(sambungan)
Sikap sebaliknya dilakukan Musa ketika ia menerima panggilan Tuhan. Berbeda dengan Yesaya yang langsung merespon positif, Musa langsung mengarahkan pandangan kepada keterbatasannya sebagai pribadi dan kelemahan yang dimilikinya. Lihat responnya berikut ini: "Tetapi Musa berkata kepada Allah: "Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (Keluaran 3:11). Dan di pasal berikutnya kita bisa melihat bagaimana Musa memandang rendah dirinya sendiri. "Lalu kata Musa kepada TUHAN: "Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulupun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mupun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah." (4:10). I am slow of speech and have a heavy and awkward tounge, dalam bahasa Inggrisnya.
Apakah Musa gagap, atau maksudnya ia tidak pintar berbicara atau malah sering salah-salah? Entahlah. Tapi yang pasti Musa segera mengarah kepada kelemahannya dan lupa bahwa Tuhanlah sebenarnya yang menjadi aktor utamanya, bukan dia. Itulah yang kemudian diingatkan Tuhan. "Firman Allah kepada Musa: "AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." (3:14). Dalam versi bahasa Inggrisnya dikatakan "I AM WHO I AM and WHAT I AM, and I WILL BE WHAT I WILL BE." Tuhan secara jelas menyatakan bahwa siapa Tuhan itu jauh lebih penting daripada siapa diri Musa. "Akulah Aku", itu jauh lebih penting dari "siapa aku".
Tuhan tidak melihat kemampuan, kepandaian dan sebagainya dari diri kita, tetapi apa yang Dia minta adalah kemauan atau kesediaan kita. Itu saja. Selebihnya, Dialah yang akan melakukan semuanya lewat diri kita. Keraguan bisa saja hadir ketika kita dihadapkan kepada sebuah panggilan, tugas atau katakanlah tantangan. Logika kita biasanya akan segera mengukur batas kemampuan kita, dan di saat ukuran menurut kita tidak sebanding dengan besarnya tanggungjawab yang dibebankan, maka keraguan pun segera muncul. Hal seperti itu pula yang dirasakan Musa ketika ia dipilih Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan untuk menuju tanah yang dijanjikan. Tapi Tuhan menegur dan mengingatkan Musa akan cara pandang yang benar. Singkatnya, bukan soal mampu atau tidak, tapi kemauan kita, kesediaan atau kerelaan kita, itulah yang diminta Tuhan.
Kemampuan kita sangat terbatas, tetapi "Tuan" yang meminta sesungguhnya tidak terbatas. Itu penting untuk kita sadari. Kita tidak harus menunggu menjadi orang paling sempurna terlebih dahulu untuk mau merespon positif panggilan Tuhan. Jika Dia memberi tugas, Dia pula yang akan memampukan. Jika anda taat dan mau segera merespon dengan baik, anda akan terkejut melihat bagaimana anda bisa berperan jauh lebih besar dari ukuran yang anda tetapkan sendiri selama ini akan diri anda. Saya mengalami hal itu secara langsung. Masuk akalkah orang yang baru bertobat, tidak pernah mengenal Alkitab sebelumnya bisa terus menulis selama 5 tahun setiap harinya tanpa henti? Saya memilih untuk taat terhadap panggilanNya, dan hingga hari ini selalu ada pengalaman-pengalaman indah bersama Tuhan setiap harinya dalam hidup saya. Ada begitu banyak rahasia Kerajaan Allah yang disingkapkan secara perlahan kepada saya. Oh, itu luar biasa. Semakin saya mendalami, semakin besar pula kerinduan saya untuk semakin mengenalNya lebih jauh. Adakah panggilan Tuhan kepada anda yang hingga hari ini masih anda tunda karena anda ragu akan kemampuan anda? Jangan tunda lagi. Berhentilah mengukur diri terlalu rendah, berhentilah untuk terus menganggap bahwa anda tidak bisa melakukan apa-apa. Terimalah segera dan beranilah berkata seperti Yesaya: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8). Ingatlah bahwa Yesus sudah mengingatkan bahwa tuaian ada banyak, tapi pekerjanya sedikit. (Matius 9:37a). Ini hal yang seharusnya bisa kita sikapi dengan turut mengambil bagian sesuai dengan panggilan kita masing-masing. Ingatlah bahwa sesungguhnya bukan kemampuan kita yang dibutuhkan, tetapi kemauan kita, itulah yang bisa dipakai Tuhan untuk menyatakan kemuliaanNya dimanapun kita berada saat ini.
Bukan kemampuan kita, tetapi kemauan kita, itulah yang diminta Tuhan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, July 31, 2012
Monday, July 30, 2012
Melayani (1)
Ayat bacaan: Yesaya 6:8
================
"Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!"
Saya ingin melanjutkan mengenai pelayanan yang sudah kita bahas kemarin. Mari kita lihat kembali apa yang dikatakan Yesus berikut ini: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." (Matius 9:37a). Kalau jumlah pengikutNya ada banyak, mengapa dikatakan bahwa pekerja itu sedikit? Karena tidak semua orang percaya bersedia untuk terjun langsung sebagai murid-muridNya yang berperan nyata di tengah masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selalu saja ada alasan yang bisa dikemukakan untuk itu. Malas, merasa kebebasan dan waktu-waktu bersantai dirampas, atau dengarlah kata seorang teman saya, "saya tidak bisa kotbah." Menjadi pelayan Tuhan tidak harus selalu berarti kita harus naik ke mimbar dan berkotbah selama sekitar satu jam. Di gereja saya berbagai bentuk fellowship pun tidak harus duduk di satu rumah, membentuk lingkaran dan sebagainya. Ada banyak komunitas yang dibentuk berdasarkan hobi seperti olahraga futsal, badminton, sepeda, atau sekumpulan ibu muda yang saling bertukar ilmu memasak. Disana mereka bisa bertumbuh menjadi sebuah keluarga yang akrab dan sambil menjalani hobi mereka pun saling mengingatkan dan berbagi Firman Tuhan. Mereka bisa tampil menjadi pelayan-pelayan Tuhan tanpa kehilangan 'fun factor' mereka. Seringkali yang menjadi masalah bukan soal mampu atau tidak, tetapi justru apakah kita mau atau tidak.
Kata 'mampu' dan 'mau' hanya dibedakan oleh dua huruf 'mp' ditengah. Begitu tipisnya perbedaan di sisi tulisan, tapi perbedaannya sangat besar di sisi artinya. Ada banyak dalih yang bisa kita kemukakan untuk menolak untuk melayani, yang biasanya akan jauh lebih ditekankan kepada apa yang tidak ada pada kita ketimbang melihat potensi atau talenta apa yang sebenarnya sudah Tuhan sediakan bagi kita. Melayani tidak selalu berarti kita harus berkotbah, menjadi orator, orang yang serba tahu, hafal mati Alkitab, punya karunia kesembuhan, tidak mampu secara materi dan sebagainya. Tidak, tidak demikian. Ada begitu banyak bentuk pelayanan yang akan sangat menyukakan hati Tuhan tanpa harus berkotbah di dalamnya. Jika kita membaca 1 Korintus 12:1-11 kita akan melihat gambarannya seperti yang dikemukakan Paulus. Ia berkata: "Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang." (ay 4-6). Dalam perikop berikutnya Paulus menjabarkan lebih jauh (ay 12-31). "Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota...Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh." (ay 14,20). Masing-masing anggota tubuh punya fungsinya masing-masing. Mulut bukan dipakai untuk mendengar, telinga bukan untuk melihat, mata bukan untuk mencium, hidung bukan untuk menggenggam dan sebagainya. Masing-masing punya fungsi, tapi semuanya merupakan satu kesatuan yang saling menyempurnakan. Seperti itu pula kita sebagai anggota-anggota Tubuh Kristus.
Kita manusia yang terbatas, itu benar. Tapi sesungguhnya Tuhan sudah menyediakan talenta-talenta khusus bagi kita masing-masing yang tentu saja bisa dipakai untuk kembali memuliakanNya dalam melakukan berbagai bentuk pelayanan yang memberkati orang lain. Apakah para nabi pilihan Tuhan adalah orang-orang sempurna yang bisa segalanya? Justru sebaliknya, Tuhan lebih suka memakai orang-orang yang dianggap biasa-biasa saja atau malah tidak dianggap untuk menjadi duta-dutaNya ketimbang orang-orang yang hebat, kaya atau terkenal. Bukan mampu atau tidak yang penting, tapi mau atau tidak.
Reaksi yang sangat positif akan panggilan Tuhan bisa kita lihat lewat sosok Yesaya. Ketika ia mendapat panggilan Tuhan, ia langsung menyatakan kesiapannya tanpa memikirkan keterbatasan kemampuannya sebagai seorang manusia biasa. "Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8). Singkat dan tegas reaksinya. "Here am I, send me." he said. Apakah Yesaya termasuk orang yang percaya diri berlebihan? Tentu tidak. Saya yakin Yesaya tahu betul sampai dimana batas kemampuannya sebagai manusia. Tetapi ia menyadari betul bahwa ia hanyalah seorang utusan, seorang pelayan, seorang hamba. Ia tidak perlu takut. Sebagai seorang hamba, bukankah ia memiliki "Tuan" dengan kuasa yang tidak terbatas? Jika "Tuan"nya yang menyuruh, bukankah itu artinya "Tuan"nya percaya ia mampu dan akan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menjalankan tugas? Ini sebuah sikap yang seharusnya segera muncul dalam diri kita ketika Tuhan memberi sebuah tugas atau panggilan. Bukan segera melihat kekurangan atau keterbatasan kemampuan kita, tetapi segera mengarahkan pandangan kepada Sang Pemberi tugas. Bukan mengeluh, tetapi sudah sepantasnya kita bersyukur karena kita dipilih Tuhan untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Bukan kemampuan kita yang penting, tetapi kemauan kita. Selebihnya biarkan Tuhan yang berkreasi diatas segalanya lewat diri kita.
(bersambung)
================
"Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!"
Saya ingin melanjutkan mengenai pelayanan yang sudah kita bahas kemarin. Mari kita lihat kembali apa yang dikatakan Yesus berikut ini: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." (Matius 9:37a). Kalau jumlah pengikutNya ada banyak, mengapa dikatakan bahwa pekerja itu sedikit? Karena tidak semua orang percaya bersedia untuk terjun langsung sebagai murid-muridNya yang berperan nyata di tengah masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selalu saja ada alasan yang bisa dikemukakan untuk itu. Malas, merasa kebebasan dan waktu-waktu bersantai dirampas, atau dengarlah kata seorang teman saya, "saya tidak bisa kotbah." Menjadi pelayan Tuhan tidak harus selalu berarti kita harus naik ke mimbar dan berkotbah selama sekitar satu jam. Di gereja saya berbagai bentuk fellowship pun tidak harus duduk di satu rumah, membentuk lingkaran dan sebagainya. Ada banyak komunitas yang dibentuk berdasarkan hobi seperti olahraga futsal, badminton, sepeda, atau sekumpulan ibu muda yang saling bertukar ilmu memasak. Disana mereka bisa bertumbuh menjadi sebuah keluarga yang akrab dan sambil menjalani hobi mereka pun saling mengingatkan dan berbagi Firman Tuhan. Mereka bisa tampil menjadi pelayan-pelayan Tuhan tanpa kehilangan 'fun factor' mereka. Seringkali yang menjadi masalah bukan soal mampu atau tidak, tetapi justru apakah kita mau atau tidak.
