama untuk menuju ke tempat tujuan atau sebaliknya semakin jauh tersesat. Pada waktu itu belum ada teknologi GPS (Global Positioning System) yang bisa menjadi penunjuk arah, sehingga suasananya membuat saya sempat takut. Satu-satunya andalan, sekali lagi, hanyalah lampu mobil yang sinarnya terbatas. Minimal saya masih bisa melihat jalan dan tidak menabrak pohon atau lainnya. Daripada berhenti, saya lebih baik terus melaju dan percaya kepada penerangan lampu mobil yang terbatas itu. Setidaknya lampu mobil itu bisa menerangi saya untuk terus maju. Pada akhirnya saya kembali ke jalan utama dan selamat sampai ke tujuan tanpa kurang suatu apapun.
Hari ini saya mengingat kembali pengalaman menegangkan itu, dan berpikir bahwa hidup pun seringkali penuh ketidakpastian, bahkan ada kalanya situasi terlihat begitu gelap sehingga kita bisa merasa khawatir atau takut menatap kemungkinan yang akan terjadi esok hari. Kemampuan kita yang sangat terbatas membuat kita tidak bisa melihat apa yang terjadi di masa depan. Kita hanya bisa memilih untuk terus berjalan atau sebaliknya berhenti bahkan mundur. Betapa seringnya ketidakpastian membuat kita hidup dalam ketakutan dan berpikir bahwa itulah akhir dari segala-galanya, apalagi jika apa yang kita hadapi terlihat begitu gelap tanpa seberkas cahaya sedikitpun di ujung sana. Tetapi lihatlah apa yang dikatakan Pemazmur. "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105). Your word is a lamp to my feet and a light to my path, demikian bunyi dalam bahasa Inggrisnya. Pemazmur tahu bagaimana kegelapan akan masa depan itu sanggup membuat kita hidup penuh kekhawatiran. Ia tahu bahwa kemampuan kita dalam membaca masa depan sungguh sangat terbatas. Oleh karena itulah, seperti halnya pengalaman saya mengemudi dalam kegelapan malam di tengah hutan dengan pertolongan lampu mobil saja, Tuhan pun menjanjikan pelita dan terang agar kita mampu terus melangkah setahap demi setahap dalam kegelapan itu untuk bisa mencapai tujuan. FirmanNya, itulah yang akan mampu membimbing setiap langkah kita, bertindak bagai pelita bercahaya untuk menerangi setiap langkah agar kita bisa tiba pada sebuah kemenangan seperti yang dikehendaki Tuhan bagi kita. Jika demikian, bayangkan apabila kita mengabaikan untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan setiap hari. Bayangkan jika kita tidak mengetahui apa-apa tentang janji Tuhan dan peringatan-peringatanNya, maka tidak akan ada pelita apapun yang menuntun kita dalam melalui kegelapan yang panjang.
Apa yang direncanakan Tuhan kepada kita semua sesungguhnya jelas. Tuhan mengatakan "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Apa yang disediakan Tuhan di depan sana adalah rancangan damai sejahtera dan bukan kecelakaan, dan Dia sudah mencanangkan hari depan yang penuh harapan sejak semula bagi kita. Artinya, segelap apapun situasi yang kita hadapi hari ini, ada sesuatu yang bersinar terang di depan sana, sebuah hari depan yang sangat menjanjikan. Tuhan juga sudah menegaskan "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b). Pemazmur juga pernah merasakan bagaimana berjalan dalam gelap, namun ia merasakan kehadiran Tuhan dalam membimbing langkahnya setapak demi setapak untuk keluar dari situasi itu. "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:4). Jika Pemazmur tahu akan hal itu dan bisa berjalan dalam langkah imannya dengan keberanian dan keyakinan, kita pun harus bisa seperti itu. Sebab Tuhan tidak pernah berubah, Dia tetap sama dahulu, sekarang dan sampai selamanya. Janjinya teguh, Dia adalah Allah yang setia yang tidak akan pernah ingkar janji.
Alkitab juga mengingatkan kita agar tidak putus asa ketika terjatuh dalam situasi yang sukar. Yakobus mengatakan: "sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun." (Yakobus 1:3-4). Perhatikan bahwa Tuhan sudah menjanjikan bahwa meski kita jatuh dalam berbagai-bagai pencobaan seperti yang disebutkan dalam ayat 2, pencobaan-pencobaan itu bukanlah untuk membuat kita hancur melainkan malah akan memberi manfaat positif bagi diri kita. They are all there to make us even better, not bitter.
Jika ada diantara teman-teman yang sedang merasakan seperti mengemudi dalam kegelapan, ingatlah bahwa Tuhan sudah menyediakan pelita agar anda bisa terus berjalan selangkah demi selangkah untuk menggenapi rencanaNya. Firman Tuhan akan selalu menerangi setiap langkah yang anda ambil agar bisa terus berjalan mencapai tujuan. Meski anda belum melihat titik akhirnya dan masih merasa segala sesuatunya gelap, jangan khawatir dan jangan pernah kehilangan harapan. Anda tidak akan pernah terjerembab jika anda terus berjalan dengan pelita yang berasal dari Firman Tuhan.
Tuhan menyediakan pelita lewat FirmanNya untuk terus menuntun kita setahap demi setahap
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, May 31, 2011
Monday, May 30, 2011
Kisah 25 Sen
Ayat bacaan: Titus 2:7
=================
"dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu"
Sebuah email forward-an saya terima hari ini berisikan sebuah kisah yang menarik. Ceritanya mengenai pengalaman seorang pendeta yang baru saja pindah ke negara bagian lain di Amerika. Beberapa minggu setelah ia tiba disana, pada suatu hari ia naik ke sebuah bus untuk menuju suatu tempat agak ke luar kota. Ketika ia duduk, ia menyadari bahwa ternyata uang kembalian yang diberikan supir berlebih 25 sen. Ia kemudian mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan. Hatinya berkata, "saya harus mengembalikan uang 25 sen ini." Tetapi kemudian pikirannya berkata, "ah lupakan saja, kan cuma 25 sen saja..mengapa harus repot dengan jumlah sekecil itu?" Uang pecahan sekecil itu toh tidak akan merugikan supir dan pengusaha pemilik bus. Ia terus berpikir sepanjang perjalanan. "Mungkin saya sebaiknya menerima saja sebagai sebuah "hadiah kecil dari Tuhan" dan mendiamkan saja pura-pura tidak tahu. Ketika ia sampai di tempat tujuan ia pun berdiri sejenak di pintu, lalu mengembalikan uang pecahan itu kepada supir sambil berkata, "anda tadi kelebihan memberi kembalian." Dan si supir kemudian tersenyum dan berkata: "anda kan pendeta baru di kota ini?" Si pendeta pun terkejut seraya mengiyakan. Lalu supir itu melanjutkan, "saya sedang mencari tempat yang tepat untuk menyembah Tuhan. Saya tadi ingin mencoba anda, apa yang akan anda lakukan jika mendapat kembalian lebih dari yang seharusnya. Baiklah kalau begitu, sampai ketemu hari Minggu." ucap sang supir sambil tersenyum. Pendeta itu pun kemudian tertegun dan berkata, "Ya Tuhan, saya hampir saja menjual AnakMu hanya untuk 25 sen." Ia bersyukur sudah mengambil keputusan yang tepat, meski uang itu sangatlah kecil nilainya dan tidak akan merugikan siapapun.
Adalah penting bagi kita untuk terus bersikap jujur dalam kondisi,situasi apapun dan atas jumlah berapapun. Godaan-godaan seperti itu akan terus datang dalam hidup kita. Kita cenderung mengabaikan untuk bersikap jujur ketika ada keadaan yang menguntungkan kita seperti mendapat kembalian lebih ketika berbelanja misalnya. "Ah biar saja, toh itu salah dia, bukan salah saya.." itu bisa muncul dipikiran kita untuk membuat kita terjebak melakukan hal yang salah. Bahkan yang lebih parah, kita mungkin malah membawa-bawa Tuhan di dalamnya, dengan menganggap bahwa itu hadiah dari Tuhan. Tuhan tidak akan pernah memberi hadiah yang merugikan orang lain. Meski jumlahnya relatif kecil sekalipun, itu tidak akan pernah benar, dan sekecil apapun,sebuah dosa tetaplah dosa.
Cerita ini memberi sebuah keteladanan tepat seperti yang disampaikan Paulus dalam surat untuk Titus. "dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu." (Titus 2:7). Perhatikanlah bahwa pesan ini bukan hanya berlaku bagi pendeta, penginjil atau hamba-hamba Tuhan saja, tetapi juga kepada kita semua orang percaya. Sebagai anak-anak Tuhan kita seharusnya menunjukkan integritas yang baik dengan perbuatan yang sesuai dengan perkataan, sesuai dengan ajaran Tuhan, sesuai dengan gambaran orang percaya yang benar, menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan, seperti yang diajarkan pada kita dalam Matius 3:8. Seperti apa yang dialami oleh pendeta di atas, segala perilaku, perbuatan dan keputusan-keputusan yang kita ambil akan tetap menjadi perhatian orang lain. Alangkah ironisnya apabila kita sebagai anak-anak Tuhan sama sekali tidak mencerminkan sikap seperti Bapa kita, malah sebaliknya memberi citra negatif dengan bersikap munafik, terus mencari kepentingan sendiri tanpa merasa bersalah jika merugikan orang lain. Kelanjutan dari ayat Titus di atas mengingatkan kita agar terus bersikap jujur, "..sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita." (ay 8).
Jujur dalam segala hal merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar atau dinegosiasikan dengan alasan apapun. Salomo yang penuh hikmat berkata "Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya." (Amsal 11:3). Dan dalam bagian lain ia berkata "karena orang yang sesat adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi dengan orang jujur Ia bergaul erat." (3:32). Kita harus ingat bahwa Tuhan bergaul erat dengan orang-orang jujur, sebaliknya dosa sekecil apapun bisa membuat jurang menganga untuk memutuskan hubungan kita dengan Tuhan. "tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu." (Yesaya 59:2). Jangan lupa bahwa kita membawa nama Kristus dalam setiap langkah hidup kita. Email yang saya terima itu ditutup dengan sebuah rangkaian yang sangat baik untuk kita renungkan: Watch your thoughts ; they become words. Watch your words, they become actions. Watch your actions, they become habits. Watch your habits, they become character. Watch your character, it becomes your destiny. Jangan beri toleransi untuk menghalalkan kejahatan, jangan buat timbangan sendiri untuk besar kecil atau boleh tidaknya kita melakukan kecurangan atau menutup mata atas sesuatu yang menguntungkan kita tetapi merugikan orang lain, "dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis." (Efesus 4:27). Hendaklah kita terus bersikap jujur dalam perkara apapun, agar kita bisa menjadi kesaksian tersendiri akan Kristus di dunia ini.
Jujurlah dalam segala hal tanpa memandang besar kecilnya, karena setiap pelanggaran tetaplah dosa
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=================
"dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu"
Sebuah email forward-an saya terima hari ini berisikan sebuah kisah yang menarik. Ceritanya mengenai pengalaman seorang pendeta yang baru saja pindah ke negara bagian lain di Amerika. Beberapa minggu setelah ia tiba disana, pada suatu hari ia naik ke sebuah bus untuk menuju suatu tempat agak ke luar kota. Ketika ia duduk, ia menyadari bahwa ternyata uang kembalian yang diberikan supir berlebih 25 sen. Ia kemudian mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan. Hatinya berkata, "saya harus mengembalikan uang 25 sen ini." Tetapi kemudian pikirannya berkata, "ah lupakan saja, kan cuma 25 sen saja..mengapa harus repot dengan jumlah sekecil itu?" Uang pecahan sekecil itu toh tidak akan merugikan supir dan pengusaha pemilik bus. Ia terus berpikir sepanjang perjalanan. "Mungkin saya sebaiknya menerima saja sebagai sebuah "hadiah kecil dari Tuhan" dan mendiamkan saja pura-pura tidak tahu. Ketika ia sampai di tempat tujuan ia pun berdiri sejenak di pintu, lalu mengembalikan uang pecahan itu kepada supir sambil berkata, "anda tadi kelebihan memberi kembalian." Dan si supir kemudian tersenyum dan berkata: "anda kan pendeta baru di kota ini?" Si pendeta pun terkejut seraya mengiyakan. Lalu supir itu melanjutkan, "saya sedang mencari tempat yang tepat untuk menyembah Tuhan. Saya tadi ingin mencoba anda, apa yang akan anda lakukan jika mendapat kembalian lebih dari yang seharusnya. Baiklah kalau begitu, sampai ketemu hari Minggu." ucap sang supir sambil tersenyum. Pendeta itu pun kemudian tertegun dan berkata, "Ya Tuhan, saya hampir saja menjual AnakMu hanya untuk 25 sen." Ia bersyukur sudah mengambil keputusan yang tepat, meski uang itu sangatlah kecil nilainya dan tidak akan merugikan siapapun.
Adalah penting bagi kita untuk terus bersikap jujur dalam kondisi,situasi apapun dan atas jumlah berapapun. Godaan-godaan seperti itu akan terus datang dalam hidup kita. Kita cenderung mengabaikan untuk bersikap jujur ketika ada keadaan yang menguntungkan kita seperti mendapat kembalian lebih ketika berbelanja misalnya. "Ah biar saja, toh itu salah dia, bukan salah saya.." itu bisa muncul dipikiran kita untuk membuat kita terjebak melakukan hal yang salah. Bahkan yang lebih parah, kita mungkin malah membawa-bawa Tuhan di dalamnya, dengan menganggap bahwa itu hadiah dari Tuhan. Tuhan tidak akan pernah memberi hadiah yang merugikan orang lain. Meski jumlahnya relatif kecil sekalipun, itu tidak akan pernah benar, dan sekecil apapun,sebuah dosa tetaplah dosa.
Cerita ini memberi sebuah keteladanan tepat seperti yang disampaikan Paulus dalam surat untuk Titus. "dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu." (Titus 2:7). Perhatikanlah bahwa pesan ini bukan hanya berlaku bagi pendeta, penginjil atau hamba-hamba Tuhan saja, tetapi juga kepada kita semua orang percaya. Sebagai anak-anak Tuhan kita seharusnya menunjukkan integritas yang baik dengan perbuatan yang sesuai dengan perkataan, sesuai dengan ajaran Tuhan, sesuai dengan gambaran orang percaya yang benar, menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan, seperti yang diajarkan pada kita dalam Matius 3:8. Seperti apa yang dialami oleh pendeta di atas, segala perilaku, perbuatan dan keputusan-keputusan yang kita ambil akan tetap menjadi perhatian orang lain. Alangkah ironisnya apabila kita sebagai anak-anak Tuhan sama sekali tidak mencerminkan sikap seperti Bapa kita, malah sebaliknya memberi citra negatif dengan bersikap munafik, terus mencari kepentingan sendiri tanpa merasa bersalah jika merugikan orang lain. Kelanjutan dari ayat Titus di atas mengingatkan kita agar terus bersikap jujur, "..sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita." (ay 8).
Jujur dalam segala hal merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar atau dinegosiasikan dengan alasan apapun. Salomo yang penuh hikmat berkata "Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya." (Amsal 11:3). Dan dalam bagian lain ia berkata "karena orang yang sesat adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi dengan orang jujur Ia bergaul erat." (3:32). Kita harus ingat bahwa Tuhan bergaul erat dengan orang-orang jujur, sebaliknya dosa sekecil apapun bisa membuat jurang menganga untuk memutuskan hubungan kita dengan Tuhan. "tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu." (Yesaya 59:2). Jangan lupa bahwa kita membawa nama Kristus dalam setiap langkah hidup kita. Email yang saya terima itu ditutup dengan sebuah rangkaian yang sangat baik untuk kita renungkan: Watch your thoughts ; they become words. Watch your words, they become actions. Watch your actions, they become habits. Watch your habits, they become character. Watch your character, it becomes your destiny. Jangan beri toleransi untuk menghalalkan kejahatan, jangan buat timbangan sendiri untuk besar kecil atau boleh tidaknya kita melakukan kecurangan atau menutup mata atas sesuatu yang menguntungkan kita tetapi merugikan orang lain, "dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis." (Efesus 4:27). Hendaklah kita terus bersikap jujur dalam perkara apapun, agar kita bisa menjadi kesaksian tersendiri akan Kristus di dunia ini.
Jujurlah dalam segala hal tanpa memandang besar kecilnya, karena setiap pelanggaran tetaplah dosa
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sunday, May 29, 2011
Dengan Pengharapan
Ayat bacaan: 1 Korintus 9:10
=====================
"Atau kitakah yang Ia maksudkan? Ya, untuk kitalah hal ini ditulis, yaitu pembajak harus membajak dalam pengharapan dan pengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya."
Semakin tinggi teknologi, semakin canggih pula robot yang berhasil dibuat. Ada robot yang saat ini bisa membuat pancake, ada yang bisa menari dengan luwes, bahkan menyanyi bersama manusia. Di Jepang ada robot yang tidak lagi berbentuk seperti rangkaian besi bermesin, tetapi sudah bisa tampil seperti android feminin. Robot Actroid F namanya, bukanlah robot yang dibuat untuk berjalan seperti kebanyakan robot sebelumnya. Tetapi kelebihannya ada pada mimik muka yang sangat realistis dan sepintas akan terlihat seperti manusia sungguhan. Secanggih apapun sebuah robot, hingga hari ini robot hanyalah berfungsi sesuai program sebagaimana ia dibuat. Robot tidak memiliki keinginan sendiri, apalagi harapan atau impian. Itu perbedaan besar antara manusia dengan robot. Tetapi ada banyak manusia yang lupa terhadap hal ini dan hidup seperti robot. Bekerja, bekerja dan bekerja, seperti terprogram tanpa harapan apa-apa. Mereka hanya melakukan rutinitas seperti halnya sebuah robot. Ada beberapa orang yang saya kenal hidup seperti ini, dan rata-rata kehilangan gairah hidup. Air mukanya tidak lagi cerah, tidak ada kegembiraan. Mereka bukan lagi orang yang saya kenal sebelumnya. Jika ini yang terjadi, maka itu tanda bahwa ia kehilangan jatidirinya sebagai manusia, dan hidup selayaknya robot terprogram.
Hidup memang sulit, dan itu seringkali menjadi sebab terampasnya kebahagiaan dari hidup seseorang. Mereka berubah menjadi pribadi-pribadi kaku dan dingin karena tekanan pekerjaan yang merubah mereka hidup seperti tanpa jiwa. Kemarin saya sudah membagikan renungan bahwa kita hendaknya bisa bekerja dengan hati lapang, agar kita tidak kehilangan semangat, antusiasme maupun gairah dalam hidup, seperti apa yang dikatakan Firman Tuhan, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Hari ini saya hendak melanjutkan dengan satu lagi sikap hati yang baik untuk ditanamkan dalam melakukan aktivitas atau pekerjaan, yaitu bekerja dengan pengharapan. Betapa perlunya kita untuk tetap memiliki pengharapan dalam bekerja, bukan hanya melakukannya tanpa jiwa, tanpa target, tanpa impian dan harapan. Mengapa ini penting? Karena tanpa adanya pengharapan kita tak ubahnya seperti robot yang hanya berjalan sesuai program tanpa kerinduan apapun dalam hati. Lihatlah apa kata Paulus dalam suratnya kepada jemaat Korintus. Pada saat itu ia sedang menyitir sebuah tulisan dalam hukum Musa yang berbunyi: "Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik!" (1 Korintus 9:9a). Apa yang ia kutip ini berasal dari Ulangan 25:4. Dan Paulus kemudian menanyakan, "Lembukah yang Allah perhatikan?" (ay 9b). Lembukah, atau justru untuk kita itu dimaksudkan? Ayat selanjutnya berbunyi: "Atau kitakah yang Ia maksudkan? Ya, untuk kitalah hal ini ditulis, yaitu pembajak harus membajak dalam pengharapan dan pengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya." (ay 10). Perhatikanlah bahwa Paulus mengingatkan bahwa kita harus membajak/mengirik alias bekerja dalam pengharapan. Ini merupakan sebuah pesan penting yang akan mampu membuat kita terus memiliki tujuan dalam bekerja, bukan sekedar menyambung hidup dari ke hari tanpa harapan sama sekali.
Bekerja tanpa pengharapan akan membuat nyala semangat di dalam diri kita padam. Tanpa pengharapan kita tidak akan bisa tekun dan memberikan hasil yang terbaik. Itu pun akan menolong kita untuk bisa bersikap setia dan berkomitmen baik bagi tempat kita bekerja maupun atas profesi kita. Kemana pengharapan kita harus diarahkan? Paulus dalam surat Korintus di atas mengatakan bahwa penting bagi kita untuk mengarahkan pengharapan untuk memperoleh bagian kita, in expectation of partaking of the harvest. Dan bagian itu sudah disediakan oleh Tuhan dalam Kristus. Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Yesus Kristuslah dasar pengharapan kita (1 Timotius 1:1), dan mengingatkan pula bahwa kita hendaknya "..teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia." (Ibrani 10:23). Allah setia dengan janjiNya, dan Dia akan selalu menepati setiap janji yang telah Dia berikan. Oleh karena itulah kita pun diingatkan bahwa pengharapan tidak akan pernah mengecewakan. (Roma 5:5).
Tidaklah salah jika kita mengharapkan imbalan atas pekerjaan kita, tetapi jangan menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan yang terutama. Biar bagaimanapun, kita diingatkan untuk bekerja sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan dan bukan manusia. Itulah yang seharusnya menjadi arah tujuan kita dalam bekerja. Memberi yang terbaik seperti melakukannya untuk Tuhan. Dan Tuhan sudah menyediakan upah bagi setiap kita yang melakukannya. Jangan lupakan pula bahwa bukan hanya dalam pekerjaan dunia atau sekuler, tetapi dalam pelayanan pun kita hendaknya melakukan dengan pengharapan. Meski pekerjaan yang kita lakukan begitu menyita waktu, tenaga dan pikiran, meski semua itu saat ini terlihat seolah-olah menutup segala kemungkinan bagi kita untuk berharap apapun, tetaplah pegang pengharapan dalam Kristus erat-erat, karena Alkitab sudah dengan tegas mengatakan bahwa "..masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang." (Amsal 23:18). Bersyukurlah atas pekerjaan yang anda miliki hari ini, dan tetap pegang teguh janji Tuhan bahwa ada pengharapan di dalamnya, dan itu tidak akan pernah sia-sia.
Keep the light of hope on in everything you do
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=====================
"Atau kitakah yang Ia maksudkan? Ya, untuk kitalah hal ini ditulis, yaitu pembajak harus membajak dalam pengharapan dan pengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya."
Semakin tinggi teknologi, semakin canggih pula robot yang berhasil dibuat. Ada robot yang saat ini bisa membuat pancake, ada yang bisa menari dengan luwes, bahkan menyanyi bersama manusia. Di Jepang ada robot yang tidak lagi berbentuk seperti rangkaian besi bermesin, tetapi sudah bisa tampil seperti android feminin. Robot Actroid F namanya, bukanlah robot yang dibuat untuk berjalan seperti kebanyakan robot sebelumnya. Tetapi kelebihannya ada pada mimik muka yang sangat realistis dan sepintas akan terlihat seperti manusia sungguhan. Secanggih apapun sebuah robot, hingga hari ini robot hanyalah berfungsi sesuai program sebagaimana ia dibuat. Robot tidak memiliki keinginan sendiri, apalagi harapan atau impian. Itu perbedaan besar antara manusia dengan robot. Tetapi ada banyak manusia yang lupa terhadap hal ini dan hidup seperti robot. Bekerja, bekerja dan bekerja, seperti terprogram tanpa harapan apa-apa. Mereka hanya melakukan rutinitas seperti halnya sebuah robot. Ada beberapa orang yang saya kenal hidup seperti ini, dan rata-rata kehilangan gairah hidup. Air mukanya tidak lagi cerah, tidak ada kegembiraan. Mereka bukan lagi orang yang saya kenal sebelumnya. Jika ini yang terjadi, maka itu tanda bahwa ia kehilangan jatidirinya sebagai manusia, dan hidup selayaknya robot terprogram.
