(sambungan)
Kita bisa melihatnya dari ayat berikut. "Eli telah sangat tua. Apabila didengarnya segala sesuatu yang dilakukan anak-anaknya terhadap semua orang Israel dan bahwa mereka itu tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan, berkatalah ia kepada mereka: "Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? Janganlah begitu, anak-anakku. Bukan kabar baik yang kudengar itu bahwa kamu menyebabkan umat TUHAN melakukan pelanggaran." (ay 22-24).
Sekarang mari kita perhatikan fakta ini. Apakah imam Eli mengingatkan anak-anaknya? Ya, ia mengingatkan. Tapi tidak tegas memberi teguran apalagi hukuman. Satu hal lainnya, ia terlambat mendidik anaknya. Saat anak tidak diajarkan dan dicontohkan tentang hal benar sejak kecil, suatu ketika saat mereka sudah dewasa bisa jadi sudah sangat sulit atau terlambat untuk diajar.
Tuhan bukannya tidak mengingatkan, tapi tetap saja sang imam tidak merubah sikapnya. "Sebab telah Kuberitahukan kepadanya, bahwa Aku akan menghukum keluarganya untuk selamanya karena dosa yang telah diketahuinya, yakni bahwa anak-anaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka!" (3:13).
Imam Eli tidak mendisiplinkan anak-anaknya dengan benar, bahkan ia sampai dikatakan lebih menghormati anaknya ketimbang Tuhan, "Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah Kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?" (2:29)
Tidak mendisplinkan, terlalu lemah, terlalu memanjakan, bahkan dia terus membiarkan anak-anaknya menggemukkan diri dengan bagian terbaik dari korban yang disajikan di dalam Kemah Suci dan membiarkan mereka melakukan hal-hal yang tidak sopan, mengancam hingga dosa percabulan. Kesempatan sebenarnya sudah lebih dari cukup diberikan Tuhan, Tuhan bahkan sudah menegur langsung. Sayangnya imam Eli tidak memanfaatkan waktu yang ada. Dan akibatnya hukuman keras pun jatuh. Selain Hofni dan Pinehas akhirnya tewas, hukuman berat pun jatuh terhadap imam Eli sekeluarga. Bacalah bagaimana kerasnya hukuman Tuhan itu dalam 1 Samuel 2:30-36. Ironis dan tragis, miris, itu yang muncul di benak saya melihat kisah dari keluarga imam Eli ini.
(bersambung)
Wednesday, January 31, 2024
Superman of the Family (5)
Tuesday, January 30, 2024
Superman of the Family (4)
(sambungan)
Karena itu, seperti yang pernah saya bahas dalam renungan terdahulu, finding balance is the hardest part of it, especially for us, men. Dari pengalaman saya baik pengalaman pribadi maupun hasil dari pengamatan dan mendengar atau membaca kisah-kisah orang lain, saya sampai pada kesimpulan bahwa being a superman is not about being strong, but simply about finding balance. Itu sangat penting, agar saya, dan kita para ayah/suami atau pria secara umum tidak harus mengalami kejadian sama seperti imam Eli.
Imam Eli jadi sebuah contoh nyata dari hamba Tuhan yang gagal mendidik anak yang dicatat di dalam Alkitab. Imam Eli pada masa itu merupakan imam yang terpandang. Ia bahkan tinggal di bait Allah. Tetapi ironisnya, kelakuan anak-anaknya justru tidak mencerminkan anak seorang imam besar sama sekali. Ketika imam Eli bisa mendidik umat dengan baik, bahkan mendidik Samuel dengan sangat berhasil, anak-anaknya yaitu Hofni dan Pinehas justru lebih mirip preman ketimbang anak seorang imam.
Alkitab sampai menyebutkannya seperti ini: "Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN," (1 Samuel 2:12). Arti dari dursila adalah buruk kelakuannya, alias jahat. Dalam terjemahan lain, dursila didefenisikan sebagai orang yang terus melanggar huku dan peraturan, orang yang dalam dirinya tidak ditemukan hal baik apapun sama sekali. Betapa ironisnya hal ini disebutkan bukan terhadap anak seorang penjahat atau kriminal tetapi itu disematkan kepada anak-anak dari imam besar seperti Eli.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Sepertinya imam Eli salah mengartikan bentuk kasih sayang. Ia terlalu lembek dan tidak tegas terhadap anak-anaknya. Ia juga tidak menggunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk mendidik kedua anaknya, Hofni dan Pinehas. Ia sibuk bekerja dan aktif melayani, tetapi kemudian lupa akan tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga yang memiliki anak-anak untuk dibina, dibentuk, diasah, diasuh dan dibesarkan dalam takut akan Tuhan.
(bersambung)
Monday, January 29, 2024
Superman of the Family (3)
(sambungan)
Sebuah hasil survey yang pernah saya baca mengungkapkan bahwa orang tua terutama pria memang punya kecenderungan berpikir seperti itu. Mereka berpikir bahwa anak-anak akan bahagia apabila kebutuhan mereka tercukupi dan mereka bisa mendapatkan segala yang mereka inginkan. Padahal survey yang sama dari sisi anak justru melahirkan kesimpulan berbeda. Anak-anak ternyata tidak berpikir dari segi kelimpahan materi, tetapi hasil poin terbesar tentang apa yang paling membuat mereka bahagia justru menunjuk pada satu titik, yaitu waktu. Apa yang paling membahagiakan bagi mereka adalah waktu yang cukup untuk bermain dan belajar bersama orang tuanya.
Ketika para ayah berpikir dari segi pemenuhan kebutuhan bagi anak-anak mereka, anak-anak menganggap kebersamaan adalah yang paling mereka butuhkan. Ada begitu banyak anak-anak yang kurang mendapat kasih sayang atau bimbingan di saat mereka bertumbuh sementara mereka terus dimanjakan dari sisi materi. Akibatnya kita sering melihat meski mereka berasal dari keluarga berada, tetapi perilaku atau gaya hidup mereka banyak yang buruk. Retaknya keluarga kebanyakan berasal dari kurangnya kebersamaan antar sesama anggotanya. Ayahnya bekerja banting tulang sepanjang hari, atau dihormati banyak orang, namun anak-anaknya justru menunjukkan perilaku yang tercela. Kurang perhatian, kurangnya kebersamaan dan terlalu dimanja seringkali menjadi awal datangnya bencana seperti ini.
Jika kita gabungkan dengan buku yang saya baca mengenai dunia yang kehilangan figur bapa di awal renungan ini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya anak-anak sudah menunjukkan apa yang mereka butuhkan agar bisa bertumbuh menjadi pribadi berkualitas tinggi. Sayangnya orang tua terutama ayah banyak yang tidak menyadari hal ini dan mereka kelak harus bersedih melihat anak-anak mereka tumbuh tidak dengan kualitas akhlak dan keimanan yang sebenarnya mereka inginkan.
Saat saya menyampaikan tentang renungan kali ini, saya pun tengah berjuang lebih dari sebelumnya. Resesi yang terjadi di Indonesia sebagai bagian dari resesi global membuat saya harus berkali-kali lipat berusaha memenuhi kebutuhan lebih dari sebelumnya. Sementara waktu tetap sama, 24 jam sehari. Tapi apa yang diceritakan hamba Tuhan di awal tadi saya pakai sebagai pengingat, bahwa saya tetap harus memberi waktu pada keluarga terutama putri kecil saya yang masih balita. Saya ingin ia bisa tetap mendapat kehangatan dalam keluarga terutama kasih dari ayahnya. Jangan sampai momen itu hilang dari dirinya karena saya harus berada di luar lebih dari sebelumnya untuk bertahan hidup, dan terutama untuk menyediakan kehidupan yang layak baginya.
(bersambung)
Sunday, January 28, 2024
Superman of the Family (2)
(sambungan)
Gambaran yang bagi saya terasa sangat mengerikan tentang generasi hari ini ia tulis bahkan sejak bab pertama buku ini. Dan itu bukanlah fiksi melainkan sesuatu yang nyata-nyata ia saksikan.
Tapi itu kan di Afrika? Mungkin kita bisa berpikir begitu. Tapi lihatlah. Bukankah di belahan bumi lainnya kita menemukan kekejaman yang sama, bahkan bisa jadi lebih parah? Sejak kecil generasi yang ia sebut generasi terhilang ini tidak mengenal kasih melainkan kebencian. Dan kebencian menumbuhkan banyak masalah, bahkan bisa mengarah pada sifat kejam dan sadis. Ironisnya, seperti yang saya sebut diatas, hal ini juga terjadi di kalangan orang percaya, bahkan dalam keluarga para pelayan Tuhan yang seharusnya menjadi teladan. Anak orang percaya dan bahkan hamba Tuhan jadi preman di sekolah, bermasalah dengan hukum, jatuh pada berbagai dosa, berpaling dan meninggalkan Tuhan, itu nyata terjadi.
Hal ini sangatlah ironis. Bukankah sebagai hamba Tuhan mereka ini kerap menanamkan nilai-nilai baik tentang kebenaran dalam pelayanan mereka? Penyebab paling utama adalah karena kesibukan mereka begitu menyita waktu sehingga mereka tidak lagi punya waktu buat anak-anak dan keluarga. Apa yang mereka ajarkan bagi orang lain mungkin membangun, mereka mungkin juga menyampaikan hal yang sama kepada anaknya, tetapi mereka tidak punya cukup waktu dimana anak-anaknya bisa belajar dari kehidupan mereka. Mungkin juga karena sudah terlalu lelah, rumah cuma menjadi tempat untuk tidur bukan tempat dimana sebuah keluarga bisa saling berbagi kasih. Ada pula yang tampaknya baik dan rohani diluar, tapi di rumah sifat aslinya jauh dari apa yang mereka tunjukkan atau ajarkan di luar.