Kata 'mampu' dan 'mau' hanya dibedakan oleh dua huruf 'mp' ditengah. Begitu tipisnya perbedaan di sisi tulisan, tapi perbedaannya sangat besar di sisi artinya. Ada banyak dalih yang bisa kita kemukakan untuk menolak untuk melayani, yang biasanya akan jauh lebih ditekankan kepada apa yang tidak ada pada kita ketimbang melihat potensi atau talenta apa yang sebenarnya sudah Tuhan sediakan bagi kita. Melayani tidak selalu berarti kita harus berkotbah, menjadi orator, orang yang serba tahu, hafal mati Alkitab, punya karunia kesembuhan, tidak mampu secara materi dan sebagainya. Tidak, tidak demikian. Ada begitu banyak bentuk pelayanan yang akan sangat menyukakan hati Tuhan tanpa harus berkotbah di dalamnya. Jika kita membaca 1 Korintus 12:1-11 kita akan melihat gambarannya seperti yang dikemukakan Paulus. Ia berkata: "Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang." (ay 4-6). Dalam perikop berikutnya Paulus menjabarkan lebih jauh (ay 12-31). "Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota...Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh." (ay 14,20). Masing-masing anggota tubuh punya fungsinya masing-masing. Mulut bukan dipakai untuk mendengar, telinga bukan untuk melihat, mata bukan untuk mencium, hidung bukan untuk menggenggam dan sebagainya. Masing-masing punya fungsi, tapi semuanya merupakan satu kesatuan yang saling menyempurnakan. Seperti itu pula kita sebagai anggota-anggota Tubuh Kristus.
Kita manusia yang terbatas, itu benar. Tapi sesungguhnya Tuhan sudah menyediakan talenta-talenta khusus bagi kita masing-masing yang tentu saja bisa dipakai untuk kembali memuliakanNya dalam melakukan berbagai bentuk pelayanan yang memberkati orang lain. Apakah para nabi pilihan Tuhan adalah orang-orang sempurna yang bisa segalanya? Justru sebaliknya, Tuhan lebih suka memakai orang-orang yang dianggap biasa-biasa saja atau malah tidak dianggap untuk menjadi duta-dutaNya ketimbang orang-orang yang hebat, kaya atau terkenal. Bukan mampu atau tidak yang penting, tapi mau atau tidak.
Reaksi yang sangat positif akan panggilan Tuhan bisa kita lihat lewat sosok Yesaya. Ketika ia mendapat panggilan Tuhan, ia langsung menyatakan kesiapannya tanpa memikirkan keterbatasan kemampuannya sebagai seorang manusia biasa. "Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8). Singkat dan tegas reaksinya. "Here am I, send me." he said. Apakah Yesaya termasuk orang yang percaya diri berlebihan? Tentu tidak. Saya yakin Yesaya tahu betul sampai dimana batas kemampuannya sebagai manusia. Tetapi ia menyadari betul bahwa ia hanyalah seorang utusan, seorang pelayan, seorang hamba. Ia tidak perlu takut. Sebagai seorang hamba, bukankah ia memiliki "Tuan" dengan kuasa yang tidak terbatas? Jika "Tuan"nya yang menyuruh, bukankah itu artinya "Tuan"nya percaya ia mampu dan akan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menjalankan tugas? Ini sebuah sikap yang seharusnya segera muncul dalam diri kita ketika Tuhan memberi sebuah tugas atau panggilan. Bukan segera melihat kekurangan atau keterbatasan kemampuan kita, tetapi segera mengarahkan pandangan kepada Sang Pemberi tugas. Bukan mengeluh, tetapi sudah sepantasnya kita bersyukur karena kita dipilih Tuhan untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Bukan kemampuan kita yang penting, tetapi kemauan kita. Selebihnya biarkan Tuhan yang berkreasi diatas segalanya lewat diri kita.
(bersambung)
Motivasi dalam Pelayanan
Ayat bacaan: Kisah Para Rasul 20:33
==========================
"Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapapun juga."
Ada banyak yang melayani, tapi hanya sedikit yang motivasinya benar. Itu yang dikatakan oleh salah seorang teman yang aktif dalam pelayanan di gerejanya. Menurutnya, ada orang-orang yang memang sepertinya melayani, tetapi bukan didasarkan untuk menyenangkan hati Tuhan melainkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Menurutnya, orang-orang seperti ini biasanya akan ketahuan lewat sikap mereka dalam kehidupan sehari-hari. Selalu menyombongkan diri baik secara langsung atau lewat berbagai jejaring sosial, atau sikap lainnya seperti malas, angkuh, sering tidak tepat waktu dan lain sebagainya. Adalah sangat baik apabila kita bersedia untuk meluangkan sebagian dari waktu kita untuk terlibat langsung dalam pelayanan lewat bidang apa saja sesuai panggilan kita masing-masing, tapi adalah penting pula untuk memperhatikan baik-baik motivasi yang benar dalam melayani.
Yesus mengatakan: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." (Matius 9:37a). Jika pekerja saja dikatakan sedikit, jumlahnya sepertinya semakin sedikit jika kita menambahkan kata "yang motivasinya benar" di depan kata "pekerja". Seperti apa sebenarnya motivasi yang harus dimiliki oleh para pengerja atau pelayan Tuhan? Bagaimana seharusnya agar kita tidak sampai mencuri kemuliaan yang seharusnya menjadi milik Tuhan atau membuat Tuhan kecewa atau bahkan marah lewat sikap yang salah dari kita? Dalam hal ini kita bisa belajar dari sosok Paulus.
Sebagai seorang hamba Tuhan, Paulus menunjukkan sikapnya yang teguh akan ketaatan. Dia berani pergi menyebarkan Injil kemana-mana, bahkan hingga mencapai Asia kecil. Ia sukses mendirikan banyak jemaat dimanapun ia mendarat. Terkenalkah Paulus? Tentu saja Paulus terkenal dikalangan orang-orang percaya pada masa itu. Tetapi disisi lain kita harus pula melihat betapa seringnya usaha dan kerja kerasnya tidak dihargai sepantasnya. Dia bahkan harus rela mengalami banyak penderitaan dan berbagai bentuk siksaan demi menjalankan misinya. Meski demikian, kita mengetahui bahwa Paulus tidak berkecil hati, kecewa atau sakit hati kepada Tuhan. Sebaliknya ia malah tidak pernah menuntut apa-apa yang bisa memberinya sedikit kemudahan dalam menunaikan tugas pelayanannya. Jika memperhatikan tingkat kesulitan tinggi yang ia harus hadapi lengkap dengan segala resikonya, tentu rasanya wajar jika Paulus tidak lagi perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Logikanya ia lebih baik fokus saja mewartakan kabar gembira. Tapi Paulus ternyata tidak menuntut itu sama sekali. Perhatikanlah apa yang ia katakan. "Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapapun juga." (Kisah Para Rasul 20:33). Paulus tidak menuntut apapun dari jemaat maupun penatua/gembala atau hamba-hamba Tuhan lainnya. Padahal kurang apa lagi Paulus pada saat itu dimata orang-orang percaya? Itulah sikap Paulus. Ia mengatakan "Kamu sendiri tahu, bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku." (ay 34). Paulus sama sekali tidak mencari kesempatan untuk meraup keuntungan untuk diri sendiri meski ia sudah bersusah payah untuk melayani begitu banyak orang. Ia memilih untuk terus bekerja ditengah kesibukannya melayani, bukan hanya untuk mencukupi kebutuhannya sendiri bersama rekan-rekan sekerjanya. tetapi ia pun bekerja agar bisa membantu orang-orang yang membutuhkan. "Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah..." (ay 35). Apa pekerjaan Paulus? Dalam Kisah Para Rasul 18:3 kita bisa tahu bahwa Paulus bekerja sebagai tukang kemah. Paulus tahu bahwa semua yang ia lakukan bukanlah untuk ketenaran, tetapi semata-mata untuk menyenangkan Tuhan dengan membawa jiwa-jiwa untuk bertobat dan mendapat kesempatan yang sama sepertinya untuk diselamatkan.
Kita bisa melihat pandangan Paulus yang mendasari keputusannya untuk tidak menuntut apa-apa dalam menjalankan panggilannya. "Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." (1 Korintus 10:31). Ia berkata, apapun yang kita lakukan, seharusnya itu diarahkan untuk memuliakan Tuhan dan bukan untuk mencari popularitas atau keuntungan pribadi. Mengapa demikian? "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36). Bukankah segala sesuatu yang kita miliki semuanya berasal dari Tuhan? Tanpa Tuhan kita bukanlah apa-apa dan tidak ada apa-apanya. Karena itulah sudah sepantasnya kita memuliakan Tuhan lewat segala talenta atau kemampuan yang telah diberikan kepada kita.
Lewat sikap Paulus kita bisa melihat bagaimana sikap kita yang seharusnya dalam melayani Tuhan. Jangan sampai kita mencuri hak Tuhan dengan memanfaatkan kesempatan dalam pelayanan untuk memperkaya diri sendiri atau demi popularitas kita. Jangan pula kita lupa untuk memuliakan Tuhan dengan terus bersikap asal-asalan, malas atau tidak serius dalam melakukannya. Motivasi Paulus dalam melayani adalah murni, dan ini adalah keteladanan yang sangat baik untuk kita camkan baik-baik. Tidak peduli sehebat apapun kemampuan kita, semua itu tidak ada gunanya tanpa Tuhan. Dari Paulus kita bisa belajar bahwa kemurnian dan ketulusan merupakan kunci yang sangat penting dalam mengabdi kepada Tuhan. Mari kita periksa diri kita, apa yang menjadi dasar atau motivasi kita dalam melayani. Apakah semata-mata untuk memuliakan Tuhan atau kita masih punya banyak agenda yang mengarah kepada keuntungan diri sendiri. Arahkanlah fokus dalam melayani ke arah yang tepat, ikuti keteladanan Paulus agar semua pekerjaan yang kita lakukan berkenan di hadapan Tuhan dan bisa berbuah lebat membawa kemuliaan bagi Tuhan.
Miliki sikap dan motivasi yang benar dalam melayani
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==========================
"Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapapun juga."
Ada banyak yang melayani, tapi hanya sedikit yang motivasinya benar. Itu yang dikatakan oleh salah seorang teman yang aktif dalam pelayanan di gerejanya. Menurutnya, ada orang-orang yang memang sepertinya melayani, tetapi bukan didasarkan untuk menyenangkan hati Tuhan melainkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Menurutnya, orang-orang seperti ini biasanya akan ketahuan lewat sikap mereka dalam kehidupan sehari-hari. Selalu menyombongkan diri baik secara langsung atau lewat berbagai jejaring sosial, atau sikap lainnya seperti malas, angkuh, sering tidak tepat waktu dan lain sebagainya. Adalah sangat baik apabila kita bersedia untuk meluangkan sebagian dari waktu kita untuk terlibat langsung dalam pelayanan lewat bidang apa saja sesuai panggilan kita masing-masing, tapi adalah penting pula untuk memperhatikan baik-baik motivasi yang benar dalam melayani.
Yesus mengatakan: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." (Matius 9:37a). Jika pekerja saja dikatakan sedikit, jumlahnya sepertinya semakin sedikit jika kita menambahkan kata "yang motivasinya benar" di depan kata "pekerja". Seperti apa sebenarnya motivasi yang harus dimiliki oleh para pengerja atau pelayan Tuhan? Bagaimana seharusnya agar kita tidak sampai mencuri kemuliaan yang seharusnya menjadi milik Tuhan atau membuat Tuhan kecewa atau bahkan marah lewat sikap yang salah dari kita? Dalam hal ini kita bisa belajar dari sosok Paulus.
