Thursday, May 31, 2018

Simon Orang Farisi dan Wanita Berdosa (7)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Sebagai orang Farisi, Simon menguasai seluk beluk kitab Taurat. Sebagai orang Farisi, Simon termasuk mereka yang berdiri di jalan-jalan menyatakan kedekatan mereka dengan Tuhan dan menunjukkan bahwa mereka orang pilihan yang paling berhak mengajarkan isi kitab. Seharusnya mereka ini menjadi garda terdepan yang menyatakan kasih Allah. Tapi sebaliknya, para orang Farisi ini justru menganggap kehormatan itu sebagai jurang besar yang memisahkan antara diri mereka dengan orang lain. Hati mereka tertutup oleh pembenaran diri sendiri.

Sementara wanita berdosa itu kemungkinan besar di jalan. Dia tidak menguasai isi kitab, pengetahuannya tentang Tuhan jelas sangat terbatas, kalau tidak bisa dibilang sangat minim. Orang sepertinya yang tidak mengenal Tuhan secara baik logikanya akan menjauhi atau tidak peduli terhadap keberadaan Yesus di kotanya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Wanita iniah yang bersujud di depan Yesus, meletakkan wajahnya di kaki Yesus, menangis disana, mengeringkan dengan rambutnya sendiri dan meminyaki kaki Yesus dengan minyak wangi. Ia membuka hatinya dan memohon belas kasih dari Yesus dengan tulus dan jujur.

Di posisi mana kita berdiri hari ini? Apakah ada di posisi Simon orang Farisi yang merasa paling benar dan tidak perlu menghormati Tuhan meski masih membutuhkan, atau ada di posisi wanita berdosa yang sadar diri dan dengan hati lembut merendahkan diri di kaki Tuhan dan mempersembahkan apa yang terbaik yang kita miliki untuk Dia?

Saatnya hari ini untuk datang kepadaNya, duduk di kakiNya, dengar suaraNya dan sembah Dia dengan sepenuh hati. Tuhan Yesus tetap akan datang memenuhi undangan siapapun, tapi Dia akan menyambut mereka yang:
- menyembahNya dengan sungguh-sungguh
- memiliki kesadaran diri dan bukan pembenaran diri
- menghargai/mensyukuri pengampunan dan kasih karuniaNya, yang hidupnya diliputi kasih Tuhan

Tidak perlu malu jika kita masih punya banyak dosa, karena Yesus siap mengampuni semuanya sehingga kita, seperti wanita berdosa itu bisa keluar dengan selamat. Sebaliknya, hindari sikap hati seperti Simon orang Farisi. Sadari bahwa semua berasal dari Tuhan dan kita tetap membutuhkan pengampunanNya. Hargai kasih karunia yang diberikan dengan penuh hormat, dan tetaplah hidup dalam kasih. We might be mighty sinners, but never forget that we have a mighty Savior.

Great love comes from great forgiveness

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, May 30, 2018

Simon Orang Farisi dan Wanita Berdosa (6)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

- Melihat kekurangan atau kesalahan orang lain dan tidak melihat dosa yang masih ada pada diri sendiri. 

Peribahasa mengatakan: gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, semut di seberang lautan tampak jelas. Kesalahan diri sendiri tidak terlihat, tapi kesalahan orang lain terlihat jelas. Yesus sendiri sudah mengatakan: "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" (Matius 7:3). Kita harus berhenti menilai orang lain dan kembali menata hidup kita sendiri. Memastikan agar hidup kita bisa memancarkan terang, menampilkan gambar atau image Tuhan secara benar dalam hidup kita. Terus lebih baik lagi sampai orang bisa mengenal Yesus dan kebenaran Ilahi yang Dia ajarkan secara benar lewat diri kita secara langsung.

- Kita menolak kesempatan untuk melayani Tuhan.
Simon hanya mencari sesuatu dari Yesus. Dia hanya butuh Yesus untuk memenuhi apa yang ia perlukan. Tidak lebih. Orang yang bersikap seperti ini tidak mau repot-repot melakukan sesuatu untuk orang lain, karena mereka hanya mementingkan pemenuhan kebutuhannya sendiri. Kalau orang percaya masih banyak yang terjebak pada sikap ini, bayangkan bagaimana gereja bisa memperluas daya jangkaunya, dan yang lebih parah lagi, bagaimana kita bisa berharap Kerajaan Allah bisa dinyatakan di muka bumi ini.

- Kita lebih peduli terhadap informasi daripada transformasi
Banyak orang yang lebih sibuk mencari pengajaran ketimbang meng-upgrade pertumbuhan imannya. Mencari pengetahuan, mengejar kotbah, bukan untuk mengalami transformasi ke arah yang lebih baik melainkan hanya untuk diperdebatkan, dicari-cari kesalahannya atau bahkan dipakai untuk menghakimi orang lain. Firman Tuhan hanya dipandang sebagai informasi. Semakin banyak informasi yang didapat bisa membuat diri kita semakin terlihat hebat. Ini semua adalah beberapa bentuk ragi Farisi yang harus kita hindari.

3. Apakah kita mengasihiNya dan menghargai betul pengampunan dan kasih karunia yang diberikanNya buat kita?

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, Yesus menegur Simon dengan mengambil sebuah perumpamaan. Ada dua orang yang berhutang, satu hutangnya besar, satu kecil. Keduanya diberikan pengampunan hutang sepenuhnya. Yang mana yang lebih menghargai pengampunan itu? Tentu orang yang hutangnya lebih besar. Maka Yesus berkata:
"Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih." (ay 47).

Dalam versi The Message dikatakan "She was forgiven many, many sins, and so she is very, very grateful. If the forgiveness is minimal, the gratitude is minimal."

Simon memperlakukan Yesus dengan sangat tidak pantas. Jangankan menyembah, dia bahkan tidak menyambut Yesus sesuai dengan tradisi Yahudi pada saat itu. Itu terjadi karena Simon gagal menyadari bahwa sebagai manusia, ia masih jauh dari sempurna dan masih membutuhkan pengampunan dan kasih karunia dari Yesus agar bisa selamat. Selain gagal menyadari hal itu, dia juga gagal menyadari siapa yang bisa mengampuninya. Kalau dia sadar akan hal itu, saya yakin saat itu juga ia akan berlutut dan mencium kaki Yesus seperti halnya yang dilakukan oleh si wanita berdosa.

(bersambung)


Tuesday, May 29, 2018

Simon Orang Farisi dan Wanita Berdosa (5)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)


Ada beberapa hal yang penting untuk kita jadikan pedoman dari kisah ini.

1. Apakah kita sudah memberikan penghormatan yang pantas saat kita memanggilNya? 

Kita butuh Tuhan dalam hidup kita. Masalahnya:

- Apakah kita hanya butuh bantuanNya, berkatNya, penyertaanNya tapi tidak memiliki hati yang menyembah, yang mengasihi dan takut akan Tuhan?
Do we only take Him for granted? 
- Apakah kita hanya memanfaatkan Yesus, atau bahkan
- menganggapNya hanya sebagai ban serap, mencariNya hanya kalau kita berada dalam kesulitan?
- Apakah kita ke gereja dan membaca Alkitab hanya karena kewajiban semata atau karena kita ingin mengalami pertumbuhan untuk terus menjadi seperti Kristus?
- Apakah kita lebih peduli apa kata orang atau seperti apa kita menurut orang daripada bagaimana Yesus memandang kita?

Dengan kata lain, Tuhan Yesus akan menyambut orang-orang yang menyembahNya dengan sepenuh hati.

2. Apakah kita hidup dengan memiliki kesadaran diri atau pembenaran diri sendiri?

Lihatlah reaksi Simon saat melihat wanita itu menyentuh kaki Yesus. Dia merasa wanita itu kotor, tidak layak untuk melakukan itu. Yesus pastilah bukan seperti yang dikatakanNya kalau membiarkan hal itu terjadi. Itu yang Simon pikirkan seperti yang ditulis dalam ayat 39.

Sangatlah menyedihkan apabila kita masih sibuk menilai orang lain tapi tidak melihat pada diri sendiri. Merasa paling benar dan karenanya merasa berhak untuk menghakimi orang lain. Bagaikan sedang menunjuk orang, satu jari menuju pada orang lain tapi jari lainnya sebenarnya mengarah pada diri kita sendiri. Firman Tuhan sudah mengingatkan akan bahaya dari orang yang berperilaku seperti ini. "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (1 Petrus 5:5). God does oppose the proud and gives grace to the humble. 

Beberapa bentuk pembenaran diri sendiri seperti sikapnya Simon antara lain:

- Merasa diri lebih baik dari orang lain
Mungkin kita hari ini sudah hidup berkecukupan, bahkan lebih. Punya pekerjaan, rumah, keluarga, anak, semua kebutuhan primer, sekunder dan tertier terpenuhi. Kita sudah ke gereja, kita sudah berdoa. Itu bukan alasan untuk memegahkan diri apalagi sampai merasa berhak menghakimi orang lain. Kita tidak boleh lupa bahwa semua yang ada pada kita saat ini berasal dari Tuhan, bukan hanya karena hasil usaha kita sendiri saja.

- Merasa tidak perlu memuji dan menyembah Yesus, karena menganggap diri sudah benar sehingga tidak lagi membutuhkan apa-apa dariNya
Orang-orang yang merasa sudah aman akan punya kecenderungan bersikap seperti itu. Kalau sudah benar, kenapa masih harus merendahkan diri? Nanti saja kalau ada masalah lagi. Tuhan kan mengasihi manusia, jadi semua adalah kewajibanNya, saya tidak perlu menyembah dan memujiNya. Ini juga merupakan sikap Simon orang Farisi yang berbahaya. Kalau kita hari ini berada dalam keadaan baik tak kurang suatu apapun, sadarilah bahwa itu berasal daripadaNya. Dia tetap dan akan selalu lebih dari layak untuk disembah dan diberikan ucapan syukur.

(bersambung)


Monday, May 28, 2018

Simon Orang Farisi dan Wanita Berdosa (4)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Satu hal lagi yang penting untuk kita cermati adalah kata-kata Yesus berikut ini: "Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih." (ay 47). Mungkin agak sulit untuk dimengerti, tapi mari kita dalami apa yang dimaksud Yesus.

Untuk bisa mengerti, kita harus terlebih dahulu melihat sebuah perumpamaan singkat yang disampaikan Yesus disana saat itu.

"Ada dua orang yang berhutang kepada seorang pelepas uang. Yang seorang berhutang lima ratus dinar, yang lain lima puluh. Karena mereka tidak sanggup membayar, maka ia menghapuskan hutang kedua orang itu. Siapakah di antara mereka yang akan terlebih mengasihi dia?" Jawab Simon: "Aku kira dia yang paling banyak dihapuskan hutangnya." Kata Yesus kepadanya: "Betul pendapatmu itu." (ay 41-43).

Ada dua orang yang berhutang, yang satu hutangnya besar, sedang satunya kecil, cuma sepersepuluh hutang orang pertama. Keduanya tidak sanggup membayar, si pemberi pinjaman kemudian memutuskan untuk menghapuskan hutang mereka. Siapa yang lebih mengasihi si pemberi pinjaman? Tentu saja orang yang hutangnya lebih banyak yang lebih bersyukur.

Wanita berdosa ini jelas butuh banyak pengampunan. Atas segala dosanya, ia tahu bahwa ia seharusnya berakhir binasa dalam api menyala. Agar terhindar dari itu, ia butuh banyak pengampunan. Dan yang bisa melakukan itu hanyalah Tuhan saja. Dalam rumah Simon yang penuh dengan yang terhormat para ahli kitab, ia menumpahkan kasih sebegitu besar. Dan karena itu Yesus pun mengampuni semua dosanya yang banyak itu.

Apa bedanya dengan Simon dan teman-teman? Bedanya adalah kalau si wanita berdosa sangat haus akan pengampunan, mereka tidak merasa haus akan hal itu, atau merasa butuh diampuni. Buat apa? Mereka ini adalah kelompok orang paling tahu isi kitab, paling rohani dan paling benar. Buat apa lagi pengampunan? Kalau wanita berdosa itu butuh kasih karunia, mereka tidak membutuhkannya. Kalau wanita berdosa itu rindu memperolehnya, para orang Farisi hanya ingin menganalisa dan mencari-cari kesalahan disana.

Kalau wanita berdosa itu memohon pengampunan, mereka hanya ingin mencari perdebatan mengenai hal itu. Dan lihatlah bagaimana reaksi mereka saat melihat wanita berdosa ini menangis di kaki Yesus, mencium dan menyeka dengan rambutnya. Bukannya terenyuh dan timbul rasa belas kasihan, mereka malah merasa jijik dan mempersoalkan Yesus yang membiarkan wanita yang tercemar banyak dosa melakukan hal itu kepadaNya.