Sebagai kepala rumah tangga, kita para pria seringkali menganggap bahwa tugas utama kita adalah bekerja, mencari nafkah dan secukupnya saja meluangkan waktu untuk anak. Dalam pikiran banyak pria, yang penting kebutuhan istri dan anak-anak tercukupi, lebih baik lagi kalau berlimpah. Urusan anak itu urusan istri. Itu namanya bagi tugas. Kan harus team work dong... begitu pikir sebagian dari kita pria.
(bersambung)
Saturday, January 27, 2024
Superman of the Family (1)
Ayat bacaan: 1 Samuel 2:12
====================
"Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN,"
Pada suatu kali ada seorang hamba Tuhan yang menceritakan tentang pentingnya figur ayah dalam sebuah rumah tangga terutama dalam mempersiapkan anak menjadi orang yang benar dan takut akan Tuhan. Ia mengatakan bahwa dalam kesibukannya melayani dari kota ke kota, ia menjadi sangat sulit untuk membagi waktunya untuk keluarga. Untung itu tidak berlangsung terlalu lama. Ia kemudian memutuskan untuk mengurangi jadwal pelayanannya agar ia bisa membagi waktunya untuk benar-benar fokus pada keluarga, terutama, menurutnya, agar anaknya bisa memiliki quality time bersamanya. Ia lalu cerita tentang apa yang ia saksikan, yaitu bahwa di antara para hamba Tuhan sekalipun ada yang keluarganya mengalami keretakan bahkan kehancuran karena mereka terlalu sibuk melayani orang dan mengesampingkan keluarganya. "Saat mereka sibuk menjangkau jiwa orang di luar, mereka lupa pentingnya menjaga jiwa dari keluarga sendiri", katanya.
Keluarga yang retak bisa membuat pertumbuhan mental anak-anak terganggu, apalagi jika mereka masih dalam masa-masa bertumbuh. Pengaruh-pengaruh buruk di luar bisa dengan mudah masuk merusak mereka tanpa adanya benteng pertahanan dari keluarga. Selain bisa membuat karakter mereka bermasalah, ada juga yang kemudian bermasalah di sekolah. Jadi tidak menutup kemungkinan bahwa hamba Tuhan pun bisa saja memilik anak yang bermasalah.
Apa yang ia ceritakan mengingatkan saya pada sebuah buku yang pernah saya baca. Penulisnya dari Afrika mengungkap sisi ekstrim yang terjadi apabila dunia kehilangan figur ayah. Ia menuliskan betapa degradasi dan kehancuran moral yang membuat dunia hari ini penuh kekejaman, ketidakadilan, penindasan dan problema sosial lainnya antar manusia sebenarnya berawal dari ketiadaan figur bapa dan kematian keluarga.
Kematian keluarga? Apa yang ia maksudkan disini bukanlah mati secara fisik, tapi mati dalam artian tidak berfungsi secara moril dan juga spiritual. Orang-orangnya ada, tapi tidak ada nilai baik yang mengalir di dalam dan ditransfer ke anak-anaknya. Semua berjalan sendiri-sendiri, tidak ada saling peduli apalagi saling bangun. Tidak ada pendidikan yang berlangsung disana antara orang tua kepada anak, kasih menjadi beku bahkan lenyap diganti peraturan keras dengan hukuman fisik bagi yang melanggar. Anak-anak tumbuh sejak kecil dengan ayah yang datang hanya pada saat menghukum dan memukul, atau juga tidak pernah ada di rumah untuk memperhatikan anaknya. Tidak peduli sama siapa mereka bergaul.
(bersambung)
Friday, January 26, 2024
Be Nice, Be Wise (6)
(sambungan)
Ini sebuah pengajaran yang mendobrak tatanan atau konsep pemikiran secara radikal pada saat itu. Dan hari ini pun masih tetap sama kontroversialnya. Perbedaan prinsip pengajaran ini justru semakin kontras terlihat ketika kita melihat orang-orang yang melakukan persekusi, intimidasi dan berbagai bentuk represif. Bukankah sulit bagi kita untuk bisa tetap mengasihi mereka, apalagi kalau kita sempat menjadi korban dari kekerasan atau kejahatan? Tapi prinsip Kerajaan Allah sudah secara tegas menyatakan sebaliknya. Jangankan membunuh, jangankan menyakiti, jangankan menekan, memusuhi saja tidak boleh. Justru kita harus mengasihi dan mendoakan mereka.
Yesus mengajarkan konsep kehidupan yang berbanding terbalik dengan apa yang dipercaya dunia sebagai kunci kesuksesan atau kemenangan. Ketika dunia menghalalkan segala cara, kita dituntut untuk melakukan segala sesuatu dengan jujur, tulus dan sungguh-sungguh seperti untuk Tuhan, dan kemudian menyerahkan semuanya sesuai dengan kehendak Tuhan sambil disertai dengan rasa syukur. Ketika dunia mengajarkan kebencian, kita diajarkan untuk mengasihi. Ketika dunia cenderung mencari pembenaran atas segala hal yang buruk, kita diminta untuk bersikap lembut hati dan mau berbesar hati mengakui kesalahan kita.
Dunia boleh membenci, tetapi kita mengasihi. Dunia boleh kasar, tapi kita harus lembut. Dunia boleh menumpuk harta, tapi kita harus memberi. Kesombongan tidak ada dalam kamus kita, dan harus diganti dengan kerendahan hati. Dunia melakukan tekanan-tekanan represif dengan tangan besi atas nama kekuasaan, kita justru harus melayani dan memiliki hati hamba. Bayangkan kalau anak-anak Tuhan semua melakukan hal tersebut, dunia akan jauh lebih baik karena kita akan menginspirasi lebih banyak orang lagi untuk mengadopsi sistim hidup dan prinsip sesuai kebenaran.
Semakin tinggi kita naik, kita harus semakin rendah hati. Bukankah bulir padi yang siap tuai pun merunduk? Alkitab sudah menjelaskan bagaimana seharusnya sikap hidup kita. Memberi bantuan dan mengasihi tanpa pandang bulu, termasuk kepada musuh kita tanpa memandang siapa dan apa latar belakang mereka. Tidak otoriter dan memanfaatkan kekuasaan sebagai ajang menekan orang lain dengan semena-mena, tapi bersikap melayani. Dunia boleh saja tidak berlaku seperti itu, tapi kita harus mencerminkan terang Tuhan bagi sesama kita. Itu adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar.
Itu tentu saja tidak mudah. Tapi Roh Kudus tentu akan memampukan kita memiliki sikap hati yang lembut jika kita mengijinkannya, jika kita memutuskan dan memegang komitmen untuk mau belajar melakukannya. Jadilah pribadi yang berbeda dengan dunia, mencerminkan terang yang bersinar dalam kegelapan.
Tegas bukan kasar, mengasihi dan mendoakan bukan membenci. Be nice, be wise
Thursday, January 25, 2024
Be Nice, Be Wise (5)
(sambungan)
Berarti orang yang merasa dirinya sudah besar dan merasa berhak melakukan apapun sekehendak hatinya justru merupakan orang-orang kasihan yang terkecil di muka bumi ini. Sebaliknya, mereka yang tetap mau merendahkan diri menjadi hamba yang melayani dengan dasar kasih, itulah orang-orang yang terbesar di mata Tuhan.
Selanjutnya, apa yang harus kita lakukan kepada mereka yang terus memancing keributan, orang-orang yang berseberangan dengan kita? Dalam hal ini prinsip Kerajaan pun berbeda dengan dunia. Dunia mengajarkan kita untuk membinasakan musuh, kalau perlu menghancurkan mereka berkeping-keping. Hancurkan sebelum kita dihancurkan. Jangan sekedar hancur, tapi kalau bisa berkeping-keping. Kalaupun orang lain harus terkena korban, itu salah mereka. Siapa suruh dekat-dekat. Itu pikiran dunia yang sering kita lihat hari ini. Minimal berikan fitnah, hancurkan secara moral sampai mereka tidak berkutik lagi.
Tetapi prinsip Kerajaan lagi-lagi berbeda. Yesus sendiri yang menyampaikan hal itu. "Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu." (ay 38-39). Bukan hanya mengalah dan tidak melawan, tetapi lebih lanjut Yesus mengatakan "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:43-44).
That's a higher step of love. Musuh bukan untuk dihancurkan, tetapi bagaimana kita bisa memandang mereka tetap dengan kacamata kasih, tetap siap untuk membantu dan mendoakan mereka. Itu tidak mudah, bahkan sangat sulit. Mungkin diluar logika dan kemampuan nalar kita. Tapi seperti itulah sikap seharusnya kalau kita mau mengimani dan menghidupi hidup dengan cara yang sesuai firman Tuhan.
(bersambung)
Wednesday, January 24, 2024
Be Nice, Be Wise (4)
(sambungan)
Anda ingin menjadi yang terbesar? Dunia berkata kuasai sebanyak-banyaknya, tetapi Yesus mengajarkan kita sebaliknya. Justru kita harus merendahkan diri kita sejauh mungkin. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat apa yang tertulis di dalam Alkitab.
"Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka." (Matius 20:25)
Pemerintah bangsa-bangsa dalam versi bahasa Inggrisnya dikatakan dengan "the rulers of the Gentiles", yang bisa kita artikan sebagai para pemimpin bangsa yang tidak mengenal Allah. Mereka memakai kekuasaan sebagai alat untuk menekan rakyatnya dengan tangan besi demi kepentingan pribadi. Posisi orang percaya seharusnya tidak boleh seperti itu.
Perhatikan kata Yesus selanjutnya: "Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu." (ay 26-27).
Terdengar kontroversi? Mungkin ya. Prinsipnya berbeda? Itu jelas. Yang pasti, konsep Kerajaan Allah berbanding terbalik dengan konsep dunia. Kalau di dunia orang yang terbesar adalah orang yang absolut, bisa mempergunakan kekuasaannya sebesar-besarnya demi kepentingannya dan tidak tersentuh, Kerajaan Allah bilang orang yang besar adalah orang yang mau melayani, yang terkemuka adalah orang yang mau merendahkan dirinya menjadi hamba.
Apakah Yesus hanya memerintahkan hal ini sepihak? Tentu saja tidak. Yesus sudah mencontohkan langsung mengenai sikap tersebut lewat sikap hidupNya ketika ada di dunia ini. Dalam kesempatan lain Yesus juga menyampaikan: "Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar." (Lukas 9:48).
(bersambung)
Tuesday, January 23, 2024
Be Nice, Be Wise (3)
(sambungan)
Tapi, kita kan tidak bersikap kasar dalam artian melakukan persekusi, melakukan kekerasan? Mungkin ya, dan itu tentu baik. Tapi kita harus terus melakukan lebih jauh, yaitu tidak terlalu cepat reaktif terhadap orang yang baik sengaja atau tidak hendak memancing emosi kita. Bagi pimpinan seharusnya tidak bersikap kasar, bertindak semena-mena dan otoriter terhadap bawahan. Kita melihat pemerintahan dengan tangan besi terjadi di banyak tempat, bersikap represif atau bahkan kejam. Di satu sisi memang kita harus bertindak tegas dalam menghadapi masalah, tetapi sekali lagi, sayangnya ada banyak orang yang sulit membedakan antara tegas dan keras. Mereka berpikir bahwa tegas itu berarti keras dan kasar. Mereka berpikir bahwa orang akan hormat dan takut apabila kekuasaan ditunjukkan secara ekstrim lewat cara-cara yang kasar bahkan kejam.
Disisi lain banyak pula orang yang percaya bahwa untuk menang bertarung hidup di dunia yang keras dan kejam kita harus lebih keras dan lebih kejam lagi. Lupakan soal moral, abaikan kejujuran, kebaikan, keramahan, selanjutnya tabraklah segalanya, halalkan semua cara agar kita bisa tetap eksis di dunia yang keras ini. Buat apapun yang diperlukan agar bisa meraih harta, pangkat, jabatan dan sejenisnya sebanyak-banyaknya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Agar terlihat hebat dan punya kuasa, bersikaplah arogan, ketus, rendahkan orang lain. Halalkan segala cara, lakukan apa saja yang penting apa yang kita inginkan tercapai. Saling sikut menyikut, saling menjatuhkan, saling menjelekkan, fitnah, korupsi dan tindakan-tindakan amoral lainnya, semua itu bukan lagi sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Malah yang dianggap bodoh justru orang-orang yang tetap hidup lurus karena itu artinya mereka membuang kesempatan untuk bisa memperoleh segalanya.
Firman Tuhan mengatakan bahwa itu harus jauh-jauh dari cara hidup kita. Itu sama sekali bukan gambaran yang benar tentang umat Tuhan. Alkitab dengan tegas justru berbicara sebaliknya. Jadi apabila hati dan pikiran kita sudah sampai kepada konsep seperti perilaku orang-orang di atas, itu artinya kita sudah sangat jauh dari Tuhan. Konsep kehidupan dan bertingkahlaku yang diajarkan Yesus yang harus kita adopsi sungguh bertolak belakang dengan perilaku yang terus diajarkan dunia. Lihatlah pengajaran-pengajaran Kristus tentang cara hidup dalam Kerajaan Allah yang terbalik seratus delapan puluh derajat dengan cara pikir dunia.
(bersambung)
Monday, January 22, 2024
Be Nice , Be Wise (2)
(sambungan)
Yang jadi masalah, seringkali orang mencampurkan antara tegas dan keras. Jangankan kepada pegawai atau karyawan, terhadap anak istri pun banyak pria yang bersikap keras dengan alasan untuk mendisplinkan, agar tidak manja, agar mandiri dan sebagainya. Saya bisa tegas. Dan harus tegas. Tapi tidak boleh kasar. Itu yang selalu saya pegang dari dulu sampai sekarang. Intinya, jika saya tidak mau diperlakukan kasar, jangan sampai saya melakukannya kepada orang lain.
Hal lainnya yang ingin saya capai dengan cara saya ini adalah agar karyawan saya bisa bekerja dengan nyaman dan happy. Itu akan memancar dan terasa bagi pembeli yang datang, sehingga saya harapkan mereka pun nyaman berbelanja di tempat kami. Sebaliknya, jika karyawan tidak nyaman apalagi sakit hati, selain itu bisa membuat mereka melayani dengan tidak ramah, berbagai hal buruk lain pun bisa muncul dari sana. Disamping itu, saya pun tetap terjun langsung berhadapan dengan pembeli. Buat saya hal ini penting, agar saya tetap bisa merasakan dan memahami kondisi di lapangan itu seperti apa. Jadi saya tidak serta merta menekan dan menyalahkan mereka, tapi saya akan bisa melihat kondisi secara lebih bijaksana karena saya merasakan bertugas di posisi mereka.
Di jaman yang keras seperti sekarang, kita pun tentu harus semakin lebih tahan banting dan lebih kuat. Kita tidak boleh lemah, kita harus kuat. Itu tentu benar. Tapi kalau keras? Nanti dulu. Keras yang seperti apa dulu nih maksudnya? Kalau keras dalam arti kasar, ketus, provokatif, konfrontatif, wah.. jangan. Itu jelas bukan cerminan orang-orang yang mengaku sebagai murid Kristus. Kita semua tahu itu. Bahkan saya sebelum bertobat tidak melakukan itu, apalagi sekarang.
Tapi pada pelaksanaannya di dunia nyata, berapa banyak yang benar-benar mengadopsi hal tersebut dalam kehidupannya? Kalau masalahnya biasa saja, kalau orang bikin masalah yang tidak terlalu parah, mungkin kita masih bisa sabar. Tapi kalau sudah keterlaluan, pertahanan kita pun runtuh. Daripada mengajak bicara baik-baik, kita cenderung membalas dengan keras pula.
Fight fire with fire, atau ada juga yang menggambarkannya seperti laga kambing. Orang jual, saya beli. Yang penting bukan saya yang mulai. Banyak yang bersikap seperti ini. Ada pula yang membentengi dirinya dengan sikap-sikap kasar untuk menutupi kelemahan dan rasa tidak percaya diri pada karakternya. Dan ada juga yang mentang-mentang. Mentang-mentang menggaji jadi merasa punya hak bersikap kasar. Gampang menimpakan kesalahan, gampang menekan, gampang menindas. Dan itu dilakukan oleh banyak atasan, termasuk dari mereka yang padahal seharusnya menjadi teladan.
(bersambung)
Sunday, January 21, 2024
Be Nice, Be Wise (1)
=========================
"Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu.."
Di awal saat merintis usaha, saya bergantian menjaga toko dengan istri saya. Tidak lama setelahnya kami mendapat kabar luar biasa, yaitu setelah menunggu 10 tahun, akhirnya istri saya hamil. Seiring berjalannya waktu, maka kami memutuskan agar ia memperbanyak waktu istirahat, dan itu artinya saya mengambil alih bagian shiftnya. Komitmen untuk membuat toko kami disiplin jam bukanya, sementara saya tinggal sendirian dan terkadang harus restok sendiri membuat kami pun memutuskan untuk mencari karyawan.
Istri saya belum pernah punya pengalaman punya pegawai, sementara saya sudah pernah. Karena belum pernah, dia pun mulai menyusun aturan-aturan yang ia rasa baku seperti jangan terlalu dekat dengan pegawai, nanti ngelunjak, harus menghitung semua uang masuk dan barang terjual supaya tidak ada yang masuk kantong dan sebagainya. Itu pemikiran yang sangat wajar, dan saya rasa banyak diadopsi oleh orang-orang yang wiraswasta seperti kami. Tapi saya punya cara saya sendiri yang dahulu sudah saya praktekkan. Dan saya mengatakan kepadanya, serahkan pada saya saja untuk urusan karyawan. Dari dulu, saya menggunakan cara saya sendiri, yang saya anggap sebagai sebuah seni, an art of being a leader.
Buat saya, seni itu sangat penting dalam setiap sendi kehidupan. Seni memimpin rumah tangga, seni dalam bekerja, seni dalam hobi, dan sebagainya, dan sekarang seni sebagai seorang ayah. Dalam hal sebagai pemilik usaha, alias sebagai atasan, saya lebih suka menjalankannya dengan cara yang mungkin sedikit berbeda. Pertama, sebagai pimpinan saya punya 2 tugas utama. Yang pertama mengenal karyawan saya dengan mendalam, baik sifatnya, kepribadiannya, disiplinnya dan sebagainya. Bagaimana ia di luar pekerjaan, lingkungan keluarganya dan sebagainya. Yang kedua: menerapkan standar prosedur kerja dengan adil dan bijaksana dengan sebaik-baik yang saya bisa.