Sebagai seorang hamba Tuhan, Paulus menunjukkan sikapnya yang teguh akan ketaatan. Dia berani pergi menyebarkan Injil kemana-mana, bahkan hingga mencapai Asia kecil. Ia sukses mendirikan banyak jemaat dimanapun ia mendarat. Terkenalkah Paulus? Tentu saja Paulus terkenal dikalangan orang-orang percaya pada masa itu. Tetapi disisi lain kita harus pula melihat betapa seringnya usaha dan kerja kerasnya tidak dihargai sepantasnya. Dia bahkan harus rela mengalami banyak penderitaan dan berbagai bentuk siksaan demi menjalankan misinya. Meski demikian, kita mengetahui bahwa Paulus tidak berkecil hati, kecewa atau sakit hati kepada Tuhan. Sebaliknya ia malah tidak pernah menuntut apa-apa yang bisa memberinya sedikit kemudahan dalam menunaikan tugas pelayanannya. Jika memperhatikan tingkat kesulitan tinggi yang ia harus hadapi lengkap dengan segala resikonya, tentu rasanya wajar jika Paulus tidak lagi perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Logikanya ia lebih baik fokus saja mewartakan kabar gembira. Tapi Paulus ternyata tidak menuntut itu sama sekali. Perhatikanlah apa yang ia katakan. "Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapapun juga." (Kisah Para Rasul 20:33). Paulus tidak menuntut apapun dari jemaat maupun penatua/gembala atau hamba-hamba Tuhan lainnya. Padahal kurang apa lagi Paulus pada saat itu dimata orang-orang percaya? Itulah sikap Paulus. Ia mengatakan "Kamu sendiri tahu, bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku." (ay 34). Paulus sama sekali tidak mencari kesempatan untuk meraup keuntungan untuk diri sendiri meski ia sudah bersusah payah untuk melayani begitu banyak orang. Ia memilih untuk terus bekerja ditengah kesibukannya melayani, bukan hanya untuk mencukupi kebutuhannya sendiri bersama rekan-rekan sekerjanya. tetapi ia pun bekerja agar bisa membantu orang-orang yang membutuhkan. "Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah..." (ay 35). Apa pekerjaan Paulus? Dalam Kisah Para Rasul 18:3 kita bisa tahu bahwa Paulus bekerja sebagai tukang kemah. Paulus tahu bahwa semua yang ia lakukan bukanlah untuk ketenaran, tetapi semata-mata untuk menyenangkan Tuhan dengan membawa jiwa-jiwa untuk bertobat dan mendapat kesempatan yang sama sepertinya untuk diselamatkan.
Kita bisa melihat pandangan Paulus yang mendasari keputusannya untuk tidak menuntut apa-apa dalam menjalankan panggilannya. "Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." (1 Korintus 10:31). Ia berkata, apapun yang kita lakukan, seharusnya itu diarahkan untuk memuliakan Tuhan dan bukan untuk mencari popularitas atau keuntungan pribadi. Mengapa demikian? "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36). Bukankah segala sesuatu yang kita miliki semuanya berasal dari Tuhan? Tanpa Tuhan kita bukanlah apa-apa dan tidak ada apa-apanya. Karena itulah sudah sepantasnya kita memuliakan Tuhan lewat segala talenta atau kemampuan yang telah diberikan kepada kita.
Lewat sikap Paulus kita bisa melihat bagaimana sikap kita yang seharusnya dalam melayani Tuhan. Jangan sampai kita mencuri hak Tuhan dengan memanfaatkan kesempatan dalam pelayanan untuk memperkaya diri sendiri atau demi popularitas kita. Jangan pula kita lupa untuk memuliakan Tuhan dengan terus bersikap asal-asalan, malas atau tidak serius dalam melakukannya. Motivasi Paulus dalam melayani adalah murni, dan ini adalah keteladanan yang sangat baik untuk kita camkan baik-baik. Tidak peduli sehebat apapun kemampuan kita, semua itu tidak ada gunanya tanpa Tuhan. Dari Paulus kita bisa belajar bahwa kemurnian dan ketulusan merupakan kunci yang sangat penting dalam mengabdi kepada Tuhan. Mari kita periksa diri kita, apa yang menjadi dasar atau motivasi kita dalam melayani. Apakah semata-mata untuk memuliakan Tuhan atau kita masih punya banyak agenda yang mengarah kepada keuntungan diri sendiri. Arahkanlah fokus dalam melayani ke arah yang tepat, ikuti keteladanan Paulus agar semua pekerjaan yang kita lakukan berkenan di hadapan Tuhan dan bisa berbuah lebat membawa kemuliaan bagi Tuhan.
Miliki sikap dan motivasi yang benar dalam melayani
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, July 28, 2012
Kuasa Dibalik Doa
Ayat bacaan: Kolose 4:12
====================
"Salam dari Epafras kepada kamu; ia seorang dari antaramu, hamba Kristus Yesus, yang selalu bergumul dalam doanya untuk kamu, supaya kamu berdiri teguh, sebagai orang-orang yang dewasa dan yang berkeyakinan penuh dengan segala hal yang dikehendaki Allah."
Pentingkah kita mendoakan sesama kita? Atau pertanyaan lain, bisakah doa kita untuk orang lain membawa dampak besar? Dengarlah pengalaman saya pribadi. Jauh sebelum saya bertobat, ada sebagian dari teman kuliah saya yang berusaha untuk memperkenalkan Kristus kepada saya. Reaksi saya pada waktu itu negatif. Saya menertawakan mereka dan menolak mentah-mentah. Sekitar 6 atau 7 tahun kemudian saya mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa, dan singkat cerita saya pun menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat saya. Setelah beberapa waktu teman-teman saya itu pun mendengar perihal pertobatan saya. Baru setelah itu mereka bercerita bahwa setelah saya menolak mereka dahulu, ternyata mereka tidak putus-putusnya membawa saya dalam doa bertahun-tahun. Bayangkan, mereka sudah saya kecewakan bahkan saya usir dari rumah, tapi ternyata mereka sama sekali tidak membenci saya. Mereka terus mendoakan saya. Saya berbuat jahat kepada mereka, tetapi mereka memilih untuk tetap mengasihi. "Tidak sia-sia kami terus mendoakanmu, Puji Tuhan, akhirnya doa itu didengar." kata salah seorang dari mereka. Doa mereka memang membutuhkan waktu sampai tahunan, tapi lihatlah bahwa pada saatnya doa itu menjadi nyata.
Kita mungkin tahu, mungkin bakal tahu, mungkin juga tidak akan pernah tahu. Tapi tidakkah mungkin ada orang-orang yang terus bergumul mendoakan kita terus menerus, sehingga jika kita berada dalam keadaan baik dan terjaga hari ini, didalamnya ada andil dari mereka yang peduli terhadap kita lewat doa-doa yang mereka panjatkan untuk diri kita secara sungguh-sungguh dan kontinu? Gembala anda misalnya, tim pendoa di gereja, teman-teman persekutuan, orang tua anda, saudara, teman-teman, tetangga dan sebagainya. Bisa saja satu atau beberapa orang di antara mereka secara tekun bergumul dalam doa untuk kita setiap harinya. Ada kalanya dibutuhkan sebuah perjuangan berat diperlukan untuk mendukung sesama orang percaya atau yang belum percaya sekalipun yang keras kepala atau keras hati seperti sifat buruk saya dahulu, dan salah satu perjuangan itu sangatlah baik jika dilakukan lewat doa.
Alkisah, ada seorang hamba Tuhan bernama Epafras yang berada dalam penjara bersama-sama dengan Paulus. Namanya mungkin tidak sering kita dengar dan tidak seterkenal Paulus, Petrus, Barnabas dan beberapa rasul lainnya. Tetapi apa yang dilakukan Epafras mencerminkan kerinduannya untuk terus memberi dukungan kepada para jemaat lewat doa, dan itu cukup penting untuk dicatat dalam Alkitab. "Salam dari Epafras kepada kamu; ia seorang dari antaramu, hamba Kristus Yesus, yang selalu bergumul dalam doanya untuk kamu, supaya kamu berdiri teguh, sebagai orang-orang yang dewasa dan yang berkeyakinan penuh dengan segala hal yang dikehendaki Allah." (Kolose 4:12). Disini kita bisa melihat lewat surat Paulus bahwa Epafras tidak saja sekedar berdoa, tetapi dikatakan bergumul dalam doa-doanya untuk kebaikan jemaat. Tidak hanya sekali-kali bergumul, tapi dikatakan "selalu bergumul", dan itu ia lakukan untuk jemaat Kolose supaya mereka bisa berdiri teguh seperti orang-orang yang dewasa yang punya keyakinan penuh akan segala yang dikehendaki Allah.
"Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya." (Matius 21:22). Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa ada kuasa yang sangat besar dibalik doa, apalagi jika dilakukan oleh orang benar. Mungkin Tuhan tidak menjawabnya dengan segera, tetapi ada saatnya nanti dimana kita akan bersukacita melihat doa kita mendapat jawaban dariNya. Dan jangan lupa pula ada prinsip 'saling' dalam hubungannya yang harmonis yang berlaku dalam banyak hal dalam kekristenan. Saling mengasihi, saling membantu, saling memberkati, saling mengingatkan, dan sebagainya, termasuk di dalamnya saling mendoakan. Kuasa dibalik doa orang benar dan prinsip 'saling', keduanya dirangkum oleh Yakobus dengan kalimat berikut: "Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." (Yakobus 5:16). Saling mendoakanlah, karena doa itu punya kuasa yang besar.
Jika terhadap orang yang jahat kepada kita, yang memusuhi atau bahkan menganiaya kita saja harus dikasihi dan didoakan seperti seruan Yesus dalam Matius 5:44, apalagi untuk orang-orang yang kita kasihi. Kenapa kita tidak mulai mendoakan orang-orang yang kita kenal? Saling mendoakan, itu hal yang wajib untuk kita lakukan. Jangan hanya mementingkan diri sendiri saja, hanya ingin selamat sendiri tanpa mempedulikan keselamatan orang lain. Sikap seperti itu janganlah sampai menjadi pola pikir kita apalagi menjadi gaya hidup kita. Apakah kita mau bergumul dalam doa pula untuk meminta Tuhan menjaga orang-orang yang kita kasihi? Hari ini anda mungkin bisa memulainya dengan membuat daftar orang-orang yang akan anda doakan, dan mulailah doakan mereka. Sebuah doa yang dipanjatkan dengan rasa percaya dan dilakukan oleh orang benar akan sanggup membawa dampak besar atau perubahan positif bagi orang lain. Lewat doa kita bisa membawa mereka masuk ke dalam keselamatan. Sebuah doa yang sungguh-sungguh tidak akan pernah sia-sia, bahkan ketika doa kita menuju kepada orang-orang yang anda rasa tidak mungkin bertobat sekalipun, seperti saya dahulu. Panjatkanlah doa syafaat bagi orang-orang yang kita kasihi dan kita kenal dengan baik, bagi pemerintah, teman-teman, keluarga dan sebagainya. Doa dari orang benar itu sangatlah besar kuasanya.
Doa yang sungguh-sungguh tidak akan pernah sia-sia
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
====================
"Salam dari Epafras kepada kamu; ia seorang dari antaramu, hamba Kristus Yesus, yang selalu bergumul dalam doanya untuk kamu, supaya kamu berdiri teguh, sebagai orang-orang yang dewasa dan yang berkeyakinan penuh dengan segala hal yang dikehendaki Allah."
Pentingkah kita mendoakan sesama kita? Atau pertanyaan lain, bisakah doa kita untuk orang lain membawa dampak besar? Dengarlah pengalaman saya pribadi. Jauh sebelum saya bertobat, ada sebagian dari teman kuliah saya yang berusaha untuk memperkenalkan Kristus kepada saya. Reaksi saya pada waktu itu negatif. Saya menertawakan mereka dan menolak mentah-mentah. Sekitar 6 atau 7 tahun kemudian saya mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa, dan singkat cerita saya pun menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat saya. Setelah beberapa waktu teman-teman saya itu pun mendengar perihal pertobatan saya. Baru setelah itu mereka bercerita bahwa setelah saya menolak mereka dahulu, ternyata mereka tidak putus-putusnya membawa saya dalam doa bertahun-tahun. Bayangkan, mereka sudah saya kecewakan bahkan saya usir dari rumah, tapi ternyata mereka sama sekali tidak membenci saya. Mereka terus mendoakan saya. Saya berbuat jahat kepada mereka, tetapi mereka memilih untuk tetap mengasihi. "Tidak sia-sia kami terus mendoakanmu, Puji Tuhan, akhirnya doa itu didengar." kata salah seorang dari mereka. Doa mereka memang membutuhkan waktu sampai tahunan, tapi lihatlah bahwa pada saatnya doa itu menjadi nyata.