Hidup memang sulit, dan itu seringkali menjadi sebab terampasnya kebahagiaan dari hidup seseorang. Mereka berubah menjadi pribadi-pribadi kaku dan dingin karena tekanan pekerjaan yang merubah mereka hidup seperti tanpa jiwa. Kemarin saya sudah membagikan renungan bahwa kita hendaknya bisa bekerja dengan hati lapang, agar kita tidak kehilangan semangat, antusiasme maupun gairah dalam hidup, seperti apa yang dikatakan Firman Tuhan, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Hari ini saya hendak melanjutkan dengan satu lagi sikap hati yang baik untuk ditanamkan dalam melakukan aktivitas atau pekerjaan, yaitu bekerja dengan pengharapan. Betapa perlunya kita untuk tetap memiliki pengharapan dalam bekerja, bukan hanya melakukannya tanpa jiwa, tanpa target, tanpa impian dan harapan. Mengapa ini penting? Karena tanpa adanya pengharapan kita tak ubahnya seperti robot yang hanya berjalan sesuai program tanpa kerinduan apapun dalam hati. Lihatlah apa kata Paulus dalam suratnya kepada jemaat Korintus. Pada saat itu ia sedang menyitir sebuah tulisan dalam hukum Musa yang berbunyi: "Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik!" (1 Korintus 9:9a). Apa yang ia kutip ini berasal dari Ulangan 25:4. Dan Paulus kemudian menanyakan, "Lembukah yang Allah perhatikan?" (ay 9b). Lembukah, atau justru untuk kita itu dimaksudkan? Ayat selanjutnya berbunyi: "Atau kitakah yang Ia maksudkan? Ya, untuk kitalah hal ini ditulis, yaitu pembajak harus membajak dalam pengharapan dan pengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya." (ay 10). Perhatikanlah bahwa Paulus mengingatkan bahwa kita harus membajak/mengirik alias bekerja dalam pengharapan. Ini merupakan sebuah pesan penting yang akan mampu membuat kita terus memiliki tujuan dalam bekerja, bukan sekedar menyambung hidup dari ke hari tanpa harapan sama sekali.
Bekerja tanpa pengharapan akan membuat nyala semangat di dalam diri kita padam. Tanpa pengharapan kita tidak akan bisa tekun dan memberikan hasil yang terbaik. Itu pun akan menolong kita untuk bisa bersikap setia dan berkomitmen baik bagi tempat kita bekerja maupun atas profesi kita. Kemana pengharapan kita harus diarahkan? Paulus dalam surat Korintus di atas mengatakan bahwa penting bagi kita untuk mengarahkan pengharapan untuk memperoleh bagian kita, in expectation of partaking of the harvest. Dan bagian itu sudah disediakan oleh Tuhan dalam Kristus. Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Yesus Kristuslah dasar pengharapan kita (1 Timotius 1:1), dan mengingatkan pula bahwa kita hendaknya "..teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia." (Ibrani 10:23). Allah setia dengan janjiNya, dan Dia akan selalu menepati setiap janji yang telah Dia berikan. Oleh karena itulah kita pun diingatkan bahwa pengharapan tidak akan pernah mengecewakan. (Roma 5:5).
Tidaklah salah jika kita mengharapkan imbalan atas pekerjaan kita, tetapi jangan menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan yang terutama. Biar bagaimanapun, kita diingatkan untuk bekerja sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan dan bukan manusia. Itulah yang seharusnya menjadi arah tujuan kita dalam bekerja. Memberi yang terbaik seperti melakukannya untuk Tuhan. Dan Tuhan sudah menyediakan upah bagi setiap kita yang melakukannya. Jangan lupakan pula bahwa bukan hanya dalam pekerjaan dunia atau sekuler, tetapi dalam pelayanan pun kita hendaknya melakukan dengan pengharapan. Meski pekerjaan yang kita lakukan begitu menyita waktu, tenaga dan pikiran, meski semua itu saat ini terlihat seolah-olah menutup segala kemungkinan bagi kita untuk berharap apapun, tetaplah pegang pengharapan dalam Kristus erat-erat, karena Alkitab sudah dengan tegas mengatakan bahwa "..masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang." (Amsal 23:18). Bersyukurlah atas pekerjaan yang anda miliki hari ini, dan tetap pegang teguh janji Tuhan bahwa ada pengharapan di dalamnya, dan itu tidak akan pernah sia-sia.
Keep the light of hope on in everything you do
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, May 28, 2011
Hati Lapang
Ayat bacaan: Kolose 3:23
=================
"Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."
Ada sebuah petuah penting yang selalu diajarkan oleh ayah saya berulang-ulang sejak saya kecil bahkan sampai saat ini. Dia selalu berkata, apa pun keadaannya, jalani dan lakukan semua dengan hati lapang. Waktu kecil saya tidak begitu memahami apa yang ia katakan. Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai menemukan bahwa yang ia katakan ternyata begitu tinggi nilainya. Ada kalanya dalam bekerja kita tidak selalu memperoleh hasil sesuai dengan yang kita inginkan. Rasanya tidak sebanding dengan usaha, tenaga, pikiran yang kita keluarkan. Disaat demikian kita bisa cepat menjadi lelah, putus asa, kehilangan semangat dan itu akan berakibat pada hasil pekerjaan atau performa kita yang menurun. Semua orang ingin sukses, semua orang ingin berhasil. Apa yang anda anggap penting untuk mencapai sukses? Kenyataannya ada banyak orang mengantungkan dirinya pada hal-hal material untuk mencapai sebuah kesuksesan. Mereka akan langsung menyerah karena merasa bahwa apa yang mereka miliki belumlah cukup untuk bisa menghasilkan sesuatu. Mau buka usaha butuh modal, mau melamar butuh uang dan butuh "backing" dari orang dalam dan sebagainya. Saya tahu bahwa fakta nyata di dunia memang seperti itu, dan ada kalanya kita tidak bisa menghindarinya. Namun jangan lupa bahwa di atas segalanya ada Tuhan yang bisa memakai hal yang paling kecil sekalipun untuk menjadikan sesuatu yang luar biasa. Kita tidak akan pernah bisa mengukur kemampuan Tuhan yang sanggup mengatasi segalanya. Dan sayangnya, jarang sekali hati kita di set untuk menyadari hal itu. Kita terus bergantung pada keadaan dan keterbatasan kita, segala yang kita miliki di dunia ini, dan menganggap hal itu sebagai satu-satunya yang bisa membuat kita sukses.
Alkitab tidaklah menyatakan demikian. Alkitab jelas berkata bahwa hati merupakan sumber kehidupan. Suasana hati dan apa yang dipercaya oleh hati kita merupakan hal yang sangat menentukan sukses tidaknya kita dalam pekerjaan maupun kehidupan. Lewat Salomo kita bisa memperoleh sebuah hikmat yang penting: "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Kehidupan dikatakan terpancar dari hati. The springs of life flow from the heart. Artinya, hati kita akan sangat menentukan perjalanan hidup kita. Hati adalah kunci dan rahasia utama yang bisa memampukan orang untuk bangkit dari kegagalan, dan bertahan dalam kesesakan. Bukan dunia atau keadaan yang menentukan bagaimana kita hari ini, tetapi bagaimana hati kita dalam menyikapinya lah yang sangat menentukan. Maka petuah dari ayah saya pun menjadi sangat signifikan untuk diingat. Tetaplah lakukan dengan hati lapang. Itu membuat saya bisa legawa, bisa terus bersukacita meski apa yang saya peroleh mungkin belum sebanding dengan usaha dan kerja keras yang saya keluarkan,
Perhatikanlah bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan hati yang lapang, atau dengan sepenuh hati, keikhlasan dan kerelaan akan sangat berbeda hasilnya dengan pekerjaan yang dilakukan asal-asalan, seadanya tanpa melibatkan hati sama sekali. Adalah penting utnuk melibatkan hati kita dalam bekerja sehingga hasil terbaik akan bisa kita berikan. Tetapi tentu saja hati harus terlebih dahulu dijaga dengan segala kewaspadaan, diarahkan sepenuhnya kepada Tuhan bukan kepada hal-hal duniawi. Hati harus dijaga agar tetap dalam keadaan sejuk, damai, tenang dan penuh pengharapan kepada Tuhan bukan diisi dengan keinginan-keinginan untuk mengejar popularitas, harta dan sebagainya.
Bekerja dengan hati lapang akan membuat kita bisa tetap memiliki antusiasme dan gairah dalam bekerja. Hasil dari pekerjaan akan sangat berbeda ketika kita melakukannya dengan semangat dan antusias dibanding dengan berat hati. Dengan hati lapang juga akan membuat kita tidak gampang bosan dan bisa melakukan tugas-tugas kita tanpa pamrih. Minimnya apresiasi atau penghargaan dari orang lain seringkali mampu membuat kita patah semangat dan berhenti. Apalagi jika lini pekerjaan kita bukan merupakan sesuatu yang dianggap penting oleh manusia. Dalam bekerja bisa demikian, dalam pelayanan apalagi. Ada banyak orang yang pada mulanya bersemangat melayani Tuhan tetapi pada akhirnya mereka kehilangan gairah dan semangat karena merasa tidak menerima apresiasi yang seimbang dengan usaha yang sudah dilakukannya. Alkitab mengajarkan kita untuk tidak mendasarkan usaha kita kepada apresiasi manusia tetapi justru seharusnya kepada Tuhan. "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Bukan mengarahkan kepada manusia, tetapi arahkanlah kepada Tuhan. Meski sedikit sekali atau tidak ada manusia yang menghargai jerih payah anda, itu tidak akan menjadi masalah karena upah yang sejati sesungguhnya bukan berasal dari manusia tetapi dari Tuhan sendiri. Ayat berikutnya dalam Kolose berkata: "Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya." (ay 24).
Apapun yang anda lakukan hari ini, lakukanlah dengan hati lapang. Segala sesuatu yang dilakukan dengan sikap hati seperti itu akan memberikan dampak yang berbeda terhadap hasil dari pekerjaan kita. Anda tidak perlu kecewa, kehilangan suka cita apalagi harapan meski sedikit sekali orang yang menghargai usaha anda. Segala yang terbaik yang anda lakukan seperti untuk Tuhan, dengan hati lapang tidak akan pernah luput dari pandangan mataNya. Yakinlah bahwa semua telah Dia sediakan dan kita tidak akan kehilangan upah sedikitpun selama kita melakukannya dengan sebaik-baiknya seperti untuk Dia. Karenanya, tetaplah bersukacita dan lakukan semuanya dengan hati lapang.
Dengan atau tanpa hati akan memberi hasil akhir yang berbeda terhadap pekerjaan kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=================
"Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."
Ada sebuah petuah penting yang selalu diajarkan oleh ayah saya berulang-ulang sejak saya kecil bahkan sampai saat ini. Dia selalu berkata, apa pun keadaannya, jalani dan lakukan semua dengan hati lapang. Waktu kecil saya tidak begitu memahami apa yang ia katakan. Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai menemukan bahwa yang ia katakan ternyata begitu tinggi nilainya. Ada kalanya dalam bekerja kita tidak selalu memperoleh hasil sesuai dengan yang kita inginkan. Rasanya tidak sebanding dengan usaha, tenaga, pikiran yang kita keluarkan. Disaat demikian kita bisa cepat menjadi lelah, putus asa, kehilangan semangat dan itu akan berakibat pada hasil pekerjaan atau performa kita yang menurun. Semua orang ingin sukses, semua orang ingin berhasil. Apa yang anda anggap penting untuk mencapai sukses? Kenyataannya ada banyak orang mengantungkan dirinya pada hal-hal material untuk mencapai sebuah kesuksesan. Mereka akan langsung menyerah karena merasa bahwa apa yang mereka miliki belumlah cukup untuk bisa menghasilkan sesuatu. Mau buka usaha butuh modal, mau melamar butuh uang dan butuh "backing" dari orang dalam dan sebagainya. Saya tahu bahwa fakta nyata di dunia memang seperti itu, dan ada kalanya kita tidak bisa menghindarinya. Namun jangan lupa bahwa di atas segalanya ada Tuhan yang bisa memakai hal yang paling kecil sekalipun untuk menjadikan sesuatu yang luar biasa. Kita tidak akan pernah bisa mengukur kemampuan Tuhan yang sanggup mengatasi segalanya. Dan sayangnya, jarang sekali hati kita di set untuk menyadari hal itu. Kita terus bergantung pada keadaan dan keterbatasan kita, segala yang kita miliki di dunia ini, dan menganggap hal itu sebagai satu-satunya yang bisa membuat kita sukses.
Alkitab tidaklah menyatakan demikian. Alkitab jelas berkata bahwa hati merupakan sumber kehidupan. Suasana hati dan apa yang dipercaya oleh hati kita merupakan hal yang sangat menentukan sukses tidaknya kita dalam pekerjaan maupun kehidupan. Lewat Salomo kita bisa memperoleh sebuah hikmat yang penting: "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Kehidupan dikatakan terpancar dari hati. The springs of life flow from the heart. Artinya, hati kita akan sangat menentukan perjalanan hidup kita. Hati adalah kunci dan rahasia utama yang bisa memampukan orang untuk bangkit dari kegagalan, dan bertahan dalam kesesakan. Bukan dunia atau keadaan yang menentukan bagaimana kita hari ini, tetapi bagaimana hati kita dalam menyikapinya lah yang sangat menentukan. Maka petuah dari ayah saya pun menjadi sangat signifikan untuk diingat. Tetaplah lakukan dengan hati lapang. Itu membuat saya bisa legawa, bisa terus bersukacita meski apa yang saya peroleh mungkin belum sebanding dengan usaha dan kerja keras yang saya keluarkan,
Perhatikanlah bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan hati yang lapang, atau dengan sepenuh hati, keikhlasan dan kerelaan akan sangat berbeda hasilnya dengan pekerjaan yang dilakukan asal-asalan, seadanya tanpa melibatkan hati sama sekali. Adalah penting utnuk melibatkan hati kita dalam bekerja sehingga hasil terbaik akan bisa kita berikan. Tetapi tentu saja hati harus terlebih dahulu dijaga dengan segala kewaspadaan, diarahkan sepenuhnya kepada Tuhan bukan kepada hal-hal duniawi. Hati harus dijaga agar tetap dalam keadaan sejuk, damai, tenang dan penuh pengharapan kepada Tuhan bukan diisi dengan keinginan-keinginan untuk mengejar popularitas, harta dan sebagainya.
Bekerja dengan hati lapang akan membuat kita bisa tetap memiliki antusiasme dan gairah dalam bekerja. Hasil dari pekerjaan akan sangat berbeda ketika kita melakukannya dengan semangat dan antusias dibanding dengan berat hati. Dengan hati lapang juga akan membuat kita tidak gampang bosan dan bisa melakukan tugas-tugas kita tanpa pamrih. Minimnya apresiasi atau penghargaan dari orang lain seringkali mampu membuat kita patah semangat dan berhenti. Apalagi jika lini pekerjaan kita bukan merupakan sesuatu yang dianggap penting oleh manusia. Dalam bekerja bisa demikian, dalam pelayanan apalagi. Ada banyak orang yang pada mulanya bersemangat melayani Tuhan tetapi pada akhirnya mereka kehilangan gairah dan semangat karena merasa tidak menerima apresiasi yang seimbang dengan usaha yang sudah dilakukannya. Alkitab mengajarkan kita untuk tidak mendasarkan usaha kita kepada apresiasi manusia tetapi justru seharusnya kepada Tuhan. "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Bukan mengarahkan kepada manusia, tetapi arahkanlah kepada Tuhan. Meski sedikit sekali atau tidak ada manusia yang menghargai jerih payah anda, itu tidak akan menjadi masalah karena upah yang sejati sesungguhnya bukan berasal dari manusia tetapi dari Tuhan sendiri. Ayat berikutnya dalam Kolose berkata: "Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya." (ay 24).
Apapun yang anda lakukan hari ini, lakukanlah dengan hati lapang. Segala sesuatu yang dilakukan dengan sikap hati seperti itu akan memberikan dampak yang berbeda terhadap hasil dari pekerjaan kita. Anda tidak perlu kecewa, kehilangan suka cita apalagi harapan meski sedikit sekali orang yang menghargai usaha anda. Segala yang terbaik yang anda lakukan seperti untuk Tuhan, dengan hati lapang tidak akan pernah luput dari pandangan mataNya. Yakinlah bahwa semua telah Dia sediakan dan kita tidak akan kehilangan upah sedikitpun selama kita melakukannya dengan sebaik-baiknya seperti untuk Dia. Karenanya, tetaplah bersukacita dan lakukan semuanya dengan hati lapang.
Dengan atau tanpa hati akan memberi hasil akhir yang berbeda terhadap pekerjaan kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Friday, May 27, 2011
Universe of Humanity
Ayat bacaan: Kisah Para Rasul 28:30
==========================
"Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya."
Pola, gaya dan tingkah manusia begitu banyak ragamnya. Ada yang langsung "nyetel" dengan kita, yang "chemistry" nya pas, ada pula yang sulit untuk dekat dengan kita karena berbagai hal. Bisa jadi sifatnya berbeda, atau hobinya, kebiasaan, cara bicara, dan sebagainya. Kita pun bersinggungan dengan begitu banyak orang yang berbeda-beda ini setiap hari. Ada yang kita suka, ada yang kurang cocok, ada pula yang sebisa mungkin dihindari. Seorang Pendeta pernah berkata "tidak ada orang yang sulit. Semua itu tergantung kemampuan dan kerelaan kita untuk mengenal atau mengerti mereka lebih jauh." katanya. Ia mengatakan itu bukan hanya sebatas omongan saja, melainkan berdasarkan pengalamannya melayani selama puluhan tahun sejak masa mudanya. Apa yang ia katakan mungkin benar, apalagi itu memang menjadi kesimpulan dari pengalaman hidupnya sendiri. Tetapi tidak bisa kita pungkiri bahwa untuk bisa berpikir atau bertindak seperti Bapak Pendeta itu bukan main sulitnya. Hati hamba, katanya, itulah yang harus kita miliki. Sebuah hati yang tidak mementingkan diri sendiri, berorientasi untuk melayani dan melakukannya atas dasar kasih.
Ada sebuah kata yang saya ingat hari ini, sebuah kata yang menyinggung keragaman dari kemanusiaan yang disebut dengan A Universe of Humanity. Kata ini mengacu kepada pandangan secara luas terhadap keragaman sikap, tingkah, pola dan gaya manusia. Tuhan menciptakan manusia dengan penuh keragaman. Tidak ada satupun yang persis sama, semua punya sesuatu yang unik dan berbeda, dan hal itu bisa kita sikapi dengan pandangan yang bermacam-macam pula. Ada yang memandang perbedaan itu sebagai berkat Tuhan yang patut disyukuri, ada pula yang memandangnya sebagai alasan untuk menjauh, atau bahkan menghujat. Ada orang yang bisa melihat perbedaan sebagai sesuatu yang bisa dijadikan kesempatan untuk belajar banyak, ada yang menyikapinya sebagai pembatas. Mereka ini akan terus memandang perbedaan sebagai sebuah ancaman. Jangankan dengan yang tidak seiman, dengan saudara seiman saja perbedaan masih sering disikapi secara negatif. Berbeda denominasi bisa membuat orang saling memandang sinis satu sama lain. Padahal seharusnya kita tidak boleh berlaku demikian. Semua anak-anak Tuhan punya tugas dan kapasitasnya masing-masing, terlepas dari perbedaan tata cara peribadatan masing-masing. Dan kita pun memiliki tugasnya sendiri-sendiri juga. Paulus mengatakannya seperti ini: "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:4-5). Jika diantara kita saja sudah saling tuding dan merendahkan, bagaimana mungkin kita bisa menunaikan tugas kita seperti Amanat Agung yang sudah dipesankan Yesus kepada setiap muridNya, termasuk kita didalamnya?
Selama bertahun-tahun setelah pertobatannya Paulus terus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mewartakan kabar keselamatan. Perjalanan yang ia tempuh tidaklah pendek. Ia terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain bahkan hingga menyentuh Asia Kecil sebelum akhirnya ia ditangkap dan dipenjarakan di Roma. Meski ia banyak mendapat hambatan dalam pelayanannya, Paulus kita kenal sebagai seorang yang teguh dan taat dalam menjalankan tugasnya. Ia sepenuhnya mengabdikan sisa hidupnya untuk memperluas Kerajaan Allah di muka bumi ini. Paulus terus berusaha menyentuh orang dengan pemberitaan Injil, karena ia peduli terhadap keselamatan orang lain dan rindu agar semakin banyak orang yang mengenal Yesus. Bagi sebagian besar orang apa yang dialami Paulus mungkin akan dianggap sebagai akhir dari pelayanan. Kesulitan akan membuat kita patah semangat dan menyerah. Tapi tidak bagi Paulus. Dia tidak memandang halangan sebagai akhir dari segalanya. Justru Paulus memandang keterbatasan-keterbatasannya bergerak sebagai sebuah kesempatan. Kemanapun ia pergi, apapun resiko yang ia hadapi, ia terus maju menjangkau banyak jiwa, meski jiwanya sendiri harus menjadi taruhannya.
Kita bisa melihat ketika Paulus berada di Roma, ia dikawal dan diawasi oleh seorang prajurit. Tetapi untunglah ia masih diijinkan untuk menyewa sebuah rumah sendiri meski harus tetap hidup dalam pengawasan. "Setelah kami tiba di Roma, Paulus diperbolehkan tinggal dalam rumah sendiri bersama-sama seorang prajurit yang mengawalnya." (Kisah Para Rasul 28:16). Keterbatasan gerak sebagai tahanan rumah yang dialami Paulus ternyata tidak menghentikannya. Dalam beberapa ayat berikutnya kita bisa melihat ia tetap beraktivitas seperti sebelumnya. "Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya. Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus." (ay 30-31). Paulus tidak menutup diri dan tidak berhenti melayani. Ia membuka rumahnya seluas-luasnya bagi semua orang tanpa terkecuali dan terus dengan terus terang memberitakan tentang Kerajaan Allah dan Yesus Kristus agar mereka yang datang ke rumahnya turut mendapat anugerah keselamatan.
A universe of humanity ada di sekitar kita, dan menunggu untuk dijangkau. Yesus sudah memanggil kita untuk menjadi saksiNya dan telah menganugerahkan Roh Kudus untuk turun atas kita demi panggilan tersebut. "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah Para Rasul 1:8). Menjadi saksi baik di lingkungan terdekat kita dan terus bertumbuh hingga kita bisa menjadi saksi Kristus dalam sebuah lingkungan yang lebih besar, bahkan sampai ke ujung bumi tidaklah bisa kita lakukan jika kita terus memandang perbedaan sebagai alasan untuk menutup diri dari sebagian orang yang kita anggap berbeda atau berseberangan dengan kita. Kita semua memiliki tugas untuk membawa banyak orang memperoleh keselamatan, dan itu adalah tugas yang harus kita jalankan. Jangan menutup diri terlalu kaku, jangan terlalu cepat menghakimi, jangkaulah orang lain sebanyak-banyaknya, dan itu bukan harus selalu dengan berkotbah. Memberi pertolongan, menunjukkan kepedulian, atau bahkan memberi sedikit waktu saja bagi mereka untuk mendengarkan bisa menjadi sesuatu yang indah untuk mengenalkan bagaimana kasih Kristus mengalir melalui diri kita. A universe of humanity is within our reach today.