Artinya, saya tidak akan menyalahkan atau memberi penalti kalau terjadi kesalahan, tapi melihat dulu apa yang terjadi. Yang pasti, semua aturan beserta konsekuensi akan saya paparkan dulu di awal, dan nanti kalau sudah berjalan maka aturan dan konsekuensi itu akan dipegang bersama-sama. Jadi tidak sepihak, bukan karena saya adalah pemilik atau yang menggaji lantas saya bersikap semena-mena atau seenaknya terhadap karyawan. Saya bersahabat dekat dengan karyawan. Itu sudah saya lakukan dari dulu dan belum pernah mengalami ada yang ngelunjak.
Bersikap bersahabat yang saya lakukan bukan berarti mereka bisa seenaknya. Kalau saya harus menegur ya saya tegur, tapi tidak kasar melainkan secara baik-baik, person to person. Kalau harus mengganti ya apa boleh buat kalau itu memang kesalahan mereka, tapi di saat lain jika saya yang salah maka saya pun mengganti juga dari kantong saya. Jadi aturan itu saya buat bukan hanya untuk karyawan tapi berlaku juga untuk saya sendiri.
(bersambung)
Saturday, January 20, 2024
Intimidasi (7)
(sambungan)
Apa yang Tuhan pikirkan ketika Dia menciptakan kita secara istimewa dan menjanjikan begitu banyak hal yang indah penuh berkat bagi kita? Apapun alasan Tuhan bisa jadi sulit untuk bisa kita pahami, seperti halnya Daud yang berkata: "Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!" (ay 17). Tetapi setidaknya, maukah kita menyadari betul bahwa kita diciptakan secara khusus sebagai ciptaanNya yang teristimewa dan berhentimemandang kekurangan-kekurangan kita? Maukah kita untuk fokus kepada apa kelebihan yang ditanamkan Allah sejak semula ketika Dia menciptakan kita dan bersyukur untuk itu, dan menolak intimidasi bentuk apapun dari orang lain atau masalah yang kita hadapi? Jika kita menyadari hal ini dengan baik, kita akan mampu menyadari kebaikan Tuhan dalam diri kita, dan disaat itulah kita baru bisa menggali potensi-potensi yang ada untuk kemudian dipergunakan dalam segala hal yang memuliakan Allah.
Akan halnya kehidupan, kita tidak bisa sepenuhnya menghindari orang-orang, yang baik sadar atau tidak, mengeluarkan komentar-komentar yang bisa menyasar mental dan rasa percaya diri kita. Apapun intimidasi dalam bentuk apapun yang anda terima dari orang lain, berapa lama pun itu sudah berlangsung, ketahuilah sebuah fakta bahwa kejadian dan penciptaan itu dahsyat dan ajaib. Tuhan membuat anda dengan sepenuh hati, dan sudah merencanakan hal besar buat anda sejak jauh sebelum anda diciptakan.
Mengertilah bahwa siapapun anda, anda adalah ciptaanNya yang istimewa, indah, mulia dan berharga. Kita adalah karya orisinil Tuhan, Bapa yang begitu luar biasa besar kasihNya kepada kita. Jangan ijinkan siapapun meruntuhkan mental anda dan membuat percaya diri anda hilang. Berhentilah memandang pada manusia tapi arahkan pandangan kepada Tuhan. Ketahui alasan dibalik penciptaanNya dan ketahui apa yang menjadi rencanaNya bagi anda.
Mungkin butuh waktu, mungkin tidak mudah. Tapi setidaknya mulailah mengarahkan pandangan kepada Dia, Sang Pencipta yang sudah menanamkan semua rancangan indah di dalam kita yang ia bentuk secara istimewa. So folks, keep walking straight and never buy any kind of intimidations. Instean, focus on finding out your calling and do your best in it, with God on your side!
Hidup bukanlah menurut apa kata orang, tapi menyadari siapa kita menurut Tuhan dan menemukan apa yang Tuhan rancangkan bagi kita
Friday, January 19, 2024
Intimidasi (6)
(sambungan)
Daud sepenuhnya percaya bahwa Tuhan menciptakannya dengan cara yang menakjubkan. Ia bukanlah ada karena kebetulan, ia diciptakan bukan asal-asalan, ia tidak dibuat tanpa tujuan dan ia tahu bahwa Tuhan punya rencana besar buat dia. Kelak di kemudian hari, Daud menuliskan hal itu.
"Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya." (Mazmur 139:13-16).
Bukan hanya pikiran dan hati, tapi dengan jiwanya Daud sepenuhnya menyadari bahwa Tuhan telah menyiapkannya dengan cara yang dahsyat dan ajaib. Ia yakin bahwa ia adalah karya Tuhan yang diciptakan dengan sangat baik. Daud tidak berbicara mengenai ketampanan atau kesempurnaan secara fisik, tetapi ia melihat dirinya sebagai sebuah kesatuan yang utuh, dan ia pun mengucapkan rasa syukurnya secara penuh kepada Tuhan atas anugerah yang ia terima tersebut.
Betapa indahnya rangkaian ayat dalam Mazmur 139 tadi, yang saya yakin sudah Daud rasakan sejak ia masih menggembala dan terlebih saat menghadapi Goliat. Tidakkah rasanya sangat melegakan jika kita bisa menyadari bahwa kita bukanlah hasil dari sebuah kesalahan, was not made as a mistake, bukan diciptakan sebagai pecundang tanpa arah tujuan atau tanpa rencana, melainkan dibuat Tuhan dengan sempurna dengan sepenuh hati berdasarkan rencana sejak semula, jauh sebelum kita diciptakan? Kita bukanlah dibuat diciptakan seadanya dengan setengah hati, tetapi Tuhan justru mencurahkan segala yang terindah dalam menciptakan kita.
Sang Seniman Agung menciptakan manusia secara sangat istimewa. Tidak seperti ciptaan lainnya, kita diciptakan spesial dengan mengambilgambar dan rupa Allah sendiri (Kejadian 1:26). Kita mendapatkan nafas hidup langsung dari hembusan Allah (2:7), tetap berada dalam telapak tangan dan ruang mataNya (Yesaya 49:16), dan Daud benar. Semua itu sungguh semua itu memang benar-benar dahsyat dan ajaib.
(bersambung)
Thursday, January 18, 2024
Intimidasi (5)
(sambungan)
Dan tibalah Daud disana. Anak muda yang masih kemerah-merahan ini bukanlah seorang prajurit. Sejauh ini tugasnya hanya menggembalakan beberapa ekor ternak ayahnya. Gembala, mungkin tampaknya merupakan pekerjaan yang sepele. Tapi sebenarnya tidak demikian, bahkan pekerjaan ini terbilang penuh resiko bahkan berbahaya. Kenapa? Karena dalam menjalankan tugasnya, setiap hari ia beresiko berhadapan dengan hewan-hewan buas yang siap memangsa ternak dan dirinya.
Tapi Daud memang punya iman yang berbeda. Meski hewan-hewan buas itu bisa memangsanya, ia berani menghadapi hewan-hewan itu. Dan itu bukan karena kekuatannya melainkan karena ia tahu bahwa Tuhan ada menyertainya. Ia tahu bahwa mengandalkan kekuatannya akan sia-sia, ia kalah segalanya dari hewan pemangsa liar. Tapi saat kekuatan Tuhan yang ia andalkan, ia tidak perlu takut terhadap apapun. Spirit itulah yang ia bawa ke hadapan Goliat dan tentara Filistin.
Lihatlah apa yang dikatakan Daud kepada Saul dan para tentara Israel. "Berkatalah Daud kepada Saul: "Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia; hambamu ini akan pergi melawan orang Filistin itu." (ay 32).
Daud yang muda menasihati dan menyemangati tentara-tentara yang lebih dewasa dan punya pengalaman tempur? Apakah itu terdengar aneh? Mungkin, tapi itulah mental Daud. Seruan Daud itu dilepaskan pada para tentara gagah yang selama 40 hari hanya bisa cemas dan ketakutan akibat intimidasi Goliat.
Bukan cuma menyemangati, Daud pun mengimani apa yang ia serukan dan membuktikan langsung dengan dirinya sendiri. Ia bukan cuma berseru tapi kemudian sembunyi di belakang, melainkan hadir di depan menjawab intimidasi Goliat. Daud percaya diri dan tenang menghadapi raksasa bersenjata dan perlengkapan lengkap bukan karena mengandalkan kekuatannya, melainkan karena ia tahu Tuhan menyertainya. Ia percaya kepada Sumber dari segala kekuatan. Kita tahu apa hasilnya. Daud sukses mengalahkan Goliat hanya dengan senjata yang sangat minimalis yaitu batu dan umban.
(bersambung)
Wednesday, January 17, 2024
Intimidasi (4)
(sambungan)
Tapi ada hal lain yang juga menarik untuk kita cermati. Perhatikan apa yang disebutkan pada ayat bacaan hari ini, yang sepertinya jarang-jarang disinggung.
"Orang Filistin itu maju mendekat pada pagi hari dan pada petang hari. Demikianlah ia tampil ke depan empat puluh hari lamanya." (ay 16).
Dari Versi Mudah Dibaca (VMD) disebutkan seperti ini: "Selama 40 hari Goliat orang Filistin itu keluar dari kemahnya setiap pagi dan petang dan berdiri menghadap tentara Israel dan mengejek mereka."