Kita mungkin tahu, mungkin bakal tahu, mungkin juga tidak akan pernah tahu. Tapi tidakkah mungkin ada orang-orang yang terus bergumul mendoakan kita terus menerus, sehingga jika kita berada dalam keadaan baik dan terjaga hari ini, didalamnya ada andil dari mereka yang peduli terhadap kita lewat doa-doa yang mereka panjatkan untuk diri kita secara sungguh-sungguh dan kontinu? Gembala anda misalnya, tim pendoa di gereja, teman-teman persekutuan, orang tua anda, saudara, teman-teman, tetangga dan sebagainya. Bisa saja satu atau beberapa orang di antara mereka secara tekun bergumul dalam doa untuk kita setiap harinya. Ada kalanya dibutuhkan sebuah perjuangan berat diperlukan untuk mendukung sesama orang percaya atau yang belum percaya sekalipun yang keras kepala atau keras hati seperti sifat buruk saya dahulu, dan salah satu perjuangan itu sangatlah baik jika dilakukan lewat doa.
Alkisah, ada seorang hamba Tuhan bernama Epafras yang berada dalam penjara bersama-sama dengan Paulus. Namanya mungkin tidak sering kita dengar dan tidak seterkenal Paulus, Petrus, Barnabas dan beberapa rasul lainnya. Tetapi apa yang dilakukan Epafras mencerminkan kerinduannya untuk terus memberi dukungan kepada para jemaat lewat doa, dan itu cukup penting untuk dicatat dalam Alkitab. "Salam dari Epafras kepada kamu; ia seorang dari antaramu, hamba Kristus Yesus, yang selalu bergumul dalam doanya untuk kamu, supaya kamu berdiri teguh, sebagai orang-orang yang dewasa dan yang berkeyakinan penuh dengan segala hal yang dikehendaki Allah." (Kolose 4:12). Disini kita bisa melihat lewat surat Paulus bahwa Epafras tidak saja sekedar berdoa, tetapi dikatakan bergumul dalam doa-doanya untuk kebaikan jemaat. Tidak hanya sekali-kali bergumul, tapi dikatakan "selalu bergumul", dan itu ia lakukan untuk jemaat Kolose supaya mereka bisa berdiri teguh seperti orang-orang yang dewasa yang punya keyakinan penuh akan segala yang dikehendaki Allah.
"Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya." (Matius 21:22). Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa ada kuasa yang sangat besar dibalik doa, apalagi jika dilakukan oleh orang benar. Mungkin Tuhan tidak menjawabnya dengan segera, tetapi ada saatnya nanti dimana kita akan bersukacita melihat doa kita mendapat jawaban dariNya. Dan jangan lupa pula ada prinsip 'saling' dalam hubungannya yang harmonis yang berlaku dalam banyak hal dalam kekristenan. Saling mengasihi, saling membantu, saling memberkati, saling mengingatkan, dan sebagainya, termasuk di dalamnya saling mendoakan. Kuasa dibalik doa orang benar dan prinsip 'saling', keduanya dirangkum oleh Yakobus dengan kalimat berikut: "Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." (Yakobus 5:16). Saling mendoakanlah, karena doa itu punya kuasa yang besar.
Jika terhadap orang yang jahat kepada kita, yang memusuhi atau bahkan menganiaya kita saja harus dikasihi dan didoakan seperti seruan Yesus dalam Matius 5:44, apalagi untuk orang-orang yang kita kasihi. Kenapa kita tidak mulai mendoakan orang-orang yang kita kenal? Saling mendoakan, itu hal yang wajib untuk kita lakukan. Jangan hanya mementingkan diri sendiri saja, hanya ingin selamat sendiri tanpa mempedulikan keselamatan orang lain. Sikap seperti itu janganlah sampai menjadi pola pikir kita apalagi menjadi gaya hidup kita. Apakah kita mau bergumul dalam doa pula untuk meminta Tuhan menjaga orang-orang yang kita kasihi? Hari ini anda mungkin bisa memulainya dengan membuat daftar orang-orang yang akan anda doakan, dan mulailah doakan mereka. Sebuah doa yang dipanjatkan dengan rasa percaya dan dilakukan oleh orang benar akan sanggup membawa dampak besar atau perubahan positif bagi orang lain. Lewat doa kita bisa membawa mereka masuk ke dalam keselamatan. Sebuah doa yang sungguh-sungguh tidak akan pernah sia-sia, bahkan ketika doa kita menuju kepada orang-orang yang anda rasa tidak mungkin bertobat sekalipun, seperti saya dahulu. Panjatkanlah doa syafaat bagi orang-orang yang kita kasihi dan kita kenal dengan baik, bagi pemerintah, teman-teman, keluarga dan sebagainya. Doa dari orang benar itu sangatlah besar kuasanya.
Doa yang sungguh-sungguh tidak akan pernah sia-sia
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Friday, July 27, 2012
Dipandu Damai Sejahtera
Ayat bacaan: Kolose 3:23
=====================
"Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah."
Pernahkah anda merasa kehilangan damai sejahtera dalam melakukan sesuatu? Secara pribadi anda merasa benar dalam melakukan sesuatu itu, tapi anda tidak lagi merasakan damai sejahtera, atau bahkan gelisah. Saya dahulu pernah mengalaminya, dan ada seorang teman juga yang baru saja mengalami hal yang sama. Sejak awal ketika ia mengambil sebuah keputusan ia merasa ada sesuatu yang tidak kena. Ia tidak nyaman, merasa sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya tapi ia terus saja menjalankannya. Pada akhirnya ia sadar bahwa ia telah mengambil keputusan yang salah. Sayangnya itu baru ia sadari setelah ia mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat investasi yang ia keluarkan.
Ada kalanya kita mengikuti pikiran kita sendiri tanpa bertanya terlebih dahulu kepada Tuhan dan meminta persetujuanNya. Atau kalaupun kita bertanya, kita seringkali memaksa Tuhan untuk menyetujuinya. Kita berpikir bahwa itulah yang terbaik buat kita, mungkin karena tergiur melihat keuntungan yang dijanjikan begitu besar, segan menolak atau alasan lain. Kita terus melanjutkannya meski hati nurani kita sebenarnya tidak setuju dengan itu. Dan pada akhirnya ketika kita mengalami kerugian akibat keliru dalam mengambil keputusan, kita pun teringat bahwa sebenarnya ketika menjalaninya Roh Kudus sebenarnya sudah berulang kali berbicara menasihati kita. Tuhan selalu siap mengingatkan manusia dengan berbagai cara, termasuk lewat ketukan dalam hati kita. Tapi tetap saja semua itu tergantung kita juga, apakah kita mendengarkan dan mau menuruti atau beranggapan bahwa kitalah yang paling tahu apa yang terbaik buat kita. Salah satu caranya biasanya bisa ditandai dengan ada tidaknya damai sejahtera dalam hati kita ketika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu.
Ketika kita mengambil sebuah tndakan lalu menyadari bahwa kita tidak lagi meraakan damai sejahtera atau tenteram mengenai tindakan itu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Hal yang terbaik tentunya adalah segera berhenti. Tetapi yang sering terjadi kita terus melanjutkan meski damai sejahtera tidak lagi kita rasakan. Kepalang tanggung, terlanjur basah, atau keuntungan terlalu memikat untuk dilewatkan, itu bisa menjadi alasan. Pada akhirnya nanti kita akan menyesal, tetapi pada saat itu kerugian baik secara materi atau lain-lain sudah terlambat untuk dicegah.Ingatlah bahwa tuntunan batin dari Roh Kudus bisa membawa rasa kegelisahan atau damai kepada kita. Ini adalah sesuatu yang harus kita pikirkan dengan cermat. Bagi orang percaya, Yesus sudah mengutus Penolong yakni Roh Kudus untuk menyertai kita selama-lamanya. "Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu." (Yohanes 14:16-17). Roh Kudus akan membantu mengingatkan kita, menegur, menasihati dalam kelemahan kita, termasuk di dalamnya membantu kita untuk menyampaikan kepada Allah tentang keluhan-keluhan yang tidak lagi bisa terucapkan oleh kita. (Roma 8:26). Jika anda termasuk orang yang peka, anda akan merasakan betapa seringnya Roh Kudus memberitahukan banyak hal lewat batin kita. Itu adalah salah satu cara yang kerap dipakai oleh Tuhan untuk membimbing anak-anakNya. Tetapi kehendak bebas yang Dia berikan kepada kita membuat kita bisa memilih untuk patuh atau tidak terhadap suaraNya.
Sebuah ayat dalam surat Kolose bisa kita jadikan landasan akan hal ini. "Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah." (Kolose 3:15). Dalam versi BIS kita bisa melihatnya dengan lebih jelas. Disana dikatakan:"Hendaklah keputusan-keputusanmu ditentukan oleh kedamaian yang diberikan oleh Kristus di dalam hatimu." Lihatlah bahwa rasa damai sejahtera Kristus bisa menjadi pemandu kita. "Let the peace (soul harmony which comes) from Christ rule (act as umpire continually) in your hearts [deciding and settling with finality all questions that arise in your minds, in that peaceful state]" (English AMP). Dari ketiga versi di atas kita bisa melihat jelas bahwa damai sejahtera Kristus seharusnya menjadi penentu dalam pengambilan keputusan. Masalahnya tinggal pada kita, apakah kita cukup peka untuk mendengar atau merasakannya, mau taat atau menolak.
Damai sejahtera dari Allah Bapa dan dari Yesus Kristus berulang kali dinyatakan oleh Paulus terutama dalam penutup surat-suratnya. Lihatlah pada akhir surat Galatia, Efesus Filipi, Tesalonika dan Timotius selain pada Kolose, Paulus selalu menyatakan hal yang kurang lebih sama: "Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu." Yohanes menyatakan itu juga dalam suratnya: "Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa, akan menyertai kita dalam kebenaran dan kasih." (2 Yohanes 1:3) Petrus pun sama. "Damai sejahtera menyertai kamu sekalian yang berada dalam Kristus. Amin." (1 Petrus 5:14b). Damai sejahtera dari Bapa dan Kristus akan selalu menyertai kita, tinggal lagi kitalah yang memilih apakah kita mau menerima atau menolaknya, apakah kita mau menjadikannya sebagai pemandu bagi langkah, pengambilan keputusan kita atau justru mengabaikannya.
Sangatlah penting bagi kita untuk bisa mendengar baik-baik suara Tuhan. Kita tidak boleh membiarkan diri kita terus terlalu sibuk dengan rutinitas kehidupan dunia sepanjang waktu. Kita harus mulai berpikir untuk memberi Tuhan waktu dan perhatian kita secara khusus dan serius. Tanpa itu kita tidak akan memiliki kepekaan yang cukup terhadap suara Tuhan, atau malah kita akan hidup tanpa pernah memiliki damai sejahtera sama sekali di dalam diri kita. Selain itu ingat lupa bahwa ayat bacaan kita hari ini ditutup dengan peringatan agar kita senantiasa mengucap syukur. "..Dan bersyukurlah!" Jangan anggap remeh akan hal ini. Berhati-hatilah agar kita tidak dikuasai oleh kekesalan, kejengkelan, amarah dan sebagainya akibat berbagai urusan dalam hidup ini. Itu semua bisa menjadi penghalang yang akan membuat kita sukar untuk menerima panduan Roh Kudus. Berilah penghargaan dan ucapan terima kasih kita kepada Tuhan. Dengan memiliki hati yang bersyukur, anda akan mendapati bahwa jauh lebih mudah untuk mendengar suaraNya jika Dia berbicara dan merasakan damai sejahtera daripadaNya. Lalu sebelum anda memutuskan untuk melakukan sesuatu, berdoalah agar Tuhan memberitahukan apakah tindakan tertentu yang ingin anda lakukan tersebut sesuai dengan kehendakNya atau tidak.
berhentilah segera jika anda tidak merasa damai sukacita dalam melakukan sesuatu
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=====================
"Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah."