Nyatakan kasih kepada semua orang tanpa terkecuali
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==========================
"Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya."
Pola, gaya dan tingkah manusia begitu banyak ragamnya. Ada yang langsung "nyetel" dengan kita, yang "chemistry" nya pas, ada pula yang sulit untuk dekat dengan kita karena berbagai hal. Bisa jadi sifatnya berbeda, atau hobinya, kebiasaan, cara bicara, dan sebagainya. Kita pun bersinggungan dengan begitu banyak orang yang berbeda-beda ini setiap hari. Ada yang kita suka, ada yang kurang cocok, ada pula yang sebisa mungkin dihindari. Seorang Pendeta pernah berkata "tidak ada orang yang sulit. Semua itu tergantung kemampuan dan kerelaan kita untuk mengenal atau mengerti mereka lebih jauh." katanya. Ia mengatakan itu bukan hanya sebatas omongan saja, melainkan berdasarkan pengalamannya melayani selama puluhan tahun sejak masa mudanya. Apa yang ia katakan mungkin benar, apalagi itu memang menjadi kesimpulan dari pengalaman hidupnya sendiri. Tetapi tidak bisa kita pungkiri bahwa untuk bisa berpikir atau bertindak seperti Bapak Pendeta itu bukan main sulitnya. Hati hamba, katanya, itulah yang harus kita miliki. Sebuah hati yang tidak mementingkan diri sendiri, berorientasi untuk melayani dan melakukannya atas dasar kasih.
Ada sebuah kata yang saya ingat hari ini, sebuah kata yang menyinggung keragaman dari kemanusiaan yang disebut dengan A Universe of Humanity. Kata ini mengacu kepada pandangan secara luas terhadap keragaman sikap, tingkah, pola dan gaya manusia. Tuhan menciptakan manusia dengan penuh keragaman. Tidak ada satupun yang persis sama, semua punya sesuatu yang unik dan berbeda, dan hal itu bisa kita sikapi dengan pandangan yang bermacam-macam pula. Ada yang memandang perbedaan itu sebagai berkat Tuhan yang patut disyukuri, ada pula yang memandangnya sebagai alasan untuk menjauh, atau bahkan menghujat. Ada orang yang bisa melihat perbedaan sebagai sesuatu yang bisa dijadikan kesempatan untuk belajar banyak, ada yang menyikapinya sebagai pembatas. Mereka ini akan terus memandang perbedaan sebagai sebuah ancaman. Jangankan dengan yang tidak seiman, dengan saudara seiman saja perbedaan masih sering disikapi secara negatif. Berbeda denominasi bisa membuat orang saling memandang sinis satu sama lain. Padahal seharusnya kita tidak boleh berlaku demikian. Semua anak-anak Tuhan punya tugas dan kapasitasnya masing-masing, terlepas dari perbedaan tata cara peribadatan masing-masing. Dan kita pun memiliki tugasnya sendiri-sendiri juga. Paulus mengatakannya seperti ini: "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:4-5). Jika diantara kita saja sudah saling tuding dan merendahkan, bagaimana mungkin kita bisa menunaikan tugas kita seperti Amanat Agung yang sudah dipesankan Yesus kepada setiap muridNya, termasuk kita didalamnya?
Selama bertahun-tahun setelah pertobatannya Paulus terus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mewartakan kabar keselamatan. Perjalanan yang ia tempuh tidaklah pendek. Ia terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain bahkan hingga menyentuh Asia Kecil sebelum akhirnya ia ditangkap dan dipenjarakan di Roma. Meski ia banyak mendapat hambatan dalam pelayanannya, Paulus kita kenal sebagai seorang yang teguh dan taat dalam menjalankan tugasnya. Ia sepenuhnya mengabdikan sisa hidupnya untuk memperluas Kerajaan Allah di muka bumi ini. Paulus terus berusaha menyentuh orang dengan pemberitaan Injil, karena ia peduli terhadap keselamatan orang lain dan rindu agar semakin banyak orang yang mengenal Yesus. Bagi sebagian besar orang apa yang dialami Paulus mungkin akan dianggap sebagai akhir dari pelayanan. Kesulitan akan membuat kita patah semangat dan menyerah. Tapi tidak bagi Paulus. Dia tidak memandang halangan sebagai akhir dari segalanya. Justru Paulus memandang keterbatasan-keterbatasannya bergerak sebagai sebuah kesempatan. Kemanapun ia pergi, apapun resiko yang ia hadapi, ia terus maju menjangkau banyak jiwa, meski jiwanya sendiri harus menjadi taruhannya.
Kita bisa melihat ketika Paulus berada di Roma, ia dikawal dan diawasi oleh seorang prajurit. Tetapi untunglah ia masih diijinkan untuk menyewa sebuah rumah sendiri meski harus tetap hidup dalam pengawasan. "Setelah kami tiba di Roma, Paulus diperbolehkan tinggal dalam rumah sendiri bersama-sama seorang prajurit yang mengawalnya." (Kisah Para Rasul 28:16). Keterbatasan gerak sebagai tahanan rumah yang dialami Paulus ternyata tidak menghentikannya. Dalam beberapa ayat berikutnya kita bisa melihat ia tetap beraktivitas seperti sebelumnya. "Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya. Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus." (ay 30-31). Paulus tidak menutup diri dan tidak berhenti melayani. Ia membuka rumahnya seluas-luasnya bagi semua orang tanpa terkecuali dan terus dengan terus terang memberitakan tentang Kerajaan Allah dan Yesus Kristus agar mereka yang datang ke rumahnya turut mendapat anugerah keselamatan.
A universe of humanity ada di sekitar kita, dan menunggu untuk dijangkau. Yesus sudah memanggil kita untuk menjadi saksiNya dan telah menganugerahkan Roh Kudus untuk turun atas kita demi panggilan tersebut. "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah Para Rasul 1:8). Menjadi saksi baik di lingkungan terdekat kita dan terus bertumbuh hingga kita bisa menjadi saksi Kristus dalam sebuah lingkungan yang lebih besar, bahkan sampai ke ujung bumi tidaklah bisa kita lakukan jika kita terus memandang perbedaan sebagai alasan untuk menutup diri dari sebagian orang yang kita anggap berbeda atau berseberangan dengan kita. Kita semua memiliki tugas untuk membawa banyak orang memperoleh keselamatan, dan itu adalah tugas yang harus kita jalankan. Jangan menutup diri terlalu kaku, jangan terlalu cepat menghakimi, jangkaulah orang lain sebanyak-banyaknya, dan itu bukan harus selalu dengan berkotbah. Memberi pertolongan, menunjukkan kepedulian, atau bahkan memberi sedikit waktu saja bagi mereka untuk mendengarkan bisa menjadi sesuatu yang indah untuk mengenalkan bagaimana kasih Kristus mengalir melalui diri kita. A universe of humanity is within our reach today.
Nyatakan kasih kepada semua orang tanpa terkecuali
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, May 26, 2011
Tuhan Tidak Pernah Terlalu Sibuk
Ayat bacaan: Mazmur 34:6
===================
"Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya."
"Maaf, bapak sedang sibuk." Kalimat ini sering terdengar dari sekretaris orang-orang penting. Entah memang mereka sedang sibuk atau hanya tidak ingin diganggu, tapi sang sekretaris akan selalu siap dengan kalimat ini untuk membangun tembok tebal antara orang yang menghubungi dan atasan mereka. Tidak usah orang penting, kita pun sering berkata hal yang sama. Ada kalanya disaat kita sedang lelah dan tidak ingin diganggu siapapun kita pun mengeluarkan kata-kata mirip seperti itu. Ada yang memang benar-benar sedang sibuk, ada pula yang hanya memakainya sebagai alasan. Kita bisa memilih dan memilah kepada siapa kita berkenan untuk bertemu, berbicara atau menanggapi dan sebaliknya menolak orang-orang yang tidak kita kehendaki untuk berhubungan dengan kita.
Bayangkan apabila Tuhan berlaku sama seperti ini, apa jadinya kita? Untunglah Tuhan tidak bersikap seperti itu. Milyaran manusia ciptaanNya tersebar di muka bumi ini, tidak satupun yang luput dari pandangan mataNya, dan tidak satupun yang Dia kesampingkan. Semua manusia dimataNya istimewa, semua Dia kasihi, siapapun dan dimanapun. Tuhan tidak bertindak seperti seorang diktator, kaisar atau eksekutif super sibuk yang terus berusaha untuk menghindari gangguan dari kita, para manusia. Justru sebaliknya, Dia akan sangat senang untuk mendengarkan dan merespon suara anak-anakNya. Anak, itu status yang sangat istimewa untuk menggambarkan hubungan antara kita dengan Tuhan. Yesus datang ke dunia dan mengajarkan kita untuk menyebut Tuhan dengan panggilan yang sangat intim sebagai Bapa. Dalam Matius 5 kita bisa mengetahui bahwa Status Bapa dan anak ini akan hadir pada kita apabila kita hidup dengan standar kasih yang jauh di atas standar dunia. Ketika dunia menganggap kasih hanya layak diberikan kepada orang-orang terdekat dan yang baik atau menguntungkan saja, Yesus mengajarkan sebaliknya. Sebuah kasih haruslah mencakup kehidupan kita secara luas dan aplikasinya harus mampu menyentuh orang-orang yang jahat kepada kita, memusuhi atau bahkan tega menganiaya kita. Jika kita sanggup berbuat demikian, Yesus berkata: "Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5:45). Perhatikanlah bahwa Tuhan tidak saja mengurus anak-anakNya yang patuh kepadaNya saja, tetapi Dia juga peduli kepada masa depan orang-orang yang tidak benar. Tuhan tidak pernah terlalu sibuk untuk manusia, Dia tidak pernah menutup diri dari kita. Jika kita merasa diri kita sudah terlalu sibuk, bisakah anda bayangkan bagaimana sibuknya Tuhan mengurusi seisi dunia ini dari satu generasi ke generasi berikutnya? Itu bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, tetapi Tuhan dengan senang hati selalu membuka DiriNya bagi kita, bahkan rindu untuk menerima kita bercerita, tertawa dan menangis bersama-sama denganNya.
Daud menggambarkan kesediaan Tuhan ini secara panjang lebar dalam Mazmur 34. Daud berkata "Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya." (Mazmur 34:7). Bukankah ini indah? Ketika kita berhadapan dengan kesulitan lalu berseru, Tuhan mendengar. Tuhan tidak berkata, "maaf, Saya terlalu sibuk untuk anda", atau "Maaf, anda kurang penting dibandingkan yang lain," Tidak. Tuhan mengatakan Dia mendengar. He does listen. Tidak saja mendengar, tetapi Dia pun siap menyelamatkan dan melepaskan kita dari kesesakan. Seperti seorang ayah yang peduli dan sayang kepada anak-anaknya, demikianlah sikap Tuhan kepada kita. Lalu selanjutnya kita bisa membaca ayat berikut ini: "Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong...Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya." (ay 16,18). Tuhan penuh kasih sayang terhadap kita dan tidak ingin kita menghadapi masalah atau terluka sendirian. Dalam ayat berikutnya dikatakan: "TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya." (ay 19). Seperti itulah Tuhan mengasihi kita. Dia peduli terhadap penderitaan kita, dan Dia tidak pernah terlalu sibuk untuk berada bersama kita, menguatkan kita dan melepaskan kita dari beban-beban yang berat.
Ketika banyak orang terlalu sibuk untuk mendengarkan atau membantu orang lain, ketika sebagian dari mereka berkata bahwa ia tidak punya waktu untuk orang lain, ketika mereka menganggap waktu mereka terlalu berharga buat diberikan, Tuhan tidak seperti itu. Tuhan akan selalu memiliki waktu seluas-luasnya untuk siapapun yang datang kepadaNya. Dia akan dengan senang hati menerima siapapun yang menghadapNya, kapan dan dimanapun. Tuhan tidak pernah terlalu sibuk! Dia selalu mendengarkan doa kita. "Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu" (Yeremia 29:12). Tuhan siap menjawab doa-doa kita. Karena itu ingatlah bahwa kapanpun kita butuh menyampaikan sesuatu kepada Tuhan, whenever we need to talk, Tuhan akan selalu siap untuk mendengar. Adakah yang membebani anda hari ini? Sudahkah anda datang kepadaNya? Dia menunggu anda, dan Dia tidak pernah terlalu sibuk untuk anda.
Tuhan tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengar dan merespon anak-anakNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
===================
"Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya."
"Maaf, bapak sedang sibuk." Kalimat ini sering terdengar dari sekretaris orang-orang penting. Entah memang mereka sedang sibuk atau hanya tidak ingin diganggu, tapi sang sekretaris akan selalu siap dengan kalimat ini untuk membangun tembok tebal antara orang yang menghubungi dan atasan mereka. Tidak usah orang penting, kita pun sering berkata hal yang sama. Ada kalanya disaat kita sedang lelah dan tidak ingin diganggu siapapun kita pun mengeluarkan kata-kata mirip seperti itu. Ada yang memang benar-benar sedang sibuk, ada pula yang hanya memakainya sebagai alasan. Kita bisa memilih dan memilah kepada siapa kita berkenan untuk bertemu, berbicara atau menanggapi dan sebaliknya menolak orang-orang yang tidak kita kehendaki untuk berhubungan dengan kita.
Bayangkan apabila Tuhan berlaku sama seperti ini, apa jadinya kita? Untunglah Tuhan tidak bersikap seperti itu. Milyaran manusia ciptaanNya tersebar di muka bumi ini, tidak satupun yang luput dari pandangan mataNya, dan tidak satupun yang Dia kesampingkan. Semua manusia dimataNya istimewa, semua Dia kasihi, siapapun dan dimanapun. Tuhan tidak bertindak seperti seorang diktator, kaisar atau eksekutif super sibuk yang terus berusaha untuk menghindari gangguan dari kita, para manusia. Justru sebaliknya, Dia akan sangat senang untuk mendengarkan dan merespon suara anak-anakNya. Anak, itu status yang sangat istimewa untuk menggambarkan hubungan antara kita dengan Tuhan. Yesus datang ke dunia dan mengajarkan kita untuk menyebut Tuhan dengan panggilan yang sangat intim sebagai Bapa. Dalam Matius 5 kita bisa mengetahui bahwa Status Bapa dan anak ini akan hadir pada kita apabila kita hidup dengan standar kasih yang jauh di atas standar dunia. Ketika dunia menganggap kasih hanya layak diberikan kepada orang-orang terdekat dan yang baik atau menguntungkan saja, Yesus mengajarkan sebaliknya. Sebuah kasih haruslah mencakup kehidupan kita secara luas dan aplikasinya harus mampu menyentuh orang-orang yang jahat kepada kita, memusuhi atau bahkan tega menganiaya kita. Jika kita sanggup berbuat demikian, Yesus berkata: "Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5:45). Perhatikanlah bahwa Tuhan tidak saja mengurus anak-anakNya yang patuh kepadaNya saja, tetapi Dia juga peduli kepada masa depan orang-orang yang tidak benar. Tuhan tidak pernah terlalu sibuk untuk manusia, Dia tidak pernah menutup diri dari kita. Jika kita merasa diri kita sudah terlalu sibuk, bisakah anda bayangkan bagaimana sibuknya Tuhan mengurusi seisi dunia ini dari satu generasi ke generasi berikutnya? Itu bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, tetapi Tuhan dengan senang hati selalu membuka DiriNya bagi kita, bahkan rindu untuk menerima kita bercerita, tertawa dan menangis bersama-sama denganNya.
Daud menggambarkan kesediaan Tuhan ini secara panjang lebar dalam Mazmur 34. Daud berkata "Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya." (Mazmur 34:7). Bukankah ini indah? Ketika kita berhadapan dengan kesulitan lalu berseru, Tuhan mendengar. Tuhan tidak berkata, "maaf, Saya terlalu sibuk untuk anda", atau "Maaf, anda kurang penting dibandingkan yang lain," Tidak. Tuhan mengatakan Dia mendengar. He does listen. Tidak saja mendengar, tetapi Dia pun siap menyelamatkan dan melepaskan kita dari kesesakan. Seperti seorang ayah yang peduli dan sayang kepada anak-anaknya, demikianlah sikap Tuhan kepada kita. Lalu selanjutnya kita bisa membaca ayat berikut ini: "Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong...Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya." (ay 16,18). Tuhan penuh kasih sayang terhadap kita dan tidak ingin kita menghadapi masalah atau terluka sendirian. Dalam ayat berikutnya dikatakan: "TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya." (ay 19). Seperti itulah Tuhan mengasihi kita. Dia peduli terhadap penderitaan kita, dan Dia tidak pernah terlalu sibuk untuk berada bersama kita, menguatkan kita dan melepaskan kita dari beban-beban yang berat.
Ketika banyak orang terlalu sibuk untuk mendengarkan atau membantu orang lain, ketika sebagian dari mereka berkata bahwa ia tidak punya waktu untuk orang lain, ketika mereka menganggap waktu mereka terlalu berharga buat diberikan, Tuhan tidak seperti itu. Tuhan akan selalu memiliki waktu seluas-luasnya untuk siapapun yang datang kepadaNya. Dia akan dengan senang hati menerima siapapun yang menghadapNya, kapan dan dimanapun. Tuhan tidak pernah terlalu sibuk! Dia selalu mendengarkan doa kita. "Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu" (Yeremia 29:12). Tuhan siap menjawab doa-doa kita. Karena itu ingatlah bahwa kapanpun kita butuh menyampaikan sesuatu kepada Tuhan, whenever we need to talk, Tuhan akan selalu siap untuk mendengar. Adakah yang membebani anda hari ini? Sudahkah anda datang kepadaNya? Dia menunggu anda, dan Dia tidak pernah terlalu sibuk untuk anda.
Tuhan tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengar dan merespon anak-anakNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Wednesday, May 25, 2011
Harta yang Menghancurkan
Ayat bacaan: Lukas 12:20
======================
"Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?"
Perpecahan di kalangan keluarga bisa bermacam-macam penyebabnya, tetapi yang biasanya menjadi sumber sengketa terbesar adalah masalah harta. Ada begitu banyak pertikaian antar saudara kandung sendiri hanya karena ribut soal pembagian warisan. Belum lama ini saudara-saudara ayah saya sendiri ribut karena ada yang merasa pembagian untuknya tidak adil. Ada yang tiba-tiba merasa masih dihutangi, sementara pihak lainnya merasa tidak punya hutang apa-apa. Maka keributan pun tidak bisa dihindari. Ini punyaku, bukan punyamu. Itulah sepertinya yang ada di benak orang-orang yang terus menghamba kepada harta. Sedikit saja melihat kesempatan mata mereka pun menjadi silau dan ingin meraup semuanya tanpa peduli soal saudaranya sendiri. Sebuah keluarga ternama di sebuah kota di Sumatra pun pernah sampai saling bunuh-bunuhan hanya karena pembagian harta warisan ini. Harta seringkali menjadi penyebab retak atau pecahnya sebuah keluarga besar. Betapa ironis ketika sebuah warisan yang ditinggalkan seharusnya bermanfaat dan menjadi perekat keluarga untuk mengenang orang tua yang meninggal dunia tetapi malah menjadi sumber pertikaian yang tidak jarang sampai berujung maut.
Pada suatu ketika Yesus pernah diminta seseorang untuk menjadi penengah soal sengketa warisan ini yang tercatat dalam Lukas 12:13-21. Lihatlah bagaimana jawaban Yesus. Dia langsung mengacu kepada masalah ketamakan, dan berkata: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Lukas 12:15). Yesus pun kemudian memberi sebuah perumpamaan mengenai seorang kaya yang tanahnya berlimpah hasilnya. Begitu melimpahnya sampai ia kemudian merasa bingung dimana harus menyimpan hasil tanahnya. (ay 17). Dia hanya berpikir bagaimana untuk menimbun hartanya sebanyak-banyaknya, membangun lumbung untuk dinikmati sepuas-puasnya kelak. (ay 18-19). Ia lupa bahwa seharusnya ia memiliki tugas untuk membantu saudara-saudaranya yang kesusahan, mempergunakan hartanya untuk kebaikan atas dasar kasih. Dan yang lebih parah, ia melupakan Pemilik yang sebenarnya, yaitu Tuhan. Pikirannya dikuasai soal harta dan bagaimana ia bisa memperoleh sebanyak-banyaknya demi kenyamanan dirinya sendiri. Lihat apa isi hatinya: "Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!" (ay 19). Maka perhatikan ayat selanjutnya: "Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?" (ay 20).
Kita seringkali tergiur akan harta dan mengira bahwa itu akan mampu membuat kita bahagia. Kita lupa bahwa pada hakekatnya apapun yang kita punya bukanlah milik kita sendiri, tetapi Tuhanlah sesungguhnya Pemilik segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Ayub sendiri sudah mengatakan: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Inilah yang seringkali kita lupakan. Bagi orang-orang yang terpengaruh oleh silaunya harta Yesus memberikan teguran: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Matius 16:26). Sekaya apapun kita, apalah gunanya jika kita malah kehilangan kesempatan untuk memasuki kehidupan kekal bersama Bapa di Surga? Bisakah kita menyuap Tuhan dengan harta kekayaan kita di dunia ini, meski sebanyak apapun? Tidak. Justru kita akan kehilangan segala kesempatan untuk selamat jika kita terus menghamba kepada harta kekayaan. Ingatlah bahwa Yesus sudah mengingatkan kita untuk menabung bukan di bumi melainkan di Surga. "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." (Matius 6:19-20). Harta yang ditimbun sendiri untuk kepentingan pribadi hanyalah akan sia-sia. Menolong sesama, memakai harta kita untuk memuliakan Tuhan lewat menyatakan kasih kepada orang lain, itulah yang sebenarnya harus kita lakukan. Itulah yang bisa membuat kita menabung di surga, meski di dunia mungkin kita akan kehilangan sebagian dari harta yang kita miliki. Tetapi jika itu membuat kita berinvestasi demi masa depan yang kekal kelak, mengapa tidak? Berkelahi dengan orang lain saja sudah salah, apalagi dengan saudara kandung sendiri. Itu jelas-jelas bertentangan dengan yang digariskan Tuhan lewat FirmanNya. Itu jelas akan menghanguskan kesempatan yang telah dibukakan Yesus lewat karya penebusanNya, dan bayangkanlah jika itu yang kita lakukan hanya karena kita silau dengan harta di dunia yang fana ini. Tuhan merupakan pemilik segala sesuatu. Kita hanya mengelola apa yang menjadi milikNya, apa yang dipercayakanNya kepada kita. Apakah itu harta, waktu, tenaga, talenta dan sebagainya, semua itu seharusnya dipergunakan untuk memuliakanNya dan bukan untuk ditimbun demi kepentingan pribadi. Karena itu kelola dan kembangkanlah dengan penuh tanggung jawab, pergunakan untuk menolong saudara-saudara kita yang kesusahan. Kasih seharusnya berada jauh di atas segalanya, jangan korbankan itu hanya karena silau kepada harta.
Kita datang dan pergi tanpa membawa apa-apa, pergunakanlah apa yang ada demi kemuliaanNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
======================
"Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?"