Lihatlah, bahwa orang yang tidak butuh pengampunan, yang kalaupun butuh cuma sedikit sekali saja, akan sulit mengasihi. Dengan kata lain, orang yang tidak butuh pengampunan akan kesulitan untuk mengasihi. Great love comes from great forgiveness. Those who don't need forgiveness don't feel the need to love. 

Besok kita akan melihat beberapa poin penting dari kisah ini yang bisa kita jadikan panduan bagi kita untuk melihat hidup dan sikap hati kita.

(bersambung)


Sunday, May 27, 2018

Simon Orang Farisi dan Wanita Berdosa (3)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)


Sementara si wanita berdosa butuh usaha keras untuk bisa berada disana. Seperti Simon, ia pun pasti sudah mendengar begitu banyak perbuatan Yesus yang menunjukkan bahwa Dia adalah Tuhan. Saat merenungkan Firman Tuhan, saya suka mencoba membayangkan kejadiannya secara visual dalam benak saya. Ijinkan saya membagikan apa yang saya lihat dalam gambaran di pikiran saya.

Mungkin pada suatu hari ia berada di sisi jalan saat melihat Yesus melakukan mukjizat dan mendengar pengajaran Yesus. Hidupnya yang penuh dosa tersentuh oleh FirmanNya, hatinya yang beku menjadi cair. Kehangatan kasih Kristus mengalir dalam dirinya.

Karena selalu ada kerumunan orang di dekat Yesus, ia tidak bisa bertemu dan berbicara langsung dengan Yesus. Apalagi melihat statusnya yang sudah diketahui seisi kota sebagai wanita pendosa. Tapi suatu hari saat ia mendengar bahwa Yesus akan datang pada jamuan makan di rumah seseorang, ia mengambil keputusan untuk bertemu dengan Yesus, no matter what, no matter how. Ia rindu akan sebuah pertemuan yang lebih personal, ia ingin mendapat jamahan Tuhan secara langsung. Dia tidak peduli dimana, dia tidak peduli siapa orang-orang yang bakal ada disana dan apa yang akan mereka katakan tentang dia. Kalaupun ia kemudian diusir atau dilempar keluar, setidaknya ia sudah berusaha.

Dalam ayat 38 kita bisa melihat bahwa ia berhasil. "Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat kaki-Nya, lalu membasahi kaki-Nya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu." Ia sudah ada tepat di belakang Yesus dekat kakinya. Dia menyadari statusnya, merasa tidak layak dan terjatuh di kaki Yesus. Dia tidak tahu harus berkata apa, dia tidak sanggup mengontrol emosinya. Semua beban hidupnya yang berat tumpah seketika disana lewat air mata yang mengalir deras. Begitu deras sehingga cukup untuk mencuci kaki Yesus.

Bagaimana mengeringkannya? Wanita ini memilih untuk menyeka kaki Yesus yang basah oleh air mata dengan rambutnya. Ia mencium kaki Yesus dan kemudian meminyaki dengan minyak wangi yang ia bawa, bukan di kepala seperti adat Yahudi melainkan di kaki Yesus, satu-satunya tempat yang ia bisa atau berani dekati. Bagi saya apa yang ia lakukan sangat mengharukan. Siapapun kita yang mungkin hari ini sedang berada di persimpangan jalan dan tengah terpuruk oleh dosa, kita bisa ikuti langkah wanita ini menuju kaki Yesus.

Sebuah kesimpulan bisa kita dapatkan dari kisah ini. Simon mengundang Yesus ke rumahnya, tapi bukan ke dalam hatinya. Sementara wanita berdosa ini menyambut Yesus dalam hatinya, dan Yesus membalas dengan menyambutNya dengan sukacita lalu mengampuni seluruh dosanya. Ia masuk sebagai wanita berdosa, tapi keluar dengan selamat.

(bersambung)


Friday, May 25, 2018

Simon Orang Farisi dan Wanita Berdosa (2)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Orang-orang Farisi yang lebih tahu aturan, paham tata krama dibanding orang biasa seharusnya tahu apa yang wajib dilakukan untuk menyambut tamu, terutama tamu khusus yang memang sengajar mereka undang. Anehnya mereka tidak melakukan ini. Tidak ada sentuhan pada bahu, tidak ada ciuman, tidak ada sambutan mencuci kaki dan tidak juga meminyaki kepala.

Kita bisa tahu itu lewat apa yang dikatakan Yesus sendiri. "Dan sambil berpaling kepada perempuan itu, Ia berkata kepada Simon: "Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku. Engkau tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi dia meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi." (ay 44-46).

Bukannya tuan rumah atau tamu lainnya yang semuanya pakar agama dan ahli kitab, orang-orang yang merasa sebagai manusia 'paling benar' dan 'paling beradab' di muka bumi ini yang melakukan itu, tapi malah seorang wanita berdosa yang saya yakin bahkan tidak diundang.

- Saat mereka tidak mencuci kaki Yesus, wanita berdosa itu membasahi kaki Yesus dengan air mata, lalu ia keringkan dengan rambutnya sendiri.
- Saat mereka tidak mencium Yesus, wanita berdosa itu tanpa henti mencium kaki Yesus.
- Saat mereka tidak meminyaki kepala Yesus dengan minyak, wanita berdosa itu meminyaki kaki Yesus dengan minyak wangi.

Kalau di awal perikop kita langsung dikenalkan pada dua tokoh dengan strata sosial, status atau tingkat kehormatan bak bumi dan langit alias besar sekali perbedaannya, dari bagian ini kita bisa melihat reaksi mereka juga berbeda, tapi justru sebaliknya.

Wanita berdosa itu saya yakin tidak diundang oleh Simon. Bisa jadi wanita ini harus berjuang dengan susah payah untuk bisa melihat Yesus secara langsung dan duduk di kakiNya. Kalaupun ia tidak diusir, sepertinya Simon orang Farisi memang ingin menjebak, atau setidaknya menguji Yesus lewat bagaimana Yesus akan bereaksi terhadap wanita pendosa. Itu bisa kita lihat lewat ayat ini: "Ketika orang Farisi yang mengundang Yesus melihat hal itu, ia berkata dalam hatinya: "Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah seorang berdosa." (ay 39).

Perhatikan, Simon bahkan tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Paling tinggi juga nabi, itu menurutnya. Dan itupun masih harus diuji dulu dari bagaimana reaksi Yesus terhadap seorang wanita tidak dikenal yang tiba-tiba menjamah kakiNya. Dan Simon memanggil Yesus dengan "Guru", tidak lebih, tidak kurang (ay 40). Jadi sampai "Guru" lah status Yesus di mata Simon. Ada kemungkinan naik tingkat sampai Nabi, tapi itu masih tergantung hasil pembuktian.

Kalaupun dia anggap Yesus sebagai Guru, bukankah seorang guru pun layak mendapat sambutan sepantasnya sesuai tradisi mereka? Seharusnya demikian. Tapi mereka tidak melakukan itu, dan itu menunjukkan sikap mereka yang tidak menghormati kedatangan Yesus. Mereka tahu bahwa Yesus sudah melakukan banyak mukjizat, jadi Simon mengundang Yesus mungkin untuk mengajar atau melakukan mukjizat, tapi tidak lebih dari itu. Itu menunjukkan sebuah hubungan yang cuma didasarkan pada untung rugi, mereka cuma ingin memanfaatkan Yesus.

(bersambung)


Thursday, May 24, 2018

Simon Orang Farisi dan Wanita Berdosa (1)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
Ayat bacaan: Lukas 7:36-37
===================
"Seorang Farisi mengundang Yesus untuk datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang Farisi itu, lalu duduk makan. Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi."

Apa bahasa Inggrisnya keset? Kalau ditanya pada anak-anak terutama sekitaran dua dekade lalu, jawabannya mungkin seragam: "Welcome". Kenapa? Pada saat itu jenis keset belumlah se-variatif sekarang. Rata-rata keset pada jaman dulu bertuliskan 'welcome' alias 'selamat datang', yang mungkin gunanya agar tamu sudah disambut dengan ramah sebelum tuan rumah membuka pintu menemui mereka. Kalau orang yang belum kita kenal saja disambut dengan 'welcome', apalagi orang-orang yang kita kenal dekat seperti teman, saudara atau keluarga. Atau, tamu yang memang kita undang. Tentu saja sambutan bagi tamu yang dengan sengaja kita undang berbeda. Kalau istimewa dirasa terlalu mewah, minimal penyambutan yang layak sesuai etika, tata krama dan sopan santun wajib kita kedepankan. Akan sangat aneh kalau kita mengundang seseorang untuk datang tapi kita tidak menyambut dengan layak. Tidak disalam, tidak dipersilahkan masuk, duduk dan dihidangkan sesuatu.

Kenapa saya mulai dengan 'selamat datang' dan 'undangan'? Karena dalam renungan kali ini saya ingin membagikan sebuah penggalan kisah menarik pada masa Yesus berada di dunia. Kisah ini berhubungan dengan soal 'undangan' dan 'sambutan yang pantas'. Bagian ini dicatat oleh Lukas dalam Injilnya pasal 7 mulai dari ayat 36 sampai 50.

Mari kita lihat dua ayat pembuka dari perikop ini yang langsung menunjuk dua orang dengan status dan latar belakang serta sikap berbeda.

"Seorang Farisi mengundang Yesus untuk datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang Farisi itu, lalu duduk makan. Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi." (Lukas 7:36-37).

Orang pertama adalah seorang Farisi bernama Simon, tuan rumah yang mengundang Yesus. Lalu orang kedua adalah seorang wanita pendosa, yang datang ke rumah Simon karena mendengar bahwa Yesus sedang ada disana.

Untuk apa Simon yang orang Farisi mengundang Yesus untuk datang makan ke rumahnya? Lukas tidak menyebutkan alasan pastinya. Apakah karena ia mendengar begitu banyak cerita tentang Yesus dan ingin melihat langsung siapa dan seperti apa Yesus itu? Apakah ia ingin mencoba menjebak Yesus untuk mencari kesalahan seperti yang kerap dilakukan orang-orang Farisi karena mereka merasa paling benar berdasarkan keahlian mereka terhadap kitab? Atau ia ingin mendatangkan 'Pembicara' terkenal supaya banyak yang datang? Atau Simon ingin Yesus datang mengajar dia dan teman-teman, yang mungkin bisa terindikasi dari caranya memanggil Yesus sebagai 'Guru' (ay 40)? Atau ia mengundang Yesus supaya Yesus tahu bahwa Simon ini orang terpandang dengan banyak pengikut di kotanya? Entahlah. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai alasannya. Tapi satu hal yang pasti, Simon orang Farisi mengundang Yesus, dan Yesus memenuhi undangannya.

Sebelum saya lanjutkan, ada satu poin penting sampai pada bagian ini, yaitu Yesus akan selalu datang memenuhi undangan dari siapapun. Pemungut cukai, orang Farisi, orang berdosa seperti apapun, siapapun yang mengundang, Yesus akan selalu menyambut undangan dengan senang hati dan datang. Dia tidak memandang latar belakang, warna kulit, status atau apapun tentang kita, tapi tergantung apakah kita mengundangNya untuk datang atau tidak.

Mari kita lanjutkan kisah ini. Pada masa itu dalam tradisi Yahudi ada tiga hal yang dilakukan sebagai bentuk sambutan selamat datang: meletakkan tangan pada bahu tamu lalu memberi ciuman pada pipi kiri dan kanan, mencuci kaki dan meminyaki kepala. Itulah hal-hal yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada tamu. Orang pada saat itu berjalan di tengah terik panas matahari dan jalan penuh debu. Bentuk sepatu atau sandal pun cuma tapak atau sol yang sisi-sisinya terhubung dengan tali temali. Jadi dengan menuangkan air segar di kaki tamu, diharapkan bisa membuat mereka merasa nyaman selain juga bersih. Lalu minyak dari ekstrak tumbuhan yang wangi diletakkan di kepala tamu yang akan menambah kenyamanan mereka.

(bersambung)


Wednesday, May 23, 2018

Prioritas Maria dan Marta (3)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Yesus mengatakan bahwa duduk diam di kakiNya untuk mendengar semua yang hendak Dia katakan merupakan bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari kita.