Pernahkah anda merasa kehilangan damai sejahtera dalam melakukan sesuatu? Secara pribadi anda merasa benar dalam melakukan sesuatu itu, tapi anda tidak lagi merasakan damai sejahtera, atau bahkan gelisah. Saya dahulu pernah mengalaminya, dan ada seorang teman juga yang baru saja mengalami hal yang sama. Sejak awal ketika ia mengambil sebuah keputusan ia merasa ada sesuatu yang tidak kena. Ia tidak nyaman, merasa sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya tapi ia terus saja menjalankannya. Pada akhirnya ia sadar bahwa ia telah mengambil keputusan yang salah. Sayangnya itu baru ia sadari setelah ia mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat investasi yang ia keluarkan.
Ada kalanya kita mengikuti pikiran kita sendiri tanpa bertanya terlebih dahulu kepada Tuhan dan meminta persetujuanNya. Atau kalaupun kita bertanya, kita seringkali memaksa Tuhan untuk menyetujuinya. Kita berpikir bahwa itulah yang terbaik buat kita, mungkin karena tergiur melihat keuntungan yang dijanjikan begitu besar, segan menolak atau alasan lain. Kita terus melanjutkannya meski hati nurani kita sebenarnya tidak setuju dengan itu. Dan pada akhirnya ketika kita mengalami kerugian akibat keliru dalam mengambil keputusan, kita pun teringat bahwa sebenarnya ketika menjalaninya Roh Kudus sebenarnya sudah berulang kali berbicara menasihati kita. Tuhan selalu siap mengingatkan manusia dengan berbagai cara, termasuk lewat ketukan dalam hati kita. Tapi tetap saja semua itu tergantung kita juga, apakah kita mendengarkan dan mau menuruti atau beranggapan bahwa kitalah yang paling tahu apa yang terbaik buat kita. Salah satu caranya biasanya bisa ditandai dengan ada tidaknya damai sejahtera dalam hati kita ketika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu.
Ketika kita mengambil sebuah tndakan lalu menyadari bahwa kita tidak lagi meraakan damai sejahtera atau tenteram mengenai tindakan itu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Hal yang terbaik tentunya adalah segera berhenti. Tetapi yang sering terjadi kita terus melanjutkan meski damai sejahtera tidak lagi kita rasakan. Kepalang tanggung, terlanjur basah, atau keuntungan terlalu memikat untuk dilewatkan, itu bisa menjadi alasan. Pada akhirnya nanti kita akan menyesal, tetapi pada saat itu kerugian baik secara materi atau lain-lain sudah terlambat untuk dicegah.Ingatlah bahwa tuntunan batin dari Roh Kudus bisa membawa rasa kegelisahan atau damai kepada kita. Ini adalah sesuatu yang harus kita pikirkan dengan cermat. Bagi orang percaya, Yesus sudah mengutus Penolong yakni Roh Kudus untuk menyertai kita selama-lamanya. "Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu." (Yohanes 14:16-17). Roh Kudus akan membantu mengingatkan kita, menegur, menasihati dalam kelemahan kita, termasuk di dalamnya membantu kita untuk menyampaikan kepada Allah tentang keluhan-keluhan yang tidak lagi bisa terucapkan oleh kita. (Roma 8:26). Jika anda termasuk orang yang peka, anda akan merasakan betapa seringnya Roh Kudus memberitahukan banyak hal lewat batin kita. Itu adalah salah satu cara yang kerap dipakai oleh Tuhan untuk membimbing anak-anakNya. Tetapi kehendak bebas yang Dia berikan kepada kita membuat kita bisa memilih untuk patuh atau tidak terhadap suaraNya.
Sebuah ayat dalam surat Kolose bisa kita jadikan landasan akan hal ini. "Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah." (Kolose 3:15). Dalam versi BIS kita bisa melihatnya dengan lebih jelas. Disana dikatakan:"Hendaklah keputusan-keputusanmu ditentukan oleh kedamaian yang diberikan oleh Kristus di dalam hatimu." Lihatlah bahwa rasa damai sejahtera Kristus bisa menjadi pemandu kita. "Let the peace (soul harmony which comes) from Christ rule (act as umpire continually) in your hearts [deciding and settling with finality all questions that arise in your minds, in that peaceful state]" (English AMP). Dari ketiga versi di atas kita bisa melihat jelas bahwa damai sejahtera Kristus seharusnya menjadi penentu dalam pengambilan keputusan. Masalahnya tinggal pada kita, apakah kita cukup peka untuk mendengar atau merasakannya, mau taat atau menolak.
Damai sejahtera dari Allah Bapa dan dari Yesus Kristus berulang kali dinyatakan oleh Paulus terutama dalam penutup surat-suratnya. Lihatlah pada akhir surat Galatia, Efesus Filipi, Tesalonika dan Timotius selain pada Kolose, Paulus selalu menyatakan hal yang kurang lebih sama: "Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu." Yohanes menyatakan itu juga dalam suratnya: "Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa, akan menyertai kita dalam kebenaran dan kasih." (2 Yohanes 1:3) Petrus pun sama. "Damai sejahtera menyertai kamu sekalian yang berada dalam Kristus. Amin." (1 Petrus 5:14b). Damai sejahtera dari Bapa dan Kristus akan selalu menyertai kita, tinggal lagi kitalah yang memilih apakah kita mau menerima atau menolaknya, apakah kita mau menjadikannya sebagai pemandu bagi langkah, pengambilan keputusan kita atau justru mengabaikannya.
Sangatlah penting bagi kita untuk bisa mendengar baik-baik suara Tuhan. Kita tidak boleh membiarkan diri kita terus terlalu sibuk dengan rutinitas kehidupan dunia sepanjang waktu. Kita harus mulai berpikir untuk memberi Tuhan waktu dan perhatian kita secara khusus dan serius. Tanpa itu kita tidak akan memiliki kepekaan yang cukup terhadap suara Tuhan, atau malah kita akan hidup tanpa pernah memiliki damai sejahtera sama sekali di dalam diri kita. Selain itu ingat lupa bahwa ayat bacaan kita hari ini ditutup dengan peringatan agar kita senantiasa mengucap syukur. "..Dan bersyukurlah!" Jangan anggap remeh akan hal ini. Berhati-hatilah agar kita tidak dikuasai oleh kekesalan, kejengkelan, amarah dan sebagainya akibat berbagai urusan dalam hidup ini. Itu semua bisa menjadi penghalang yang akan membuat kita sukar untuk menerima panduan Roh Kudus. Berilah penghargaan dan ucapan terima kasih kita kepada Tuhan. Dengan memiliki hati yang bersyukur, anda akan mendapati bahwa jauh lebih mudah untuk mendengar suaraNya jika Dia berbicara dan merasakan damai sejahtera daripadaNya. Lalu sebelum anda memutuskan untuk melakukan sesuatu, berdoalah agar Tuhan memberitahukan apakah tindakan tertentu yang ingin anda lakukan tersebut sesuai dengan kehendakNya atau tidak.
berhentilah segera jika anda tidak merasa damai sukacita dalam melakukan sesuatu
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, July 26, 2012
Sepakat!
Ayat bacaan: Amos 3:3
==================
"Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?"
Apa arti kata sepakat? Bagi pebisnis kata sepakat berarti mencapai deal untuk melanjutkan kerjasama sesuai perjanjian. Bagi musisi, kata sepakat itu artinya bisa bersama-sama mengalirkan musik untuk menghasilkan sebuah simfoni yang harmonis dan terdengar menyatu. Intinya, sepakat itu artinya kedua belah pihak sudah setuju dengan keputusan bersama yang telah dibicarakan sebelumnya. Bayangkan apabila anda bersepakat untuk bertemu di sebuah tempat pada jam yang sudah ditentukan. Jika salah satu melanggar kesepakatan, misalnya datang pada jam yang berbeda atau pergi ke tujuan yang berbeda, tentu anda tidak akan pernah bisa bertemu bukan? Seperti itulah sebuah gambaran kesepakatan. Dalam membuat surat perjanjian atau kontrak pun demikian. Kedua pihak harus terlebih dahulu sepakat atas pasal-pasal yang di atur di dalamnya sebelum menandatangani. Tanpa itu, sebuah kontrak tidak akan berlaku. Demikian pentingnya sebuah kesepakatan dalam berbagai aspek hidup kita. Tanpa adanya kesepakatan, kita tidak akan bisa berjalan bersama-sama.
Kesepakatan sering disepelekan atau dianggap tidak penting bagi banyak orang. baik dalam keluarga, pekerjaan, belajar maupun dalam beribadah. Mereka lebih suka berjalan sendiri dan memutuskan segalanya sendiri dan menganggap orang lain tidak penting atau bahkan tidak ada. Coba pikir apabila dalam sebuah gereja jemaatnya hanya datang, duduk, diam, dengar dan kemudian pulang, bisakah gereja itu tumbuh menjadi berkat bagi sesamanya apalagi kotanya? Jika semua unsur di dalamnya berjalan sendiri-sendiri, bisakah sebuah gereja menjalankan program-programnya dengan baik? Jika dalam sebuah keluarga semuanya sibuk dengan dunianya masing-masing tanpa peduli satu sama lain, ayah hanya bekerja, ibu yang penting masak, anak-anak ke sekolah dan bermain bersama teman dan berkumpul hanya sekali-kali saja, bisakah keluarga itu menjadi harmonis dan kuat? Dapatkah sebuah tujuan dicapai jika semua yang terlibat berjalan sendiri tanpa ada kesatuan atau kesepakatan?
Pertanyaan ini mungkin terdengar klise, tapi sebenarnya pertanyaan yang sama sudah ada sejak dulu dan tercatat dalam kitab Amos. "Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?" (Amos 3:3). Bisakah dua orang berjalan bersama ke arah yang sama tanpa membuat perjanjian, persetujuan atau kesepakatan terlebih dahulu? Itu tidak mungkin bisa. Sebuah kesepakatan merupakan hal yang memegang peran yang sangat penting agar kita bisa berjalan ke arah yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Baik dalam keluarga, pertemanan, pekerjaan, pelayanan atau dalam hal-hal yang spiritual kesepakatan itu merupakan sebuah unsur yang sangat penting, atau kita akan berjalan di tempat bisa jadi malah mundur. Tuhan sendiri sangat mementingkan dan memperhatikan kesepakatan. Dan hal ini dianjurkan dalam begitu banyak kesempatan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Sebuah kesepakatan selalu bisa menghasilkan dampak besar, baik positif atau negatif. Kita bisa melihat sebuah contoh kesepakatan negatif lewat kisah menara Babel dalam Kejadian 11:1-9. Perhatikan bagaimana orang-orang pada masa itu bersepakat mencoba untuk menyaingi Tuhan. Dan hal ini ternyata mendapat perhatian serius di mata Tuhan hingga akhirnya Tuhan merasa perlu untuk mengacau-balaukan bahasa dan menyerakkan mereka. Dalam bentuk yang negatif sekalipun kesepakatan bisa menimbulkan dampak besar. Demikian pentingnya hal ini, sehingga alangkah baiknya apabila kita tidak melupakan sebuah kesepakatan sebagai sebuah unsur yang vital demi mencapai tujuan-tujuan yang baik.
Lihatlah bagaimana Yesus mengajarkan pentingnya membangun sebuah kesepakatan. "Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 18:19). Tuhan ternyata menganggap penting bagi kita untuk bersepakat dalam berdoa dan meminta sesuatu kepadaNya, dan itu disampaikan oleh Yesus sendiri. Selanjutnya Yesus pun mengatakan "Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (ay 20). Jika dua atau tiga orang berkumpul, itu artinya bersepakat, dan dilakukan dalam NamaNya, maka Yesus pun akan segera hadir ditengah-tengah kita. Bukankah ini menunjukkan tingginya sebuah nilai kesepakatan bagi Tuhan?