Perpecahan di kalangan keluarga bisa bermacam-macam penyebabnya, tetapi yang biasanya menjadi sumber sengketa terbesar adalah masalah harta. Ada begitu banyak pertikaian antar saudara kandung sendiri hanya karena ribut soal pembagian warisan. Belum lama ini saudara-saudara ayah saya sendiri ribut karena ada yang merasa pembagian untuknya tidak adil. Ada yang tiba-tiba merasa masih dihutangi, sementara pihak lainnya merasa tidak punya hutang apa-apa. Maka keributan pun tidak bisa dihindari. Ini punyaku, bukan punyamu. Itulah sepertinya yang ada di benak orang-orang yang terus menghamba kepada harta. Sedikit saja melihat kesempatan mata mereka pun menjadi silau dan ingin meraup semuanya tanpa peduli soal saudaranya sendiri. Sebuah keluarga ternama di sebuah kota di Sumatra pun pernah sampai saling bunuh-bunuhan hanya karena pembagian harta warisan ini. Harta seringkali menjadi penyebab retak atau pecahnya sebuah keluarga besar. Betapa ironis ketika sebuah warisan yang ditinggalkan seharusnya bermanfaat dan menjadi perekat keluarga untuk mengenang orang tua yang meninggal dunia tetapi malah menjadi sumber pertikaian yang tidak jarang sampai berujung maut.
Pada suatu ketika Yesus pernah diminta seseorang untuk menjadi penengah soal sengketa warisan ini yang tercatat dalam Lukas 12:13-21. Lihatlah bagaimana jawaban Yesus. Dia langsung mengacu kepada masalah ketamakan, dan berkata: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Lukas 12:15). Yesus pun kemudian memberi sebuah perumpamaan mengenai seorang kaya yang tanahnya berlimpah hasilnya. Begitu melimpahnya sampai ia kemudian merasa bingung dimana harus menyimpan hasil tanahnya. (ay 17). Dia hanya berpikir bagaimana untuk menimbun hartanya sebanyak-banyaknya, membangun lumbung untuk dinikmati sepuas-puasnya kelak. (ay 18-19). Ia lupa bahwa seharusnya ia memiliki tugas untuk membantu saudara-saudaranya yang kesusahan, mempergunakan hartanya untuk kebaikan atas dasar kasih. Dan yang lebih parah, ia melupakan Pemilik yang sebenarnya, yaitu Tuhan. Pikirannya dikuasai soal harta dan bagaimana ia bisa memperoleh sebanyak-banyaknya demi kenyamanan dirinya sendiri. Lihat apa isi hatinya: "Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!" (ay 19). Maka perhatikan ayat selanjutnya: "Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?" (ay 20).
Kita seringkali tergiur akan harta dan mengira bahwa itu akan mampu membuat kita bahagia. Kita lupa bahwa pada hakekatnya apapun yang kita punya bukanlah milik kita sendiri, tetapi Tuhanlah sesungguhnya Pemilik segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Ayub sendiri sudah mengatakan: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Inilah yang seringkali kita lupakan. Bagi orang-orang yang terpengaruh oleh silaunya harta Yesus memberikan teguran: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Matius 16:26). Sekaya apapun kita, apalah gunanya jika kita malah kehilangan kesempatan untuk memasuki kehidupan kekal bersama Bapa di Surga? Bisakah kita menyuap Tuhan dengan harta kekayaan kita di dunia ini, meski sebanyak apapun? Tidak. Justru kita akan kehilangan segala kesempatan untuk selamat jika kita terus menghamba kepada harta kekayaan. Ingatlah bahwa Yesus sudah mengingatkan kita untuk menabung bukan di bumi melainkan di Surga. "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." (Matius 6:19-20). Harta yang ditimbun sendiri untuk kepentingan pribadi hanyalah akan sia-sia. Menolong sesama, memakai harta kita untuk memuliakan Tuhan lewat menyatakan kasih kepada orang lain, itulah yang sebenarnya harus kita lakukan. Itulah yang bisa membuat kita menabung di surga, meski di dunia mungkin kita akan kehilangan sebagian dari harta yang kita miliki. Tetapi jika itu membuat kita berinvestasi demi masa depan yang kekal kelak, mengapa tidak? Berkelahi dengan orang lain saja sudah salah, apalagi dengan saudara kandung sendiri. Itu jelas-jelas bertentangan dengan yang digariskan Tuhan lewat FirmanNya. Itu jelas akan menghanguskan kesempatan yang telah dibukakan Yesus lewat karya penebusanNya, dan bayangkanlah jika itu yang kita lakukan hanya karena kita silau dengan harta di dunia yang fana ini. Tuhan merupakan pemilik segala sesuatu. Kita hanya mengelola apa yang menjadi milikNya, apa yang dipercayakanNya kepada kita. Apakah itu harta, waktu, tenaga, talenta dan sebagainya, semua itu seharusnya dipergunakan untuk memuliakanNya dan bukan untuk ditimbun demi kepentingan pribadi. Karena itu kelola dan kembangkanlah dengan penuh tanggung jawab, pergunakan untuk menolong saudara-saudara kita yang kesusahan. Kasih seharusnya berada jauh di atas segalanya, jangan korbankan itu hanya karena silau kepada harta.
Kita datang dan pergi tanpa membawa apa-apa, pergunakanlah apa yang ada demi kemuliaanNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, May 24, 2011
Tidak Terlhat
Ayat bacaan: Matius 6:4
=================
"Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
Sudah capai-capai kerja tetapi tidak ada yang menghargai. Bahkan mungkin malah kritik yang didapat. Ada kalanya kita mengalami hal seperti itu yang tentu saja tidak mengenakkan sama sekali. Manusia biasanya membutuhkan apresiasi dari orang lain sebagai hasil dari kerja kerasnya. Dari sana mereka bisa merasa dihargai sehingga tidak merasa sia-sia dalam mengerjakan sesuatu, ada pula yang menjadikannya tolok ukur untuk mengetahui sampai sejauh mana usaha mereka menghasilkan sesuatu. Tidaklah heran apabila ketika semua itu tidak diperoleh, banyak orang menjadi bersungut-sungut, merasa kecewa atau bisa saja merasa kapok dan tidak lagi mau melanjutkan usahanya. "Buat apa, toh tidak ada yang melihat dan menghargai.." itu bisa menjadi jawaban sebagai ungkapan kekecewaan dari orang yang merasa tidak mendapat imbalan atau apresiasi atas usaha mereka.
Dahulu saya termasuk orang yang mudah merasa kecewa. Bukannya gila penghargaan, tetapi saya hanya ingin upaya sungguh-sungguh dan serius saya bisa dihargai dengan layak, karena saya merasa telah berbuat yang terbaik. Tetapi dalam hidup ini seringkali kita memperoleh apa yang sepantasnya. Di kantor, dalam keluarga, pertemanan atau lingkungan-lingkungan lainnya bahkan dalam gereja sekalipun, hal seperti ini bisa saja terjadi. Kritik yang datang di saat kita merasa sudah habis-habisan bisa membuat kita sangat kecewa, bahkan tidak menutup kemungkinan kita mengalami kepahitan dan memilih untuk berhenti karenanya.
Jika kita melihat ke dalam Alkitab, seharusnya bukan seperti itu. Orang-orang yang melayani dengan hati hamba mengikuti panggilan yang diberikan Tuhan seharusnya tidak berpikir demikian. Mereka atau kita seharusnya memahami betul bahwa kasih, sesuatu yang merupakan esensi dasar Kekristenan bukanlah sesuatu yang hadir dengan pamrih, membutuhkan imbalan, pujian atau penghargaan. Sebuah kasih yang diinginkan Tuhan untuk dihidupi anak-anakNya adalah kasih yang di dalamnya terkandung banyak pengorbanan, seperti rincian panjang lebar yang telah diuraikan oleh Paulus dalam 1 Korintus 13:4-7. Kasih seharusnya mendasari kehidupan setiap orang percaya, baik kasih kepada Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan kita (Markus 12:30) maupun terhadap sesama kita seperti diri kita sendiri (ay 31), atau bahkan dalam level yang lebih tinggi kita diperintahkan untuk saling mengasihi seperti Yesus sendiri telah mengasihi kita. (Yohanes 13:34). Kasih setinggi itu tidak lagi mengacu kepada kepentingan diri sendiri seperti yang dilakukan oleh dunia.
Kita seharusnya melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya atas dasar kasih, bukan karena mengharapkan pujian atau penghargaan. Bukan tidak boleh, tetapi ada atau tidak ada, kita harus mau melakukannya tetap dengan baik tanpa mengurangi usaha sedikitpun. Bisa saja orang tidak menghargai atau masih tega mengkritik, namun ingatlah bahwa segala yang kita perbuat itu tidak akan pernah luput dari pandangan Tuhan. Bahkan Tuhan sudah mengatakan bahwa kepada kita disediakan "reward" atau upah terhadap orang-orang yang memberi yang terbaik dari diri mereka tanpa pamrih. Lihatlah apa kata Yesus berikut: "Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6:4). Tersembunyi, artinya tidak perlu diketahui oleh siapapun. Janji ini kemudian kembali di ulang dalam ayat ke 18. Tuhan akan selalu melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain, dan kepada kita yang menuruti FirmanNya, Dia akan selalu memberi upah atas kesungguhan dan ketulusan kita.
Mendahulukan kepentingan orang lain itu harus berada diatas kepentingan diri sendiri. Berulang kali pula Alkitab sudah mengajarkan hal itu seperti misalnya dalam ayat berikut: "Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat." (Roma 12:10) atau "...dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri" (Filipi 2:3). Dengan meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri kita akan mampu melakukan pekerjaan kita sebaik-baiknya, setulus dan sejujurnya tanpa tergantung ada tidaknya pujian dari orang lain.
Adakah di antara anda yang mengalami perasaan kecewa karena usaha sungguh-sungguh anda tidak mendapat penghargaan yang sepantasnya dari orang lain? Anda sedang bersungut-sungut atau merasa sudah tidak mau lagi melanjutkan pekerjaan anda, atau bahkan mungkin merasa sakit hati karena ada orang lain yang memanfaatkan anda, mereka mendapatkan segala pujian untuk diri mereka atas jerih payah anda? Jangan patah semangat. Meski hal seperti itu terjadi pada anda, bukan berarti Tuhan menutup matanya dari anda. Ingatlah bahwa selain kita harus melakukannya atas dasar kasih, yang dengan tegas bahkan dikatakan "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih" (1 Yohanes 4:8), Tuhan pun juga telah menyediakan upah atau balasan/imbalan bagi orang-orang yang melakukan hal yang terbaik tanpa mengharapkan apapun. Tuhan akan selalu menyediakan upah bagi orang-orang yang "tidak terlihat" tetapi dengan segala kesungguhannya telah membuat Kristus terlihat nyata di mata dunia. Tetaplah lakukan yang terbaik meski tidak satupun menghargai atau memandang anda, percayalah Tuhan akan selalu melihat dan mengetahui itu dengan pasti. Alkitab berkata "Karena mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia." (2 Tawarikh 16:9a). Pastikan bahwa kita tertangkap oleh pandangan mataNya atas kesungguhan hati kita menuruti FirmanNya.
Tidak satupun pekerjaan kita yang dilakukan atas namaNya berlalu tanpa terlihat oleh Tuhan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=================
"Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
Sudah capai-capai kerja tetapi tidak ada yang menghargai. Bahkan mungkin malah kritik yang didapat. Ada kalanya kita mengalami hal seperti itu yang tentu saja tidak mengenakkan sama sekali. Manusia biasanya membutuhkan apresiasi dari orang lain sebagai hasil dari kerja kerasnya. Dari sana mereka bisa merasa dihargai sehingga tidak merasa sia-sia dalam mengerjakan sesuatu, ada pula yang menjadikannya tolok ukur untuk mengetahui sampai sejauh mana usaha mereka menghasilkan sesuatu. Tidaklah heran apabila ketika semua itu tidak diperoleh, banyak orang menjadi bersungut-sungut, merasa kecewa atau bisa saja merasa kapok dan tidak lagi mau melanjutkan usahanya. "Buat apa, toh tidak ada yang melihat dan menghargai.." itu bisa menjadi jawaban sebagai ungkapan kekecewaan dari orang yang merasa tidak mendapat imbalan atau apresiasi atas usaha mereka.
Dahulu saya termasuk orang yang mudah merasa kecewa. Bukannya gila penghargaan, tetapi saya hanya ingin upaya sungguh-sungguh dan serius saya bisa dihargai dengan layak, karena saya merasa telah berbuat yang terbaik. Tetapi dalam hidup ini seringkali kita memperoleh apa yang sepantasnya. Di kantor, dalam keluarga, pertemanan atau lingkungan-lingkungan lainnya bahkan dalam gereja sekalipun, hal seperti ini bisa saja terjadi. Kritik yang datang di saat kita merasa sudah habis-habisan bisa membuat kita sangat kecewa, bahkan tidak menutup kemungkinan kita mengalami kepahitan dan memilih untuk berhenti karenanya.
Jika kita melihat ke dalam Alkitab, seharusnya bukan seperti itu. Orang-orang yang melayani dengan hati hamba mengikuti panggilan yang diberikan Tuhan seharusnya tidak berpikir demikian. Mereka atau kita seharusnya memahami betul bahwa kasih, sesuatu yang merupakan esensi dasar Kekristenan bukanlah sesuatu yang hadir dengan pamrih, membutuhkan imbalan, pujian atau penghargaan. Sebuah kasih yang diinginkan Tuhan untuk dihidupi anak-anakNya adalah kasih yang di dalamnya terkandung banyak pengorbanan, seperti rincian panjang lebar yang telah diuraikan oleh Paulus dalam 1 Korintus 13:4-7. Kasih seharusnya mendasari kehidupan setiap orang percaya, baik kasih kepada Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan kita (Markus 12:30) maupun terhadap sesama kita seperti diri kita sendiri (ay 31), atau bahkan dalam level yang lebih tinggi kita diperintahkan untuk saling mengasihi seperti Yesus sendiri telah mengasihi kita. (Yohanes 13:34). Kasih setinggi itu tidak lagi mengacu kepada kepentingan diri sendiri seperti yang dilakukan oleh dunia.
Kita seharusnya melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya atas dasar kasih, bukan karena mengharapkan pujian atau penghargaan. Bukan tidak boleh, tetapi ada atau tidak ada, kita harus mau melakukannya tetap dengan baik tanpa mengurangi usaha sedikitpun. Bisa saja orang tidak menghargai atau masih tega mengkritik, namun ingatlah bahwa segala yang kita perbuat itu tidak akan pernah luput dari pandangan Tuhan. Bahkan Tuhan sudah mengatakan bahwa kepada kita disediakan "reward" atau upah terhadap orang-orang yang memberi yang terbaik dari diri mereka tanpa pamrih. Lihatlah apa kata Yesus berikut: "Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6:4). Tersembunyi, artinya tidak perlu diketahui oleh siapapun. Janji ini kemudian kembali di ulang dalam ayat ke 18. Tuhan akan selalu melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain, dan kepada kita yang menuruti FirmanNya, Dia akan selalu memberi upah atas kesungguhan dan ketulusan kita.
Mendahulukan kepentingan orang lain itu harus berada diatas kepentingan diri sendiri. Berulang kali pula Alkitab sudah mengajarkan hal itu seperti misalnya dalam ayat berikut: "Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat." (Roma 12:10) atau "...dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri" (Filipi 2:3). Dengan meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri kita akan mampu melakukan pekerjaan kita sebaik-baiknya, setulus dan sejujurnya tanpa tergantung ada tidaknya pujian dari orang lain.
Adakah di antara anda yang mengalami perasaan kecewa karena usaha sungguh-sungguh anda tidak mendapat penghargaan yang sepantasnya dari orang lain? Anda sedang bersungut-sungut atau merasa sudah tidak mau lagi melanjutkan pekerjaan anda, atau bahkan mungkin merasa sakit hati karena ada orang lain yang memanfaatkan anda, mereka mendapatkan segala pujian untuk diri mereka atas jerih payah anda? Jangan patah semangat. Meski hal seperti itu terjadi pada anda, bukan berarti Tuhan menutup matanya dari anda. Ingatlah bahwa selain kita harus melakukannya atas dasar kasih, yang dengan tegas bahkan dikatakan "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih" (1 Yohanes 4:8), Tuhan pun juga telah menyediakan upah atau balasan/imbalan bagi orang-orang yang melakukan hal yang terbaik tanpa mengharapkan apapun. Tuhan akan selalu menyediakan upah bagi orang-orang yang "tidak terlihat" tetapi dengan segala kesungguhannya telah membuat Kristus terlihat nyata di mata dunia. Tetaplah lakukan yang terbaik meski tidak satupun menghargai atau memandang anda, percayalah Tuhan akan selalu melihat dan mengetahui itu dengan pasti. Alkitab berkata "Karena mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia." (2 Tawarikh 16:9a). Pastikan bahwa kita tertangkap oleh pandangan mataNya atas kesungguhan hati kita menuruti FirmanNya.
Tidak satupun pekerjaan kita yang dilakukan atas namaNya berlalu tanpa terlihat oleh Tuhan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, May 23, 2011
Katakan Stop
Ayat bacaan: Roma 6:12
=================
"Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya."
Ketika kecil ibu saya selalu mengingatkan saya agar tidak menggaruk bekas gigitan nyamuk. Pada waktu itu saya tidak mengerti betul-betul mengapa saya tidak boleh menggaruknya. Bukankah kalau gatal yang paling enak itu digaruk? Maka diam-diam pun saya terus menggaruk tanpa sepengetahuan ibu saya. Yang terjadi adalah bekas-bekas hitam yang ternyata membutuhkan waktu lama untuk hilang. Jika mengikuti keinginan kita, tentu kita ingin menggaruk terus ketika merasa gatal. Bahkan tidak jarang kita kebablasan dalam menggaruk hingga luka. Tapi lihatlah bahwa seandainya tidak luka pun bekas-bekasnya bisa lama hilang, belum lagi jika infeksi karena luka. Setelah itu saya mengerti bahwa apa yang diingatkan ibu saya itu ternyata benar, untuk kebaikan saya. Itu saya ingat terus hingga hari ini, sehingga jika digigit nyamuk saya langsung mengoleskan balsam atau setidaknya mencucinya agar rasa gatalnya mereda.
Sebuah dosa pun bisa memberi akibat seperti itu. Dosa sering mengintai dari hal-hal yang justru terlihat enak atau nikmat bagi daging kita. Sekali kita terlena akan kenikmatan-kenikmatan di mana ada dosa bersembunyi di dalamnya, maka akibatnya bisa fatal, apalagi ketika sudah terlanjur menghujam begitu dalam dan menyebar menguasai kita. Sesungguhnya ini adalah hal yang sangat serius untuk diperhatikan. Karena itulah Paulus dengan panjang lebar mengingatkan hal ini dalam suratnya untuk jemaat Roma. Memang benar, "di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah" (Roma 5:20), tetapi jangan pernah jadikan itu sebagai alasan untuk terus membiarkan dosa memasuki diri kita. Dan Paulus pun memberi pertanyaan retoris. "Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?" (6:1). Jawabannya tentu saja tidak. "Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?" (ay 2). Kita harus ingat bahwa kita telah dibaptis dalam Kristus, dikuburkan bersama-sama dengan Dia agar kita juga dibangkitkan oleh kemuliaan Bapa bersama-sama Yesus. (ay 3-4). Paulus juga mengingatkan, "Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa." (ay 6). Lihatlah bahwa sesungguhnya tidak ada alasan lagi bagi kita untuk terus menerus takluk pada godaan dosa, karena dengan "mati" itu artinya kita pun telah bebas dari dosa. (ay 7). Dosa seharusnya tidak lagi punya kuasa apa-apa kepada kita karena kita sudah menyalibkan manusia baru kita dan telah menjadi ciptaan baru, kecuali kita terus membuka diri bagi dosa-dosa itu untuk masuk. Singkatnya, dosa tidak lagi bisa berkuasa atas kita, kecuali kita mengijinkannya.
Maka kita pun bisa melihat nasihat Paulus agar kita menjaga benar-benar diri kita. "Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya." (ay 12). Firman Tuhan pun mengingatkan kita, "dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis." (Efesus 4:27). Perhatikanlah bahwa meski jelas dikatakan bahwa dosa tidak lagi bisa menguasai kita, tetapi jika kita membuka celah mengijinkannya masuk maka dosa itu bisa kembali berkuasa atas diri kita. Jika dosa itu berkuasa, kita pun akan terjebak untuk terus menuruti keinginan-keinginannya, dan itu akan berakibat buruk bahkan bisa fatal bagi kita. Senada dengan itu Yakobus pun mengingatkan kita agar tidak terjebak oleh keinginan-keinginan kita sendiri, terseret dan terpikat olehnya karena terus mengejar kenikmatan. Perhatikan kata-kata Yakobus selanjutnya: "Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut." (ay 15). Maut. Dan itu kekal. Itulah yang akan menjadi akibatnya apabila kita terus menuruti keinginan-keinginan dari dosa. Kita harus bisa mengatakan "stop" pada dosa-dosa itu untuk terus memiliki taring atas kita. Kita harus tegas menolak dosa untuk berkuasa atas tubuh kita dan menyadari betul sebuah kehidupan yang baru sebagai ciptaan baru seperti yang telah Dia anugerahkan bagi kita.
Tidak semua yang nikmat itu baik ujungnya. Kita harus benar-benar memperhatikan apapun yang kita lakukan dengan cermat. Gatal akan terasa sangat nikmat ketika digaruk, tetapi dampaknya bisa buruk bagi kulit maupun kesehatan kita. Begitu pula halnya dengan dosa yang mungkin awalnya terasa nikmat namun akibatnya bisa sangat buruk bagi masa depan kita tidak saja di bumi ini tetapi juga pada kehidupan selanjutnya yang kekal nanti. Dosa tidak lagi punya tempat bagi kita, itulah yang seharusnya menjadi bagian hidup kita setelah menjadi ciptaan baru.
Say no to the temptation of sins
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=================
"Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya."
Ketika kecil ibu saya selalu mengingatkan saya agar tidak menggaruk bekas gigitan nyamuk. Pada waktu itu saya tidak mengerti betul-betul mengapa saya tidak boleh menggaruknya. Bukankah kalau gatal yang paling enak itu digaruk? Maka diam-diam pun saya terus menggaruk tanpa sepengetahuan ibu saya. Yang terjadi adalah bekas-bekas hitam yang ternyata membutuhkan waktu lama untuk hilang. Jika mengikuti keinginan kita, tentu kita ingin menggaruk terus ketika merasa gatal. Bahkan tidak jarang kita kebablasan dalam menggaruk hingga luka. Tapi lihatlah bahwa seandainya tidak luka pun bekas-bekasnya bisa lama hilang, belum lagi jika infeksi karena luka. Setelah itu saya mengerti bahwa apa yang diingatkan ibu saya itu ternyata benar, untuk kebaikan saya. Itu saya ingat terus hingga hari ini, sehingga jika digigit nyamuk saya langsung mengoleskan balsam atau setidaknya mencucinya agar rasa gatalnya mereda.
Sebuah dosa pun bisa memberi akibat seperti itu. Dosa sering mengintai dari hal-hal yang justru terlihat enak atau nikmat bagi daging kita. Sekali kita terlena akan kenikmatan-kenikmatan di mana ada dosa bersembunyi di dalamnya, maka akibatnya bisa fatal, apalagi ketika sudah terlanjur menghujam begitu dalam dan menyebar menguasai kita. Sesungguhnya ini adalah hal yang sangat serius untuk diperhatikan. Karena itulah Paulus dengan panjang lebar mengingatkan hal ini dalam suratnya untuk jemaat Roma. Memang benar, "di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah" (Roma 5:20), tetapi jangan pernah jadikan itu sebagai alasan untuk terus membiarkan dosa memasuki diri kita. Dan Paulus pun memberi pertanyaan retoris. "Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?" (6:1). Jawabannya tentu saja tidak. "Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?" (ay 2). Kita harus ingat bahwa kita telah dibaptis dalam Kristus, dikuburkan bersama-sama dengan Dia agar kita juga dibangkitkan oleh kemuliaan Bapa bersama-sama Yesus. (ay 3-4). Paulus juga mengingatkan, "Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa." (ay 6). Lihatlah bahwa sesungguhnya tidak ada alasan lagi bagi kita untuk terus menerus takluk pada godaan dosa, karena dengan "mati" itu artinya kita pun telah bebas dari dosa. (ay 7). Dosa seharusnya tidak lagi punya kuasa apa-apa kepada kita karena kita sudah menyalibkan manusia baru kita dan telah menjadi ciptaan baru, kecuali kita terus membuka diri bagi dosa-dosa itu untuk masuk. Singkatnya, dosa tidak lagi bisa berkuasa atas kita, kecuali kita mengijinkannya.