Dengan kata lain, Goliat berdiri mengintimidasi tentara Israel bukan satu dua hari melainkan sampai 40 hari.
Seperti apa bentuk intimidasinya? Bentuknya adalah seperti ini. "Ia berdiri dan berseru kepada barisan Israel, katanya kepada mereka: "Mengapa kamu keluar untuk mengatur barisan perangmu? Bukankah aku seorang Filistin dan kamu adalah hamba Saul? Pilihlah bagimu seorang, dan biarlah ia turun mendapatkan daku. Jika ia dapat berperang melawan aku dan mengalahkan aku, maka kami akan menjadi hambamu; tetapi jika aku dapat mengungguli dia dan mengalahkannya, maka kamu akan menjadi hamba kami dan takluk kepada kami." Pula kata orang Filistin itu: "Aku menantang hari ini barisan Israel; berikanlah kepadaku seorang, supaya kami berperang seorang lawan seorang." (ay 8-10).
"Wahai tentara Israel, hari ini aku menantang kalian! Sini satu lawan satu saja kalau berani!" Itu yang diteriakkannya setiap hari di depan tentara Israel. Tidaklah mengherankan kalau mental tentara Israel kemudian drop akibat tekanan psikologis yang dilancarkan Goliat selama lebih dari sebulan. Goliat dan bala tentara Filistin sukses meruntuhkan mental tentara Israel. Dan hal itupun dinyatakan dalam Alkitab. "Ketika Saul dan segenap orang Israel mendengar perkataan orang Filistin itu, maka cemaslah hati mereka dan sangat ketakutan." (ay 11).
(bersambung)
Tuesday, January 16, 2024
Intimidasi (3)
Masalahnya, sejak kecil anak-anak sudah harus berhadapan dengan bentuk-bentuk intimidasi. Ada yang mendapatkannya dari orang-orang sekitar bahkan tidak jarang dari orang tua atau kakak-kakaknya, atau yang paling sering dari bentuk bullying teman-teman sekolah. Itulah sebabnya saya harus benar-benar mempersiapkan mental anak saya sejak sangat dini. Dia tidak boleh rapuh, tidak boleh mudah mengalami keruntuhan mental jika diejek, direndahkan hingga berbagai bentuk intimidasi. Saya tidak akan bisa 100% memproteksinya dari orang-orang bersikap intimidatif dan bullying, jadi satu-satunya cara adalah mendidiknya agar 'tahan banting' dan tidak mudah goyah. That's something important for me, as it is very important for her.
Sekarang mari kita kembali pada saat Goliat melakukan teror mental terhadap prajurit Israel. Dan, mari kita lihat bagaimana sosok Goliat pada saat itu agar lebih mudah dibayangkan.
Goliat adalah raksasa, tinggi besar dengan persenjataan dan alat pelindung lengkap. Dalam 1 Samuel 17 sosok fisik dan penampilan Goliat dicatat dengan sangat detail.
- Tingginya sekitar 3 meter.
- Ia pakai helm tembaga, baju pelindung dada bersisik dengan berat hampir 60 kilogram.
- Kakinya dilindungi penutup juga dari tembaga, dan ia membawa tombak panjang yang dililit di bahunya.
- Gagang tombaknya besar, mata tombaknya yang tajam sekitar 7 kilogram beratnya.
- Didepannya ada prajurit yang berjalan membawa perisainya. (ay 4-7).
Itu gambaran lengkap yang bisa membuat kita mudah membayangkan seperti apa penampakan Goliat waktu itu. Bentuknya saja sudah intimidatif, ditambah perlengkapannya, lengkap sudah. Maka jelas Goliat itu tampak mustahil untuk dikalahkan oleh manusia berukuran normal seperti kita, terutama prajurit Israel pada masa itu. Tidaklah mengherankan kalau mereka takut menghadapi Goliat ditambah pasukannya.
(bersambung)
Monday, January 15, 2024
Intimidasi (2)
(sambungan)
Ada banyak orang tua yang bersifat otoriter dan mendisplinkan terlalu keras tidak sesuai dengan umur anak. Ada banyak pula yang memaksakan kehendaknya, melarang secara sepihak tanpa memberi contoh, tabu untuk minta maaf, berat memuji tapi kalau mengkritik lancar dan tajam. Dari pengalaman saya, ini hampir selalu jadi akar permasalahan dari mereka yang bermasalah secara mental saat dewasa. Untuk memperbaikinya biasanya dibutuhkan waktu yang sangat lama karena kerusakan karakter itu sudah berlangsung lama dan terjadi sejak masa tumbuh kembang mereka.
Intimidasi saat ini sudah terjadi sejak usia dini dan akan terus ada sepanjang hidup. Mulai dari dalam keluarga sendiri, nanti di sekolah, di lingkungan, mapun kelak di tempat kerja. Bentuk-bentuk intimidasi pun semakin banyak ragamnya. Mulai dari yang klasik seperti intimidasi verbal dan fisik, hingga yang kekinian, cyber bullying. Kalau tidak bentuk intimidasi berupa tekanan, berbagai bentuk hinaan termasuk body shaming, itu pun bisa meruntuhkan mental dan seringkali sama destruktifnya dengan intimidasi. Dan orang-orang seperti ini semakin banyak saja di dunia, termasuk di negara kita.
Intimidasi bisa membuat seseorang bisa sulit maju menggapai cita-cita atau panggilannya. Mereka sulit mencapai potensi dan penampilan terbaik mereka, cenderung berjalan di tempat atau malah mundur. Padahal, sebenarnya punya potensi dan bakat besar. Alangkah sayangnya apabila mereka harus gagal karena tidak bisa melewati intimidasi atau tekanan, ejekan, cemoohan, kritikan yang merendahkan dan bentuk-bentuk lainnya.
Akan halnya intimidasi, saya ingin mengajak teman-teman untuk kembali melihat kisah Goliat dari sudut pandang berbeda. Kita sudah sangat familiar dengan kisah ini, terutama pada bagian Daud mengalahkan Goliat hanya dengan menggunakan umban yaitu sejenis ketapel. Tapi untuk renungan kali ini, saya akan mengajak melihat dari sisi lain yang mungkin jarang kita perhatikan, yaitu intimidasi.
Apakah yang dimaksud dengan intimidasi? Menurut kamus bahasa, intimidasi adalah tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu), gertakan atau ancaman. Sebuah intimidasi bermaksud menimbulkan rasa takut atau gentar kepada korban dengan menyerang terhadap mental. Itulah sebabnya berhasil tidaknya sebuah intimidasi, atau dampak yang ditimbulkan dari sebuah intimidasi akan sangat tergantung pada mental sang korban. Jika mental kita lemah, maka sedikit intimidasi sudah akan meruntuhkan kita secara moril.
(bersambung)
Sunday, January 14, 2024
Intimidasi (1)
Ayat bacaan: 1 Samuel 17:16
======================
"Selama 40 hari Goliat orang Filistin itu keluar dari kemahnya setiap pagi dan petang dan berdiri menghadap tentara Israel dan mengejek mereka." (vMD-Versi Mudah Dibaca)
Seperti yang sudah pernah saya sampaikan, sejak awal saya terus berusaha menanamkan rasa percaya diri putri saya. Cara saya melakukannya adalah dengan memberi pujian saat ia melakukan sesuatu yang baik, mengucapkan terima kasih ketika ia memberi sesuatu atau sudah berbuat hal baik, tidak menegur kasar kalau dia salah tapi menegur secara baik-baik disertai alasan kenapa ia ditegur, dan terus memotivasinya baik dalam kegigihan, kreatifitas dan terlebih kekuatan mentalnya. Saya juga meminta maaf kalau saya salah. Itu akan membuatnya terbiasa untuk meminta maaf kalau salah, dan membuatnya tahu bahwa kalau salah maka mengakui kesalahan dan minta maaf adalah jauh lebih baik ketimbang mencari pembenaran atau membela diri.
Apakah saya terlalu lembut? Percayalah, tidak. Ada kalanya saat ia harus dihukum dengan berdiri di pojok selama 1 sampai 3 menit kalau yang ia lakukan sudah pantas untuk itu. Yang tak kalah penting, saya pun sejak dini terus mengenali karakter, sifat dan kepribadiannya supaya saya tahu bagaimana cara terbaik untuk menghadapinya. Hal ini saya anggap sangat penting karena saya terus bertemu dengan orang-orang dengan gambar diri yang rusak. Mereka ini biasanya sulit maju karena tidak punya mental yang cukup kuat untuk itu. Baik dari sisi percaya diri, respon saat menghadapi sesuatu maupun keputusan-keputusan yang mereka ambil.
Ada begitu banyak psikolog di luar sana yang terus memberikan do and don't dalam hal membesarkan anak. Tidak salah memang, hanya saja yang kerap dilupakan adalah bahwa hal yang paling mendasar sebelum do or don't justru mengenali kepribadian si anak dan kita menyesuaikan cara mendidik sesuai dengan kepribadian atau karakternya. Itu wajib supaya kita tidak sampai salah orbit karena mengikuti secara buta apa yang dianjurkan tanpa menyesuaikan dengan karakter anak-anak kita. Apalagi kalau mengikuti secara baku buku-buku dari luar, yang secara kultural tidak sama dengan kita.