Jika Tuhan saja menganggap sebuah kesepakatan itu penting mengapa kita tidak mulai berpikir bahwa itu penting mulai dari sekarang? Ingatlah bahwa tidak ada satupun yang maksimal yang bisa kita lakukan apabila kita hanya berjalan sendiri-sendiri. Sebuah keluarga tidak akan bisa harmonis dan kuat tanpa adanya kesatuan di antara anggota-anggotanya. Meski semua melakukan tugasnya masing-masing dengan baik, kekuatannya akan sangat lemah apabila tidak ada kesatuan di dalamnya. Dalam pekerjaan, bisnis maupun pelayanan pun sama. Tidak akan ada program yang bisa berjalan dengan baik, tidak akan ada sebuah pencapaian yang luar biasa apabila tidak didasari dengan kesepakatan. Kita tidak akan bisa tetap tegar atau teguh dalam menghadapi masalah jika hanya sendirian. Pengkotbah mengatakan "Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!" (Pengkotbah 4:9-10). Dan selanjutnya juga diingatkan bahwa dua orang yang bepergian bersama dapat menangkis serangan, tapi orang yang sendirian akan dengan mudah dapat dikalahkan. "Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan." (ay 12).
Sudahkah kita menyadari betapa pentingnya sebuah kesepakatan dalam berbagai aspek kehidupan kita? Gereja hanya akan bisa menjadi garam dan terang bagi lingkungan atau kotanya apabila jemaatnya mau bersatu, bersepakat dan melakukan bagian masing-masing secara terintegrasi atau terpadu. Sudah saatnya gereja menjadi kumpulan orang-orang kudus yang mau terlibat melakukan langkah nyata bukan hanya bersikap apatis, hanya datang, nonton dan mencari berkat untuk dirinya sendiri saja. Di sisi lain sebuah gereja seharusnya mampu mempermudah orang untuk memberi pelayanan dan bukan sebaliknya malah membangun tembok pembatas lewat peraturan-peraturan atau tradisi duniawi yang terlalu rumit sehingga menyulitkan jemaatnya untuk terlibat. Tuhan sangat memperhatikan kesepakatan, itu merupakan hal yang penting bagiNya dan sudah saatnya kita pun menanggapi sebuah kesepatakan itu dengan sangat serius.
Kesepakatan memegang peranan penting bagi terkabulnya doa kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==================
"Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?"
Apa arti kata sepakat? Bagi pebisnis kata sepakat berarti mencapai deal untuk melanjutkan kerjasama sesuai perjanjian. Bagi musisi, kata sepakat itu artinya bisa bersama-sama mengalirkan musik untuk menghasilkan sebuah simfoni yang harmonis dan terdengar menyatu. Intinya, sepakat itu artinya kedua belah pihak sudah setuju dengan keputusan bersama yang telah dibicarakan sebelumnya. Bayangkan apabila anda bersepakat untuk bertemu di sebuah tempat pada jam yang sudah ditentukan. Jika salah satu melanggar kesepakatan, misalnya datang pada jam yang berbeda atau pergi ke tujuan yang berbeda, tentu anda tidak akan pernah bisa bertemu bukan? Seperti itulah sebuah gambaran kesepakatan. Dalam membuat surat perjanjian atau kontrak pun demikian. Kedua pihak harus terlebih dahulu sepakat atas pasal-pasal yang di atur di dalamnya sebelum menandatangani. Tanpa itu, sebuah kontrak tidak akan berlaku. Demikian pentingnya sebuah kesepakatan dalam berbagai aspek hidup kita. Tanpa adanya kesepakatan, kita tidak akan bisa berjalan bersama-sama.
Kesepakatan sering disepelekan atau dianggap tidak penting bagi banyak orang. baik dalam keluarga, pekerjaan, belajar maupun dalam beribadah. Mereka lebih suka berjalan sendiri dan memutuskan segalanya sendiri dan menganggap orang lain tidak penting atau bahkan tidak ada. Coba pikir apabila dalam sebuah gereja jemaatnya hanya datang, duduk, diam, dengar dan kemudian pulang, bisakah gereja itu tumbuh menjadi berkat bagi sesamanya apalagi kotanya? Jika semua unsur di dalamnya berjalan sendiri-sendiri, bisakah sebuah gereja menjalankan program-programnya dengan baik? Jika dalam sebuah keluarga semuanya sibuk dengan dunianya masing-masing tanpa peduli satu sama lain, ayah hanya bekerja, ibu yang penting masak, anak-anak ke sekolah dan bermain bersama teman dan berkumpul hanya sekali-kali saja, bisakah keluarga itu menjadi harmonis dan kuat? Dapatkah sebuah tujuan dicapai jika semua yang terlibat berjalan sendiri tanpa ada kesatuan atau kesepakatan?
Pertanyaan ini mungkin terdengar klise, tapi sebenarnya pertanyaan yang sama sudah ada sejak dulu dan tercatat dalam kitab Amos. "Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?" (Amos 3:3). Bisakah dua orang berjalan bersama ke arah yang sama tanpa membuat perjanjian, persetujuan atau kesepakatan terlebih dahulu? Itu tidak mungkin bisa. Sebuah kesepakatan merupakan hal yang memegang peran yang sangat penting agar kita bisa berjalan ke arah yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Baik dalam keluarga, pertemanan, pekerjaan, pelayanan atau dalam hal-hal yang spiritual kesepakatan itu merupakan sebuah unsur yang sangat penting, atau kita akan berjalan di tempat bisa jadi malah mundur. Tuhan sendiri sangat mementingkan dan memperhatikan kesepakatan. Dan hal ini dianjurkan dalam begitu banyak kesempatan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Sebuah kesepakatan selalu bisa menghasilkan dampak besar, baik positif atau negatif. Kita bisa melihat sebuah contoh kesepakatan negatif lewat kisah menara Babel dalam Kejadian 11:1-9. Perhatikan bagaimana orang-orang pada masa itu bersepakat mencoba untuk menyaingi Tuhan. Dan hal ini ternyata mendapat perhatian serius di mata Tuhan hingga akhirnya Tuhan merasa perlu untuk mengacau-balaukan bahasa dan menyerakkan mereka. Dalam bentuk yang negatif sekalipun kesepakatan bisa menimbulkan dampak besar. Demikian pentingnya hal ini, sehingga alangkah baiknya apabila kita tidak melupakan sebuah kesepakatan sebagai sebuah unsur yang vital demi mencapai tujuan-tujuan yang baik.
Lihatlah bagaimana Yesus mengajarkan pentingnya membangun sebuah kesepakatan. "Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 18:19). Tuhan ternyata menganggap penting bagi kita untuk bersepakat dalam berdoa dan meminta sesuatu kepadaNya, dan itu disampaikan oleh Yesus sendiri. Selanjutnya Yesus pun mengatakan "Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (ay 20). Jika dua atau tiga orang berkumpul, itu artinya bersepakat, dan dilakukan dalam NamaNya, maka Yesus pun akan segera hadir ditengah-tengah kita. Bukankah ini menunjukkan tingginya sebuah nilai kesepakatan bagi Tuhan?
Jika Tuhan saja menganggap sebuah kesepakatan itu penting mengapa kita tidak mulai berpikir bahwa itu penting mulai dari sekarang? Ingatlah bahwa tidak ada satupun yang maksimal yang bisa kita lakukan apabila kita hanya berjalan sendiri-sendiri. Sebuah keluarga tidak akan bisa harmonis dan kuat tanpa adanya kesatuan di antara anggota-anggotanya. Meski semua melakukan tugasnya masing-masing dengan baik, kekuatannya akan sangat lemah apabila tidak ada kesatuan di dalamnya. Dalam pekerjaan, bisnis maupun pelayanan pun sama. Tidak akan ada program yang bisa berjalan dengan baik, tidak akan ada sebuah pencapaian yang luar biasa apabila tidak didasari dengan kesepakatan. Kita tidak akan bisa tetap tegar atau teguh dalam menghadapi masalah jika hanya sendirian. Pengkotbah mengatakan "Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!" (Pengkotbah 4:9-10). Dan selanjutnya juga diingatkan bahwa dua orang yang bepergian bersama dapat menangkis serangan, tapi orang yang sendirian akan dengan mudah dapat dikalahkan. "Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan." (ay 12).
Sudahkah kita menyadari betapa pentingnya sebuah kesepakatan dalam berbagai aspek kehidupan kita? Gereja hanya akan bisa menjadi garam dan terang bagi lingkungan atau kotanya apabila jemaatnya mau bersatu, bersepakat dan melakukan bagian masing-masing secara terintegrasi atau terpadu. Sudah saatnya gereja menjadi kumpulan orang-orang kudus yang mau terlibat melakukan langkah nyata bukan hanya bersikap apatis, hanya datang, nonton dan mencari berkat untuk dirinya sendiri saja. Di sisi lain sebuah gereja seharusnya mampu mempermudah orang untuk memberi pelayanan dan bukan sebaliknya malah membangun tembok pembatas lewat peraturan-peraturan atau tradisi duniawi yang terlalu rumit sehingga menyulitkan jemaatnya untuk terlibat. Tuhan sangat memperhatikan kesepakatan, itu merupakan hal yang penting bagiNya dan sudah saatnya kita pun menanggapi sebuah kesepatakan itu dengan sangat serius.
Kesepakatan memegang peranan penting bagi terkabulnya doa kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Wednesday, July 25, 2012
Duri-Duri Kecil yang Membinasakan
Ayat bacaan: Markus 4:19
=================
"Then the cares and anxieties of the world and distractions of the age, and the pleasure and delight and false glamour and deceitfulness of riches, and the craving and passionate desire for other things creep in and choke and suffocate the Word, and it becomes fruitless."
Awalnya tertusuk duri, kemudian telapak kaki infeksi, membengkak dan bernanah. Itu dialami oleh salah seorang teman saya ketika menjalani masa KKN sekian tahun yang lalu. Pada waktu itu ia harus berjuang melewati semak duri karena tersasar di dalam hutan. Ia sudah berusaha untuk melewati semak duri dengan sebisa mungkin, namun tidaklah mungkin kita bisa melewati semak duri tanpa lecet sedikitpun. Ia tertusuk dan tergores disana sini, dan salah satu bagian tubuhnya yaitu telapak kaki ternyata mengalami infeksi yang cukup menyakitkan. Ia demam tinggi dan sempat hampir pingsan akibat mengalami shock atas rasa sakit ketika menjalani perawatan, dan membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk bisa pulih sepenuhnya. Jika tertusuk saja sudah sakit, lihatlah bagaimana sakitnya ketika luka yang ditinggalkan kemudian berubah menjadi sebuah infeksi seperti itu. Sebuah duri itu kecil saja, tetapi akibat yang ditimbulkan bisa cukup parah.
Tuhan Yesus memberi sebuah perumpamaan yang menarik mengenai penabur firman seperti yang tertulis di Markus 4:1-20. Ada yang jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung memakannya sampai habis. (ay 4). Ini menggambarkan orang yang mendengar firman tapi tidak menyimpannya dengan baik dalam hatinya. Mereka puas hanya dibagian luar saja, dan kemudian iblis pun datang mengambil firman yang ditaburkan pada mereka. Ada yang jatuh di tanah berbatu-batu, kata Yesus dalam ayat 5, dan kita sama-sama tahu bahwa tanaman tidak akan bisa berakar kuat apabila akarnya tidak bisa menembus kerasnya batu. Kalaupun tumbuh tentu tidak akan bisa baik hasilnya. Seperti perumpamaan itu, demikian pula orang yang menerima firman Tuhan tetapi hatinya keras bagai timbunan batu. "Demikian juga yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, ialah orang-orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila kemudian datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad." (ay 16-17). Lalu ada firman yang jatuh tertabur di semak duri, yang saya ingin fokuskan untuk renungan hari ini. Yesus berkata: "Dan yang lain ialah yang ditaburkan di tengah semak duri, itulah yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (ay 18-19). Duri itu kecil. Seperti itu pula berbagai hal-hal yang sepertinya kecil dan kita abaikan, tetapi nyatanya tetap berpotensi besar untuk menghancurkan kita. Seringkali kita awas terhadap kejahatan-kejahatan yang besar dan mudah untuk menghindarinya. Namun di sisi lain kita sering membiarkan berbagai dosa-dosa kecil, yang mungkin tidak terlihat atau kurang terasa, namun seperti duri yang ukurannya relatif kecil namun tetap bisa melukai bahkan mencelakakan kita.