Tuhan rindu menikmati saat-saat teduh bersama anak-anakNya, Tuhan rindu berbicara dengan anak-anakNya, dan itu tidak akan bisa apabila kita tidak tahu kapan saatnya menghentikan ritme kesibukan kita sehari-hari. Buat saya, adalah sebuah kehormatan besar bisa menikmati hadiratNya dan mendengarNya. Saya tidak mau membuang kesempatan ini. Mendengar perkataanNya sangatlah penting terlebih dalam menghadapi dunia yang semakin sulit. Dia menguatkan, meneguhkan, menyatakan kasih dan penyertaanNya. Dia mengingatkan, mengkoreksi atau bilamana perlu, menegur, sehingga kita tidak harus salah jalan atau keliru dalam mengambil keputusan. MendengarNya, berarti menyadari eksistensiNya secara nyata dalam hidup. Itu akan membuat kita tidak perlu takut, cemas atau kuatir saat berhadapan dengan berbagai permasalahan hidup dalam berbagai dimensi.

Bayangkan sesuatu yang seistimewa itu bisa anda rasakan dan miliki bersama dengan keluarga. Bukankah itu akan sangat menguatkan langkah kaki anda? Buat saya yang pernah hidup di luar kasih karunia hingga dewasa, saya merasakan betul perbedaannya. Dan saya tidak mau hal terbaik itu diambil dari saya. Saya tidak akan mau menggadaikannya dengan apapun dan membuang kesempatan itu.

Apakah kita masih berpikir bahwa jumlah dan kesibukan pelayanan akan menentukan posisi kita di mata Tuhan? Sadarkah kita akan sebuah anugerah besar yang membuat kita tidak sekedar tahu tapi bisa mendengar dan merasakan keberadaan Tuhan secara langsung dalam kehidupan nyata? Apakah kita sudah menikmatiNya atau masih terus membiarkan kesempatan itu terbuang sia-sia?

Tuhan menanti kita saat ini untuk berbicara tentang banyak hal. Kesibukan kita akan membuatNya menunggu tanpa kejelasan, dan itu tentu tidak akan menyenangkan hatiNya. Saatnya bagi kita untuk duduk diam dan mendengar apa yang hendak Tuhan nyatakan dalam hidup kita. Duduk di kakiNya, memandang wajahNya, merasakan kasihNya dan mendengar suaraNya, itulah bagian yang terbaik yang tidak akan diambil dari kita.

Berikan waktu terbaik anda untuk diam di kakiNya, memandang wajahNya dan mendengar suaraNya

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, May 22, 2018

Prioritas Maria dan Marta (2)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Apa yang anda lakukan jika ada orang besar, katakanlah pejabat atau pemimpin datang ke rumah anda? Anda tentu akan segera menyiapkan segala sesuatu untuk melayaninya bukan? Memberi yang terbaik, menyiapkan yang terbaik agar sang pemimpin bisa ada disana senyaman mungkin. Kalau perlu renovasi rumah minimal cat ulang. Melayani total, memberi servis terbaik, itulah yang ada di pikiran Marta.

Ada tamu Agung datang ke rumah, bukan sekedar pemimpin dunia melainkan Yesus, Raja di atas segala raja, Marta langsung sibuk melayani. Ia ingin menunjukkan bahwa ia sangat menghargai kunjungan Yesus lewat cara menyediakan segala hal yang dia anggap akan menyenangkan hati Yesus.

Injil Lukas mencatat kejadian waktu itu seperti ini:

"...Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani." (Lukas 10:39b-40a).

Marta sibuk sekali melayani, tapi Maria mengambil sikap berbeda. Maria justru memilih untuk terus duduk diam di dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan apapun yang dikatakan Yesus. Bagaimana tanggapan Marta? Marta menganggap Maria malas karena tidak membantunya dalam melayani Yesus. "Bukannya ikut membantu malah duduk malas-malasan. Huh." Itu kira-kira reaksinya. Lalu ia  bahkan meminta Yesus mengingatkan Maria untuk membantunya. "Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." (ay 40b).

Sangatlah menarik melihat jawaban Yesus kepada Marta. KataNya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Lukas 10:41-42). "Marta, kamu itu terlalu kuatir dan sibuk memikirkan dan melakukan ini dan itu, terlalu memusingkan diri dengan begitu banyak hal. Tenanglah. Lihat Maria, dia tahu apa yang tepat, dan itu tidak akan diambil darinya." Begitulah jawaban Yesus.

Sebuah pelajaran penting bisa kita petik dari kisah sederhana ini. Lebih dari segala pelayanan yang kita lakukan, Tuhan merindukan saat-saat khusus ketika anda datang kepadaNya dengan telinga yang siap mendengar, dan hati yang siap menerima. Sekali lagi, melayani itu sangat baik, bahkan wajib. Bekerja pun demikian. Tapi ada kalanya kita harus menarik rem dari kesibukan kita, baik pekerjaan ataupun pelayanan. Ada saatnya kita harus berhenti berkeluh kesah dan meminta tolong atas segala permasalahan kita. Dan pergunakanlah waktu tersebut untuk duduk diam di kaki Tuhan dan memberi semua perhatian untuk mendengarNya. Itu akan menunjukkan betapa kita mengasihiNya dan bersyukur atas segala yang telah Dia sediakan bagi kita. Disana kita bisa merasakan kasihNya yang begitu damai, mendengar suaraNya menyampaikan hal-hal yang ingin Dia katakan pada kita, menikmati persekutuan pribadi yang indah dengan Bapa. Itu juga akan sangat menyenangkan hatiNya.

Dalam kesempatan lain Yesus berkata: "Tetapi berbahagialah matamu karena melihat dan telingamu karena mendengar. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya banyak nabi dan orang benar ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya." (Matius 13:16-17). Bukankah banyak orang yang ingin melihat apa yang kita lihat, tapi mereka tidak bisa melihatnya? Dan ingin mendengar suara Tuhan tapi tidak bisa mendengarnya? Yesus sudah memulihkan hubungan kita dengan Tuhan yang sempat terputus lama akibat dosa, itu membuat kita bisa berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa perlu lagi melalui perantaraan nabi atau imam. Sadarkah kita bahwa itu adalah sebuah anugerah yang sangat besar yang akan sayang sekali kalau tidak kita pergunakan dan biarkan sia-sia? Bukankah keterlaluan disaat banyak orang yang ingin bisa seperti kita, kita malah membuang kesempatan itu dan lebih memilih sibuk mencoba mengambil hati Tuhan dengan memusingkan dan melakukan ini dan itu?

(bersambung)


Monday, May 21, 2018

Prioritas Maria dan Marta

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
Ayat bacaan: Lukas 10:39
=====================
"Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya"

Waktu kecil saya dan adik saya dipandang orang punya banyak sifat yang bertolak belakang. Saya lebih kalem, dia tipe yang tidak bisa diam. Saya suka mendengar, dia senang didengar. Soal suka mendengar, saya belakangan merasa sangat bersyukur. Karena memang suka mendengar, saya banyak meluangkan waktu untuk mendengar apa yang dikatakan ayah dan ibu saya. Mereka begitu banyak memberi wejangan, nasihat mengenai berbagai hal yang sampai saat ini ternyata sangat berguna dalam hidup. Dari ayah saya, saya belajar banyak hal diantaranya setia dalam bekerja, jujur, supel dalam pergaulan, tenang dalam menghadapi masalah, hidup tidak mendahulukan materi melainkan ikhlas menolong orang. Dari ibu saya mendapat banyak pelajaran mengenai cara bersikap gentleman terhadap wanita seperti membukakan pintu dan menyilahkan mereka masuk duluan, tidak berjalan di depan wanita apalagi terhadap istri atau pacar, harus menjadi yang mengangkat plastik belanjaan kalau keluar dengan wanita, tidak boleh membentak, bersuara keras apalagi memaki dan memukul. Yang paling ekstrim yang masih sangat saya ingat kata-katanya adalah, "kalau ada lumpur di jalan, kamu harus siap membuka baju untuk menutupi lumpur supaya istri kamu nanti tidak harus kotor kakinya." Pada kenyataannya saya belum pernah harus melakukan itu sampai hari ini, tapi dari beliau saya belajar banyak mengenai bagaimana bersikap terhadap wanita. Disamping itu, ibu sayalah yang mengajarkan berhitung, bahasa Inggris dan sejarah, yang selalu ia ajarkan lewat cara menyenangkan seperti bercerita, pakai alat peraga dan sambil bermain. Waktu kecil saya tidak tahu betapa pentingnya hal itu. Saya hanya melakukan apa yang menyenangkan bagi saya. Ternyata hobi mendengar itu membuat saya tidak kehilangan bagian terbaik dari kedua orang tua saya, yang sangat membantu dan berguna sampai hari ini dan tentunya sepanjang sisa hidup saya.

Selain punya orang tua di dunia, kita juga punya Bapa surgawi. Pernahkah anda berpikir apa yang bisa anda lakukan untuk menyenangkanNya? Banyak yang ingin kasih karuniaNya, ingin berkatNya, ingin pertolonganNya, karenanya merasa perlu membuat Tuhan merasa senang karena mengharapkan sesuatu. Mereka berusaha melakukan ini dan itu, melayani sebanyak atau sesibuk mungkin agar Tuhan senang lalu memakmurkan mereka.

Masih banyak orang yang keliru menganggap bahwa keselamatan itu akan datang lewat perbuatan-perbuatan baik. Mereka mengira bahwa semakin banyak melayani kesempatan selamat lebih besar. Padahal Alkitab sudah menyatakan bahwa keselamatan merupakan kasih karunia yang diberikan cuma-cuma lewat Kristus. Perbuatan baik seharusnya menyertai kehidupan orang percaya sebagai akibat atau buah dari hidup oleh kasih karunia dan bukan tiket untuk menerima kasih karunia.

Atau ada juga yang kasih persembahan besar, bukan karena ingin memberi yang terbaik bagi Tuhan melainkan karena berharap pelipat-gandaan yang lebih besar pula. Doa diisi dengan daftar permintaan panjang, keluh kesah ketimbang ucapan syukur. Kita lebih banyak bicara ketimbang mendengarNya. Kita lebih memilih untuk sibuk daripada datang dan diam menikmati kedamaian dalam hadiratNya dan kemudian mendengar apa yang hendak Dia katakan. Sedikit yang benar-benar rindu untuk menyenangkanNya, lebih sedikit lagi yang tahu apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan.

Di sisi lain, seperti yang saya sampaikan dalam renungan terdahulu, kesibukan kita bekerja, bermain dan melakukan banyak ativitas sehari-hari seringkali menyita waktu lebih dari yang seharusnya. Kebanyakan orang lebih tertarik untuk mengejar kemakmuran dengan terus memacu diri bekerja sebanyak-banyaknya dan mengabaikan waktu-waktu khusus untuk mendatangi dan berdiam di hadiratNya. Pergeseran urutan prioritas memicu semakin renggangnya hubungan kita dengan Tuhan. Kita terus membangun istana tapi membiarkan rumah Tuhan dalam diri kita semakin tidak terurus, dan kemudian tinggal puing-puing saja. Puing-puing menunjukkan bahwa dahulu rumah Tuhan pernah berdiri megah dalam diri kita tapi kemudian ditinggalkan dan dibiarkan hancur.

Apakah melayani itu baik? Tentu. Itu bahkan merupakan sebuah keharusan atas dasar kasih terhadap Tuhan dan sesama. Akan tetapi jangan sampai kesibukan melayani kemudian membuat kita mengabaikan waktu-waktu dimana kita duduk berdiam di kakiNya dan merasakan betapa Tuhan begitu dekat dan begitu mengasihi kita. Melayani itu baik, bekerja itu baik, tapi kita harus tahu kapan kita harus diam, mengambil momen khusus untuk bersekutu denganNya, menikmati hadirat Tuhan yang kudus dan merasakan kedekatan hubungan antara Bapa dan anak bersama Tuhan, menyenangkan hatiNya dengan mendengar perkataanNya.

Kita bisa belajar mengenai hal ini lewat sebuah cerita pada saat Yesus berkunjung ke rumah Marta dan Maria.

(bersambung)


Sunday, May 20, 2018

Belajar Pentingnya Menempatkan Prioritas yang Benar Lewat Kitab Hagai (7)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)


Sebuah gereja juga jangan sampai terjebak pada kekeliruan yang sama, menempatkan program-program yang disusun sebagai prioritas paling utama dan menekan kesempatan Roh Kudus untuk menuntun pergerakannya. Program yang disusun tentu baik selama didasari pada tugas yang diberikan Tuhan, tapi itu tidaklah lebih penting daripada membangun rumah Tuhan sebagai pondasi kehidupan gereja tersebut.

Ingat, pergeseran prioritas bisa terjadi tanpa kita sadari. Di balik sesuatu yang baik, jika tidak kita perhatikan serius bisa timbul pergeseran yang bisa mendatangkan banyak masalah. Tidak kunjung maju, tidak memperoleh sesuai yang diharapkan, jerih payah sia-sia, bukannya meningkat tapi malah menurun, itu semua bisa menjadi awal kehancuran yang diakibatkan oleh bergesernya prioritas kita.