Mendidik anak dari sisi psikis mereka itu sangatlah penting, karena dunia yang akan mereka jalani ke depan ini tidaklah mudah. Akan selalu banyak tekanan, ancaman, gangguan, beban maupun bentuk-bentuk intimidasi, yang kalau mereka tidak siap, bisa membuat mereka tidak maksimal dalam menjalani hidup. Saya sadar waktu saya untuk bersamanya terbatas. Apalagi saya baru dikaruniai putri saya saat saya tidak lagi muda. Jadi saya harus memanfaatkan waktu semaksimal mungkin ditengah segala kesibukan saya agar jangan sampai terlambat. Dan pendidikan itu dimulai dari keluarga.
(bersambung)
Saturday, January 13, 2024
Persistence in Prayer (11)
(sambungan)
Bertekun dalam doa, berdoa dengan tidak jemu-jemu, berdoa siang dan malam, itu tidak akan pernah berakhir sia-sia. Ada kalanya jawaban Tuhan tidak akan segera datang. Mungkin waktunya belum tepat, mungkin Tuhan masih merasa perlu untuk menguji keteguhan dan ketekunan kita, tapi kelak pada saatnya, Tuhan akan menurunkan pertolonganNya.
Hendaknya kita mempergunakan masa-masa sukar sebagai waktu untuk kita melatih otot-otot rohani kita, melatih kekuatan iman kita untuk percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Disamping itu, masa-masa itu pun bisa kita pakai sebagai sarana untuk melatih diri agar lebih bijaksana, lebih pintar dan lebih cerdas. Anggaplah semua itu seperti ujian. Jika kita bisa melewatinya alias lulus ujian, maka kita akan naik kelas.
Mau disadari atau tidak, seringkali masa-masa sulit pun menjadi saat yang paling tepat bagi kita untuk menguji sampai sekuat atau seteguh apa iman kita. Itu akan sulit kita ukur saat hidup kita baik-baik saja, cenderung tanpa masalah. Tapi di masa kesukaran, kita bisa melihat seperti apa kondisi iman kita. Jika kita langsung panik, kuatir, atau malah langsung lari kepada hal-hal yang bertentangan dengan hukum Tuhan, maka itu artinya ada pekerjaan rumah atas iman kita yang harus segera kita tanggulangi atau perbaiki.
Mari kita jauhkan sifat-sifat ketidaksabaran yang bisa mengarahkan kita kepada rupa-rupa kesesatan ketika kita memilih untuk mencari alternatif atau jalan pintas yang justru akan memperburuk situasi. Adalah jauh lebih penting untuk membina hubungan yang erat dengan Tuhan, dan sarana untuk itu adalah melalui doa. Bertekun dan konsisten lah dalam berdoa. Jangan pernah jenuh, jangan pernah jemu. Tidak akan pernah sia-sia mengandalkan Tuhan atas apapun yang menimpa kita hari ini.
Even if you haven't seen the answer, keep praying, never give up
Friday, January 12, 2024
Persistence in Prayer (10)
(sambungan)
Paulus pun dalam beberapa kesempatan menunjuk pada doa yang terus dilakukan siang dan malam dengan sungguh-sungguh. Salah satu contoh adalah ketika Paulus menyatakan betapa ia terus berdoa siang dan malam dalam kerinduan untuk bertemu dengan para jemaat di Tesalonika dan melayani mereka. (1 Tesalonika 3:10).
Lalu dalam Kolose 4:12, rekan sepelayanan Paulus bernama Epafras juga menunjukkan bagaimana ia bergumul dalam doa agar jemaat di Kolose tetap bisa berdiri teguh sebagai orang-orang yang dewasa imannya dan berkeyakinan penuh dengan segala hal yang Tuhan kehendaki. Epafras bergumul dalam doa saat di penjara menanti dieksekusi menunjukkan bagaimana besar imannya yang sepenuhnya percaya kepada Tuhan. Dan jelas, orang yang bergumul dalam doa menunjukkan kegigihan dalam doa tanpa jemu-jemu.
Sekali lagi, berdoa dengan tidak jemu-jemu, doa yang dipanjatkan terus menerus siang dan malam bukanlah berarti doa harus terus kita ulang-ulang atau bertele-tele. Bukan pula dengan cara-cara memaksa. Hal berdoa diajarkan dengan jelas oleh Yesus sendiri dalam Matius 6:5-15, dan hendaknya itu kita jadikan acuan kita. Bukan karena banyaknya kata-kata, keindahan rangkaian kata dalam doa, tapi doa yang disertai iman lah yang penting. Bukan pula doa yang cuma dilakukan karena ada permintaan dan kebutuhan, menjadikan doa sebagai paket berisi daftar permintaan, tapi dasarkan doa sebagai sarana bagi kita untuk membina keintiman hubungan dengan Tuhan.
Sejauh mana kita mampu bergantung dan mau mengandalkan Tuhan, itu akan terlihat dari kesetiaan kita dalam berdoa. Dalam Roma kita diingatkan agar senantiasa "Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!" (Roma 12:12).
(bersambung)
Thursday, January 11, 2024
Persistence in Prayer (9)
(sambungan)
5. Doa yang tidak jemu-jemu itu menujukkan kesungguhan kita
Apakah kita sungguh-sungguh atau tidak dalam berdoa akan terlihat dari seberapa besar intensitas kita berdoa. Orang yang tidak sungguh-sungguh biasanya akan cepat berhenti, cepat menyerah dan mudah putus asa. Atau hanya berdoa ala kadarnya saja, karena kurang percaya akan kekuatan doa. Namun orang yang benar-benar atau sungguh-sungguh bergantung pada Tuhan akan terus melakukannya tanpa jemu-jemu. Mereka akan terus berdoa bukan saja sampai doa mereka dikabulkan tapi juga akan terus menjadikan kehidupan doa sebagai sarana membangun hubungan yang kuat dengan Tuhan.
Dari kelima poin tersebut kita bisa melihat bahwa doa yang tidak jemu-jemu menunjukkan keteguhan hati dengan pengharapan tanpa henti dan keyakinan sepenuhnya kepada Tuhan. Tanpa itu maka orang akan cepat berhenti berdoa, mudah kembali putus asa, merasa dikecewakan Tuhan hingga meninggalkan Tuhan sama sekali.
Apa yang Tuhan Yesus ajarkan lewat perumpamaan seorang janda dan hakim yang lalim dalam Lukas 18 dengan jelas mengingatkan pentingnya untuk terus berdoa tanpa jemu-jemu. Yesus mengajarkan bagaimana besarnya kuasa doa, bagaimana kita sebagai anak-anak Allah sebaiknya terus berdoa siang dan malam dengan tidak jemu-jemu, tanpa putus asa, tanpa putus pengharapan melainkan dengan keyakinan teguh bahwa Tuhan akan memberi pertolongan tepat pada saatnya.
(bersambung)
Wednesday, January 10, 2024
Persistence in Prayer (8)
(sambungan)
Sebagian orang lalu segera mencari alternatif-alternatif lainnya disertai perasaan kecewa kepada Tuhan. Maka orang yang melakukan doa yang terus dilakukan tanpa rasa jemu pun bisa menjadi ukuran sampai dimana kesetiaan kita untuk bergantung pada Tuhan saja dan sebesar apa kesabaran yang ada pada kita dalam menanti jawaban dari Tuhan.
3. Doa yang tidak jemu-jemu melatih diri kita untuk hidup dengan iman
"Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Iman timbul dari pendengaran kita oleh Firman, tapi kita akan sulit mengalami pertumbuhan iman apabila kita tidak melakukan Firman dalam hidup kita sehari-hari. Doa yang tidak jemu-jemu merupakan salah satu bentuk nyata keyakinan kita akan Firman Tuhan, yang kalau kita lakukan tentu akan terus melatih diri kita untuk hidup berpegang pada iman.
4. Doa yang tidak jemu-jemu menunjukkan seberapa besar kita menggantungkan harapan kepada Tuhan
Kegigihan kita dalam berdoa juga bisa dijadikan gambaran tentang sejauh mana kita menggantungkan harapan kepada Tuhan. Apakah kita benar-benar hanya menggantungkan harapan pada Tuhan saja atau hanya menjadikan doa sebagai salah satu alternatif disamping yang lainnya. Bisa jadi di satu sisi berdoa, di sisi lain mencoba mengandalkan banyak hal lainnya seperti harta yang kita miliki, koneksi dengan orang lain atau jangan-jangan kuasa-kuasa gelap pun jadi salah satunya.
Kalau benar kita hanya mengandalkan Tuhan saja dan bukan menjadikan Tuhan hanya sebagai satu dari sekian alternatif, tentu kita akan terus berdoa dengan sepenuh hati, dengan segenap kekuatan iman kita. Jadi dengan kata lain, apakah kita sepenuhnya menggantungkan harapan atau menantikan jawaban pada Tuhan atau tidak, itu akan terlihat dari seberapa tekun kita berdoa.
(bersambung)
Tuesday, January 9, 2024
Persistence in Prayer (7)
(sambungan)
1. Doa yang tidak jemu-jemu menunjukkan kesungguhan iman kita kepada Tuhan
Doa merupakan sarana atau media kita untuk membangun hubungan dengan Tuhan. Doa juga merupakan bentuk ungkapan atau deklarasi iman kita dihadapan Tuhan yang disampaikan lewat kata. Saat kita berdoa, itu menunjukkan seperti apa iman kita dan kepada siapa kita meletakkan iman kita. Doa yang disampaikan dengan tidak jemu-jemu menunjukkan seperti apa kondisi iman kita saat ini. Iman itu disertai percaya, dan hanya orang yang percayalah yang mau terus berdoa dengan tidak jemu-jemu meski jawaban belum datang saat ini.