Mari kita lihat lebih jelasnya ayat 19 ini dalam versi bahasa Inggrisnya. Dalam Bible versi English Amplified berbunyi: "Then the cares and anxieties of the world and distractions of the age, and the pleasure and delight and false glamour and deceitfulness of riches, and the craving and passionate desire for other things creep in and choke and suffocate the Word, and it becomes fruitless." Perhatikan bahwa disana dikatakan bahwa duri-duri ini bisa menyusup (creep in) lalu mencekik (choke) dan menghambat jalur pernafasan (suffocate) sehingga Firman itu pun tidak bisa berbuah. Jika kita melihat apa saja yang dikatakan duri dalam ayat ini, maka kita akan mendapatkan bahwa secara umum duri-duri itu mewakili hal-hal yang sering kita beri toleransi karena dianggap kecil dan tidak berbahaya, yaitu:
- Cares and anxieties of the world (kekuatiran dan kegelisahan dalam dunia)
- Distractions of the age (gangguan atau kebingungan dari zaman ini)
- The pleasure and delight (kesenangan dan kegembiraan)
- False glamour and deceitfulness of riches (kegemerlapan yang palsu dan tipu daya kekayaan)
- The craving and passionate desire for other things (kecanduan dan hasrat yang menggebu untuk hal-hal lainnya)
Lihatlah baik-baik. Bukankah point-point di atas merupakan sesuatu yang seringkali tidak kita awasi dengan baik dan terus menerus kita biarkan untuk hadir bahkan berkuasa dalam hidup kita? Inilah semak-semak duri itu, yang walaupun kecil tetapi sanggup menghimpit Firman sehingga tidak bisa berbuah. Kata menghimpit ini dalam bahasa Inggrisnya Bukan saja dikatakan choke alias mencekik, tetapi juga "suffocate", yang artinya membunuh dengan cara menghambat akses masuknya udara/oksigen sehingga kita tidak bisa bernafas. Bayangkan seandainya wajah kita dibekap dengan plastik sehingga tidak bisa bernafas, seperti itulah bentuknya.
Adalah sangat bagus apabila kita sudah mampu menghindari kejahatan-kejahatan yang dianggap besar seperti membunuh, mencuri dan sebagainya, namun jangan lupakan pula hal-hal yang terlihat kecil namun cukup punya kemampuan untuk membuat firman tidak bisa berbuah lalu membahayakan kelangsungan perjalanan kita. Dimana seharusnya firman itu jatuh? Ayat selanjutnya mengatakan: "Dan akhirnya yang ditaburkan di tanah yang baik, ialah orang yang mendengar dan menyambut firman itu lalu berbuah, ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat." (ay 20). Jatuh di tanah yang subur dan gembur, itu akan membuat firman itu bisa berbuah puluhan bahkan ratusan kali lipat. Seperti itulah dikatakan firman yang jatuh di hati yang baik.
Paulus mengingatkan Timotius: "Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya." (2 Timotius 2:4). Kita diminta untuk tidak memusingkan diri dengan soal-soal penghidupan, dan seharusnya lebih fokus untuk melakukan hal-hal yang akan membuat Tuhan berkenan atas kita. Jika kita mau merenungkan baik-baik, pada akhirnya kita akan mendapati bahwa tidak ada satupun hal yang lebih penting selain meluangkan waktu dalam doa dan bertumbuh dalam Firman bersama Tuhan, lantas selanjutnya mengaplikasikannya dalam setiap sendi kehidupan kita. Adalah penting bagi kita untuk mengawasi "duri-duri" kecil yang mampu menghambat atau bahkan menghentikan langkah kita. Ukurannya memang kecil, tapi infeksi yang diakibatkannya bisa mematikan. Seperti itulah semak duri yang disebutkan Yesus. Jangan biarkan semak duri itu mengganggu kita. Sekecil dan sesedikit apapun, tebang habis segera semua semak duri, dan biarkan firman itu jatuh di tempat yang baik agar bisa berbuah dengan subur berlipat ganda.
Jangan pernah biarkan semak duri seperti apapun tumbuh dalam hati kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=================
"Then the cares and anxieties of the world and distractions of the age, and the pleasure and delight and false glamour and deceitfulness of riches, and the craving and passionate desire for other things creep in and choke and suffocate the Word, and it becomes fruitless."
Awalnya tertusuk duri, kemudian telapak kaki infeksi, membengkak dan bernanah. Itu dialami oleh salah seorang teman saya ketika menjalani masa KKN sekian tahun yang lalu. Pada waktu itu ia harus berjuang melewati semak duri karena tersasar di dalam hutan. Ia sudah berusaha untuk melewati semak duri dengan sebisa mungkin, namun tidaklah mungkin kita bisa melewati semak duri tanpa lecet sedikitpun. Ia tertusuk dan tergores disana sini, dan salah satu bagian tubuhnya yaitu telapak kaki ternyata mengalami infeksi yang cukup menyakitkan. Ia demam tinggi dan sempat hampir pingsan akibat mengalami shock atas rasa sakit ketika menjalani perawatan, dan membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk bisa pulih sepenuhnya. Jika tertusuk saja sudah sakit, lihatlah bagaimana sakitnya ketika luka yang ditinggalkan kemudian berubah menjadi sebuah infeksi seperti itu. Sebuah duri itu kecil saja, tetapi akibat yang ditimbulkan bisa cukup parah.
Tuhan Yesus memberi sebuah perumpamaan yang menarik mengenai penabur firman seperti yang tertulis di Markus 4:1-20. Ada yang jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung memakannya sampai habis. (ay 4). Ini menggambarkan orang yang mendengar firman tapi tidak menyimpannya dengan baik dalam hatinya. Mereka puas hanya dibagian luar saja, dan kemudian iblis pun datang mengambil firman yang ditaburkan pada mereka. Ada yang jatuh di tanah berbatu-batu, kata Yesus dalam ayat 5, dan kita sama-sama tahu bahwa tanaman tidak akan bisa berakar kuat apabila akarnya tidak bisa menembus kerasnya batu. Kalaupun tumbuh tentu tidak akan bisa baik hasilnya. Seperti perumpamaan itu, demikian pula orang yang menerima firman Tuhan tetapi hatinya keras bagai timbunan batu. "Demikian juga yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, ialah orang-orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila kemudian datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad." (ay 16-17). Lalu ada firman yang jatuh tertabur di semak duri, yang saya ingin fokuskan untuk renungan hari ini. Yesus berkata: "Dan yang lain ialah yang ditaburkan di tengah semak duri, itulah yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (ay 18-19). Duri itu kecil. Seperti itu pula berbagai hal-hal yang sepertinya kecil dan kita abaikan, tetapi nyatanya tetap berpotensi besar untuk menghancurkan kita. Seringkali kita awas terhadap kejahatan-kejahatan yang besar dan mudah untuk menghindarinya. Namun di sisi lain kita sering membiarkan berbagai dosa-dosa kecil, yang mungkin tidak terlihat atau kurang terasa, namun seperti duri yang ukurannya relatif kecil namun tetap bisa melukai bahkan mencelakakan kita.
Mari kita lihat lebih jelasnya ayat 19 ini dalam versi bahasa Inggrisnya. Dalam Bible versi English Amplified berbunyi: "Then the cares and anxieties of the world and distractions of the age, and the pleasure and delight and false glamour and deceitfulness of riches, and the craving and passionate desire for other things creep in and choke and suffocate the Word, and it becomes fruitless." Perhatikan bahwa disana dikatakan bahwa duri-duri ini bisa menyusup (creep in) lalu mencekik (choke) dan menghambat jalur pernafasan (suffocate) sehingga Firman itu pun tidak bisa berbuah. Jika kita melihat apa saja yang dikatakan duri dalam ayat ini, maka kita akan mendapatkan bahwa secara umum duri-duri itu mewakili hal-hal yang sering kita beri toleransi karena dianggap kecil dan tidak berbahaya, yaitu:
- Cares and anxieties of the world (kekuatiran dan kegelisahan dalam dunia)
- Distractions of the age (gangguan atau kebingungan dari zaman ini)
- The pleasure and delight (kesenangan dan kegembiraan)
- False glamour and deceitfulness of riches (kegemerlapan yang palsu dan tipu daya kekayaan)
- The craving and passionate desire for other things (kecanduan dan hasrat yang menggebu untuk hal-hal lainnya)
Lihatlah baik-baik. Bukankah point-point di atas merupakan sesuatu yang seringkali tidak kita awasi dengan baik dan terus menerus kita biarkan untuk hadir bahkan berkuasa dalam hidup kita? Inilah semak-semak duri itu, yang walaupun kecil tetapi sanggup menghimpit Firman sehingga tidak bisa berbuah. Kata menghimpit ini dalam bahasa Inggrisnya Bukan saja dikatakan choke alias mencekik, tetapi juga "suffocate", yang artinya membunuh dengan cara menghambat akses masuknya udara/oksigen sehingga kita tidak bisa bernafas. Bayangkan seandainya wajah kita dibekap dengan plastik sehingga tidak bisa bernafas, seperti itulah bentuknya.
Adalah sangat bagus apabila kita sudah mampu menghindari kejahatan-kejahatan yang dianggap besar seperti membunuh, mencuri dan sebagainya, namun jangan lupakan pula hal-hal yang terlihat kecil namun cukup punya kemampuan untuk membuat firman tidak bisa berbuah lalu membahayakan kelangsungan perjalanan kita. Dimana seharusnya firman itu jatuh? Ayat selanjutnya mengatakan: "Dan akhirnya yang ditaburkan di tanah yang baik, ialah orang yang mendengar dan menyambut firman itu lalu berbuah, ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat." (ay 20). Jatuh di tanah yang subur dan gembur, itu akan membuat firman itu bisa berbuah puluhan bahkan ratusan kali lipat. Seperti itulah dikatakan firman yang jatuh di hati yang baik.
Paulus mengingatkan Timotius: "Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya." (2 Timotius 2:4). Kita diminta untuk tidak memusingkan diri dengan soal-soal penghidupan, dan seharusnya lebih fokus untuk melakukan hal-hal yang akan membuat Tuhan berkenan atas kita. Jika kita mau merenungkan baik-baik, pada akhirnya kita akan mendapati bahwa tidak ada satupun hal yang lebih penting selain meluangkan waktu dalam doa dan bertumbuh dalam Firman bersama Tuhan, lantas selanjutnya mengaplikasikannya dalam setiap sendi kehidupan kita. Adalah penting bagi kita untuk mengawasi "duri-duri" kecil yang mampu menghambat atau bahkan menghentikan langkah kita. Ukurannya memang kecil, tapi infeksi yang diakibatkannya bisa mematikan. Seperti itulah semak duri yang disebutkan Yesus. Jangan biarkan semak duri itu mengganggu kita. Sekecil dan sesedikit apapun, tebang habis segera semua semak duri, dan biarkan firman itu jatuh di tempat yang baik agar bisa berbuah dengan subur berlipat ganda.