Apa yang kemudian menjadi reaksi bangsa Israel mendengar teguran Tuhan lewat Hagai? Berikut ini adalah bentuk reaksi mereka.

"Lalu Zerubabel bin Sealtiel dan Yosua bin Yozadak, imam besar, dan selebihnya dari bangsa itu mendengarkan suara TUHAN, Allah mereka, dan juga perkataan nabi Hagai, sesuai dengan apa yang disuruhkan kepadanya oleh TUHAN, Allah mereka; lalu takutlah bangsa itu kepada TUHAN. Maka berkatalah Hagai, utusan TUHAN itu, menurut pesan TUHAN kepada bangsa itu, demikian: "Aku ini menyertai kamu, demikianlah firman TUHAN." TUHAN menggerakkan semangat Zerubabel bin Sealtiel, bupati Yehuda, dan semangat Yosua bin Yozadak, imam besar, dan semangat selebihnya dari bangsa itu, maka datanglah mereka, lalu melakukan pekerjaan pembangunan rumah TUHAN semesta alam, Allah mereka." (Hagai 1:12-14).

Seperti pada masa Hagai, Tuhan bukannya tidak menghargai kerja keras kita, tetapi Dia mau agar kita tidak keliru dalam menetapkan prioritas. Kalau kita menurut dan melakukan segera membangun rumah Tuhan dalam segala aspek kehidupan kita maupun keluarga, seketika itu pula Tuhan akan kembali menyertai kita.

Hari ini mari kita periksa dengan seksama kehidupan kita, keluarga kita, persekutuan maupun gereja kita. Apakah rumah Tuhan disana sudah berdiri dalam kondisi baik atau masih puing-puing? Apakah kita sudah mendahulukan pembangunannya secara sungguh-sungguh atau kita masih terlalu sibuk membangun istana kita sendiri? Lebih dari segalanya, tempatkanlah Tuhan dan rumahNya sebagai yang pertama dan terutama dalam kehidupan kita. Kalau sudah terlanjur bergeser, perbaiki segera prioritas kita sesuai yang benar. Tuhan ingin kita semua mengerti dan tidak melakukan kesalahan, agar Dia bisa menyertai kita sepenuhnya sesuai dengan kerinduan hatiNya.

True life is found in nowhere else but God's house

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, May 19, 2018

Belajar Pentingnya Menempatkan Prioritas yang Benar Lewat Kitab Hagai (6)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Apa yang sebenarnya dimaksud dengan rumah Tuhan? Dalam konteks Hagai, rumah Tuhan mengacu kepada baitNya di Yerusalem yang menjadi pusat penyembahan Tuhan. Tapi setelah penebusan Yesus, bait Tuhan bukan lagi secara sempit mengacu pada bangunan tapi diri kita, umatNya baik secara individu maupun kelompok. Lihatlah beberapa ayat berikut ini:

"Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu." (1 Korintus 3:16-17).

"Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1 Korintus 6:19-20).

"Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: "Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku." (2 Korintus 6:16).

Tuhan ada, berdiam/menetap dalam hati kita masing-masing, dan bersama-sama umatNya membangun bait Allah, seperti yang disebutkan dalam Efesus 2:21 ("Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan.") dan 1 Petrus 2:5 ("Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.").

Seperti itulah bait Tuhan itu. Karenanya, kita harus menempatkan membangun rumah Tuhan pada prioritas paling utama. Jangan sampai agenda-agenda kepentingan kita yang mengambil alih posisi tersebut dan bertahta di atas hidup kita. Secara pribadi kita harus membangun rumah Tuhan dalam diri kita, dimana Tuhan menyatakan kuasaNya, menasihati, berpesan dan mengingatkan kita. Sebuah rumah Tuhan dalam diri kita menjadi tempat kita untuk merasakan hadiratNya yang damai dan kudus, dimana kita bisa merasakan kehadiran dan kasihNya dalam sebuah hubungan yang sangat erat, dan menjadi tempat dimana kita menyatakan kasih kita kepadaNya.

Dalam keluarga, membangun mesbah keluarga menjadi bentuk dari rumah Tuhan yang akan menjadi sendi-sendi kokoh kehidupan keluarga yang takut akan Tuhan. Keluarga yang punya rumah Tuhan dalam kondisi berdiri dengan baik akan kuat menghadapi berbagai kesulitan, badai dalam perjalanannya.

(bersambung)


Friday, May 18, 2018

Belajar Pentingnya Menempatkan Prioritas yang Benar Lewat Kitab Hagai (5)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Kita jangan sampai mengalami itu karena salah menempatkan prioritas. Bangsa Israel di masa Hagai menerima teguran keras dari Tuhan.

"Kamu mengharapkan banyak, tetapi hasilnya sedikit, dan ketika kamu membawanya ke rumah, Aku menghembuskannya. Oleh karena apa? demikianlah firman TUHAN semesta alam. Oleh karena rumah-Ku yang tetap menjadi reruntuhan, sedang kamu masing-masing sibuk dengan urusan rumahnya sendiri. Itulah sebabnya langit menahan embunnya dan bumi menahan hasilnya, dan Aku memanggil kekeringan datang ke atas negeri, ke atas gunung-gunung, ke atas gandum, ke atas anggur, ke atas minyak, ke atas segala yang dihasilkan tanah, ke atas manusia dan hewan dan ke atas segala hasil usaha." (Hagai 1: 9-11).

Jangan sampai teguran keras ini jatuh pada kita. Kalau kita terlanjur mengalaminya, periksa dahulu seperti apa kita menyusun prioritas hidup kita saat ini, dan kalau kita tanpa sadar sudah bergeser, kembalikanlah urutannya pada yang terbaik.

5. Orang yang salah prioritas tidak akan mendapat apa yang mereka kejar

Ayat 4 pada pasal 1 kitab Hagai mengatakan "Apakah sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan baik, sedang Rumah ini tetap menjadi reruntuhan?" Orang Israel saat itu mengejar kehidupan dalam kondisi yang sangat baik. Tapi masalahnya, dari ayat 6 dan 9 sampai 11 mengatakan, bahwa meski mereka bisa memperolehnya, tapi tidak membawa kepuasan.

Lihatlah sebuah perumpamaan dari Yesus berikut ini.

"Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya.  Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!  Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah." (Lukas 12:16-21).

Untuk apa kita mati-matian menimbun harta sampai menyisihkan atau melupakan hal-hal yang sebenarnya lebih penting? Bukankah tidak satupun dari kita yang tahu berapa lama lagi masa hidup kita di dunia? Sudah mati-matian mengejar kekayaan, tapi belum sempat dinikmati sudah keburu tiada. Itu menurut Tuhan hanya dilakukan orang bodoh. Bukankah itu bagaikan memasukkan segala hasil jerih payah ke dalam kantong bolong? Salomo bilang: "Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia." (Pengkotbah 1:2).


(bersambung)


Thursday, May 17, 2018

Belajar Pentingnya Menempatkan Prioritas yang Benar Lewat Kitab Hagai (4)

webmaster | 10:00:00 PM | 1 Comment so far
(sambungan)

Benar, sangat benar. Saya pun merasakannya. Tapi itu bukanlah alasan untuk tidak menempatkan Tuhan pada prioritas utama. Saya mengenal seorang pria yang mengepalai sampai ratusan anak perusahaan dan masih aktif melayani. Diluar itu ia punya waktu cukup untuk dipakai bersama keluarga, anak-anaknya hidup takut akan Tuhan dan berprestasi di sekolah. Kalau dia saja bisa berhasil dalam semuanya tanpa mengesampingkan prioritas Tuhan, kenapa kita yang tidak seekstrim itu kegiatannya masih mencari alasan untuk menomordua atau tigakan Tuhan?

Atau ada juga yang pakai alasan keluarga terutama sibuk mengurusi anak. Bukankah keluarga harus jadi prioritas? Ya, dibanding hal-hal lainnya. Tapi bukan berarti Tuhan disingkirkan dari prioritas utama. Kalau kita mementingkan keluarga, bukankah adalah penting untuk membangun mesbah Tuhan di dalamnya? Kalau kita menempatkan keluarga pada prioritas tinggi, justru seharusnya bait Allah menjadi sangat krusial agar keluarga bisa sehat, damai dan terasa kehangatan kasihnya.

4. Orang yang meletakkan istananya di atas rumah Tuhan buat terhadap hukuman Tuhan

Bangsa Israel pada masa itu mengalami masalah. Mereka bekerja, tapi tidak memperoleh hasil sesuai jerih payah mereka. Kita bisa mendapatkannya dalam Hagai pasal 1. "Kamu menabur banyak, tetapi membawa pulang hasil sedikit; kamu makan, tetapi tidak sampai kenyang; kamu minum, tetapi tidak sampai puas; kamu berpakaian, tetapi badanmu tidak sampai panas; dan orang yang bekerja untuk upah, ia bekerja untuk upah yang ditaruh dalam pundi-pundi yang berlobang!" (ay 6).

Banyak menabur benih, tapi hasilnya jauh dari yang diharapkan. Makan sih makan, tapi tidak kenyang. Masih bisa minum, tapi tidak puas. Punya pakaian, tapi tidak cukup untuk menghangatkan badan. Dan tampaknya badai inflasi pun terjadi pada saat itu, hingga dikatakan upah yang mereka dapat seperti ditaruh dalam pundi-pundi yang berlobang, atau kantong bolong/bocor. Uang yang didapatkan dengan susah payah bocor terbuang entah kemana. Ada 'ngengat' dan 'karat' yang menggerogoti sehingga tidak ada yang bersisa, kalau tidak malah merugi.

Penyebabnya bisa beragam, tapi salah satunya adalah bahwa ketidakdekatan dengan Tuhan bisa mendatangkan masalah, bahkan peringatan maupun hukuman dari Tuhan. Kalau kita sudah bekerja lebih keras tapi bukannya mendapat lebih banyak melainkan habis lebih cepat, bukannya maju tapi mundur, maka ada baiknya kita memeriksa dahulu urutan kepentingan dalam hidup kita sebelum kita buru-buru menyalahkan Tuhan.

Akan hal ini, Tuhan melalui Hagai mengingatkan bahwa yang mengendalikan hujan dan panen adalah Tuhan. Ada kalanya Tuhan menahan berkatNya karena ingin kita menata ulang prioritas kita terlebih dahulu. Dirikan dulu rumah/baitNya, Dia akan memberkati anda sesuai kerinduanNya.

Yesus sudah mengingatkan kita akan hal ini dalam banyak kesempatan. Selain bahayanya mengejar harta dunia dimana ada ngengat dan karat yang bisa membuat semuanya ludes sia-sia, perhatikan pula ayat berikut ini: "Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya." (Yohanes 6:27).

Betapa seringnya kita jatuh pada lubang yang satu ini. Kita mengejar makanan yang dapat binasa, the foods that perish, tapi lupa mengejar makanan yang akan bertahan sampai kehidupan yang kekal, instead we are forgetting the food that endures until the eternal life. 



(bersambung)


Wednesday, May 16, 2018

Belajar Pentingnya Menempatkan Prioritas yang Benar Lewat Kitab Hagai (3)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Hagai menyampaikan pesan Tuhan yang intinya agar kita menempatkan Tuhan pada posisi yang paling utama di dalam hidup kita. Bukan soal memperbanyak pelayanan, melainkan dari segi membangun hubungan dengan Tuhan dan menempatkan Tuhan pada posisi teratas dalam hidup kita, keluarga dan pekerjaan, dalam segala aspek kehidupan kita. Atau, Yesus menyampaikannya seperti ini: "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33).

Tentu hal mementingkan Tuhan sebagai yang paling utama atau terutama sudah kita ketahui. Tapi apa yang membuat prioritas kita bisa tergeser? Dari kisah bangsa Israel di jaman Hagai ini ada beberapa hal yang bisa kita jadikan pelajaran atau pengingat.

1. Kita cenderung menempatkan upaya memenuhi kebutuhan di atas kepentingan membangun bait Allah

Kerja, kerja dan kerja, kalau tidak kita tidak akan punya cukup untuk membiayai atau menafkahi kehidupan. Apakah bekerja itu penting? Sangat. Alkitab bahkan mengatakan dengan tegas bahwa siapa yang tidak bekerja tidak berhak untuk makan (2 Tesalonika 3:10). Tapi kalau kita tidak menjaga cara hidup kita, kita bisa bergeser hidup untuk agenda aktivitas kita sendiri, bukan menurut Tuhan. Bukanlah hal baru bagi kita yang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat bahwa hidup yang fokusnya mengumpulkan harta di bumi atau mengejar hal-hal duniawi merupakan hal yang keliru, sia-sia bahkan bodoh. Kita tahu bahwa kita tidak akan menemukan kebahagiaan, damai sejahtera dan sukacita sejati kalau hidup jauh dari Tuhan. Tapi kita bisa bergeser menuju cara hidup dunia kalau kita tidak menjaga baik hidup kita.