Sederhananya, orang tidak akan mau terus berdoa kalau mereka tidak atau kurang cukup percaya. Orang yang imannya rapuh akan segera bosan atau malas berdoa meski baru sebentar karena ia tidak punya cukup iman untuk percaya akan pertolongan Tuhan, sebaliknya orang yang punya iman kuat tahu bahwa pertolongan Tuhan akan datang, karenanya mereka akan terus berdoa. Kalaupun belum, mereka tidak akan pernah berhenti karena sejatinya doa menjadi sarana berhubungan dengan Tuhan. Jadi doa bisa menunjukkan sampai dimana kesungguhan iman kita kepada Tuhan.
2. Doa yang tidak jemu-jemu menyatakan sampai dimana kesetiaan dan kesabaran kita pada Tuhan untuk mendapatkan jawaban atas doa
Dalam mengharapkan pertolongan Tuhan saat menghadapi permasalahan apalagi yang berat, seberapa besar kesabaran kita untuk berharap kepadaNya? Seringkali ketidaksabaran menjadi penghalang terbesar bagi kita untuk menikmati janji-janji Tuhan atau jawaban atas doa. Awalnya mungkin kita berdoa, tapi ketika jawaban tidak kunjung datang secepat yang kita kehendaki, intensitas doa pun menurun drastis hingga akhirnya berhenti total.
(bersambung)
Monday, January 8, 2024
Persistence in Prayer (6)
(sambungan)
Apa yang dimaksud dengan doa tanpa jemu-jemu itu? Doa tanpa jemu-jemu adalah doa yang terus kita panjatkan tanpa bosan, terus menerus dengan disertai iman. Kegigihan dan keuletan tentu termasuk pula dari sebuah aktivitas tak jemu-jemu. Dalam bahasa Inggrisnya kata "mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu" disebutkan dengan "they have should always pray and not give up." Harus tetap berdoa dan tidak menyerah. Terus berdoa dengan penuh harapan tanpa putus asa.
Tentu doa ini bukan dimaksudkan untuk menjadikannya sebagai media merengek kepada Tuhan, atau mendesak Tuhan untuk mengabulkan permintaan kita secepat yang kita mau. Doa tanpa jemu-jemu juga bukan dimaksudkan agar doa dilakukan bertele-tele. Yesus juga yang mengingatkan hal itu dengan jelas. "Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan." (Matius 6:7).
Berdoa yang tidak jemu-jemu tidaklah sama dengan doa yang bertele-tele. Itu bukan berarti kita harus mengkonsep doa dengan panjang lebar dan diisi dengan kepintaran merangkai kata, membuatnya penuh perulangan melainkan tetap harus datang dari hati dan disampaikan dengan iman.
Jika demikian, kenapa kita harus berdoa dengan tidak jemu-jemu? Untuk apa atau apa gunanya bagi kita? Setidaknya ada 5 alasan mengapa doa harus disampaikan dengan tidak jemu. Mari kita lihat satu persatu.
(bersambung)
Sunday, January 7, 2024
Persistence in Prayer (5)
(sambungan)
Untuk menerangkan tentang doa dengan tidak jemu-jemu, Yesus mengambil perumpamaan tentang seorang janda dan hakim yang lalim. Sosok janda adalah sosok yang lemah dan sering digambarkan sebagai figur yang tertindas, hidup susah dalam kemiskinan dan kerap diperlakukan tidak adil dalam masyarakat. Dalam perumpamaan ini Yesus mengisahkan tentang seorang janda yang terus memohon kepada hakim yang lalim agar berkenan membela haknya. (ay 3).
Sementara hakim dalam kisah ini bukanlah orang yang takut akan Tuhan, dan mempunyai sikap arogan yang tidak menghormati siapapun. Sesuai dengan gambaran pribadi si hakim, sudah tentu ia menolak mentah-mentah permohonan janda ini. Tapi lihatlah kegigihan ibu janda ini. Ia tidak jemu-jemu mendatanginya dan memohon, dan akhirnya ia berhasil meluluhkan hakim yang lalim itu. Dan Yesus pun berkata, "Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu!" (ay 6).
Contoh perumpamaan ini sederhana saja dan sangat mudah dicerna. Kalau hakim yang lalim saja bisa luluh terhadap permohonan tidak jemu-jemu dari seorang janda dan pada akhirnya mau mengabulkan permintaan si janda, apakah mungkin Tuhan yang begitu penuh kasih setia, begitu mengasihi kita manusia ciptaanNya yang serupa dengan gambarNya, dan menganggap kita begitu istimewa tidak mendengarkan seruan kita? Inilah yang dikatakan Yesus. "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?" (ay 7).
Tuhan tidak akan mengulur-ulur waktu. Ia akan menjawab doa kita tepat pada waktunya, selama doa dilakukan dengan benar dengan meminta sesuatu yang baik dan perlu bukan untuk pemenuhan kesenangan diri sendiri (Yakobus 4:3), sudah terlebih dahulu menyelesaikan segala ganjalan yang ada dalam hati terhadap orang lain (Markus 11:25) dan hidup bijaksana dan menghormati pasangan hidupnya (1 Petrus 3:7). Meski demikian, doa tidak boleh dilakukan cuma sekedarnya melainkan datang dari hati yang tulus, jujur dan dilakukan dengan serius, juga tanpa jemu-jemu.
(bersambung)
Saturday, January 6, 2024
Persistence in Prayer (4)
(sambungan)
Lalu bagaimana dengan doa? Apakah kita sadar bahwa dalam berdoa pun dibutuhkan keseriusan, kesungguhan dan ketekunan, kegigihan yang tidak jemu-jemu seperti contoh-contoh di atas? Banyak orang yang berdoa hanya selintas saja, ala kadarnya. Cuma karena dirasa sebagai keharusan, cuma faktor kebiasaan, atau ada pula yang menjadikannya sekadar salah satu alternatif saja untuk bisa memperoleh apa yang diinginkan. Dijawab syukur, tidak dijawab ya sudah, cari alternatif lain. Saat butuh sesuatu lantas mencoba berdoa sebentar saja, tapi kalau tidak langsung dikabulkan langsung kecewa dan menganggap Tuhan tidak peduli, tidak sayang atau bahkan segera meragukan FirmanNya atau juga eksistensiNya.
Bagi mereka ini, doa dianggap sebagai sarana meminta-minta, dan menganggap bahwa Tuhan wajib mengabulkan sesuai apa yang mereka mau, dalam waktu yang mereka mau pula. Kalau tidak maka Tuhan dipersalahkan.
Selain itu ada juga orang yang mengira bahwa doa berulang-ulang itu buang waktu, waste of time. Bukankah Tuhan menyelidiki hati kita dan tahu segala sesuatu yang ada disana? Bukankah tanpa diminta pun Tuhan tahu apa yang kita butuhkan? Benar. Tuhan mengerti kita lebih dari kita mengenal diri sendiri. Tapi itu bukan berarti bahwa kita tidak perlu lagi berdoa. Dan hal ini diingatkan langsung oleh Yesus sendiri.
Yesus menyampaikan tentang hal ini melalui sebuah perumpamaan yang dicatat dalam Injil Lukas 18:1-8. Perikop ini dimulai dengan: "Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu." (Lukas 18:1).
(bersambung)
Friday, January 5, 2024
Persistence in Prayer (3)
(sambungan)
Berapa kali Thomas Alva Edison gagal sebelum akhirnya berhasil menciptakan lampu? Sekitar 10 ribu kali! Pada suatu hari ia ditanya wartawan, seperti apa sih rasanya gagal sampai 10 ribu kali? Dia menjawab: "I have not failed. I've just found 10,000 ways that won't work." Edison bilang, "saya tidak gagal. Saya hanya menemukan 10 ribu cara yang tidak akan menghasilkan apa-apa."
Wow. Itu sebuah bentuk optimisme yang kemudian membuahkan hasil yang dinikmati dan menjadi sumber teknologi modern lainnya pada generasi selanjutnya hingga yang akan datang. Kalau proses 10 ribu kali mengulang saja sudah hampir-hampir tidak masuk akal ada yang mau melakukan, anda bisa bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkannya dan berapa lama waktu yang harus ia habiskan sampai ia menemukan bola lampu.
Kegigihan, semangat pantang menyerah, usaha tanpa henti, itu biasanya kita lakukan untuk sesuatu yang kita anggap sangat penting. Bagaimana saat teman-teman mendapatkan pasangan hidup anda saat ini? Mungkin ada yang relatif tidak sulit, tapi ada banyak pula yang penuh perjuangan, penuh tantangan bahkan penuh pengorbanan. Dan hari ini, ketika anda melihat pasangan hidup anda yang dulu anda perjuangkan mati-matian, kegigihan adalah salah satu faktor yang membuat anda memenangkan hatinya.
Seringkali keberhasilan akan sangat tergantung dari seberapa gigih kita memperjuangkannya.
Lalu bagaimana dengan doa? Apakah kita sadar bahwa dalam berdoa pun dibutuhkan keseriusan, kesungguhan dan ketekunan, kegigihan yang tidak jemu-jemu seperti contoh-contoh di atas?