Maka kita pun bisa melihat nasihat Paulus agar kita menjaga benar-benar diri kita. "Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya." (ay 12). Firman Tuhan pun mengingatkan kita, "dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis." (Efesus 4:27). Perhatikanlah bahwa meski jelas dikatakan bahwa dosa tidak lagi bisa menguasai kita, tetapi jika kita membuka celah mengijinkannya masuk maka dosa itu bisa kembali berkuasa atas diri kita. Jika dosa itu berkuasa, kita pun akan terjebak untuk terus menuruti keinginan-keinginannya, dan itu akan berakibat buruk bahkan bisa fatal bagi kita. Senada dengan itu Yakobus pun mengingatkan kita agar tidak terjebak oleh keinginan-keinginan kita sendiri, terseret dan terpikat olehnya karena terus mengejar kenikmatan. Perhatikan kata-kata Yakobus selanjutnya: "Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut." (ay 15). Maut. Dan itu kekal. Itulah yang akan menjadi akibatnya apabila kita terus menuruti keinginan-keinginan dari dosa. Kita harus bisa mengatakan "stop" pada dosa-dosa itu untuk terus memiliki taring atas kita. Kita harus tegas menolak dosa untuk berkuasa atas tubuh kita dan menyadari betul sebuah kehidupan yang baru sebagai ciptaan baru seperti yang telah Dia anugerahkan bagi kita.
Tidak semua yang nikmat itu baik ujungnya. Kita harus benar-benar memperhatikan apapun yang kita lakukan dengan cermat. Gatal akan terasa sangat nikmat ketika digaruk, tetapi dampaknya bisa buruk bagi kulit maupun kesehatan kita. Begitu pula halnya dengan dosa yang mungkin awalnya terasa nikmat namun akibatnya bisa sangat buruk bagi masa depan kita tidak saja di bumi ini tetapi juga pada kehidupan selanjutnya yang kekal nanti. Dosa tidak lagi punya tempat bagi kita, itulah yang seharusnya menjadi bagian hidup kita setelah menjadi ciptaan baru.
Say no to the temptation of sins
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sunday, May 22, 2011
Pikiran Positif (2)
(sambungan) Contoh lain? Lihatlah kisah seorang perempuan Kanaan yang mendatangi Yesus demi kesembuhan anaknya yang kerasukan. Oleh imannya yang besar, Yesus pun merespon seperti ini: "Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh." (Matius 15:28). Bagaimana kita memandang hidup itu tergantung oleh iman. Dan besar kecilnya iman kita akan terlihat dari bagaimana pikiran kita dalam memandang kehidupan yang kita jalani. Positive thinking, tetap berpengharapan, optimis, atau ragu-ragu, atau juga pesimis dan terus menerus berpikiran buruk, itu semua merupakan pilihan kita yang akan sangat menentukan sejauh mana keberhasilan kita dalam menggenapi rencana indah yang telah disediakan Tuhan.
Kita perlu berhati-hati terhadap pola pikir kita. Terus menerus membiarkan diri kita berpikiran negatif bisa sangat buruk akibatnya. Itu akan menghilangkan segala potensi yang bisa kita raih, bisa menutupi peluang yang ada, bisa pula mematikan semangat perjuangan kita. Bahkan Alkitab dengan tegas berkata: "Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." (Ayub 3:25). Dan itu membuat kita bisa merasa seperti ini: "Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul." (ay 26). Apa yang kita takutkan, itulah yang terjadi. Jadilah seperti katamu, jadilah seperti yang kau kehendaki, jadilah seperti yang engkau percaya. Kita percaya kita akan berhasil? Itu akan menjadi bagian kita. Sebaliknya jika kita percaya bahwa kita akan gagal dan tidak akan pernah berhasil, maka itu pula yang akan terjadi. Dalam Amsal pun kita bisa melihat sebuah ayat yang berbunyi: "Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia." (Amsal 23:7). Dalam versi bahasa Inggrisnya lebih jelas: "For as he think in his heart, so is he." Dalam versi King James dikatakan: "For as he thinketh in his heart, so is he." Jelaslah bahwa kita harus berhati-hati dalam pikiran kita, karena masalahnya bukan berada pada Tuhan, tetapi kepada cara pandang kita terhadap hal-hal yang berkenaan dengan hidup kita sendiri.
Jika demikian, kemanakah sebaiknya pikiran kita dipusatkan, agar pikiran kita tetap sehat dan tidak terkontaminasi dengan berbagai pikiran negatif, jahat atau kotor? Daud berkata, "TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?" (Mazmur 27:1). Ayat ini berbicara mengenai kehidupan orang percaya yang berpusat pada Tuhan. Di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa selalu ada pengharapan dan keyakinan jika kita berpusat pada Tuhan. Dalam kesempatan lain, Tuhan Yesus berkata, "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu." (Yohanes 14:27). Yesus adalah harta kita terbesar, dan berpusat padaNya kita akan mendapat damai sejahtera Kristus, yang tidak akan pernah sama seperti yang dapat diberikan dunia pada kita.Marilah kita terus mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang positif dan tidak membiarkan berbagai hal negatif datang silih berganti atau malah tinggal diam di dalam pikiran kita. Isilah terus dengan damai sejahtera yang datang dari Allah, karena itulah yang akan mampu memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus."Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus." (Filipi 4:7) Segala pikiran negatif akan semakin menjauhkan kita dari Allah, menghilangkan damai dan sukacita dalam hidup kita dan akan membuat kita berjalan di tempat atau bahkan mengalami kemunduran. Pikiran memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan kita. Oleh karena itu mari kita awasi pikiran kita agar kita tidak terus membuang-buang berkat yang telah disediakan Tuhan bagi kita. Bagaimana cara anda memandang hidup hari ini? Jangan biarkan pesimisme, keputus-asaan atau hal-hal negatif lainnya membelenggu pikiran anda. Tumbuhkan pikiran positif yang didalamnya penuh optimisme dan pengharapan, peganglah janji-janji Tuhan dan teruslah taat terhadap FirmanNya. Jangan luput memandang langkah-langkah kecil yang kita capai, itu akan membuat kita pada suatu ketika sampai pada tingkatan seperti yang telah direncanakan Tuhan sejak awal bagi kita masing-masing. Apa yang kita pikirkan akan sangat menentukan masa depan kita.
Berhasil tidaknya kita tergantung dari bagaimana kita menyikapinya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Kita perlu berhati-hati terhadap pola pikir kita. Terus menerus membiarkan diri kita berpikiran negatif bisa sangat buruk akibatnya. Itu akan menghilangkan segala potensi yang bisa kita raih, bisa menutupi peluang yang ada, bisa pula mematikan semangat perjuangan kita. Bahkan Alkitab dengan tegas berkata: "Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." (Ayub 3:25). Dan itu membuat kita bisa merasa seperti ini: "Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul." (ay 26). Apa yang kita takutkan, itulah yang terjadi. Jadilah seperti katamu, jadilah seperti yang kau kehendaki, jadilah seperti yang engkau percaya. Kita percaya kita akan berhasil? Itu akan menjadi bagian kita. Sebaliknya jika kita percaya bahwa kita akan gagal dan tidak akan pernah berhasil, maka itu pula yang akan terjadi. Dalam Amsal pun kita bisa melihat sebuah ayat yang berbunyi: "Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia." (Amsal 23:7). Dalam versi bahasa Inggrisnya lebih jelas: "For as he think in his heart, so is he." Dalam versi King James dikatakan: "For as he thinketh in his heart, so is he." Jelaslah bahwa kita harus berhati-hati dalam pikiran kita, karena masalahnya bukan berada pada Tuhan, tetapi kepada cara pandang kita terhadap hal-hal yang berkenaan dengan hidup kita sendiri.
Jika demikian, kemanakah sebaiknya pikiran kita dipusatkan, agar pikiran kita tetap sehat dan tidak terkontaminasi dengan berbagai pikiran negatif, jahat atau kotor? Daud berkata, "TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?" (Mazmur 27:1). Ayat ini berbicara mengenai kehidupan orang percaya yang berpusat pada Tuhan. Di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa selalu ada pengharapan dan keyakinan jika kita berpusat pada Tuhan. Dalam kesempatan lain, Tuhan Yesus berkata, "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu." (Yohanes 14:27). Yesus adalah harta kita terbesar, dan berpusat padaNya kita akan mendapat damai sejahtera Kristus, yang tidak akan pernah sama seperti yang dapat diberikan dunia pada kita.Marilah kita terus mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang positif dan tidak membiarkan berbagai hal negatif datang silih berganti atau malah tinggal diam di dalam pikiran kita. Isilah terus dengan damai sejahtera yang datang dari Allah, karena itulah yang akan mampu memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus."Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus." (Filipi 4:7) Segala pikiran negatif akan semakin menjauhkan kita dari Allah, menghilangkan damai dan sukacita dalam hidup kita dan akan membuat kita berjalan di tempat atau bahkan mengalami kemunduran. Pikiran memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan kita. Oleh karena itu mari kita awasi pikiran kita agar kita tidak terus membuang-buang berkat yang telah disediakan Tuhan bagi kita. Bagaimana cara anda memandang hidup hari ini? Jangan biarkan pesimisme, keputus-asaan atau hal-hal negatif lainnya membelenggu pikiran anda. Tumbuhkan pikiran positif yang didalamnya penuh optimisme dan pengharapan, peganglah janji-janji Tuhan dan teruslah taat terhadap FirmanNya. Jangan luput memandang langkah-langkah kecil yang kita capai, itu akan membuat kita pada suatu ketika sampai pada tingkatan seperti yang telah direncanakan Tuhan sejak awal bagi kita masing-masing. Apa yang kita pikirkan akan sangat menentukan masa depan kita.
Berhasil tidaknya kita tergantung dari bagaimana kita menyikapinya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, May 21, 2011
Pikiran Positif (1)
Ayat bacaan: Ayub 3:25
=================
"Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku."
Bersahabat atau tidakkah dunia ini bagi anda? Tanyakan kepada banyak orang, maka jawaban akan beragam. Ada yang menganggap ya, ada yang kadang-kadang, mungkin, tidak tahu atau akan menjawab sama sekali tidak. Ada banyak pula orang yang akan menyerahkan jawabannya tergantung situasi yang sedang mereka hadapi dari hari ke hari. Kadang bersahabat, kadang bermusuhan. Mereka mengira bahwa baik tidaknya perjalanan hidup ini hanyalah tergantung dari kehidupan yang mereka jalani. Biasanya orang yang berpikir seperti ini akan sangat mudah menyalahkan keadaan atau hal-hal lainnya, seperti orang lain, diri sendiri bahkan Tuhan. Kekecewaan akan timbul, mungkin pula berujung kepada trauma atau kepahitan, dan mereka pun bisa berhenti berjuang. Saya mengenal beberapa orang dengan pola pemikiran seperti ini. Bahkan saya sendiri pun dulu memiliki pandangan yang sama. Tetapi belakangan setelah saya bertobat, saya mulai mempelajari banyak hal mengenai hal ini dari sudut pandang Tuhan seperti yang banyak dicatat dalam Alkitab. Saya akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa semua itu bukanlah tergantung dari keadaan hari per hari yang kita jalani, tetapi tergantung dari pikiran kita. Apakah pikiran kita selaras dan taat kepada Tuhan atau tidak, itu akan menuju pada salah satu kutub, apakah kita berada di kutub positive thinking yang penuh optimisme atau kita terus berada pada sisi negative thinking yang sarat dengan pesimisme.
Alkitab sebenarnya sudah berulang kali menyatakan ini dalam banyak kesempatan. Lihatlah ayat pembuka kitab Mazmur. Disini Firman Tuhan sudah mengingatkan kita untuk terus mendasarkan hidup kita secara patuh kepada Firman Tuhan. Jika itu dilakukan, maka Alkitab berkata: "Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:3). Kata berhasil tentu kedengarannya sangat indah, bahkan bisa jadi terlalu muluk buat sebagian orang. Jika Tuhan menjanjikan itu, mana buktinya? Bisa jadi itu menjadi respon dari mereka yang merasa hidupnya masih jauh dari janji itu. Kita bisa mempertanyakan hal yang sama apabila kita terus memandang keberhasilan hanya dari sudut yang sangat sempit. Mengukurnya dari pendapatan, status, karir atau ukuran-ukuran lain seperti yang dijadikan acuan oleh dunia. Tetapi ingatlah bahwa keberhasilan sesungguhnya harus kita lihat dari sudut pandang yang jauh lebih besar daripada itu. Saya hari ini masih jauh dari apa yang disebut orang sebagai kaya raya. Berbagai perasaan kecewa terhadap orang-orang yang tidak menghargai jerih payah saya pun saya rasakan, seperti halnya anda mungkin pernah juga merasakannya. Tapi saya menolak untuk patah semangat apalagi kehilangan sukacita. Bagi saya, ketika saya masih sanggup meningkatkan performa saya dalam bekerja, dalam status sebagai kepala rumah tangga, dalam bersosialisasi, ketika saya masih memiliki tenaga, kesehatan dan masih kuat untuk berkarya, ketika peluang-peluang masih sangat banyak di depan mata, dan terlebih ketika saya merasakan kehadiran Tuhan terus meneguhkan dalam setiap langkah, bukankah itu semua merupakan sebuah keberhasilan juga? Pencapaian-pencapaian sesungguhnya tetap ada, tetapi seringkali itu luput dari pandangan kita karena kita hanya menilai keberhasilan secara sempit menurut tolok ukur kita sendiri. Taruhlah penghasilan secara materi belum juga memadai, tetapi perkembangan-perkembangan kecil yang ada dalam usaha kita, bukankah itu pun merupakan keberhasilan? Atau setidaknya kita masih punya kesempatan untuk berjuang, itupun merupakan sesuatu yang seharusnya kita syukuri.
Yusuf bisa menjadi contoh nyata bagaimana pandangan dunia sangat berbeda dari pandangannya yang selaras dengan pandangan Tuhan. Perjalanan hidup Yusuf tidaklah mulus. Berbagai penderitaan harus ia hadapi sebelum ia menggenapi rencana Tuhan baginya. Di mata dunia, tidak satupun hal baik yang ia alami. Ia hampir mati dijebloskan ke sumur, ia dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya sendiri, ia difitnah istri majikannya, ia dipenjara bertahun-tahun. Apa yang bagus dari rangkaian hal itu? Dunia akan mengatakan, tidak ada. Tetapi perhatikan apa kata Alkitab: "Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.." (Kejadian 39:2). Meski berada dalam situasi sulit, keberhasilan demi keberhasilan "kecil" terus ada bersamanya, dan itu karena Tuhan senantiasa menyertainya. Itu bisa tidak terlihat oleh kita ketika kita terlalu sibuk memandang hanya kepada permasalahan dan hanya mengakui keberhasilan menurut apa yang kita pikirkan. Yusuf tidak memandang seperti itu. Kita bisa melihat imannya yang sanggup membuatnya terus berjalan tanpa putus asa meski situasi secara umum tidak kondusif.
Berulang kali di dalam Alkitab kita menjumpai kata-kata seperti: "Jadilah seperti perkataanmu" atau yang senada dengan itu. Lihat contohnya ketika bangsa Mesir terkena tulah katak. Bayangkan seluruh negeri dipenuhi jutaan atau mungkin milyaran ekor katak, terserak dimana-mana akibat kerasnya hati Firaun. Ia pun memanggil Musa untuk memohon kepada Tuhan agar semua katak-katak itu lenyap. Musa sesungguhnya telah memberi kesempatan untuk melenyapkan semuanya saat itu juga. "Kata Musa kepada Firaun: "Silakanlah tuanku katakan kepadaku, bila aku akan berdoa untukmu, untuk pegawaimu dan rakyatmu, supaya katak-katak itu dilenyapkan dari padamu dan dari rumah-rumahmu, dan hanya tinggal di sungai Nil saja." (ay 9). Tapi apa kata Firaun? "Katanya: "Besok." (ay 10a). Kita tidak tahu mengapa ia malah memilih untuk menunggu sehari lagi bersama lautan katak itu ketimbang sesegera mungkin melenyapkan semuanya saat diberi kesempatan. Tapi itulah jawabannya. Dan lihatlah reaksi Musa selanjutnya. "Lalu kata Musa: "Jadilah seperti katamu itu, supaya tuanku mengetahui, bahwa tidak ada yang seperti TUHAN, Allah kami." (ay 10). Jadilah seperti katamu itu, demikianlah yang terjadi. Dalam kesempatan lain kita pun kembali menjumpai kata-kata ini dalam kesempatan yang berbeda. Seorang perwira tinggi Roma yang menjumpai Yesus di Kapernaum datang meminta tolong kepadaNya untuk kesembuhan hambanya yang tengah terbaring di rumah. Ia percaya bahwa meski Yesus tidak menumpangkan tanganNya secara langsung menyentuh sang hamba, hambanya itu akan sembuh jika Tuhan menyatakan itu dari jauh. Dan tepatnya itulah yang terjadi. "Lalu Yesus berkata kepada perwira itu: "Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya." Maka pada saat itu juga sembuhlah hambanya." (Matius 8:13)...(bersambung)
=================
"Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku."
Bersahabat atau tidakkah dunia ini bagi anda? Tanyakan kepada banyak orang, maka jawaban akan beragam. Ada yang menganggap ya, ada yang kadang-kadang, mungkin, tidak tahu atau akan menjawab sama sekali tidak. Ada banyak pula orang yang akan menyerahkan jawabannya tergantung situasi yang sedang mereka hadapi dari hari ke hari. Kadang bersahabat, kadang bermusuhan. Mereka mengira bahwa baik tidaknya perjalanan hidup ini hanyalah tergantung dari kehidupan yang mereka jalani. Biasanya orang yang berpikir seperti ini akan sangat mudah menyalahkan keadaan atau hal-hal lainnya, seperti orang lain, diri sendiri bahkan Tuhan. Kekecewaan akan timbul, mungkin pula berujung kepada trauma atau kepahitan, dan mereka pun bisa berhenti berjuang. Saya mengenal beberapa orang dengan pola pemikiran seperti ini. Bahkan saya sendiri pun dulu memiliki pandangan yang sama. Tetapi belakangan setelah saya bertobat, saya mulai mempelajari banyak hal mengenai hal ini dari sudut pandang Tuhan seperti yang banyak dicatat dalam Alkitab. Saya akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa semua itu bukanlah tergantung dari keadaan hari per hari yang kita jalani, tetapi tergantung dari pikiran kita. Apakah pikiran kita selaras dan taat kepada Tuhan atau tidak, itu akan menuju pada salah satu kutub, apakah kita berada di kutub positive thinking yang penuh optimisme atau kita terus berada pada sisi negative thinking yang sarat dengan pesimisme.
Alkitab sebenarnya sudah berulang kali menyatakan ini dalam banyak kesempatan. Lihatlah ayat pembuka kitab Mazmur. Disini Firman Tuhan sudah mengingatkan kita untuk terus mendasarkan hidup kita secara patuh kepada Firman Tuhan. Jika itu dilakukan, maka Alkitab berkata: "Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:3). Kata berhasil tentu kedengarannya sangat indah, bahkan bisa jadi terlalu muluk buat sebagian orang. Jika Tuhan menjanjikan itu, mana buktinya? Bisa jadi itu menjadi respon dari mereka yang merasa hidupnya masih jauh dari janji itu. Kita bisa mempertanyakan hal yang sama apabila kita terus memandang keberhasilan hanya dari sudut yang sangat sempit. Mengukurnya dari pendapatan, status, karir atau ukuran-ukuran lain seperti yang dijadikan acuan oleh dunia. Tetapi ingatlah bahwa keberhasilan sesungguhnya harus kita lihat dari sudut pandang yang jauh lebih besar daripada itu. Saya hari ini masih jauh dari apa yang disebut orang sebagai kaya raya. Berbagai perasaan kecewa terhadap orang-orang yang tidak menghargai jerih payah saya pun saya rasakan, seperti halnya anda mungkin pernah juga merasakannya. Tapi saya menolak untuk patah semangat apalagi kehilangan sukacita. Bagi saya, ketika saya masih sanggup meningkatkan performa saya dalam bekerja, dalam status sebagai kepala rumah tangga, dalam bersosialisasi, ketika saya masih memiliki tenaga, kesehatan dan masih kuat untuk berkarya, ketika peluang-peluang masih sangat banyak di depan mata, dan terlebih ketika saya merasakan kehadiran Tuhan terus meneguhkan dalam setiap langkah, bukankah itu semua merupakan sebuah keberhasilan juga? Pencapaian-pencapaian sesungguhnya tetap ada, tetapi seringkali itu luput dari pandangan kita karena kita hanya menilai keberhasilan secara sempit menurut tolok ukur kita sendiri. Taruhlah penghasilan secara materi belum juga memadai, tetapi perkembangan-perkembangan kecil yang ada dalam usaha kita, bukankah itu pun merupakan keberhasilan? Atau setidaknya kita masih punya kesempatan untuk berjuang, itupun merupakan sesuatu yang seharusnya kita syukuri.
Yusuf bisa menjadi contoh nyata bagaimana pandangan dunia sangat berbeda dari pandangannya yang selaras dengan pandangan Tuhan. Perjalanan hidup Yusuf tidaklah mulus. Berbagai penderitaan harus ia hadapi sebelum ia menggenapi rencana Tuhan baginya. Di mata dunia, tidak satupun hal baik yang ia alami. Ia hampir mati dijebloskan ke sumur, ia dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya sendiri, ia difitnah istri majikannya, ia dipenjara bertahun-tahun. Apa yang bagus dari rangkaian hal itu? Dunia akan mengatakan, tidak ada. Tetapi perhatikan apa kata Alkitab: "Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.." (Kejadian 39:2). Meski berada dalam situasi sulit, keberhasilan demi keberhasilan "kecil" terus ada bersamanya, dan itu karena Tuhan senantiasa menyertainya. Itu bisa tidak terlihat oleh kita ketika kita terlalu sibuk memandang hanya kepada permasalahan dan hanya mengakui keberhasilan menurut apa yang kita pikirkan. Yusuf tidak memandang seperti itu. Kita bisa melihat imannya yang sanggup membuatnya terus berjalan tanpa putus asa meski situasi secara umum tidak kondusif.