2. Orang yang menempatkan istananya di atas rumah Tuhan bukan cuma orang yang belum percaya tapi juga terdapat di kalangan orang-orang percaya

Hal yang menarik (sekaligus ironis) dari kisah Hagai ini adalah bahwa pesan Tuhan yang ia sampaikan adalah untuk orang-orang percaya, termasuk anda dan saya.

Kita mungkin sudah memulai dengan baik. Lahir baru, rajin membaca Alkitab, berdoa secara teratur dan tertanam di gereja. Aktif di sana, ikut persekutuan, dan mungkin sudah melayani. Tapi kemudian mungkin usaha-usaha kita mulai terbentur berbagai kesulitan. Kita mulai berselisih dengan sesama orang percaya, kecewa terhadap orang-orang sepelayanan atau bahkan gereja, kita mulai mengalami hasil yang mengecewakan padahal kita merasa sudah melakukannya tanpa melanggar ketetapan Tuhan, atau bahkan kita bertemu dengan masa-masa dimana Tuhan seakan-akan menutup mataNya dari kita, tidak melepaskan kita dari masalah meski kita sudah mati-matian berdoa siang dan malam.

Sementara itu kehidupan terutama setelah menikah memerlukan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan didalamnya. Ada tagihan-tagihan bulanan yang harus dibayar, ada kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi. Belum lagi untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang yang sebenarnya bukan primer tapi sudah menjadi hal yang dianggap wajib oleh orang-orang masa kini. Kita masih berusaha untuk rutin ke gereja dan menghadiri persekutuan, tapi itu bisa jadi cuma menjadi salah satu bagian kegiatan sekunder saja yang bisa dilakukan bisa tidak, tergantung kita sedang sibuk atau santai, bukan lagi merupakan prioritas utama.

Perhatikan, apa yang kita lakukan bukanlah hal buruk. Kita tidak sedang memberontak, membangkang atau melawan pada Tuhan secara langsung, tapi kita sedang bergeser meletakkan 'istana' kita di atas bait Tuhan.

3. Kita punya seribu satu alasan untuk meletakkan istana kita di atas bait Tuhan

Mari kita lihat kembali kitab Hagai. Orang Israel berkata: " Sekarang belum tiba waktunya untuk membangun kembali rumah TUHAN!" (Hagai 1:2). "Waduh, nanti dulu dong Tuhan.. saya masih punya kesibukan yang harus didahulukan. Nanti kalau sudah selesai saya akan bangun lagi rumahMu dalam hidup saya." Atau, "Tuhan jangan salah sangka ya.. saya tahu membangun bait Tuhan itu penting, dan saya sangat bersedia untuk membangunnya. Tapi waktunya belum pas untuk saat ini. Cobalah mengerti."

Itu bisa menjadi sebuah alasan yang sering kita kedepankan. Kondisi ekonomi yang sulit yang sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir semakin memaksa kita untuk berkejar-kejaran untuk memperoleh cukup uang untuk bisa hidup lebih dari sekedar layak. Siapa yang tidak merasa hidup berat hari ini? Ada banyak usaha gulung tikar, daya beli merosot, yang tadinya hidup lega sekarang harus berpikir lebih banyak untuk membeli sesuatu. Orang mulai tiarap, mengencangkan ikat pinggang. Harga naik terus tidak dibarengi dengan naiknya pendapatan, yang terjadi malah jarak antara harga dan pendapatan yang makin besar renggangnya.


(bersambung)


Tuesday, May 15, 2018

Belajar Pentingnya Menempatkan Prioritas yang Benar Lewat Kitab Hagai (2)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Kitab ini memaparkan sejarah dari sekitar 500 tahun Sebelum Masehi saat teguran Tuhan datang kepada bangsa Israel lewat nabi Hagai mengenai pembiaran mereka terhadap rumah/bait Tuhan yang sudah cukup lama hanya berupa puing-puing saja. Pada masa itu bangsa Israel dikatakan terlalu sibuk mengurusi urusannya masing-masing sehingga membiarkan rumah Tuhan terbengkalai tidak terurus. Mereka hanya sibuk untuk terus mempercantik rumah sendiri sampai-sampai rumah Tuhan yang sudah menjadi reruntuhan pun tidak lagi mereka pedulikan. Teguran Tuhan pun turun melalui Hagai. Tuhan berseru: "Apakah sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan baik, sedang Rumah ini tetap menjadi reruntuhan?" (Hagai 1:4).

Tuhan menegur keras bangsa Israel dengan mencela sikap mereka ini secara tegas. Tidaklah heran apabila mereka terus menerus memperoleh hasil yang sedikit dan hidup dalam kekeringan, mengalami kegagalan atas segala yang mereka usahakan, dan itu terjadi "Oleh karena rumah-Ku yang tetap menjadi reruntuhan, sedang kamu masing-masing sibuk dengan urusan rumahnya sendiri." (ay 9b). Tuhan tersinggung dan kecewa dengan sikap seperti ini.

 Semua itu tertulis jelas di dalam kitab Hagai yang mencatat langsung suara Tuhan yang menegur keras sikap bangsa ini. "Kamu menabur banyak, tetapi membawa pulang hasil sedikit; kamu makan, tetapi tidak sampai kenyang; kamu minum, tetapi tidak sampai puas; kamu berpakaian, tetapi badanmu tidak sampai panas; dan orang yang bekerja untuk upah, ia bekerja untuk upah yang ditaruh dalam pundi-pundi yang berlobang! Kamu mengharapkan banyak, tetapi hasilnya sedikit, dan ketika kamu membawanya ke rumah, Aku menghembuskannya." (ay 6,9a).

Sebelum kita lanjutkan, mari kita lihat lebih jauh dari fakta sejarah dari kisah ini yang tercatat dalam kitab Ezra. Sekitar lebih dari 10 tahun sebelumnya raja Koresh memerintahkan orang-orang Israel untuk kembali ke Yerusalem dari pembuangan di Babel atau Babilonia. Mereka sebenarnya tahu pentingnya membangun kembali bait Allah begitu sampai kembali di negerinya. Ezra pasal 3 mencatat bahwa dua tahun setelah pulang dari pembuangan, mereka sudah meletakkan pondasi untuk pembangunan kembali bait Allah. Tetangga mereka yang tidak akur dengan mereka atau bahkan dikatakan musuh menawarkan untuk turut membangun kembali bait Allah tersebut, tapi bangsa Israel menolak tawaran mereka. Karena ditolak, bangsa musuh ini pun mulai mengintimidasi dan mengganggu pembangunan kembali bait Allah itu dengan segala cara, mulai dari melemahkan semangat dan membuat mereka takut membangun sampai menyogok para pejabat pemerintah Persia agar menolak rencana tersebut (Ezra 4). Karena itu rencana tersebut pun terhenti.

Sekitar 14-16 tahun setelahnya, bangsa Israel sudah terbiasa dalam rutinitas hidupnya seperti bertani, membangun perumahan, berkeluarga dan sebagainya. Tidak ada yang salah dengan kegiatan-kegiatan tersebut, hanya saja mereka sudah tidak lagi mementingkan hidup dengan bait Allah. Bahkan bupati/gubernur Yehuda bernama Zerubabel dan imam besar Yosua pun terlena dalam rutinitas dan tidak lagi merasa perlu untuk meneruskan pembangunan kembali bait Allah tersebut. Dan Hagai pun kemudian diangkat Tuhan sebagai penyampai pesan/teguran dari Tuhan agar bangsa itu menyadari kesalahan mereka dan kembali mengingat pekerjaan yang terbengkalai selama lebih 1 dekade tersebut.

Apa yang terjadi dalam kitab Hagai ini sangat relevan bagi kita yang hidup di masa sekarang. Orang-orang seperti kita yang bisa jadi tanpa sadar sudah meletakkan Tuhan pada prioritas jauh di bawah aktivitas-aktivitas lainnya yang kita anggap penting. Hagai mengingatkan kita kembali bahwa kita harus meletakkan Tuhan pada prioritas utama kita. Kita tahu itu, bangsa Israel pada masa itu juga tahu, tapi banyak dari kita dan bangsa Israel di masa nabi Hagai telah bergeser dalam sebuah pola hidup dimana supremasi Tuhan tidak lagi tercermin didalamnya. Kita masih mengatakan bahwa Tuhan adalah prioritas utama, tapi pada kenyataannya hidup sudah dikuasai oleh prioritas-prioritas lainnya.


(bersambung)


Monday, May 14, 2018

Belajar Pentingnya Menempatkan Prioritas yang Benar Lewat Kitab Hagai (1)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
Ayat bacaan: Hagai 1:9b
===================
"Oleh karena rumah-Ku yang tetap menjadi reruntuhan, sedang kamu masing-masing sibuk dengan urusan rumahnya sendiri."

Belum lama ada seorang teman yang bercerita pada saya mengenai dirinya yang sedang menata kembali prioritas hidupnya. Ia adalah seorang pekerja keras yang aktif baik dalam profesi maupun pelayanan. Keduanya ia lakukan dengan baik, tapi belakangan ia menyadari bahwa semua itu lama-lama hanya menjadi rutinitas saja dan kemudian merebut waktu-waktu untuk membangun hubungan dengan Tuhan baik secara pribadi juga dalam mesbah keluarga. Ia seringkali harus buru-buru berangkat di pagi hari agar semua pekerjaannya bisa ia selesaikan dan karenanya ia tidak punya waktu lagi untuk berkumpul di pagi hari bersama keluarga. Doa pribadi pun jadi sesuatu yang 'wajib' saja, tidak lagi dinikmati. Menurut pengalamannya, hal itu terjadi tanpa ia sadari. Ia merasa masih melakukan yang baik, tapi pada suatu saat ia merasa 'kering'.

Barulah ia tersadar bahwa hubungannya dengan Tuhan ternyata menjadi dingin, dan setelah ia mengambil waktu untuk merenung, ia mendapati bahwa agenda kegiatannya sudah mengambil alih prioritas hidupnya. Ia bercerita bahwa apa yang menyadarkannya adalah saat ia menemukan kisah dalam salah satu kitab terpendek dalam Alkitab yaitu Hagai.

Lewat kitab Hagai ia merasa tertegur dan segera mulai menata kembali urutan prioritasnya. Sekarang ia kembali merasakan kehangatan hubungan dengan Tuhan dan keluarganya. "Puji Tuhan yang menegur saya sehingga saya tidak harus lama terjebak untuk membangun 'istana' saya tetapi membiarkan bait Tuhan menjadi puing-puing yang semakin tidak terurus." Demikian katanya.

Apa yang dialami teman saya ini saya rasa mewakili banyak dari kita yang tanpa sadar prioritasnya mulai bergeser. Kita tidak melakukan hal yang buruk. Kita bekerja dengan keras dengan jujur, sebagian dari kita melayani, semua itu baik. Tapi kalau tidak hati-hati, fokus atau prioritas kita bisa beralih menjadi menomorsatukan aktivitas, kegiatan atau agenda-agenda kita dimana membangun hubungan dengan Tuhan tidak lagi menempati prioritas utama. Lalu keluarga pun menjadi tersisih, tidak lagi menjadi sesuatu yang penting.

Ada seorang pendeta yang bercerita, bahwa ia merupakan orang yang sibuk dan sangat bergantung pada agendanya. Saat ia belakangan tersadar bahwa hubungan dengan Tuhan secara pribadi dan bersama keluarga ternyata sudah terdegradasi ke urutan bawah, ia menyikapinya dengan menempatkan waktu untuk Tuhan dan keluarga dalam agendanya. Sama seperti ia punya jadwal meeting yang tidak bisa diganggu, demikian pula waktu untuk Tuhan dan keluarga yang dalam agenda ia tempatkan pada posisi yang utama. Tidak ada pekerjaan yang boleh mengganggu atau menggeser kedua prioritas ini. Dan ia merasa sejak ia melakukan itu, hidupnya terasa lebih bahagia dan baik.

Ada banyak hal yang saya dapatkan dari pengalaman dua orang ini. Selain masalah prioritas yang memang harus mendapatkan perhatian serius karena prioritas yang benar ternyata bisa bergeser tanpa kita sadari, melakukan hal yang 'baik' dan 'terbaik' itu ternyata berbeda. Saat kita melakukan hal-hal yang baik, itu belum tentu yang terbaik. Sehingga kita perlu memperhatikan betul agar yang kita lakukan bukan cuma yang baik tetapi yang terbaik, yaitu menurut prinsip atau ketetapan Tuhan. Kalau kita mau menerima yang terbaik dariNya, kita tentu harus melakukan bagian kita yang terbaik pula. Kalau mau memiliki hubungan yang paling dekat dengan Tuhan, kita harus menempatkan prioritas membangun hubungan dengan Tuhan dalam posisi terbaik pula. Kita tidak bisa berharap memiliki hubungan erat, bisa mendengar suaraNya dengan jelas tapi malas dalam komitmen membangun hubungan denganNya. Dan kalau nanti hidup jadi banyak masalah karena banyaknya keputusan yang keliru tanpa adanya Tuhan lagi disana, jangan sampai malah Tuhan yang disalahkan.