(bersambung)
Thursday, January 4, 2024
Persistence in Prayer (2)
(sambungan)
Pada pertengahan tahun 1700 an saat Benjamin Franklin menemukan bahwa listrik memiliki elemen positif dan negatif dimana listrik mengalir diantara kedua elemen ini. Ia juga percaya bahwa petir juga merupakan bentuk dari aliran listrik yang mengalir di antara elemen positif dan negatif. Lalu ia pun melakukan eksperimen yang sangat terkenal dengan menggunakan layangan. Ia menerbangkan layangan di saat badai petir, dimana ia mengikatkan sebuah kunci dari besi pada layangan tersebut. Maka petir kemudian menyengat besi di layangan dan mengalirkan listrik pada benang. Untung saja ia tidak sampai celaka. Tapi percobaan nekadnya membuktikan bahwa petir memang merupakan listrik yang mengalir dari antara dua elemen tersebut.
Lantas, sebelum masa Benjamin Franklin, ada nama-nama yang lebih jarang disebut sepertii William Gilbert dan Thomas Browne yang pernah meneliti listrik, bahkan diklaim sebagai ilmuwan pertama yang menggunakan istilah 'electricity'. Mereka pun tentu punya kontribusi penting dalam sejarah penemuan listrik.
Sekitar 1 abad setelah Franklin, ada nama besar yaitu Thomas Alva Edision yang menemukan bola lampu, berkatnya dunia pun menjadi terang benderang.
Coba bayangkan seandainya Benjamin Franklin, William Gilbert, Thomas Browne dan Thomas Alva Edison tidak gigih dalam melakukan penelitian mereka. Bayangkan kalau mereka adalah tipe orang yang cepat bosan dan menyerah. Bayangkan kalau mereka seperti orang di jamansekarang yang sukanya buru-buru ingin hasil instan dan tidak lagi percaya pada proses. Jangan-jangan kita masih pakai lilin sampai sekarang dan tidak ada yang namanya televisi, kulkas, laptop, gadget dan benda-benda elektronik lainnya yang jelas sangat membantu kita, bahkan banyak diantara kita yang tidak lagi bisa hidup tanpa semua itu.
(bersambung)
Wednesday, January 3, 2024
Persistence in Prayer (1)
Ayat bacaan: Lukas 18:1
====================
"Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu."
Sangatlah menyenangkan melihat kegigihan anak kecil saat belajar naik sepeda. Ceritanya, saya membelikan putri saya sepeda balanced bike saat ulang tahunnya yang ke 3 awal tahun lalu . Sepeda ini tidak punya pedal, dan gunanya adalah untuk melatih keseimbangan sejak usia dini. Awalnya ia kesulitan karena ia harus mendorong sepedanya dengan menggunakan kedua kaki.
Beberapa kali ia terjatuh saat mengangkat kedua kaki atau saat ia dalam posisi terlalu miring. Luka lecet mulai dari di kaki, tangan sampai dagu sudah pernah ia rasakan. Kalau jatuhnya lumayan dia menangis, tapi kalau sedikit saja dia langsung berdiri dan coba lagi. Terkadang kasihan rasanya kalau melihat ia jatuh, tapi saya harus memberinya kesempatan belajar. Toh kalau luka sedikit tinggal diobati, dan siapapun itu pasti harus jatuh dulu sebelum bisa naik sepeda. Dalam kesempatan lain saya pun merasa geli karena anak ini gigih dan bandelnya persis papanya. Mau berapa kali jatuh dan lecet ia tidak pernah kapok dan terus main dengan sepedanya diluar bersama teman-temannya.
Setelah sekian bulan berlalu, ia sudah bisa meluncur kencang dari tanjakan dengan mengangkat kedua kakinya. "Papa, lihat aku meluncur!" teriaknya kegirangan.
Semua usahanya yang tak jemu-jemu, semua lecet yang pernah ia rasakan, terbayar sudah. Bayangkan kalau ia langsung kapok di awal, atau apabila ia tipe mudah menyerah atau juga mudah bosan, ia tidak akan bisa belajar keseimbangan naik sepeda secepat itu di usia 3 tahun lebih beberapa bulan.
Hal ini membawa saya merenung. Seandainya tokoh-tokoh pencipta atau penemu cepat menyerah, entah bagaimana perkembangan teknologi saat ini. Ambil contoh paling sederhana saja, yaitu lampu listrik. Apa jadinya sekiranya para penemu listrik dan lampu ini tidak cukup gigih dalam melakukan riset dan percobaan-percobaan ilmiahnya?
(bersambung)
Tuesday, January 2, 2024
Panduan Damai Sejahtera (7)
(Sambungan)
Damai sejahtera dari Bapa dan Kristus akan selalu menyertai kita, dan kitalah yang memilih apakah kita mau menerima atau menolaknya, apakah kita mau menjadikannya sebagai pemandu bagi langkah, pengambilan keputusan kita atau memilih untuk mengabaikannya dan membiarkan diri kita untuk terus berjalan, mengambil keputusan dan bersikap tanpa tuntunan.
Adalah hal yang sangat penting bagi kita untuk bisa mendengar baik-baik suara Tuhan. Kita tidak boleh membiarkan diri kita terus terlalu sibuk dengan hal-hal dunia dan terus menelan bulat-bulat ajaran-ajaran dunia yang keliru mengenai sejahtera dan bahagia sepanjang waktu. Kita harus mulai berpikir untuk memberi Tuhan waktu dan perhatian kita secara khusus dan serius. Tanpa itu kita tidak akan memiliki kepekaan yang cukup terhadap suara Tuhan dan kemudian hidup tanpa pernah memiliki damai sejahtera sama sekali di dalam diri kita. Selain itu jangan lupa pula bahwa ayat bacaan kita hari ini ditutup dengan peringatan agar kita senantiasa mengucap syukur. "..Dan bersyukurlah!" demikian akhir dari ayat Kolose 3:15 di atas.
Karena hati menjadi penentu agar kita bisa mendengar nasihat bahkan teguran Tuhan, kita harus memastikan untuk terus menjaga hati tetap murni. Murni artinya bebas kecemaran dan penyimpangan, yang kalau dibiarkan bisa membawa kita ke dalam pengambilan keputusan yang sembrono, ceroboh atau keliru. Hati akan berhubungan dengan pikiran, maka yang terbaik adalah menyinkronkan perasaan dan pikiran kita dengan Kristus. Untuk menyelidiki hati, seperti yang sudah saya bahas pula sebelumnya, Tuhan memberi pelita lewat roh kita. Itu artinya kita harus memastikan agar tidak ada satu hal pun, terutama kedagingan, yang menghimpit atau mengalahkan roh dalam diri kita.
Kita butuh pelita Tuhan agar bisa menyinari sisi-sisi yang terdalam dari hati kita, bagian-bagian yang tersembunyi jauh di lubuk hati. Lalu kita jangan pula mengabaikan hati nurani kita yang sering menjadi sarana Tuhan untuk berbicara pada kita, mengingatkan saat kita hampir salah langkah. Perasaan damai sejahtera seringkali bisa dijadikan tolok ukur. Saat kita melakukan atau memutuskan sesuatu lalu kita merasa damai sejahtera kita terganggu, segeralah berhenti. Tentu saja ini hanya bisa kita rasakan apabila kita peka. Dan kepekaan hanya akan hadir dari hati yang murni dengan hati nurani yang berfungsi baik.
Monday, January 1, 2024
Panduan Damai Sejahtera (6)
(Sambungan)
Sebuah ayat dalam surat Kolose menyatakan hal ini. "Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah." (Kolose 3:15). Dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari alias BIS dikatakan: "Hendaklah keputusan-keputusanmu ditentukan oleh kedamaian yang diberikan oleh Kristus di dalam hatimu. Sebab Allah memanggil kalian untuk menjadi anggota satu tubuh, supaya kalian hidup dalam kedamaian dari Kristus itu. Hendaklah kalian berterima kasih."
Lihatlah bahwa rasa damai sejahtera Kristus bisa menjadi pemandu kita dalam mengambil keputusan. "let the peace (soul harmony which comes) from Christ rule (act as umpire continually) in your hearts [deciding and settling with finality all questions that arise in your minds, in that peaceful state]", itu bunyi versi English Amplified-nya.
Dari ketiga versi di atas kita bisa melihat jelas bahwa damai sejahtera Kristus mampu memandu kita agar tidak salah jalan dalam memutuskan sesuatu. Apakah kita sudah pernah merasakannya, setidaknya tahu, atau malah tidak tahu sama sekali, persoalannya ada pada kita sendiri. Yang jelas damai sejahtera Kristus akan selalu mampu menjadi peringatan apakah keputusan atau tindakan yang kita ambil itu baik atau buruk bagi kita maupun orang lain, juga benar atau salah di mata Tuhan.
Damai sejahtera dari Allah Bapa dan dari Yesus Kristus berulang kali dinyatakan oleh Paulus terutama dalam penutup surat-suratNya. Lihatlah pada akhir surat Galatia, Efesus Filipi, Tesalonika dan Timotius juga Kolose, Paulus selalu menyatakan hal yang kurang lebih sama: "Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu."
Selain Paulus, Yohanes menyatakan itu juga dalam suratnya: "Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa, akan menyertai kita dalam kebenaran dan kasih." (2 Yohanes 1:3) Petrus pun demikian. "Damai sejahtera menyertai kamu sekalian yang berada dalam Kristus. Amin." (1 Petrus 5:14b).
(bersambung)
Kacang Lupa Kulit (4)
(sambungan) Alangkah ironis, ketika Israel dalam ayat ke 15 ini memakai istilah "Yesyurun". Yesyurun merupakan salah satu panggil...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...