Berulang kali di dalam Alkitab kita menjumpai kata-kata seperti: "Jadilah seperti perkataanmu" atau yang senada dengan itu. Lihat contohnya ketika bangsa Mesir terkena tulah katak. Bayangkan seluruh negeri dipenuhi jutaan atau mungkin milyaran ekor katak, terserak dimana-mana akibat kerasnya hati Firaun. Ia pun memanggil Musa untuk memohon kepada Tuhan agar semua katak-katak itu lenyap. Musa sesungguhnya telah memberi kesempatan untuk melenyapkan semuanya saat itu juga. "Kata Musa kepada Firaun: "Silakanlah tuanku katakan kepadaku, bila aku akan berdoa untukmu, untuk pegawaimu dan rakyatmu, supaya katak-katak itu dilenyapkan dari padamu dan dari rumah-rumahmu, dan hanya tinggal di sungai Nil saja." (ay 9). Tapi apa kata Firaun? "Katanya: "Besok." (ay 10a). Kita tidak tahu mengapa ia malah memilih untuk menunggu sehari lagi bersama lautan katak itu ketimbang sesegera mungkin melenyapkan semuanya saat diberi kesempatan. Tapi itulah jawabannya. Dan lihatlah reaksi Musa selanjutnya. "Lalu kata Musa: "Jadilah seperti katamu itu, supaya tuanku mengetahui, bahwa tidak ada yang seperti TUHAN, Allah kami." (ay 10). Jadilah seperti katamu itu, demikianlah yang terjadi. Dalam kesempatan lain kita pun kembali menjumpai kata-kata ini dalam kesempatan yang berbeda. Seorang perwira tinggi Roma yang menjumpai Yesus di Kapernaum datang meminta tolong kepadaNya untuk kesembuhan hambanya yang tengah terbaring di rumah. Ia percaya bahwa meski Yesus tidak menumpangkan tanganNya secara langsung menyentuh sang hamba, hambanya itu akan sembuh jika Tuhan menyatakan itu dari jauh. Dan tepatnya itulah yang terjadi. "Lalu Yesus berkata kepada perwira itu: "Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya." Maka pada saat itu juga sembuhlah hambanya." (Matius 8:13)...(bersambung)
Friday, May 20, 2011
Kuasa di Balik Puji-Pujian
Ayat bacaan: Mazmur 22:4
====================
"Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel."
Nganggur salah, capai juga salah. Itu dirasakan banyak orang, termasuk saya yang sedang lelah-lelanya harus bolak balik ke ibukota untuk urusan pekerjaan, disamping timbunan deadline yang bagai air bah yang meluap membanjiri saya dalam sebulan terakhir. Itu belum termasuk mengajar yang bisa makan waktu hingga sehari penuh. Di tengah kelelahan terkadang saya tersenyum dan merasa geli sendiri, mengapa saya tiba-tiba merasa rindu terhadap kasur dan bantal yang tiba-tiba menjadi jarang bertemu dengan saya. Haruskah saya mengeluh jika deadline tengah padat-padatnya? Tentu tidak, karena saya masih ingat betul bagaimana rasanya ketika sedang tidak ada kerjaan. Saya harus lebih pintar mengatur waktu, karena tugas saya bukan hanya bekerja, tetapi ada keluarga yang harus diberi waktu yang cukup dan sebagainya. Mudah? Sama sekali tidak. Alangkah sulitnya malah, karena saya sering merasa seolah harus berdiri di atas beberapa dunia sekaligus, yang semuanya menuntut hal terbaik dari diri saya. Exhausted, burn out, extremely tired, but the show must go on. Saya tetap harus berbuat yang terbaik, dan disisi lain harus berhati-hati dengan menjaga kesehatan, karena di saat seperti ini tubuh akan sangat rentan dan lemah untuk diserang penyakit. Jika demikian rasanya kita butuh sesuatu yang bisa menguatkan kita, memberi tambahan tenaga, dorongan dan semangat. Adakah sesuatu yang seperti itu? Tentu saja. Pernahkah anda menyadari bahwa Tuhan telah menciptakan musik bagi kita, yang tidak saja hanya bisa dinikmati tetapi juga bisa dipakai untuk memuji Tuhan,Sang Pencipta segalanya? Musik bagi saya adalah salah satu berkat Tuhan yang terindah. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa hidup ini jika tidak ada musik. Dan bagi saya, musik bisa menjadi penghibur bahkan memberi kekuatan, apalagi lagu-lagu pujian. Karena itulah saya Sambil menulis saya menyanyi kecil, dan nyata benar Tuhan memberikan kekuatan agar saya bisa menyelesaikan tugas demi tugas, dan yang pasti Tuhan pun memberikan rasa sukacita disamping kelegaan dan kekuatan yang hadir lewat lagu-lagu pujian ini.
Ada kuasa dalam puji-pujian. Kita sering melupakan hal itu. Padahal Alkitab berulang kali mengingatkan kita mengenai kuasa yang begitu besar yang bersemayam di balik puji-pujian. Lihatlah bagaimana Gideon dengan prajurit berjumlah hanya 300 orang mampu menaklukkan musuh tak terhitung banyaknya, seperti belalang dan pasir di tepi laut, lewat puji-pujian dan gemuruh suara sangkakala seperti yang bisa kita baca dalam Hakim Hakim 7. Lalu perhatikan kisah ketika tembok Yerikho runtuh di hari ke tujuh setelah dikelilingi berhari-hari. Apa yang membuat tembok itu runtuh pada akhirnya tertulis di dalam Alkitab. Selain memang Allah sendiri yang telah menjanjikan, "Berfirmanlah TUHAN kepada Yosua: "Ketahuilah, Aku serahkan ke tanganmu Yerikho ini beserta rajanya dan pahlawan-pahlawannya yang gagah perkasa." (Yosua 6:2), tapi lihatlah bahwa pujian dan sorak sorai bagi Tuhan membuat tembok itu akhirnya runtuh. "Lalu bersoraklah bangsa itu, sedang sangkakala ditiup; segera sesudah bangsa itu mendengar bunyi sangkakala, bersoraklah mereka dengan sorak yang nyaring. Maka runtuhlah tembok itu, lalu mereka memanjat masuk ke dalam kota, masing-masing langsung ke depan, dan merebut kota itu." (ay 20). Lalu dalam Perjanjian Baru, kita bisa melihat ketika Paulus dan Silas yang tengah terpasung di dalam penjara memutuskan untuk tidak meratapi diri melainkan berdoa dan memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan. "Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka." (Kisah Para Rasul 16:25). Alkitab kemudian mencatat hadirnya gempa menyelamatkan mereka (ay 26). Bukan itu saja, tetapi keputusan mereka pun membawa pertobatan orang lain. (ay 30-33). Lihatlah bagaimana besarnya kuasa di balik puji-pujian, dan itu semua bisa terjadi karena ada Tuhan yang bertahta/bersemayam di atas puji-pujian. Itu dinyatakan jelas dalam kitab Mazmur: "Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel." (Mazmur 22:4).
Kelelahan sering kali begitu menyiksa kita, dan membuat kita kehilangan semangat untuk melakukan hal-hal lain termasuk tetap menyediakan waktu untuk merenungkan Firman Tuhan, bersekutu denganNya apalagi untuk menyanyikan puji-pujian dengan hati yang dipenuhi rasa syukur. Berbagai aktivitas atau pekerjaan yang melelahkan seringkali merampas sukacita dari dalam diri kita, dan kita pun semakin menjauh dari Tuhan. Akibatnya kita akan terus menjadi semakin lemah dan dalam keadaan demikian kita pun menjadi rentan terhadap berbagai penyakit dan juga banyak hal yang bisa berujung pada dosa. Padahal apa yang harus kita lakukan jelas. Tetap bersyukur dan tetap puji Tuhan, menyanyilah bagiNya meski ketika kondisi sedang tidak kondusif secara logika sekalipun, dan lihatlah bagaimana kuasa yang ada di balik puji-pujian ternyata mampu memberi kekuatan dan semangat baru bagi kita. Jika menyanyi saja sudah bisa menghibur kita, sebuah puji-pujian yang kita angkat dari lubuk hati yang terdalam mampu berperan lebih dari itu. Bukan saja kita memuliakan dan menyenangkan hati Tuhan lewat puji-pujian tulus dari hati kita, tetapi kita pun akan diberi kelegaan, kekuatan, semangat dan sukacita baru untuk terus melangkah melewati hari demi hari yang sulit. Adakah diantara teman-teman yang merasa bahwa tenaga sudah habis terkuras tetapi pekerjaan belum juga selesai? Adakah yang merasa kesal, sedih atau bahkan putus asa karena timbunan pekerjaan tidak juga ada habisnya, dan mungkin merasa bahwa apa yang anda dapatkan tidak kunjung sebanding dengan usaha yang telah anda keluarkan? Percayalah Tuhan tidak menutup mataNya. Dia adalah Bapa yang baik, yang sangat peduli dan mengasihi anak-anakNya. Jika demikian, maukah anda bernyanyi memuji Dia bersama dengan saya malam ini?
Praise the Lord no matter what, He will give you more than enough strength and spirit to overcome just about everything
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
====================
"Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel."
Nganggur salah, capai juga salah. Itu dirasakan banyak orang, termasuk saya yang sedang lelah-lelanya harus bolak balik ke ibukota untuk urusan pekerjaan, disamping timbunan deadline yang bagai air bah yang meluap membanjiri saya dalam sebulan terakhir. Itu belum termasuk mengajar yang bisa makan waktu hingga sehari penuh. Di tengah kelelahan terkadang saya tersenyum dan merasa geli sendiri, mengapa saya tiba-tiba merasa rindu terhadap kasur dan bantal yang tiba-tiba menjadi jarang bertemu dengan saya. Haruskah saya mengeluh jika deadline tengah padat-padatnya? Tentu tidak, karena saya masih ingat betul bagaimana rasanya ketika sedang tidak ada kerjaan. Saya harus lebih pintar mengatur waktu, karena tugas saya bukan hanya bekerja, tetapi ada keluarga yang harus diberi waktu yang cukup dan sebagainya. Mudah? Sama sekali tidak. Alangkah sulitnya malah, karena saya sering merasa seolah harus berdiri di atas beberapa dunia sekaligus, yang semuanya menuntut hal terbaik dari diri saya. Exhausted, burn out, extremely tired, but the show must go on. Saya tetap harus berbuat yang terbaik, dan disisi lain harus berhati-hati dengan menjaga kesehatan, karena di saat seperti ini tubuh akan sangat rentan dan lemah untuk diserang penyakit. Jika demikian rasanya kita butuh sesuatu yang bisa menguatkan kita, memberi tambahan tenaga, dorongan dan semangat. Adakah sesuatu yang seperti itu? Tentu saja. Pernahkah anda menyadari bahwa Tuhan telah menciptakan musik bagi kita, yang tidak saja hanya bisa dinikmati tetapi juga bisa dipakai untuk memuji Tuhan,Sang Pencipta segalanya? Musik bagi saya adalah salah satu berkat Tuhan yang terindah. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa hidup ini jika tidak ada musik. Dan bagi saya, musik bisa menjadi penghibur bahkan memberi kekuatan, apalagi lagu-lagu pujian. Karena itulah saya Sambil menulis saya menyanyi kecil, dan nyata benar Tuhan memberikan kekuatan agar saya bisa menyelesaikan tugas demi tugas, dan yang pasti Tuhan pun memberikan rasa sukacita disamping kelegaan dan kekuatan yang hadir lewat lagu-lagu pujian ini.
Ada kuasa dalam puji-pujian. Kita sering melupakan hal itu. Padahal Alkitab berulang kali mengingatkan kita mengenai kuasa yang begitu besar yang bersemayam di balik puji-pujian. Lihatlah bagaimana Gideon dengan prajurit berjumlah hanya 300 orang mampu menaklukkan musuh tak terhitung banyaknya, seperti belalang dan pasir di tepi laut, lewat puji-pujian dan gemuruh suara sangkakala seperti yang bisa kita baca dalam Hakim Hakim 7. Lalu perhatikan kisah ketika tembok Yerikho runtuh di hari ke tujuh setelah dikelilingi berhari-hari. Apa yang membuat tembok itu runtuh pada akhirnya tertulis di dalam Alkitab. Selain memang Allah sendiri yang telah menjanjikan, "Berfirmanlah TUHAN kepada Yosua: "Ketahuilah, Aku serahkan ke tanganmu Yerikho ini beserta rajanya dan pahlawan-pahlawannya yang gagah perkasa." (Yosua 6:2), tapi lihatlah bahwa pujian dan sorak sorai bagi Tuhan membuat tembok itu akhirnya runtuh. "Lalu bersoraklah bangsa itu, sedang sangkakala ditiup; segera sesudah bangsa itu mendengar bunyi sangkakala, bersoraklah mereka dengan sorak yang nyaring. Maka runtuhlah tembok itu, lalu mereka memanjat masuk ke dalam kota, masing-masing langsung ke depan, dan merebut kota itu." (ay 20). Lalu dalam Perjanjian Baru, kita bisa melihat ketika Paulus dan Silas yang tengah terpasung di dalam penjara memutuskan untuk tidak meratapi diri melainkan berdoa dan memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan. "Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka." (Kisah Para Rasul 16:25). Alkitab kemudian mencatat hadirnya gempa menyelamatkan mereka (ay 26). Bukan itu saja, tetapi keputusan mereka pun membawa pertobatan orang lain. (ay 30-33). Lihatlah bagaimana besarnya kuasa di balik puji-pujian, dan itu semua bisa terjadi karena ada Tuhan yang bertahta/bersemayam di atas puji-pujian. Itu dinyatakan jelas dalam kitab Mazmur: "Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel." (Mazmur 22:4).
Kelelahan sering kali begitu menyiksa kita, dan membuat kita kehilangan semangat untuk melakukan hal-hal lain termasuk tetap menyediakan waktu untuk merenungkan Firman Tuhan, bersekutu denganNya apalagi untuk menyanyikan puji-pujian dengan hati yang dipenuhi rasa syukur. Berbagai aktivitas atau pekerjaan yang melelahkan seringkali merampas sukacita dari dalam diri kita, dan kita pun semakin menjauh dari Tuhan. Akibatnya kita akan terus menjadi semakin lemah dan dalam keadaan demikian kita pun menjadi rentan terhadap berbagai penyakit dan juga banyak hal yang bisa berujung pada dosa. Padahal apa yang harus kita lakukan jelas. Tetap bersyukur dan tetap puji Tuhan, menyanyilah bagiNya meski ketika kondisi sedang tidak kondusif secara logika sekalipun, dan lihatlah bagaimana kuasa yang ada di balik puji-pujian ternyata mampu memberi kekuatan dan semangat baru bagi kita. Jika menyanyi saja sudah bisa menghibur kita, sebuah puji-pujian yang kita angkat dari lubuk hati yang terdalam mampu berperan lebih dari itu. Bukan saja kita memuliakan dan menyenangkan hati Tuhan lewat puji-pujian tulus dari hati kita, tetapi kita pun akan diberi kelegaan, kekuatan, semangat dan sukacita baru untuk terus melangkah melewati hari demi hari yang sulit. Adakah diantara teman-teman yang merasa bahwa tenaga sudah habis terkuras tetapi pekerjaan belum juga selesai? Adakah yang merasa kesal, sedih atau bahkan putus asa karena timbunan pekerjaan tidak juga ada habisnya, dan mungkin merasa bahwa apa yang anda dapatkan tidak kunjung sebanding dengan usaha yang telah anda keluarkan? Percayalah Tuhan tidak menutup mataNya. Dia adalah Bapa yang baik, yang sangat peduli dan mengasihi anak-anakNya. Jika demikian, maukah anda bernyanyi memuji Dia bersama dengan saya malam ini?
Praise the Lord no matter what, He will give you more than enough strength and spirit to overcome just about everything
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, May 19, 2011
Menjaga Nama Baik
Ayat bacaan: Amsal 22:1
=======================
"Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas."
Tidak ada orang yang bermimpi untuk hidup miskin. Jika bisa, tentu kita semua ingin hidup tanpa harus menghemat mati-matian. Kita bekerja banting tulang seharian bukan hanya ingin untuk hidup pas-pasan atau malah kekurangan. Semua orang ingin bisa menikmati hidup, dan banyak orang percaya kenikmatan hidup itu berasal dari kekayaan. Uang dipercaya banyak orang bisa mendatangkan kebahagiaan. Karena pola pikir yang sudah mendarah daging di dunia inilah kemudian banyak orang yang rela melakukan apapun agar bisa memperoleh uang lebih dari ala kadarnya. Anak-anak remaja wanita banyak yang rela menjual kehormatannya agar memiliki uang yang banyak untuk bisa hidup dalam kemewahan. Orang melakukan korupsi tanpa memikirkan resiko. Harga diri dan nama baik atau kehormatan keluarga pun tidak lagi dipandang sebagai sebuah hal yang penting kalau sudah bicara soal uang. Betapa ironisnya ketika orang tua bersusah payah membesarkan anak-anaknya agar mampu hidup dengan baik di masyarakat dan berbakti kepada mereka, tetapi kemudian anak-anaknya malah melukai hati mereka dengan melakukan berbagai tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Seringkali konsekuensi dari perilaku yang tidak benar tidak hanya harus ditanggung si pelaku, tapi lebih luas lagi juga akan mengenai keluarga dan orang tuanya. Tidak hanya dalam keluarga, tapi di dalam pekerjaan pun orang akan dituntut untuk menjaga nama baik dan martabat tempatnya bekerja. Sering kita lihat bahwa satu-dua orang melakukan tindakan keliru, maka instansi/lembaga/perusahaan atau badan di mana ia bekerja akan mendapat cap negatif dari masyarakat. Tapi gemerincing uang membuat banyak orang lupa diri dan tidak lagi mampu berpikir jernih.
Uang mendatangkan kebahagiaan, itu kata dunia. Tetapi Alkitab dengan tegas menyatakan hal sebaliknya. Lewat Salomo yang penuh hikmat kita bisa mendapatkan ayat yang menyinggung perihal itu. Ia berkata bahwa "nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas." (Amsal 22:1). Sekaya apapun seseorang, namun jika ia dibenci orang, semuanya tidak akan berarti. Bukan saja diri si pelaku korupsi yang akan susah, tetapi keluarga dan orang tuanya pun akan terkena dampak pula dari perilaku mereka. Banyak orang lupa menjaga nama baik demi mengejar harta, dan pada akhirnya penyesalan lah yang mereka dapati. Betapa mereka telah mempermalukan keluarga, mencoreng dan mencemarkan nama baik keluarga yang mereka sandang. Selain hukuman di dunia bisa menjadi konsekuensinya, hukuman berat pun akan datang dari Tuhan yang sangat membenci sikap seperti ini. Safira dan Ananias dalam Kisah Para Rasul 5 seharusnya bisa menjadi contoh bagi kita. Tidak salah jika kita ingin kaya, tetapi perhatikan benar caranya dan untuk apa itu kita inginkan. Karena biar sekaya apapun kita, itu tidak akan pernah lebih berharga dari menjaga nama baik kita dan keluarga. Buat apa kaya harta tetapi kemudian dikecam dan dibenci banyak orang?
Jangan lupa pula bahwa selain menjadi anak dari orang tua kita, dan menyandang nama keluarga, kita juga menyandang status sebagai anak Allah. Allah mengasihi kita sebagai anak-anakNya, Dia telah memberikan begitu banyak berkat dan karunia agar kita mampu untuk hidup ditengah-tengah dunia yang sulit ini, dan berbagai kemampuan untuk hidup benar. Yohanes menyadari benar akan hal itu. "Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah.." (1 Yoh 3:1). Karena itu sebagai anak Bapa, tentu kita pun harus menjaga nama baikNya. Bayangkan apa yang terjadi jika kita mengaku sebagai anak Tuhan tapi kelakuan kita jauh dari firman-Nya, jauh dari mencerminkan pribadiNya. Bukannya menjadi teladan tetapi malah sebaliknya menjadi batu sandungan bagi orang disekeliling kita. Secara tidak langsung kita menghalangi orang untuk mengenal pribadi Tuhan yang benar. Sebaliknya, jika kita bisa menjadi teladan, terang dan garam bagi orang lain, tentu disana nama Tuhan akan dipermuliakan. Dan itulah yang harus kita lakukan, sebagai orang yang menyandang predikat sebagai anak Tuhan. Kalau belum apa-apa kita sudah menuai kebencian dari orang lain akibat perilaku-perilaku kita yang kurang terpuji, bagaimana mungkin kita bisa menjadi teladan bagi banyak orang? Bukan saja kita yang kena, tetapi nama Tuhan pun bisa tercoreng namaNya gara-gara perilaku kita yang tidak terpuji. Dan itu akan fatal akibatnya.
Dalam satu dari 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Musa, Dia sudah mengingatkan kita untuk menghormati orang tua kita. "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Ulangan 5:16). Di mata Tuhan, menjaga kehormatan orang tua sangatlah penting. Dengan demikian, sangat penting juga bagi kita untuk menjaga kekudusan dan hidup benar sesuai firman Tuhan untuk menjaga nama baik Bapa di surga. Kita harus senantiasa menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan kita agar kita tidak mencemarkan nama Tuhan dan memberi pemahaman yang salah tentang bagaimana Kristus mengasihi manusia. Janganlah kita menjadi batu sandungan yang malah semakin menjauhkan orang lain untuk mengenal Kristus. Sebagai anak Allah, haruslah kita mencerminkan pribadi Allah sesungguhnya, bahkan kita dituntut untuk terus berproses menuju sempurna seperti Bapa. "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Mat 5:48)
Tuhan Yesus sudah mengingatkan sejak jauh hari: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya." (Markus 8:36). Kekayaan tidak akan pernah mampu memberikan kebahagiaan sepenuhnya. Dalam waktu singkat mungkin bisa, tetapi itu tidaklah sebanding dengan nyawa yang kita buang selamanya demi kenikmataan sesaat. Kaya raya tapi dibenci orang lain itu sesungguhnya amatlah menyedihkan. Saya sudah bertemu dengan beberapa orang seperti ini dan lewat mereka saya mendengar sendiri kesedihan hidup dalam kesepian akibat dibenci banyak orang tidak akan bisa terobati dengan harta sebesar atau sebanyak apapun. Tidaklah salah untuk bisa menjadi kaya, tetapi kita harus benar-benar memperhatikan cara-cara yang kita buat untuk memperolehnya. Bekerja dan berusahalah dengan jujur, lakukan semuanya dengan sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan. Muliakan Tuhan dengan segala yang kita lakukan, teruslah berbuat baik dan tolonglah orang-orang yang kesusahan semampu kita. Tuhan sanggup melimpahkan semuanya tanpa kita harus menggadaikan kehormatan, nama baik keluarga atau malah mengorbankan keselamatan kita.
Menjaga nama baik keluarga terlebih nama baik Tuhan jauh lebih penting dari harta sebesar apapun
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=======================
"Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas."
Tidak ada orang yang bermimpi untuk hidup miskin. Jika bisa, tentu kita semua ingin hidup tanpa harus menghemat mati-matian. Kita bekerja banting tulang seharian bukan hanya ingin untuk hidup pas-pasan atau malah kekurangan. Semua orang ingin bisa menikmati hidup, dan banyak orang percaya kenikmatan hidup itu berasal dari kekayaan. Uang dipercaya banyak orang bisa mendatangkan kebahagiaan. Karena pola pikir yang sudah mendarah daging di dunia inilah kemudian banyak orang yang rela melakukan apapun agar bisa memperoleh uang lebih dari ala kadarnya. Anak-anak remaja wanita banyak yang rela menjual kehormatannya agar memiliki uang yang banyak untuk bisa hidup dalam kemewahan. Orang melakukan korupsi tanpa memikirkan resiko. Harga diri dan nama baik atau kehormatan keluarga pun tidak lagi dipandang sebagai sebuah hal yang penting kalau sudah bicara soal uang. Betapa ironisnya ketika orang tua bersusah payah membesarkan anak-anaknya agar mampu hidup dengan baik di masyarakat dan berbakti kepada mereka, tetapi kemudian anak-anaknya malah melukai hati mereka dengan melakukan berbagai tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Seringkali konsekuensi dari perilaku yang tidak benar tidak hanya harus ditanggung si pelaku, tapi lebih luas lagi juga akan mengenai keluarga dan orang tuanya. Tidak hanya dalam keluarga, tapi di dalam pekerjaan pun orang akan dituntut untuk menjaga nama baik dan martabat tempatnya bekerja. Sering kita lihat bahwa satu-dua orang melakukan tindakan keliru, maka instansi/lembaga/perusahaan atau badan di mana ia bekerja akan mendapat cap negatif dari masyarakat. Tapi gemerincing uang membuat banyak orang lupa diri dan tidak lagi mampu berpikir jernih.