Seperti yang saya sebutkan diatas, teman saya bercerita bahwa momen atau titik baliknya adalah saat ia diingatkan Tuhan lewat kitab Hagai. Apa isi dari kitab Hagai? Untuk seminggu ke depan mari kita lihat kisah apa yang ada dan pelajaran apa yang bisa kita dapati disana.

(bersambung)


Sunday, May 13, 2018

But The Lord Looks Into the Heart (3)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Samuel pun heran. "Lalu Samuel berkata kepada Isai: "Inikah anakmu semuanya?" (ay 11a). Mendengar dan melihat reaksi Samuel, barulah Isai mengakui bahwa sebenarnya ia masih punya satu anak lagi. "Jawabnya: "Masih tinggal yang bungsu, tetapi sedang menggembalakan kambing domba." (ay 11b).

Kasihan benar Daud muda. Ia bahkan tidak dianggap ayahnya layak untuk jadi orang yang diurapi Tuhan sehingga ia  dirasa tidak perlu untuk dibawa bertemu Samuel seperti saudaranya yang lain. Tujuh anak dibawa, tapi Daud tidak diajak. Dan yang lebih kasihan lagi, di saat ketujuh anak dinilai Isai berpotensi untuk menjadi raja dan sedang berdiri di hadapan Samuel, Daud sedang berjuang nyawa menjaga dua - tiga alias sedikit sekali kambing domba miliki Isai. Ia sedang mempertanggungjawabkan tugas yang diberikan ayahnya dengan nyawa sebagai taruhannya.

Bayangkan ada berapa banyak binatang buas yang siap memangsa beberapa ekor domba yang cuma dijaga anak kecil. Tugas menggembala domba sepintas tampak sepele atau ringan, tetapi sebenarnya sangat berbahaya. Kenapa Daud yang masih kecil yang disuruh ayahnya? Entahlah. Yang jelas, Daud mempertanggungjawabkan tugasnya dengan sangat baik, meski ia belum mencapai usia yang cukup dewasa untuk melakukan tugas tersebut.

Tuhan melihat hati, dan Dia tahu luar biasanya hati Daud yang jauh berbeda dengan orang lain. Dan kita tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tuhan memilih Daud, seorang anak muda yang masih kemerah-merahan wajahnya dan jauh dari postur tinggi besar gagah bak prajurit. "Lalu TUHAN berfirman: "Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia." Samuel mengambil tabung tanduk yang berisi minyak itu dan mengurapi Daud di tengah-tengah saudara-saudaranya. Sejak hari itu dan seterusnya berkuasalah Roh TUHAN atas Daud. Lalu berangkatlah Samuel menuju Rama." (ay 13b-14).

Dunia mungkin akan terus mementingkan penampilan, wajah dan perawakan. Buat anda yang selama ini terintimidasi dengan prinsip dunia yang mementingkan itu dan mengira bahwa anda akan sulit untuk maju dan berhasil, hari ini dengarlah, Tuhan tidak mementingkan itu, melainkan mementingkan hati. Hati yang berserah, hati yang bersyukur, hati yang berpusat pada Tuhan dan kehendakNya, hati yang taat, hati yang dipenuhi iman dan percaya kepada  Tuhan, hati yang humble, hati yang melayani, hati yang selalu mau serius dalam mengembangkan karunia dan talenta untuk dipakai memberkati banyak orang. Orang-orang seperti itulah yang Tuhan pilih lebih dari apapun.

Diatas segalanya, Dia sudah menciptakan anda dengan sangat sempurna dan telah memberikan tugas dimana rencanaNya yang indah penuh damai sejahtera menanti di depan sana untuk anda raih. Periksa talenta anda, apa yang anda miliki saat ini dan apa yang menjadi panggilan Tuhan untuk anda. Berusahalah disana dan bersinarlah. Terima pengurapan Tuhan dan lakukan yang terbaik. Anda, saya, dan siapapun yang memiliki hati yang benar akan mendapat kehormatan untuk mencerahkan dunia dan menyatakan Kristus disana.

Benar, dunia akan terus mementingkan penampilan fisik diatas hal lainnya, tapi jangan ragu bahwa dunia dan isinya tidak akan pernah bisa menahan atau menghalangi apa yang sudah dipilih dan direncanakan Tuhan. The world won't be able to hold what God has granted. Jangan terintimidasi, teruslah maju. Syukurilah siapa anda hari ini dan genapi rencana Tuhan atas hidup anda.

"God sees your heart and He is willing to walk with you, work with you until you get it right." - Michelle McKinney Hammond , penulis, pemenang Emmy Award, penyanyi, pembawa acara televisi dan pembicara asal Amerika

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, May 12, 2018

But The Lord Looks Into the Heart (2)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Demikian bunyinya.

"Daud adalah anak seorang dari Efrata, dari Betlehem-Yehuda, yang bernama Isai. Isai mempunyai delapan anak laki-laki. Pada zaman Saul orang itu telah tua dan lanjut usianya. Ketiga anak Isai yang besar-besar telah pergi berperang mengikuti Saul; nama ketiga anaknya yang pergi berperang itu ialah Eliab, anak sulung, anak yang kedua ialah Abinadab, dan anak yang ketiga adalah Syama. Daudlah yang bungsu. Jadi ketiga anak yang besar-besar itu pergi mengikuti Saul." (1 Samuel 17:12-14).

Dari ayat ini kita bisa melihat bahwa Isai itu punya delapan anak laki-laki. Tiga anak tertuanya yaitu Eliab Abinadab dan Syama merupakan prajurit Israel dibawah kepemimpinan Saul. Jelas ada kriteria tertentu untuk bisa menjadi prajurit atau tentara. selain postur yang gagah, keahlian berperang pun harus mereka miliki. Sedang Daud, anak paling bungsu pada masa itu masih sangat muda dan perawakannya pun tidak cocok untuk menjadi prajurit, apalagi kalau mau diprospek menjadi raja.

Secara logika manusia, kita tentu mengira bahwa untuk menjadi raja akan terlihat dari kepantasan sesuai postur. Samuel yang nabi pun ternyata terjebak dengan logika atau pola berpikir seperti itu. Saat Samuel melihat Eliab yang gagah perkasa, Samuel langsung mengira bahwa pasti anak tertua ini yang dipilih Tuhan.

Sekarang mari kita kembali kepada pasal 16 yang menceritakan awal peristiwa Daud diurapi menjadi raja.

"Ketika mereka itu masuk dan Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya: "Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya." (ay 6).

Itu pikir Samuel, namun ternyata bukan Eliab yang dipilih Tuhan. "Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (ay 7).

Secara jelas Tuhan bilang bahwa Tuhan tidak peduli apa yang dilihat manusia di depan matanya. Apa yang dilihat Tuhan tidak sama dengan apa yang dilihat dunia. Kalau dunia adalah paras dan perawakan, yang Tuhan lihat adalah hati.

Samuel kemudian menangkap esensinya. Tapi tidak dengan Isai. Isai belum mengerti dan masih berpikir dengan cara pikir manusia. "Bukan Eliab ya? Kalau begitu pastilah Abinadab atau Syama." Seperti itu kira-kira pikiran Eliab. Sepertinya Isai berpikir, mungkin Eliab dianggap sudah terlalu tua. Tapi kriteria Tuhan pastilah diantara dua anakku lainnya yang sudah menjadi kebanggaan keluarga karena ada di jajaran orang-orang pilihan sebagai prajurit Israel.

"Lalu Isai memanggil Abinadab dan menyuruhnya lewat di depan Samuel, tetapi Samuel berkata: "Orang inipun tidak dipilih TUHAN." Kemudian Isai menyuruh Syama lewat, tetapi Samuel berkata: "Orang inipun tidak dipilih TUHAN." (ay 8-9).

Dua-duanya tidak? Wah, masa sih? Begitu pikir Isai. Ia lalu menyuruh sisanya berdiri di depan Samuel. "Demikianlah Isai menyuruh ketujuh anaknya lewat di depan Samuel, tetapi Samuel berkata kepada Isai: "Semuanya ini tidak dipilih TUHAN." (ay 10).

Mari perhatikan baik-baik ayat ini. Disebutkan jelas bahwa Isai menyuruh ketujuh anaknya untuk tampil bergantian di hadapan Samuel. Meski Eliab, Abinadab dan Syama sudah ditolak, Isai masih tetap menyuruh mereka berdiri di depan Samuel. Siapa tahu Samuel keliru saat pertama kali dan berubah pikiran kalau melihat gagahnya mereka berdiri di depannya. Kitab 1 Samuel pasal 17 dengan jelas menyatakan bahwa jumlah yang disuruh tampil di depan Samuel ada tujuh. Padahal kita sudah tahu bahwa anak laki-lakinya bukan tujuh melainkan delapan.

(bersambung)


Friday, May 11, 2018

But The Lord Looks Into the Heart (1)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
Ayat bacaan: 1 Samuel 16:7
======================
"Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."

Industri hiburan terutama dunia musik dimana saya berkecimpung semakin tidak memperhitungkan bakat. Kualitas bermusik atau bernyanyi, bakat khusus yang membuat seseorang menjadi sangat istimewa bukanlah nomor satu melainkan penampilan, wajah, perawakan atau fisik, itulah yang terpenting. Suara pas-pasan tapi cantik, itu lebih prioritas dibanding suara emas tapi penampilan pas-pasan, apalagi kalau jauh dari standar industri. Seorang produser rekaman pernah bilang bahwa kalau cuma masalah suara, nanti tinggal diutak-atik di studio saja beres. Tapi kalau sudah penampilan atau paras, mau diapain juga susah. Begitu alasan mereka. Wajah, penampilan, itu yang dijual, bukan kualitas dan bakat istimewa di bidangnya.

Di dunia akting hal yang sama pun terjadi. Cari yang putih rada ke-indo-indoan. Mau tidak bisa akting itu bukan soal. Selain bisa diakali, produser film beranggapan penonton Indonesia kebanyakan tidak peduli soal kualitas akting melainkan mencari wajah manis. Itu dikatakan oleh seorang produser film terkenal pada suatu kali kepada saya.

Yang bikin tambah menyedihkan, selain modal fisik para pendatang baru ini rata-rata juga harus punya cukup dana untuk membayar radio, televisi dan sebagainya agar bisa mendapat kesempatan diputar di media masing-masing. Ada berapa stasiun radio, ada berapa stasiun televisi? Ya, dana jelas harus cukup untuk mengguyur satu persatu. Makin banyak makin bagus. Kalau tidak mau repot, cukup cari orang yang berprofesi sebagai produser atau agen, berikan pada mereka nanti mereka yang bagi-bagi dan atur. Kalau sudah begitu, perihal kemampuan atau bakat istimewa, kepribadian, sikap hati dan sejenisnya semakin saja tidak dianggap penting.

Apakah yang penampilan fisiknya bagus sudah pasti bakatnya buruk? Tentu saja tidak. Ada banyak yang memang dianugerahi bakat istimewa dan penampilan menarik. Hanya saja jangan sampai mereka yang sangat berbakat tapi terbatas dari sisi penampilan dan finansial kemudian tidak mendapat kesempatan sama sekali. Selain penampilan, kualitas seni musik dan peran juga tentunya harus dijaga dan ditingkatkan.

Dunia cenderung mementingkan penampilan fisik ketimbang hal-hal lain seperti sifat, watak, bakat, kerajinan, etos kerja, kejujuran, semangat atau daya juang tinggi, kesetiaan dan hal-hal lain yang tidak tampak di luar. Kata-kata true beauty comes from deep within semakin kehilangan makna. Tidaklah heran kalau kita melihat adanya degradasi moral, kebobrokan mental dan sulit mencari karakter yang berintegritas hari-hari ini. Dunia semakin tidak mencari dan tidak butuh itu lagi sekarang melainkan penampilan. Karena itu banyak orang tidak segan mengeluarkan biaya hingga puluhan bahkan ratusan juta demi mempermak wajah juga tubuh mereka. Tidak puas dengan bagaimana Tuhan menciptakan mereka, tidak mencari apa yang bagus menurut Tuhan dan mengejar apa yang bagus menurut dunia.

Sebenarnya masalah mementingkan penampilan, paras, postur dan hal-hal fisik bukan hal baru, tetapi Alkitab sudah menyinggung tentang kecenderungan manusia untuk lebih melihat itu sejak dahulu. Setidaknya pada masa Daud hendak diurapi menjadi raja kecenderungan cara manusia menilai ini sudah ada.

Itu bisa kita lihat dalam kisah awal pengurapan Daud. Ayat pembuka dalam 1 Samuel 16 mencatat saat Tuhan menyuruh Samuel berhenti bersedih hati karena Saul dan segera bergegas menemui seorang pria yang sudah lanjut usianya bernama Isai. Untuk apa? Penugasannya jelas, yaitu untuk mengurapi raja baru pilihan Tuhan sendiri. Dan raja yang dipilih itu ternyata adalah salah satu anak Isai.

Maka Samuel pun kemudian bergegas mencari Isai dan bertemu di upacara pengurbanan. Samuel segera menguduskan Isai dan anak-anaknya satu persatu dalam upacara itu. Sebelum saya lanjutkan, ada berapa anak Isai dan seperti apa anak-anaknya? Alkitab secara detail memberikan jawabannya pada pasal 17:12-14.

(bersambung)


Thursday, May 10, 2018

Samuel dan Imam Eli (2)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)


Dari sepenggal kisah ini kita bisa melihat bahwa untuk berkomunikasi dengan Tuhan kita harus peka. Tuhan selalu rindu untuk berbicara kepada kita, tetapi semua tergantung kepada kita apakah kita siap untuk mendengar suaraNya, apakah kita dapat dihubungi atau tidak, apakah kita mau merespon atau tidak.

Terlalu sibuk mementingkan pekerjaan dan aktivitas-aktivitas di dunia sering menjadi penghambat atau penghalang utama bagi kita untuk bisa peka mendengar suara Tuhan. Kita tidak lagi mementingkan waktu-waktu khusus untuk bersaat teduh dan berdoa, kalaupun berdoa kita lebih cenderung menyampaikan daftar permintaan dan keluhan ketimbang mendengarkan Tuhan berbicara kepada kita. Atau, kita cuma menjalankan ritual yang sekedar kewajiban saja, buru-buru supaya bisa cepat tidur atau mengerjakan hal lain. Padahal Yesus sudah memulihkan hubungan yang terputus antara Tuhan dan ciptaanNya yang istimewa, manusia, sehingga saat ini kita bisa langsung terhubung dengan Tuhan tanpa harus melalui perantara lagi seperti halnya pada masa sebelum kedatangan Kristus.

Bukankah seharusnya kita bersyukur akan hal itu? Bukankah seharusnya kita berlomba-lomba menikmati sebuah anugerah berdasarkan kasih karunia yang begitu besar? Kalau kita masih memilih sibuk untuk hal-hal lain sebagai yang lebih penting atau berada pada prioritas diatas membangun hubungan dengan Tuhan, betapa kita menyia-nyiakan anugerah yang seharusnya kita syukuri.

Selain lebih memilih kesibukan lainnya dan menomorduakan membangun hubungan yang erat dengan Tuhan, dosa-dosa yang masih kita biarkan bercokol dalam diri kita merupakan penghalang terbesar bagi kita untuk terhubung dengan Tuhan yang kudus. Membiarkan dan bertoleransi pada dosa pun termasuk di dalamnya seperti yang terjadi pada imam Eli. Firman Tuhan berkata: "tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu." (Yesaya 59:2). Jadi untuk bisa peka, kita harus memastikan bahwa kita tidak lagi berselimut dosa dan kita pun harus mau membuka hati seluas-luasnya untuk mendengar suara Tuhan. Itulah yang akan membuat kita bisa dihubungi Tuhan dengan mudah, mendengar tuntunanNya, peringatanNya, nasihatNya dan kelembutan kasihNya.

Adalah penting bagi kita untuk bisa mendengar dengan hati yang peka. Firman Tuhan berkata "Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. " (Lukas 8:18a). Dan sikapi dengan respon yang benar apa yang anda dengar dari Tuhan. Jangan keraskan hati, tapi miliki kelembutan hati agar kita bisa taat mengikuti pesan-pesanNya. "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7).

Tuhan selalu rindu untuk berbicara kepada kita. Ada banyak pesan, peringatan, nasihat, jawaban dan teguran yang ingin Tuhan sampaikan kepada anak-anak yang dikasihiNya. Tetapi mari kita tanyakan kepada diri kita, dapatkah kita dihubungi? Maukah kita merespon setiap panggilan dan teguran Tuhan, atau kita sudah menjadi tuli akibat dosa, atau malah terlalu sibuk untuk mau berkomunikasi dengan Tuhan? Apakah kita mau menanggapi langsung hubungan Tuhan atau kita terus menunda-nunda atau bahkan menolaknya?

Mari buka hati kita hari ini, lembutkanlah, dan pekalah terhadap suara Tuhan. Pastikan hati anda tidak dalam keadaan 'silent mode' dan segera respon panggilanNya. Jadilah seperti Samuel dan berkatalah, "berbicaralah Tuhan, sebab hambaMu ini mendengar." Tuhan sedang menanti anda untuk mendengar dan menjawab panggilanNya saat ini. Dia siap untuk berbicara.

Pastikan bahwa anda selalu siap untuk mendengar apa pesan Tuhan untuk anda hari ini

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, May 9, 2018

Samuel dan Imam Eli (1)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
Ayat bacaan: 1 Samuel 3:10
====================
"Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar."

Seorang teman lama hari ini menelepon. Tidak terasa sudah puluhan tahun kami tidak pernah bertukar sapa karena sempat hilang kontak. Pada masa saya masih sekolah belum ada teknologi speerti sekarang yang memudahkan orang untuk berkomunikasi. Jangankan telepon genggam, telepon rumah saja pada masa itu belum masuk ke daerah pinggiran kota dimana saya tinggal. Sosial media kemudian banyak mempertemukan kembali teman-teman lama, dan saling bertukar nomor pun menjadi langkah selanjutnya.

Betapa terbantunya kita dengan perkembangan teknologi di bidang komunikasi. Sekarang dunia terasa kecil karena kita bisa terhubung dengan belahan dunia manapun tanpa harus mengeluarkan biaya mahal. Kalau dulu harus pakai fasilitas sambungan langsung internasional yang di charge per sekian detik, hari ini kita bisa berhubungan dengan gratis. Mulai dari chatting, voice call bahkan bisa sambil melihat lawan bicara melalui video call yang disediakan oleh beberapa aplikasi smart phone/gadget. Yang diperlukan hanyalah fasilitas internet yang bisa didapat dari penyelenggara seluler yang kita gunakan atau pakai wi-fi. Begitu mudah, begitu murah. Kalaupun orangnya gaptek alias gagap teknologi dan tidak memakai smart phone, minimal kita bisa menelepon mereka, tidak seperti dulu saat komunikasi masih sangat sulit.

Meskipun begitu mudah dan murah, agar bisa terhubung dengan orang yang kita tuju tetap tergantung dari kesediaan pihak kedua untuk menerima dan membalas kontak kita kepada mereka. Sebab meski teknologi memungkinkan, jika orang yang dihubungi tidak mau mengangkat teleponnya atau tidak membalas pesan kita, maka tidak akan ada hubungan yang bisa berhasil tersambung. Ada banyak orang yang mungkin terlalu sibuk sehingga tidak mau membalas sambungan yang masuk kepadanya. Ada yang pilih-pilih, ada pula yang enggan diganggu. Atau ada pula yang karena sering diganggu oleh penelepon yang menawarkan berbagai hal mulai dari kartu kredit, pinjaman sampai jualan macam-macam, mereka bisa jadi tidak mengetahui saat kita hubungi karena telepon sedang dalam kondisi silent mode. Telepon memang setiap saat bisa diletakkan pada posisi silent atau dimatikan total sehingga hubungan dengan kontak-kontak dalam telepon seluler pun terputus. Kita mungkin butuh berbicara dengan mereka, namun semua tergantung dari mereka apakah mereka bisa dihubungi dan berkenan merespon atau tidak.

Semua itu adalah perihal hubungan komunikasi antar manusia. Bagaimana dengan hubungan kita dengan Tuhan? Apakah anda percaya bahwa Tuhan selalu rindu untuk menghubungi anda? Tuhan selalu rindu untuk berbicara, baik untuk menegur, mengingatkan, meneguhkan, menyampaikan pesan, membersarkan hati dan tentu saja menyatakan kasihNya kepada kita. Tetapi semua tergantung sikap hati kita, apakah kita bisa dihubungi, mau atau berkenan untuk dihubungi, atau hati kita tengah berada pada posisi "silent" yang artinya tidak memberi respon terhadap suara Tuhan. Tidak peduli seberapa besar kerinduan Tuhan untuk berhubungan dengan kita, tidak peduli seberapa intens ia mencoba mengontak kita, hubungan tidak akan bisa berlangsung bila kita menolak, mengabaikan atau mendiamkan saja panggilanNya.

Kemarin kita sudah belajar tentang berbagai kesalahan Imam Eli dalam membesarkan anak-anaknya. Meski ia pada awalnya sukses mendidik jemaatnya dan juga Samuel, ia gagal menanamkan pendidikan moral kepada kedua anak kandungnya sendiri. Dan kita tahu bagaimana beratnya hukuman Tuhan lantas jatuh atas seisi keluarganya. Hari ini saya masih ingin melanjutkan bagian dari hidup Imam Eli dari sisi lain, yaitu dalam hal mendengar suara Tuhan.

Sebagai seorang imam seharusnya Eli peka mendengar suara Tuhan. Dalam masa Perjanjian Lama peran seorang imam sangat penting sebagai perantara yang menghubungkan Tuhan dengan manusia. Tapi sayangnya imam Eli ternyata gagal menjalankan fungsinya. Pada ayat berikutnya dikatakan bahwa Eli matanya mulai kabur, dan itu bukan hanya mata jasmaninya melainkan juga mata rohaninya.

Keputusannya untuk membiarkan anak-anaknya berbuat dosa, bertindak lebih seperti preman ketimbang sebagai anak imam yang terpandang membuatnya semakin kehilangan kemampuan rohaninya. Maka pada masanya firman Tuhan pun dikatakan jarang turun. Firman Tuhan berkata: "Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatanpun tidak sering." (1 Samuel 3:1b). Karena hubungan dengan Eli terputus sementara Tuhan tetap ingin berhubungan dengan manusia, maka Tuhan pun mengalihkan perhatiannya kepada seorang anak muda yang hatinya bersih, yaitu Samuel.

Samuel ternyata berbeda. Kita bisa melihat bagaimana reaksi Samuel ketika dihubungi Tuhan. Pada mulanya Samuel bingung ketika mendengar panggilan Tuhan karena Firman Tuhan sebelumnya belum pernah dinyatakan kepadanya. (ay 7). Itu hal baru yang mungkin sulit dipercaya. Tetapi meski demikian, Samuel mendengar dan merespon. "Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar." (ay 10).

Berbeda dengan Eli, Samuel ternyata bisa dihubungi. Ia membuka diri untuk mendengar, dan ia menjawab. Maka hubungan antara Tuhan dan Samuel pun tersambung. Tuhan pun lalu menyampaikan pesan-pesan yang keras terhadap bangsa Israel terutama kepada imam Eli dan keluarganya.


(bersambung)


Tuesday, May 8, 2018

Imam Eli, Hofni dan Pinehas (3)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)


Jika kebanyakan pria meletakkan keluarga tidak dalam posisi teratas dan harus selalu siap untuk dikorbankan demi tugas-tugas atau pekerjaan, Alkitab sama sekali tidak menyebutkan demikian. Salah satunya bisa kita lihat dari apa yang dikatakan Yesus berikut: "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah Para Rasul 1:8). Lihatlah ada sebuah urutan disana. Di Yerusalem, itu berbicara mengenai keluarga, lalu meningkat ke Yudea, menggambarkan lingkup regional, lalu ke Samaria yang mengacu kepada negara/nasional dan baru mencapai dunia. Artinya kita tidak akan bisa bermimpi untuk bisa menjadi berkat bagi dunia atau kota sekalipun jika kita tidak memulainya dari keluarga.

Bukankah ironis jika kita berhasil melayani orang lain tetapi justru gagal dalam keluarga sendiri, pintar mengajari orang tetapi tidak bisa mengajar anak sendiri? Keluarga harus menjadi prioritas utama di atas pekerjaan atau pelayanan sekalipun. Idealnya rumah tangga orang percaya seharusnya bisa menjadi rumah yang sejuk, nyaman dan damai, dan bisa menjadi teladan bahkan kesaksian tersendiri bagi orang lain.