Uang mendatangkan kebahagiaan, itu kata dunia. Tetapi Alkitab dengan tegas menyatakan hal sebaliknya. Lewat Salomo yang penuh hikmat kita bisa mendapatkan ayat yang menyinggung perihal itu. Ia berkata bahwa "nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas." (Amsal 22:1). Sekaya apapun seseorang, namun jika ia dibenci orang, semuanya tidak akan berarti. Bukan saja diri si pelaku korupsi yang akan susah, tetapi keluarga dan orang tuanya pun akan terkena dampak pula dari perilaku mereka. Banyak orang lupa menjaga nama baik demi mengejar harta, dan pada akhirnya penyesalan lah yang mereka dapati. Betapa mereka telah mempermalukan keluarga, mencoreng dan mencemarkan nama baik keluarga yang mereka sandang. Selain hukuman di dunia bisa menjadi konsekuensinya, hukuman berat pun akan datang dari Tuhan yang sangat membenci sikap seperti ini. Safira dan Ananias dalam Kisah Para Rasul 5 seharusnya bisa menjadi contoh bagi kita. Tidak salah jika kita ingin kaya, tetapi perhatikan benar caranya dan untuk apa itu kita inginkan. Karena biar sekaya apapun kita, itu tidak akan pernah lebih berharga dari menjaga nama baik kita dan keluarga. Buat apa kaya harta tetapi kemudian dikecam dan dibenci banyak orang?
Jangan lupa pula bahwa selain menjadi anak dari orang tua kita, dan menyandang nama keluarga, kita juga menyandang status sebagai anak Allah. Allah mengasihi kita sebagai anak-anakNya, Dia telah memberikan begitu banyak berkat dan karunia agar kita mampu untuk hidup ditengah-tengah dunia yang sulit ini, dan berbagai kemampuan untuk hidup benar. Yohanes menyadari benar akan hal itu. "Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah.." (1 Yoh 3:1). Karena itu sebagai anak Bapa, tentu kita pun harus menjaga nama baikNya. Bayangkan apa yang terjadi jika kita mengaku sebagai anak Tuhan tapi kelakuan kita jauh dari firman-Nya, jauh dari mencerminkan pribadiNya. Bukannya menjadi teladan tetapi malah sebaliknya menjadi batu sandungan bagi orang disekeliling kita. Secara tidak langsung kita menghalangi orang untuk mengenal pribadi Tuhan yang benar. Sebaliknya, jika kita bisa menjadi teladan, terang dan garam bagi orang lain, tentu disana nama Tuhan akan dipermuliakan. Dan itulah yang harus kita lakukan, sebagai orang yang menyandang predikat sebagai anak Tuhan. Kalau belum apa-apa kita sudah menuai kebencian dari orang lain akibat perilaku-perilaku kita yang kurang terpuji, bagaimana mungkin kita bisa menjadi teladan bagi banyak orang? Bukan saja kita yang kena, tetapi nama Tuhan pun bisa tercoreng namaNya gara-gara perilaku kita yang tidak terpuji. Dan itu akan fatal akibatnya.
Dalam satu dari 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Musa, Dia sudah mengingatkan kita untuk menghormati orang tua kita. "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Ulangan 5:16). Di mata Tuhan, menjaga kehormatan orang tua sangatlah penting. Dengan demikian, sangat penting juga bagi kita untuk menjaga kekudusan dan hidup benar sesuai firman Tuhan untuk menjaga nama baik Bapa di surga. Kita harus senantiasa menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan kita agar kita tidak mencemarkan nama Tuhan dan memberi pemahaman yang salah tentang bagaimana Kristus mengasihi manusia. Janganlah kita menjadi batu sandungan yang malah semakin menjauhkan orang lain untuk mengenal Kristus. Sebagai anak Allah, haruslah kita mencerminkan pribadi Allah sesungguhnya, bahkan kita dituntut untuk terus berproses menuju sempurna seperti Bapa. "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Mat 5:48)
Tuhan Yesus sudah mengingatkan sejak jauh hari: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya." (Markus 8:36). Kekayaan tidak akan pernah mampu memberikan kebahagiaan sepenuhnya. Dalam waktu singkat mungkin bisa, tetapi itu tidaklah sebanding dengan nyawa yang kita buang selamanya demi kenikmataan sesaat. Kaya raya tapi dibenci orang lain itu sesungguhnya amatlah menyedihkan. Saya sudah bertemu dengan beberapa orang seperti ini dan lewat mereka saya mendengar sendiri kesedihan hidup dalam kesepian akibat dibenci banyak orang tidak akan bisa terobati dengan harta sebesar atau sebanyak apapun. Tidaklah salah untuk bisa menjadi kaya, tetapi kita harus benar-benar memperhatikan cara-cara yang kita buat untuk memperolehnya. Bekerja dan berusahalah dengan jujur, lakukan semuanya dengan sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan. Muliakan Tuhan dengan segala yang kita lakukan, teruslah berbuat baik dan tolonglah orang-orang yang kesusahan semampu kita. Tuhan sanggup melimpahkan semuanya tanpa kita harus menggadaikan kehormatan, nama baik keluarga atau malah mengorbankan keselamatan kita.
Menjaga nama baik keluarga terlebih nama baik Tuhan jauh lebih penting dari harta sebesar apapun
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Wednesday, May 18, 2011
Buah Yang Asam
Ayat bacaan: Yesaya 5:4
=======================
"Apatah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam?"
Harga buah bisa terlihat cukup mahal bagi kita yang punya pendapatan pas-pasan. Bayangkan apabila dengan harga yang terasa mahal itu kita bukannya mendapatkan buah yang baik tetapi malah yang asam, atau malah busuk di dalamnya. Misalnya ketika anda membeli sekilo jeruk. Dari luar jeruk-jeruk itu mungkin terlihat mulus tanpa adanya cacat. Tetapi ketika dibuka, anda hanya mendapatkan buah jeruk yang tidak termakan saking asamnya. Kalau satu atau dua mungkin masih wajar, tetapi bagaimana jika sebagian besar seperti itu, atau malah semuanya? Mungkin kita akan mengomel atau mendatangi kembali penjualnya untuk memarahi mereka. Bagi kita yang awam, kita bisa tertipu oleh penampilan luar buah. Dari luar mungkin terlihat bagus, tetapi ternyata setelah dibuka tidak bisa dinikmati sama sekali.
Hari ini saya memilih mengenai anggur yang asam sebagai ayat bacaan kita. Dalam kebanyakan ayat-ayat di Alkitab, pohon anggur biasanya berbicara mengenai segala sesuatu yang baik. Tetapi ayat diatas menggambarkan sesuatu yang sebaliknya. Kita bisa mulai dari perikop pertama dalam Yesaya pasal 5. Disana ada sebuah kisah mengenai kebun anggur yang ternyata menghasilkan buah-buahnya yang asam. Sang pemilik kebun dengan rajin mengurus kebun. "Ia mencangkulnya dan membuang batu-batunya, dan menanaminya dengan pokok anggur pilihan; ia mendirikan sebuah menara jaga ditengah - tengahnya dan menggali lobang tempat memeras anggur; lalu dinantinya supaya kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik.."(ay 2). Namun apa hasil yang didapat? "...tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam." Ayat ini menggambarkan Tuhan sebagai Sang Pemilik kebun, dan anak-anakNya digambarkan sebagai pohon-pohon anggur yang tertanam disana. Secara lebih spesifik, ayat-ayat ini berbicara tentang pertobatan yang menghasilkan buah. Ketika kita bertobat dengan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi kita, seharusnya kita menjadi sebuah ciptaan baru yang terus tumbuh dan berbuah. Namun dalam perjalanannya, ada banyak dari kita yang ternyata kembali pada kebiasaan lama yang buruk. Ada yang dari luar tampak baik, namun ternyata hatinya jahat Setelah bertobat dan menerima Kristus bukannya berbuat kasih, namun malah menipu, jahat, berbuat keonaran dan menjadi batu sandungan dimana-mana. Inilah buah-buah anggur asam itu. Lihatlah betapa ironisnya, ketika "Sang Pemilik Kebun" begitu setia dan rajin memelihara "kebun"Nya dengan penuh kasih dan perhatian, tapi ternyata bukan buah yang baik yang dihasilkan pohon-pohon tersebut, melainkan buah yang asam. Maka bisa dimaklumi jika "Pemilik kebun" menjadi kecewa. "Apatah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam?" (ay 4). Apa yang kemudian terjadi bagi pohon-pohon dengan buah-buah asam ini berat konsekuensinya. Kita bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada ayat berikutnya. "Maka sekarang, Aku mau memberitahukan kepadamu apa yang hendak Kulakukan kepada kebun anggur-Ku itu: Aku akan menebang pagar durinya, sehingga kebun itu dimakan habis, dan melanda temboknya, sehingga kebun itu diinjak-injak; Aku akan membuatnya ditumbuhi semak-semak, tidak dirantingi dan tidak disiangi, sehingga tumbuh puteri malu dan rumput; Aku akan memerintahkan awan-awan, supaya jangan diturunkannya hujan ke atasnya." (ay 5-6). Konsekuensi yang dihadapi oleh pohon-pohon berbuah anggur yang asam sangat tidak main-main. Dalam injil Matius, pokok-pokok yang tidak menghasilkan buah yang baik dikatakan akan "ditebang adan dibuang ke dalam api." (Matius 3:10). Dalam Wahyu kita juga mendapati konsekuensi yang harus dihadapi oleh "anggur-anggur asam" ini. "...Ayunkanlah sabitmu yang tajam itu dan potonglah buah-buah pohon anggur di bumi, karena buahnya sudah masak." Lalu malaikat itu mengayunkan sabitnya ke atas bumi, dan memotong buah pohon anggur di bumi dan melemparkannya ke dalam kilangan besar, yaitu murka Allah." (Wahyu 14:18b-19)
Konsekuensi menjadi pohon anggur dengan buah yang asam sungguhlah serius, kalau tidak bisa dibilang mengerikan. Maka ketika kita sudah bertobat, langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa kita mampu menghasilkan buah yang sesuai dengan pertobatan. (Matius 3:8).Tuhan menginginkan hidup anak-anakNya untuk terus menghasilkan buah-buah yang manis, yang bisa dinikmati dan memberi berkat bagi orang lain. Semua orang tentu merindukan buah yang manis dan sedap rasanya. Kita harus terus berbuah, bukan berbuah asal-asalan, asam atau malah busuk, tetapi menghasilkan buah-buah ranum yang manis. Sesungguhnya keberhasilan menjadi anak-anak Allah yang mendapat hak waris di Kerajaan Surga bukanlah dilihat dari penampilan luar semata, namun yang ditentukan dari seberapa baik buah-buah baik yang anda hasilkan.
Jadilah anggur yang manis yang memberkati orang lain
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=======================
"Apatah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam?"
Harga buah bisa terlihat cukup mahal bagi kita yang punya pendapatan pas-pasan. Bayangkan apabila dengan harga yang terasa mahal itu kita bukannya mendapatkan buah yang baik tetapi malah yang asam, atau malah busuk di dalamnya. Misalnya ketika anda membeli sekilo jeruk. Dari luar jeruk-jeruk itu mungkin terlihat mulus tanpa adanya cacat. Tetapi ketika dibuka, anda hanya mendapatkan buah jeruk yang tidak termakan saking asamnya. Kalau satu atau dua mungkin masih wajar, tetapi bagaimana jika sebagian besar seperti itu, atau malah semuanya? Mungkin kita akan mengomel atau mendatangi kembali penjualnya untuk memarahi mereka. Bagi kita yang awam, kita bisa tertipu oleh penampilan luar buah. Dari luar mungkin terlihat bagus, tetapi ternyata setelah dibuka tidak bisa dinikmati sama sekali.
Hari ini saya memilih mengenai anggur yang asam sebagai ayat bacaan kita. Dalam kebanyakan ayat-ayat di Alkitab, pohon anggur biasanya berbicara mengenai segala sesuatu yang baik. Tetapi ayat diatas menggambarkan sesuatu yang sebaliknya. Kita bisa mulai dari perikop pertama dalam Yesaya pasal 5. Disana ada sebuah kisah mengenai kebun anggur yang ternyata menghasilkan buah-buahnya yang asam. Sang pemilik kebun dengan rajin mengurus kebun. "Ia mencangkulnya dan membuang batu-batunya, dan menanaminya dengan pokok anggur pilihan; ia mendirikan sebuah menara jaga ditengah - tengahnya dan menggali lobang tempat memeras anggur; lalu dinantinya supaya kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik.."(ay 2). Namun apa hasil yang didapat? "...tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam." Ayat ini menggambarkan Tuhan sebagai Sang Pemilik kebun, dan anak-anakNya digambarkan sebagai pohon-pohon anggur yang tertanam disana. Secara lebih spesifik, ayat-ayat ini berbicara tentang pertobatan yang menghasilkan buah. Ketika kita bertobat dengan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi kita, seharusnya kita menjadi sebuah ciptaan baru yang terus tumbuh dan berbuah. Namun dalam perjalanannya, ada banyak dari kita yang ternyata kembali pada kebiasaan lama yang buruk. Ada yang dari luar tampak baik, namun ternyata hatinya jahat Setelah bertobat dan menerima Kristus bukannya berbuat kasih, namun malah menipu, jahat, berbuat keonaran dan menjadi batu sandungan dimana-mana. Inilah buah-buah anggur asam itu. Lihatlah betapa ironisnya, ketika "Sang Pemilik Kebun" begitu setia dan rajin memelihara "kebun"Nya dengan penuh kasih dan perhatian, tapi ternyata bukan buah yang baik yang dihasilkan pohon-pohon tersebut, melainkan buah yang asam. Maka bisa dimaklumi jika "Pemilik kebun" menjadi kecewa. "Apatah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam?" (ay 4). Apa yang kemudian terjadi bagi pohon-pohon dengan buah-buah asam ini berat konsekuensinya. Kita bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada ayat berikutnya. "Maka sekarang, Aku mau memberitahukan kepadamu apa yang hendak Kulakukan kepada kebun anggur-Ku itu: Aku akan menebang pagar durinya, sehingga kebun itu dimakan habis, dan melanda temboknya, sehingga kebun itu diinjak-injak; Aku akan membuatnya ditumbuhi semak-semak, tidak dirantingi dan tidak disiangi, sehingga tumbuh puteri malu dan rumput; Aku akan memerintahkan awan-awan, supaya jangan diturunkannya hujan ke atasnya." (ay 5-6). Konsekuensi yang dihadapi oleh pohon-pohon berbuah anggur yang asam sangat tidak main-main. Dalam injil Matius, pokok-pokok yang tidak menghasilkan buah yang baik dikatakan akan "ditebang adan dibuang ke dalam api." (Matius 3:10). Dalam Wahyu kita juga mendapati konsekuensi yang harus dihadapi oleh "anggur-anggur asam" ini. "...Ayunkanlah sabitmu yang tajam itu dan potonglah buah-buah pohon anggur di bumi, karena buahnya sudah masak." Lalu malaikat itu mengayunkan sabitnya ke atas bumi, dan memotong buah pohon anggur di bumi dan melemparkannya ke dalam kilangan besar, yaitu murka Allah." (Wahyu 14:18b-19)
Konsekuensi menjadi pohon anggur dengan buah yang asam sungguhlah serius, kalau tidak bisa dibilang mengerikan. Maka ketika kita sudah bertobat, langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa kita mampu menghasilkan buah yang sesuai dengan pertobatan. (Matius 3:8).Tuhan menginginkan hidup anak-anakNya untuk terus menghasilkan buah-buah yang manis, yang bisa dinikmati dan memberi berkat bagi orang lain. Semua orang tentu merindukan buah yang manis dan sedap rasanya. Kita harus terus berbuah, bukan berbuah asal-asalan, asam atau malah busuk, tetapi menghasilkan buah-buah ranum yang manis. Sesungguhnya keberhasilan menjadi anak-anak Allah yang mendapat hak waris di Kerajaan Surga bukanlah dilihat dari penampilan luar semata, namun yang ditentukan dari seberapa baik buah-buah baik yang anda hasilkan.
Jadilah anggur yang manis yang memberkati orang lain
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, May 17, 2011
Ragi Orang Farisi
Ayat bacaan: Matius 23:13-14
=========================
"Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk...Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat."
Gereja seharusnya menjadi tempat dimana orang bisa mengalami jamahan Tuhan, mengalami pemulihan, mengenalNya lebih dari sebelumnya juga menjadi tempat untuk bertumbuh. Gereja seharusnya menjadi tempat anak-anak Tuhan untuk saling berbagi, saling menguatkan, saling bantu dan bekerja sama untuk membawa terang keluar dari dinding-dinding pembatas untuk menjangkau lingkungan sekitarnya, kota, bangsa maupun dunia. Tetapi betapa memprihatinkannya ketika sebagian dari hamba-hamba Tuhan di dalamnya yang seharusnya menjadi panutan justru sebaliknya berubah menjadi batu sandungan bagi jemaatnya sendiri. Saya mengenal beberapa orang yang menjadi apatis karena kecewa melihat sosok-sosok yang perkataan dan kehidupannya tidak sinkron. Ada gereja yang mendahulukan donatur untuk duduk di depan, sementara jemaat biasa harus dibelakang walaupun di depan masih kosong. Ada juga orang yang setiap hari Minggu terlihat suci tetapi di dalam pekerjaan mereka melakukan banyak kecurangan. Ada yang sepertinya sangat kudus dengan gaya yang selalu menasihati orang lain seolah dirinya tanpa cela, tetapi mereka terus hidup dalam pesta pora, minum-minum dan menghamburkan uang tidak pada tempatnya. Mereka menciptakan peraturan sendiri mengenai mana yang boleh dan tidak sesuai dengan kesukaan mereka, bahkan tidak jarang mereka menciptakan sosok Tuhan menurut versi mereka sendiri. Tidak adil tentu saja jika kesalahan beberapa oknum ini akhirnya ditimpakan kepada gereja dimana mereka melayani. Tetapi hal seperti itu kerap terjadi, dan itu tentu saja menyakiti hati Tuhan. Bukan saja mereka menjadi batu sandungan bagi banyak orang, tetapi juga menjadi penghalang yang bisa menggagalkan pekerjaan Tuhan di muka bumi ini.
Sejak dahulu Tuhan Yesus sudah menyinggung mengenai perihal kemunafikan dari orang-orang yang seharusnya menjadi teladan dan panutan seperti itu. Kemunafikan ini digambarkan Tuhan sebagai ragi orang Farisi. "Sementara itu beribu-ribu orang banyak telah berkerumun, sehingga mereka berdesak-desakan. Lalu Yesus mulai mengajar, pertama-tama kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Waspadalah terhadap ragi, yaitu kemunafikan orang Farisi." (Lukas 12:1). Orang-orang Farisi dikenal sebagai pemuka-pemuka agama yang tampil sangat alim kapanpun dan dimanapun, mengaku mengenal hukum-hukum Taurat dan hafal luar dalam, selalu berkata tentang kebenaran tetapi perilaku mereka jauh dari semua yang mereka ajarkan. Mereka selalu merasa diri paling benar, paling suci dan paling bersih, sehingga mereka terbiasa untuk gampang menghakimi orang lain. Inilah ragi Farisi yang sangat dikecam Tuhan. Perhatikan apa kata Yesus. "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk. (Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.)" (Matius 23:13-14). Hukuman yang lebih berat, itu akan menjadi ganjaran akan orang-orang dengan perilaku seperti ini karena beberapa hal. Mereka sudah mengetahui kebenaran tetapi masih juga melanggarnya. Mereka menyelewengkan kebenaran dan memanfaatkannya hanya sebagai topeng agar mereka terlihat hebat di mata manusia. Dan bukan itu saja, mereka pun menjadi batu sandungan bagi banyak orang, sesuatu yang berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang percaya, yaitu sebagai terang dan garam bagi orang lain. (Matius 5:13-16).
Hukuman yang lebih berat menanti orang-orang yang munafik, orang yang seharusnya menjadi guru dengan keteladanan tetapi malah sebaliknya merintangi orang lain untuk selamat lewat sikap hidupnya yang sama sekali tidak menunjukkan pribadi Kristus yang sebenarnya. Yakobus pun mengingatkan seperti itu ketika menyinggung masalah dosa lidah. "Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat." (Yakobus 3:1). Alangkah ironis ketika anak-anak Tuhan yang seharusnya menjadi cermin Kristus di dunia, ternyata malah menjadi batu sandungan bagi sesamanya. Alangkah ironis ketika kita seharusnya menjadi terang dan garam, tetapi malah menjadi awan gelap dan empedu pahit bagi orang lain. Seharusnya kita menjadi sumber kasih, seperti halnya Tuhan sendiri mengasihi kita, bukan memusuhi, menghakimi, menjelek-jelekkan orang lain, atau malah menunjukkan perilaku yang tidak terpuji dan tidak sesuai dengan apa yang mereka tunjukkan pada hari Minggu. Kenyataannya ada banyak orang percaya yang berpikir bahwa hidup lurus cukup dilakukan hanya pada hari Minggu saja, itupun hanya ketika berada di dalam ruang gereja. Kemunafikan seperti ini bisa membawa konsekuensi fatal bagi kita, oleh karena itu kita harus ingat betul bahwa tidak hanya di gereja, tetapi dalam kehidupan sehari-hari pun Firman Tuhan tidak boleh sedikitpun dikesampingkan. Ketika Yesus meminta kita untuk menggembalakan domba-dombaNya seperti dalam Yohanes 21:15-19, tidakkah ironis jika kita malah mengusir domba-dombaNya untuk pergi menjauh lewat kemunafikan? Tidakkah ironis jika anak-anak Tuhan yang seharusnya berperan dalam mengenalkan kebenaran justru membuat orang semakin jauh dari kebenaran? Bukannya membawa berkat tetapi malah menjadi batu sandungan yang membuat orang meninggalkan Tuhan?
Ragi orang Farisi akan dengan sangat mudah hinggap pada diri kita. Mengetahui firman Tuhan memang bagus, tapi jika tidak disertai perbuatan, maka iman kita itu hanyalah sebentuk iman yang mati, dan disitulah kita bisa terjebak pada berbagai dosa kesombongan, merasa diri paling benar dan sebagainya. Kecenderungan seperti ini memang cenderung hadir dalam diri manusia. Oleh karenanya Paulus mengingatkan "Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung!" (Roma 14:13). Jika kita sudah dibebaskan dengan menerima Kristus sebagai Juru Selamat kita, langkah selanjutnya adalah komitmen kita untuk terus menjaga diri kita, agar kebebasan itu jangan sampai menjadi batu sandungan bagi yang lemah. (1 Korintus 8:9).Sebagai wakil-wakilNya di dunia, seharusnya kita selalu melakukan apa yang bisa mendatangkan damai sejahtera dan bisa membangun bahkan menyelamatkan orang lain. "Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun” (Roma 14:19), bukan sebaliknya mendatangkan kepahitan dan menghancurkan masa depan orang. Merusak pekerjaan Allah adalah fatal akibatnya. Karena itu kita harus senantiasa menjaga diri kita, menyelediki hati kita dan menjadikannya nyata lewat sikap, tingkah laku, pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Buanglah segala kemunafikan dari diri kita, dan jadilah orang yang berintegritas tinggi. Jangan sampai orang salah mengenal sosok Yesus hanya gara-gara kita tidak bisa menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang buruk. Berjalanlah sesuai Firman Tuhan kapanpun dan dimanapun, ada atau tidak ada orang yang melihat, karena biar bagaimanapun Tuhan tahu segala sesuatu yang kita perbuat. Sekali kita menjadi batu sandungan, hukuman yang lebih berat pun menanti kita. Karenanya, mari perhatikan benar bagaimana cara kita hidup agar kita tidak termasuk orang-orang yang terkontaminasi oleh ragi Farisi ini.
Jangan sesatkan domba-dombaNya, tapi gembalakanlah dengan benar!
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=========================
"Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk...Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat."
Gereja seharusnya menjadi tempat dimana orang bisa mengalami jamahan Tuhan, mengalami pemulihan, mengenalNya lebih dari sebelumnya juga menjadi tempat untuk bertumbuh. Gereja seharusnya menjadi tempat anak-anak Tuhan untuk saling berbagi, saling menguatkan, saling bantu dan bekerja sama untuk membawa terang keluar dari dinding-dinding pembatas untuk menjangkau lingkungan sekitarnya, kota, bangsa maupun dunia. Tetapi betapa memprihatinkannya ketika sebagian dari hamba-hamba Tuhan di dalamnya yang seharusnya menjadi panutan justru sebaliknya berubah menjadi batu sandungan bagi jemaatnya sendiri. Saya mengenal beberapa orang yang menjadi apatis karena kecewa melihat sosok-sosok yang perkataan dan kehidupannya tidak sinkron. Ada gereja yang mendahulukan donatur untuk duduk di depan, sementara jemaat biasa harus dibelakang walaupun di depan masih kosong. Ada juga orang yang setiap hari Minggu terlihat suci tetapi di dalam pekerjaan mereka melakukan banyak kecurangan. Ada yang sepertinya sangat kudus dengan gaya yang selalu menasihati orang lain seolah dirinya tanpa cela, tetapi mereka terus hidup dalam pesta pora, minum-minum dan menghamburkan uang tidak pada tempatnya. Mereka menciptakan peraturan sendiri mengenai mana yang boleh dan tidak sesuai dengan kesukaan mereka, bahkan tidak jarang mereka menciptakan sosok Tuhan menurut versi mereka sendiri. Tidak adil tentu saja jika kesalahan beberapa oknum ini akhirnya ditimpakan kepada gereja dimana mereka melayani. Tetapi hal seperti itu kerap terjadi, dan itu tentu saja menyakiti hati Tuhan. Bukan saja mereka menjadi batu sandungan bagi banyak orang, tetapi juga menjadi penghalang yang bisa menggagalkan pekerjaan Tuhan di muka bumi ini.
Sejak dahulu Tuhan Yesus sudah menyinggung mengenai perihal kemunafikan dari orang-orang yang seharusnya menjadi teladan dan panutan seperti itu. Kemunafikan ini digambarkan Tuhan sebagai ragi orang Farisi. "Sementara itu beribu-ribu orang banyak telah berkerumun, sehingga mereka berdesak-desakan. Lalu Yesus mulai mengajar, pertama-tama kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Waspadalah terhadap ragi, yaitu kemunafikan orang Farisi." (Lukas 12:1). Orang-orang Farisi dikenal sebagai pemuka-pemuka agama yang tampil sangat alim kapanpun dan dimanapun, mengaku mengenal hukum-hukum Taurat dan hafal luar dalam, selalu berkata tentang kebenaran tetapi perilaku mereka jauh dari semua yang mereka ajarkan. Mereka selalu merasa diri paling benar, paling suci dan paling bersih, sehingga mereka terbiasa untuk gampang menghakimi orang lain. Inilah ragi Farisi yang sangat dikecam Tuhan. Perhatikan apa kata Yesus. "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk. (Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.)" (Matius 23:13-14). Hukuman yang lebih berat, itu akan menjadi ganjaran akan orang-orang dengan perilaku seperti ini karena beberapa hal. Mereka sudah mengetahui kebenaran tetapi masih juga melanggarnya. Mereka menyelewengkan kebenaran dan memanfaatkannya hanya sebagai topeng agar mereka terlihat hebat di mata manusia. Dan bukan itu saja, mereka pun menjadi batu sandungan bagi banyak orang, sesuatu yang berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang percaya, yaitu sebagai terang dan garam bagi orang lain. (Matius 5:13-16).
Hukuman yang lebih berat menanti orang-orang yang munafik, orang yang seharusnya menjadi guru dengan keteladanan tetapi malah sebaliknya merintangi orang lain untuk selamat lewat sikap hidupnya yang sama sekali tidak menunjukkan pribadi Kristus yang sebenarnya. Yakobus pun mengingatkan seperti itu ketika menyinggung masalah dosa lidah. "Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat." (Yakobus 3:1). Alangkah ironis ketika anak-anak Tuhan yang seharusnya menjadi cermin Kristus di dunia, ternyata malah menjadi batu sandungan bagi sesamanya. Alangkah ironis ketika kita seharusnya menjadi terang dan garam, tetapi malah menjadi awan gelap dan empedu pahit bagi orang lain. Seharusnya kita menjadi sumber kasih, seperti halnya Tuhan sendiri mengasihi kita, bukan memusuhi, menghakimi, menjelek-jelekkan orang lain, atau malah menunjukkan perilaku yang tidak terpuji dan tidak sesuai dengan apa yang mereka tunjukkan pada hari Minggu. Kenyataannya ada banyak orang percaya yang berpikir bahwa hidup lurus cukup dilakukan hanya pada hari Minggu saja, itupun hanya ketika berada di dalam ruang gereja. Kemunafikan seperti ini bisa membawa konsekuensi fatal bagi kita, oleh karena itu kita harus ingat betul bahwa tidak hanya di gereja, tetapi dalam kehidupan sehari-hari pun Firman Tuhan tidak boleh sedikitpun dikesampingkan. Ketika Yesus meminta kita untuk menggembalakan domba-dombaNya seperti dalam Yohanes 21:15-19, tidakkah ironis jika kita malah mengusir domba-dombaNya untuk pergi menjauh lewat kemunafikan? Tidakkah ironis jika anak-anak Tuhan yang seharusnya berperan dalam mengenalkan kebenaran justru membuat orang semakin jauh dari kebenaran? Bukannya membawa berkat tetapi malah menjadi batu sandungan yang membuat orang meninggalkan Tuhan?
Ragi orang Farisi akan dengan sangat mudah hinggap pada diri kita. Mengetahui firman Tuhan memang bagus, tapi jika tidak disertai perbuatan, maka iman kita itu hanyalah sebentuk iman yang mati, dan disitulah kita bisa terjebak pada berbagai dosa kesombongan, merasa diri paling benar dan sebagainya. Kecenderungan seperti ini memang cenderung hadir dalam diri manusia. Oleh karenanya Paulus mengingatkan "Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung!" (Roma 14:13). Jika kita sudah dibebaskan dengan menerima Kristus sebagai Juru Selamat kita, langkah selanjutnya adalah komitmen kita untuk terus menjaga diri kita, agar kebebasan itu jangan sampai menjadi batu sandungan bagi yang lemah. (1 Korintus 8:9).Sebagai wakil-wakilNya di dunia, seharusnya kita selalu melakukan apa yang bisa mendatangkan damai sejahtera dan bisa membangun bahkan menyelamatkan orang lain. "Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun” (Roma 14:19), bukan sebaliknya mendatangkan kepahitan dan menghancurkan masa depan orang. Merusak pekerjaan Allah adalah fatal akibatnya. Karena itu kita harus senantiasa menjaga diri kita, menyelediki hati kita dan menjadikannya nyata lewat sikap, tingkah laku, pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Buanglah segala kemunafikan dari diri kita, dan jadilah orang yang berintegritas tinggi. Jangan sampai orang salah mengenal sosok Yesus hanya gara-gara kita tidak bisa menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang buruk. Berjalanlah sesuai Firman Tuhan kapanpun dan dimanapun, ada atau tidak ada orang yang melihat, karena biar bagaimanapun Tuhan tahu segala sesuatu yang kita perbuat. Sekali kita menjadi batu sandungan, hukuman yang lebih berat pun menanti kita. Karenanya, mari perhatikan benar bagaimana cara kita hidup agar kita tidak termasuk orang-orang yang terkontaminasi oleh ragi Farisi ini.
Jangan sesatkan domba-dombaNya, tapi gembalakanlah dengan benar!
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, May 16, 2011
Berhasil
Ayat bacaan: Mazmur 20:5
===================
"Kiranya diberikan-Nya kepadamu apa yang kaukehendaki dan dijadikan-Nya berhasil apa yang kaurancangkan."
Pindah tempat mengajar membuat saya harus memulai segalanya dari awal lagi. Saya harus melalui tes bertingkat-tingkat sebagai pelamar baru, setelah diterima masih harus mengikuti ujian terlebih dahulu agar bisa mengajar. Berbagai sistem yang berbeda, kurikulum yang berbeda dan berbagai pola lain yang berbeda harus saya hadapi. Jika dulu saya sudah berada dalam zona nyaman selama lebih dari 5 tahun di tempat mengajar yang lama, sekarang saya kembali harus menyesuaikan diri, keluar dari zona nyaman dan mencoba membiasakan diri di tempat baru. Setelah beberapa bulan saya akhirnya mulai terbiasa dengan sistem yang baru itu. Saya mulai menemukan ritme mengajar disana, dan semuanya mulai terasa nyaman kembali. Sebuah perpindahan selalu memberikan suasana baru yang seringkali membuat kita harus keluar dari zona nyaman dan berusaha menyesuaikan diri. Tetapi apapun itu, meski kita harus terlebih dahulu mengalami suasana yang kurang nyaman, Tuhan menjanjikan kita untuk berhasil di dalamnya, bahkan melebihi apa yang kita anggap sebagai batas kemampuan kita.
Awal kitab Mazmur memberikan janji yang sangat indah untuk selalu kita ingat. Diawali dengan kata, "Berbahagialah". Siapa yang berbahagia? Bukan orang yang berjalan mengikuti orang jahat, orang yang ikut-ikutan berdosa, orang yang senang bergaul dengan orang-orang yang menghina Allah. Tetapi kata berbahagia ini ditujukan kepada "yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam." (Mazmur 1:2). Apa yang menumbuhkan rasa bahagia ini? Janji Tuhan berikut inilah yang membuatnya. "Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (ay 3). Bayangkan pohon yang tumbuh di tepi aliran air, yang tidak akan pernah kekeringan dalam kondisi apapun. Maka pohon itu akan terus berbuah, tidak akan layu daunnya. Terus berbuah sepanjang musim, tetap segar, dan lihatlah kalimat berikutnya: apa saja yang diperbuatnya berhasil. Wow. Pernahkah anda membayangkan sebuah kehidupan yang terus membawa keberhasilan? Keberhasilan bukanlah secara sempit hanya dipandang dari sudut pendapatan yang melimpah-limpah, atau sebentuk hidup tanpa masalah. Sama sekali bukan. Tetapi keberhasilan merujuk kepada keadaan dimana meskipun masalah tengah mendatangi kita, kita sama sekali tidak goyah. Ketika kita harus keluar dari zona nyaman, Tuhan tetap membimbing dan membawa kita masuk ke dalam sebuah pengalaman baru, yang meskipun sulit pada awalnya tetapi akan tetap membawa berkat, bahkan sangat mungkin jauh lebih baik dari sebelumnya. Sebuah kehidupan yang membawa pencapaian-pencapaian baru yang mungkin berawal kecil tetapi terus bertumbuh menjadi besar, bahkan lebih besar dari apa yang pernah kita pikirkan. Sebuah kesempatan dimana kita bisa melakukan yang terbaik dari diri kita, lalu mencapai hasil yang bisa jadi mencengangkan kita, karena selama ini kita mungkin mengukur diri kita terlalu rendah. Keberhasilan, keberhasilan dan keberhasilan. Terus meningkat naik dan bukan turun, menjadi kepala dan bukan ekor, seperti apa yang dijanjikan Tuhan dalam Ulangan 28:13.
Sekali lagi, keberhasilan disini bukanlah berarti hidup tanpa masalah. Ada waktunya kita harus jatuh bangun, mengalami sesuatu yang tidak nyaman atau bahkan membuat kita menderita. Yusuf di Perjanjian Lama pernah mengalami itu. Ia hampir mati dibunuh saudara-saudaranya sendiri, lalu dijual sebagai budak, difitnah dan dipenjara bertahun-tahun. Sepertinya hidup Yusuf berpindah dari satu tragedi ke dalam tragedi lainnya. Tapi lihatlah bagaimana Roh Tuhan yang hidup didalamnya membuatnya berhasil dalam tiap periode hidupnya. Alkitab jelas mencatatnya dalam banyak kesempatan: "Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu." (Kejadian 39:2), "Setelah dilihat oleh tuannya, bahwa Yusuf disertai TUHAN dan bahwa TUHAN membuat berhasil segala sesuatu yang dikerjakannya.." (ay 3). "Dan kepala penjara tidak mencampuri segala yang dipercayakannya kepada Yusuf, karena TUHAN menyertai dia dan apa yang dikerjakannya dibuat TUHAN berhasil." (ay 23). Dan kita tahu apa yang menjadi puncak dalam hidup Yusuf. Lihatlah bagaimana Tuhan mampu memutarbalikkan sebuah tragedi menjadi keberhasilan-keberhasilan kecil yang kemudian berujung kepada keberhasilan puncak yang gemilang.
Tuhan telah berjanji "Tetapi seperti ada tertulis: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." (1 Korintus 2:9). Untuk orang-orang yang mengasihi Tuhan, ada surprise yang luar biasa Dia sediakan. Sesuatu yang tidak pernah dilihat, didengar atau dipikirkan, itu semua mungkin bagi kita. Seperti pohon yang tumbuh di tepi aliran air, pohon itu akan terus menghasilkan buah dan tidak akan layu daunnya sama sekali dalam situasi atau musim apapun. Di dalam Tuhan ada kemenangan dan keberhasilan jauh melebihi apa yang kita pikir sebagai batas kemampuan kita.Di dalam Tuhan kita bisa mencapai keberhasilan diluar batas kemampuan kita seperti yang kita kira. Situasi tidaklah mulus seratus persen, tetapi perhatikan bahwa dalam situasi yang penuh duri sekalipun kita bisa berhasil jika Roh Tuhan bersama kita.
Daud berkata: "Kiranya diberikan-Nya kepadamu apa yang kaukehendaki dan dijadikan-Nya berhasil apa yang kaurancangkan." (Mazmur 20:5). Ini menjadi pegangan Daud dalam menjalani hidupnya yang sama sekali tidak mudah. Daud bisa mengamini itu karena ia paham betul akan satu hal. "Sekarang aku tahu, bahwa TUHAN memberi kemenangan kepada orang yang diurapi-Nya dan menjawabnya dari sorga-Nya yang kudus dengan kemenangan yang gilang-gemilang oleh tangan kanan-Nya." (ay 7). Kemenangan akan ada dalam orang-orang yang bermegah dalam nama Tuhan, mengandalkan Tuhan lebih dari apapun. (ay 8). Kemenangan diberikan kepada raja, demikian kata Daud dalam ayat 10, dan mengingat status kita sebagai "imamat yang rajani" (1 Petrus 2:9), artinya janji itu pun berlaku bagi kita. Bayangkanlah sebuah hidup yang terus dipenuhi keberhasilan dalam berbagai hal, bahkan ketika situasi sedang sangat buruk, bahkan ketika anda berpikir anda sudah habis. Itu semua dijanjikan Tuhan kepada kita, dan bersyukurlah untuk itu. Tetaplah berjalan bersamanya, teruslah hidup dalam FirmanNya, renungkan dan lakukan, maka janji-janji Tuhan akan menjadi milik kita.
Berhasil melebihi yang kita pikirkan, itu mungkin bagi orang-orang yang mengandalkanNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
===================
"Kiranya diberikan-Nya kepadamu apa yang kaukehendaki dan dijadikan-Nya berhasil apa yang kaurancangkan."
Pindah tempat mengajar membuat saya harus memulai segalanya dari awal lagi. Saya harus melalui tes bertingkat-tingkat sebagai pelamar baru, setelah diterima masih harus mengikuti ujian terlebih dahulu agar bisa mengajar. Berbagai sistem yang berbeda, kurikulum yang berbeda dan berbagai pola lain yang berbeda harus saya hadapi. Jika dulu saya sudah berada dalam zona nyaman selama lebih dari 5 tahun di tempat mengajar yang lama, sekarang saya kembali harus menyesuaikan diri, keluar dari zona nyaman dan mencoba membiasakan diri di tempat baru. Setelah beberapa bulan saya akhirnya mulai terbiasa dengan sistem yang baru itu. Saya mulai menemukan ritme mengajar disana, dan semuanya mulai terasa nyaman kembali. Sebuah perpindahan selalu memberikan suasana baru yang seringkali membuat kita harus keluar dari zona nyaman dan berusaha menyesuaikan diri. Tetapi apapun itu, meski kita harus terlebih dahulu mengalami suasana yang kurang nyaman, Tuhan menjanjikan kita untuk berhasil di dalamnya, bahkan melebihi apa yang kita anggap sebagai batas kemampuan kita.
Awal kitab Mazmur memberikan janji yang sangat indah untuk selalu kita ingat. Diawali dengan kata, "Berbahagialah". Siapa yang berbahagia? Bukan orang yang berjalan mengikuti orang jahat, orang yang ikut-ikutan berdosa, orang yang senang bergaul dengan orang-orang yang menghina Allah. Tetapi kata berbahagia ini ditujukan kepada "yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam." (Mazmur 1:2). Apa yang menumbuhkan rasa bahagia ini? Janji Tuhan berikut inilah yang membuatnya. "Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (ay 3). Bayangkan pohon yang tumbuh di tepi aliran air, yang tidak akan pernah kekeringan dalam kondisi apapun. Maka pohon itu akan terus berbuah, tidak akan layu daunnya. Terus berbuah sepanjang musim, tetap segar, dan lihatlah kalimat berikutnya: apa saja yang diperbuatnya berhasil. Wow. Pernahkah anda membayangkan sebuah kehidupan yang terus membawa keberhasilan? Keberhasilan bukanlah secara sempit hanya dipandang dari sudut pendapatan yang melimpah-limpah, atau sebentuk hidup tanpa masalah. Sama sekali bukan. Tetapi keberhasilan merujuk kepada keadaan dimana meskipun masalah tengah mendatangi kita, kita sama sekali tidak goyah. Ketika kita harus keluar dari zona nyaman, Tuhan tetap membimbing dan membawa kita masuk ke dalam sebuah pengalaman baru, yang meskipun sulit pada awalnya tetapi akan tetap membawa berkat, bahkan sangat mungkin jauh lebih baik dari sebelumnya. Sebuah kehidupan yang membawa pencapaian-pencapaian baru yang mungkin berawal kecil tetapi terus bertumbuh menjadi besar, bahkan lebih besar dari apa yang pernah kita pikirkan. Sebuah kesempatan dimana kita bisa melakukan yang terbaik dari diri kita, lalu mencapai hasil yang bisa jadi mencengangkan kita, karena selama ini kita mungkin mengukur diri kita terlalu rendah. Keberhasilan, keberhasilan dan keberhasilan. Terus meningkat naik dan bukan turun, menjadi kepala dan bukan ekor, seperti apa yang dijanjikan Tuhan dalam Ulangan 28:13.
Sekali lagi, keberhasilan disini bukanlah berarti hidup tanpa masalah. Ada waktunya kita harus jatuh bangun, mengalami sesuatu yang tidak nyaman atau bahkan membuat kita menderita. Yusuf di Perjanjian Lama pernah mengalami itu. Ia hampir mati dibunuh saudara-saudaranya sendiri, lalu dijual sebagai budak, difitnah dan dipenjara bertahun-tahun. Sepertinya hidup Yusuf berpindah dari satu tragedi ke dalam tragedi lainnya. Tapi lihatlah bagaimana Roh Tuhan yang hidup didalamnya membuatnya berhasil dalam tiap periode hidupnya. Alkitab jelas mencatatnya dalam banyak kesempatan: "Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu." (Kejadian 39:2), "Setelah dilihat oleh tuannya, bahwa Yusuf disertai TUHAN dan bahwa TUHAN membuat berhasil segala sesuatu yang dikerjakannya.." (ay 3). "Dan kepala penjara tidak mencampuri segala yang dipercayakannya kepada Yusuf, karena TUHAN menyertai dia dan apa yang dikerjakannya dibuat TUHAN berhasil." (ay 23). Dan kita tahu apa yang menjadi puncak dalam hidup Yusuf. Lihatlah bagaimana Tuhan mampu memutarbalikkan sebuah tragedi menjadi keberhasilan-keberhasilan kecil yang kemudian berujung kepada keberhasilan puncak yang gemilang.
Tuhan telah berjanji "Tetapi seperti ada tertulis: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." (1 Korintus 2:9). Untuk orang-orang yang mengasihi Tuhan, ada surprise yang luar biasa Dia sediakan. Sesuatu yang tidak pernah dilihat, didengar atau dipikirkan, itu semua mungkin bagi kita. Seperti pohon yang tumbuh di tepi aliran air, pohon itu akan terus menghasilkan buah dan tidak akan layu daunnya sama sekali dalam situasi atau musim apapun. Di dalam Tuhan ada kemenangan dan keberhasilan jauh melebihi apa yang kita pikir sebagai batas kemampuan kita.Di dalam Tuhan kita bisa mencapai keberhasilan diluar batas kemampuan kita seperti yang kita kira. Situasi tidaklah mulus seratus persen, tetapi perhatikan bahwa dalam situasi yang penuh duri sekalipun kita bisa berhasil jika Roh Tuhan bersama kita.
Daud berkata: "Kiranya diberikan-Nya kepadamu apa yang kaukehendaki dan dijadikan-Nya berhasil apa yang kaurancangkan." (Mazmur 20:5). Ini menjadi pegangan Daud dalam menjalani hidupnya yang sama sekali tidak mudah. Daud bisa mengamini itu karena ia paham betul akan satu hal. "Sekarang aku tahu, bahwa TUHAN memberi kemenangan kepada orang yang diurapi-Nya dan menjawabnya dari sorga-Nya yang kudus dengan kemenangan yang gilang-gemilang oleh tangan kanan-Nya." (ay 7). Kemenangan akan ada dalam orang-orang yang bermegah dalam nama Tuhan, mengandalkan Tuhan lebih dari apapun. (ay 8). Kemenangan diberikan kepada raja, demikian kata Daud dalam ayat 10, dan mengingat status kita sebagai "imamat yang rajani" (1 Petrus 2:9), artinya janji itu pun berlaku bagi kita. Bayangkanlah sebuah hidup yang terus dipenuhi keberhasilan dalam berbagai hal, bahkan ketika situasi sedang sangat buruk, bahkan ketika anda berpikir anda sudah habis. Itu semua dijanjikan Tuhan kepada kita, dan bersyukurlah untuk itu. Tetaplah berjalan bersamanya, teruslah hidup dalam FirmanNya, renungkan dan lakukan, maka janji-janji Tuhan akan menjadi milik kita.
Berhasil melebihi yang kita pikirkan, itu mungkin bagi orang-orang yang mengandalkanNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Subscribe to:
Posts (Atom)
Dua Ibu Janda dan Kemurahan Hatinya (8)
(sambungan) Dua janda yang saya angkat menjadi contoh hari ini hendaknya mampu memberikan keteladanan nyata dalam hal memberi. Adakah yang ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...