Terhadap anak para pria diminta untuk bisa meluangkan waktu bersama mereka dan mendidik mereka berulang-ulang. "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (Ulangan 6:6-7) Masalahnya, bagaimana kita bisa mengajarkan berulang-ulang apabila kita jarang bersama mereka? Tetapi itupun belum cukup, sebab ayat selanjutnya berkata: "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9). Ayat ini menunjukkan pentingnya kita untuk menjadi teladan. Bagaimana anak-anak bisa menerima apa yang kita ajarkan jika kita tidak menjadi teladan, dan bagaimana orang bisa percaya kepada apa yang kita katakan kalau anak-anak kita tidak mencerminkan pribadi yang beriman dan tunduk pada kebenaran?

Menetapkan skala prioritas adalah hal yang tidak boleh diabaikan. Tempatkan keluarga terlebih dahulu sebelum menjangkau sesuatu yang lebih luas. Jangan sampai pekerjaan atau pelayanan membuat keluarga justru terbengkalai atau berantakan, karena sesungguhnya keteladanan justru dimulai dari keluarga. Dari keluarga imam Eli kita bisa melihat konsekuensi dari ketidaktegasan, memanjakan hingga kesalahan dalam menetapkan skala prioritas. Jangan sampai kita mengulangi hal yang sama.

Para pria, perhatikan istri dan anak-anak kita. Apakah mereka sudah mendapat cukup perhatian dari kita? Menjadi pria memang tidak mudah. It's never easy. Seperti yang saya katakan kemarin, being a superman is not about being able to fly, holding a bullet, catching up the bad guys or getting the most money, but it's about finding balance in every role and know to place the priority. Sadarilah bahwa keluarga membutuhkan figur ayah teladan yang mengasihi mereka dan rindu untuk meluangkan waktu bersama dengan mereka. Pastikan anak-anak anda tidak kehilangan figur bapa dan istri anda punya suami yang berada disisi mereka dalam menghadapi segala sesuatu. Suatu hari nanti anda akan bahagia dan lega anda sudah melakukannya.

Ayah teladan adalah ayah yang menempatkan keluarga pada prioritas utamanya dan tidak mengabaikan pentingnya mendidik anak lewat keteladanan hidup mereka

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, May 7, 2018

Imam Eli, Hofni dan Pinehas (2)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
(sambungan)

Contoh nyata dari hamba Tuhan yang gagal mendidik anak bisa kita dapatkan dalam Perjanjian Lama, yaitu keluarga seorang imam bernama Eli. Imam Eli merupakan imam yang terpandang. Ia bahkan tinggal di bait Allah. Tetapi lihatlah kelakuan anaknya justru tidak mencerminkan anak seorang imam besar sama sekali. Ketika imam Eli bisa mendidik umat dengan baik, termasuk juga mendidik Samuel dengan sangat berhasil, anak-anaknya Hofni dan Pinehas justru lebih mirip preman ketimbang anak seorang imam.

Alkitab sampai menyebutkannya seperti ini: "Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN," (1 Samuel 2:12). Arti dari dursila adalah buruk kelakuannya, jahat. Ada terjemahan yang mengartikan dursila sebagai orang yang dalam dirinya tidak ditemukan hal baik apapun sama sekali, orang yang terus melanggar huku dan peraturan. Betapa ironisnya hal ini disebutkan bukan terhadap anak penjahat tetapi anak imam besar seperti Eli.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Sepertinya imam Eli salah mengartikan sayang dan tidak menggunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk mendidik kedua anaknya, Hofni dan Pinehas. Ia sibuk bekerja dan aktif melayani, tetapi kemudian lupa akan tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga yang memiliki anak-anak untuk dibina, dibentuk, diasah, diasuh dan dibesarkan dalam takut akan Tuhan. Ia terlalu lembek dan tidak tegas terhadap anak-anaknya.

Kita bisa melihatnya dari ayat berikut: "Eli telah sangat tua. Apabila didengarnya segala sesuatu yang dilakukan anak-anaknya terhadap semua orang Israel dan bahwa mereka itu tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan, berkatalah ia kepada mereka: "Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? Janganlah begitu, anak-anakku. Bukan kabar baik yang kudengar itu bahwa kamu menyebabkan umat TUHAN melakukan pelanggaran." (ay 22-24).

Apakah imam Eli mengingatkan anak-anaknya? Ya, ia mengingatkan, tapi tidak tegas memberi teguran apalagi hukuman. Satu lagi, ia terlambat mendidik anaknya. Saat anak tidak diajarkan dan dicontohkan tentang hal benar sejak kecil, suatu ketika saat mereka sudah dewasa bisa jadi sudah sangat sulit atau terlambat untuk diajar.

Tuhan pun mengetahui kesalahan Eli tersebut. "Sebab telah Kuberitahukan kepadanya, bahwa Aku akan menghukum keluarganya untuk selamanya karena dosa yang telah diketahuinya, yakni bahwa anak-anaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka!" (3:13).

Imam Eli tidak mendisiplinkan anak-anaknya dengan benar, bahkan dikatakan lebih menghormati anaknya ketimbang Tuhan, "Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah Kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?" (2:29)

Tidak mendisplinkan, terlalu lemah, terlalu memanjakan, bahkan dia terus membiarkan anak-anaknya menggemukkan diri dengan bagian terbaik dari korban yang disajikan di dalam Kemah Suci dan membiarkan mereka melakukan hal-hal yang tidak sopan, mengancam hingga dosa percabulan. Kesempatan lebih dari cukup diberikan Tuhan, tapi Eli tidak memanfaatkan waktu yang ada. Dan akibatnya hukuman keras pun jatuh. Selain Hofni dan Pinehas tewas dalam hari yang sama, hukuman berat pun jatuh terhadap imam Eli sekeluarga. Bacalah bagaimana kerasnya hukuman Tuhan itu dalam 1 Samuel 2:30-36. Ironis dan tragis, itu yang muncul di benak saya melihat kisah dari keluarga imam Eli ini.

Salah prioritas adalah satu hal lagi yang bisa kita lihat dari keluarga ini. Imam Eli sepertinya terlalu sibuk bekerja dalam pelayanan sehingga sudah tidak cukup waktu dan tenaga lagi untuk mengasuh anak-anaknya. Jika kita perhatikan dalam kehidupan kita, bukankah banyak dari kita yang juga berbuat sama? Kita sibuk bekerja untuk mencari nafkah, kita terjun dalam pelayanan, lalu mengabaikan atau menomor duakan anak-anak, istri dan keluarga. Membagi waktu itu memang tidaklah mudah. Namun skala prioritas yang benar harus kita perhatikan baik-baik.

(bersambung)


Sunday, May 6, 2018

Imam Eli, Hofni dan Pinehas (1)

webmaster | 10:00:00 PM | Be the first to comment!
Ayat bacaan: 1 Samuel 2:12
====================
"Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN,"

Ada sebuah buku yang pernah saya baca mengungkap sisi ekstrim yang terjadi saat dunia kehilangan figur ayah. Sang penulis yang berdomisili di Afrika mengungkapkan betapa degradasi dan kehancuran moral yang membuat dunia hari ini penuh kekejaman, ketidakadilan, penindasan dan problema sosial lainnya antar manusia sebenarnya berawal dari ketiadaan figur bapa dan kematian keluarga. Bukan mati secara fisik, tapi mati atau tidak berfungsi secara moril dan spiritual. Orang-orangnya ada, tapi tidak ada nilai baik yang mengalir di dalamnya. Semua berjalan sendiri-sendiri, tidak ada saling peduli apalagi saling bangun. Tidak ada pendidikan yang berlangsung disana antara orang tua kepada anak, kasih hilang diganti peraturan keras dengan hukuman fisik bagi yang melanggar. Hidup keras sejak kecil dengan ayah yang datang hanya pada saat menghukum dan memukul, atau juga tidak pernah ada di rumah untuk memperhatikan anaknya. Tidak peduli sama siapa anak bergaul. Gambaran mengerikan tentang generasi hari ini sudah begitu miris bahkan sejak bab pertama buku ini. Dan apa yang ditulisnya bukanlah fiksi melainkan sesuatu yang nyata-nyata ia saksikan.

Mungkin ada yang berpikir bahwa itu kan di Afrika. Tapi bukankah di belahan bumi lainnya kita menemukan kekejaman yang sama, bahkan bisa jadi lebih parah? Sejak kecil generasi terhilang ini tidak mengenal kasih melainkan kebencian. Dan kebencian menumbuhkan sifat kejam dan sadis. Kalau tidak seekstrim itu, ada banyak pula anak-anak yang sudah bermasalah sejak kecil. Ironisnya ini juga terjadi di kalangan orang percaya, bahkan dalam keluarga para pelayan Tuhan yang seharusnya menjadi teladan. Anak orang percaya dan bahkan hamba Tuhan jadi preman di sekolah, jatuh pada berbagai dosa, berpaling dan meninggalkan Tuhan, itu benar-benar terjadi.

Mengapa hal itu boleh terjadi? Bukankah sebagai hamba Tuhan mereka ini kerap menanamkan nilai-nilai baik tentang kebenaran dalam pelayanan mereka? Penyebab paling utama adalah karena kesibukan mereka begitu menyita waktu sehingga mereka tidak lagi punya waktu buat anak-anaknya. Apa yang mereka ajarkan bagi orang lain mungkin membangun, mereka mungkin juga menyampaikan hal yang sama kepada anaknya, tetapi mereka tidak punya cukup waktu dimana anak-anaknya bisa belajar dari kehidupan mereka. Mungkin juga karena sudah terlalu capai rumah cuma menjadi tempat tidur bukan tempat dimana sebuah keluarga bisa saling berbagi kasih. Ada pula yang tampaknya baik dan rohani diluar, tapi di rumah sifat aslinya jauh dari apa yang mereka tunjukkan atau ajarkan di luar.

Para kepala rumah tangga seringkali menganggap bahwa tugas utama mereka adalah bekerja, mencari nafkah dan secukupnya saja meluangkan waktu untuk anak. Dalam pikiran banyak dari mereka, yang penting kebutuhan istri dan anak-anak tercukupi, lebih baik lagi kalau berlimpah. Sebuah hasil survei yang pernah saya baca mengungkapkan bahwa orang tua terutama pria memang berpikir seperti itu. Mereka berpikir bahwa anak-anak akan bahagia apabila kebutuhan mereka tercukupi dan mereka bisa mendapatkan segala yang mereka inginkan. Padahal dari hasil survei dari sisi anak justru melahirkan kesimpulan berbeda. Anak-anak ternyata tidak berpikir dari segi kelimpahan materi, tetapi hasil poin terbesar tentang apa yang paling membuat mereka bahagia justru menunjuk pada satu titik, yaitu waktu. Apa yang paling membahagiakan bagi mereka adalah waktu yang cukup untuk bermain bersama orang tuanya.

Ketika para ayah berpikir dari segi pemenuhan kebutuhan bagi anak-anak mereka, anak-anak menganggap kebersamaan adalah yang paling mereka butuhkan. Ada begitu banyak anak-anak yang kurang mendapat kasih sayang atau bimbingan di saat mereka bertumbuh sementara mereka terus dimanjakan dari sisi materi. Akibatnya kita sering melihat meski mereka berasal dari keluarga berada, tetapi perilaku atau gaya hidup mereka banyak yang buruk. Retaknya keluarga kebanyakan berasal dari kurangnya kebersamaan antar sesama anggotanya.

Dan yang memprihatinkan, kita sering melihat anak-anak yang sama sekali tidak mencerminkan orang tuanya. Ayahnya bekerja banting tulang sepanjang hari, atau dihormati banyak orang, namun anak-anaknya justru menunjukkan perilaku yang tercela. Kurang perhatian, kurangnya kebersamaan dan terlalu dimanja seringkali menjadi awal datangnya bencana seperti ini.

Jika kita gabungkan dengan buku yang saya baca mengenai dunia yang kehilangan figur bapa di awal renungan ini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya anak-anak sudah menunjukkan apa yang mereka butuhkan agar bisa bertumbuh menjadi pribadi berkualitas tinggi. Sayangnya orang tua terutama ayah banyak yang tidak menyadari hal ini dan kemudian harus bersedih melihat anak-anak mereka tumbuh tidak dengan kualitas akhlak dan keimanan yang sebenarnya mereka inginkan.

(bersambung)


Search

Bagi Berkat?

Jika anda terbeban untuk turut memberkati pengunjung RHO, anda bisa mengirimkan renungan ataupun kesaksian yang tentunya berasal dari pengalaman anda sendiri, silahkan kirim email ke: rho_blog[at]yahoo[dot]com

Bahan yang dikirim akan diseleksi oleh tim RHO dan yang terpilih akan dimuat. Tuhan Yesus memberkati.

Renungan Archive

Jesus Followers

Stats

eXTReMe Tracker