Jangan pernah biarkan semak duri seperti apapun tumbuh dalam hati kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, July 24, 2012
Perhatikan Ucapan Kita (2)
(sambungan)
Kita harus sadar bahwa ada kuasa di balik perkataan, dan kuasa itu sesungguhnya sangat besar. Perhatikan ayat berikut ini: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya." (Markus 11:23). Perhatikan apa yang dikatakan Yesus disana. Dia tidak mengatakan bahwa "Jika Pendeta berkata kepada gunung ini", atau "Jika sebagian orang yang istimewa berkata". Yesus juga tidak berkata "siapa yang berbisik" atau "siapa yang berkata dalam hatinya." Tetapi apa yang dikatakan Yesus adalah: "BARANGSIAPA BERKATA". "WHOEVER SAYS". Perhatikan bahwa Dunia roh tidak berkiprah atas hal yang kita maksudkan melainkan terhadap apa yang kita UCAPKAN. Ayat di atas menegaskan bahwa kita akan bisa memperoleh apa yang kita katakan. Benar, kita harus yakin terlebih dahulu dan tidak bimbang, tetapi kita tetap harus mengatakannya. Mengucapkan, itu adalah hal yang sangat penting.
Lebih lanjut lagi, perhatikan pula bahwa Tuhan dalam menciptakan alam semesta beserta isinya pun bukan dengan berkedip atau berbisik diam-diam, meski Dia tentu saja bisa melakukan dengan cara itu. Alkitab jelas mencatat bahwa semua itu ada melalui firman yang DIUCAPKAN Allah sendiri. Lihatlah awal kitab Kejadian dan anda akan mendapatkan begitu banyak kata: "Berfirmanlah Allah". "Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi." (Kejadian 1:3), "Berfirmanlah Allah: "Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air." (ay 6), "Berfirmanlah Allah: "Hendaklah segala air yang di bawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering." Dan jadilah demikian." (ay 9), "Berfirmanlah Allah: "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi." Dan jadilah demikian." (ay 11), dan seterusnya, termasuk ketika Tuhan menciptakan manusia sesuai rupa dan gambarNya sendiri. "Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." (ay 26). Lihatlah bagaimana besarnya kuasa yang timbul dari perkataan, bahkan Tuhan sendiri pun menciptakan segala sesuatu dengan mengucapkan.
Dengan lidah kita bisa memuji Tuhan, dengan lidah kita bisa mengutuk manusia yang notabene diciptakan menurut rupa Allah sendiri. Dari mulut yang satu keluar berkat, dari mulut yang sama keluar kutuk. Hal yang demikian tidaklah boleh terjadi. Itu bisa kita baca di dalam kitab Yakobus 3:9-10 seperti yang sudah saya tulis di bagian pertama kemarin. Mulut kita cuma satu, jangan sampai dari mulut yang sama itu keluar berkat dan kutuk, memuji dan memaki atau manis dan pahit bersamaan. Perhatikan bagaimana Yakobus mengungkapkannya. "Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama?" (ay 11). Tentu tidak. Itu tidak boleh terjadi. Jangan sampai kedua hal yang bertentangan ini keluar dari satu mulut yang sama. itu artinya kita benar-benar harus mewaspadai betul setiap kata yang keluar dari mulut kita.
Kita harus mengawasi betul setiap kata yang keluar dari mulut kita. Kita bisa mempergunakanlah hikmat yang telah diberi Tuhan kepada kita. Sebagai langkah awal, kita mungkin bisa mencoba seperti teman saya yang saya jadikan ilustrasi pada renungan kemarin untuk mengawasi kata yang keluar dari mulut kita sehari penuh. Cobalah satu hari dulu dalam mengawasi secara seksama setiap ucapan yang keluar dari diri kita, dan tingkatkan terus latihan itu sampai kita benar-benar bisa menghindari kata yang sia-sia terlontar dari mulut kita setiap hari. Mari kita latih mulut kita untuk mematuhi firmanNya, mempergunakan mulut sebagai sarana bagi kita untuk memberkati orang lain dan memuliakan Tuhan pada saat yang sama. Memang itu tidak mudah, tetapi mengingat bahwa setiap kata yang kita ucapkan harus kita pertanggungjawabkan kelak di hari penghakiman (Matius 12:36-37), itu artinya kita harus secepat mungkin menganggap dan memperlakukan hal ini sebagai sesuatu yang sangat penting. Jangan tunda lagi, mulailah dari sekarang untuk menjaga perkataan kita sebelum lidah yang tidak terkendali ini nantinya membumi hanguskan segalanya termasuk diri kita sendiri.
Ada kuasa dibalik perkataan, karenanya waspadailah setiap kata yang keluar dari mulut kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Kita harus sadar bahwa ada kuasa di balik perkataan, dan kuasa itu sesungguhnya sangat besar. Perhatikan ayat berikut ini: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya." (Markus 11:23). Perhatikan apa yang dikatakan Yesus disana. Dia tidak mengatakan bahwa "Jika Pendeta berkata kepada gunung ini", atau "Jika sebagian orang yang istimewa berkata". Yesus juga tidak berkata "siapa yang berbisik" atau "siapa yang berkata dalam hatinya." Tetapi apa yang dikatakan Yesus adalah: "BARANGSIAPA BERKATA". "WHOEVER SAYS". Perhatikan bahwa Dunia roh tidak berkiprah atas hal yang kita maksudkan melainkan terhadap apa yang kita UCAPKAN. Ayat di atas menegaskan bahwa kita akan bisa memperoleh apa yang kita katakan. Benar, kita harus yakin terlebih dahulu dan tidak bimbang, tetapi kita tetap harus mengatakannya. Mengucapkan, itu adalah hal yang sangat penting.
Lebih lanjut lagi, perhatikan pula bahwa Tuhan dalam menciptakan alam semesta beserta isinya pun bukan dengan berkedip atau berbisik diam-diam, meski Dia tentu saja bisa melakukan dengan cara itu. Alkitab jelas mencatat bahwa semua itu ada melalui firman yang DIUCAPKAN Allah sendiri. Lihatlah awal kitab Kejadian dan anda akan mendapatkan begitu banyak kata: "Berfirmanlah Allah". "Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi." (Kejadian 1:3), "Berfirmanlah Allah: "Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air." (ay 6), "Berfirmanlah Allah: "Hendaklah segala air yang di bawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering." Dan jadilah demikian." (ay 9), "Berfirmanlah Allah: "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi." Dan jadilah demikian." (ay 11), dan seterusnya, termasuk ketika Tuhan menciptakan manusia sesuai rupa dan gambarNya sendiri. "Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." (ay 26). Lihatlah bagaimana besarnya kuasa yang timbul dari perkataan, bahkan Tuhan sendiri pun menciptakan segala sesuatu dengan mengucapkan.
Dengan lidah kita bisa memuji Tuhan, dengan lidah kita bisa mengutuk manusia yang notabene diciptakan menurut rupa Allah sendiri. Dari mulut yang satu keluar berkat, dari mulut yang sama keluar kutuk. Hal yang demikian tidaklah boleh terjadi. Itu bisa kita baca di dalam kitab Yakobus 3:9-10 seperti yang sudah saya tulis di bagian pertama kemarin. Mulut kita cuma satu, jangan sampai dari mulut yang sama itu keluar berkat dan kutuk, memuji dan memaki atau manis dan pahit bersamaan. Perhatikan bagaimana Yakobus mengungkapkannya. "Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama?" (ay 11). Tentu tidak. Itu tidak boleh terjadi. Jangan sampai kedua hal yang bertentangan ini keluar dari satu mulut yang sama. itu artinya kita benar-benar harus mewaspadai betul setiap kata yang keluar dari mulut kita.
Kita harus mengawasi betul setiap kata yang keluar dari mulut kita. Kita bisa mempergunakanlah hikmat yang telah diberi Tuhan kepada kita. Sebagai langkah awal, kita mungkin bisa mencoba seperti teman saya yang saya jadikan ilustrasi pada renungan kemarin untuk mengawasi kata yang keluar dari mulut kita sehari penuh. Cobalah satu hari dulu dalam mengawasi secara seksama setiap ucapan yang keluar dari diri kita, dan tingkatkan terus latihan itu sampai kita benar-benar bisa menghindari kata yang sia-sia terlontar dari mulut kita setiap hari. Mari kita latih mulut kita untuk mematuhi firmanNya, mempergunakan mulut sebagai sarana bagi kita untuk memberkati orang lain dan memuliakan Tuhan pada saat yang sama. Memang itu tidak mudah, tetapi mengingat bahwa setiap kata yang kita ucapkan harus kita pertanggungjawabkan kelak di hari penghakiman (Matius 12:36-37), itu artinya kita harus secepat mungkin menganggap dan memperlakukan hal ini sebagai sesuatu yang sangat penting. Jangan tunda lagi, mulailah dari sekarang untuk menjaga perkataan kita sebelum lidah yang tidak terkendali ini nantinya membumi hanguskan segalanya termasuk diri kita sendiri.
Ada kuasa dibalik perkataan, karenanya waspadailah setiap kata yang keluar dari mulut kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, July 23, 2012
Perhatikan Ucapan Kita (1)
Ayat bacaaan: Amsal 19:1
====================
"Lebih baik seorang miskin yang bersih kelakuannya dari pada seorang yang serong bibirnya lagi bebal."
Pernahkah anda mencoba tidak mengeluarkan sesuatu yang negatif dari mulut satu hari saja? Tidak komplain, mengeluh, menggerutu, bergosip, menyindir, berbohong, mencela, menghina, atau yang lebih parah membentak, memaki, menghujat dan mengutuk. Seorang teman pernah mencobanya selama sehari, dan kesimpulannya adalah ia menjadi sangat sedikit bicara selama sehari itu. Ada ribuan kata yang keluar dari mulut kita setiap harinya. Bagi pria sekitar 5000 sampai 9000an, sedang bagi wanita bisa dua kali lipatnya. Lantas ada berapa yang memang benar-benar baik, berisi kata-kata positif, membangun, optimis, memberkati atau setidaknya bukan kata-kata negatif seperti yang saya rinci diatas? Dan bagaimana perbandingannya? "Ah, ngomong itu gratis kok...buat apa dipikirin", kata tetangga saya pada suatu kali sambil tertawa ketika saya menyampaikan pengalaman teman saya tadi. Benar, bicara memang gratis, dan itu seringkali membuat kita merasa tidak atau kurang perlu untuk menjaga setiap perkataan yang keluar dari mulut kita.
Jika kita tidak memperhatikan betul setiap kata yang keluar dari mulut kita, tanpa kita sadari, bisa jadi pada suatu ketika menyinggung perasaan orang lain, melukai mereka dan tentu saja merugikan diri kita sendiri. Kata-kata negatif yang terus dibiarkan bisa melemahkan kita, membuat iman kita tergerus dan itu akan fatal sekali akibatnya. Selain itu kita harus ingat pula bahwa biar bagaimanapun pada saatnya kelak mau tidak mau kita harus mempertanggungjawabkan setiap kata yang kita ucapkan di hadapan Tuhan. Yesus sendiri sudah berkata "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum." (Matius 12:36-37). Kita seringkali lupa akan hal ini. Kita awas terhadap dosa-dosa yang kita anggap besar lalu mengabaikan pentingnya menjaga omongan. Kita tidak membunuh orang, kita tidak mencuri, kita tidak menganiaya orang, dan kita berpikir bahwa itu sudah cukup. Tentu saja tidak berbuat dosa-dosa seperti itu memang baik, tetapi kita pun harus memperhatikan hal-hal lain terutama yang biasanya luput dari pengawasan kita, termasuk di dalamnya menjaga ucapan-ucapan yang terlontar dari mulut.
Begitu pentinya hal ini, sehingga Alkitab bahkan telah menegaskan bahwa hidup mati kita itu tergantung dari kata-kata yang keluar dari mulut kita. "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." (Amsal 18:21). Lebih lanjut lagi ada penekanan lainnya akan hal ini yang bisa kita jumpai pada bagian lain dari Amsal. "Lebih baik seorang miskin yang bersih kelakuannya dari pada seorang yang serong bibirnya lagi bebal." (19:1). Miskin tapi bersih masih jauh lebih baik daripada menjadi orang berbibir serong. Bibir serong, itu berarti lebih dari sekedar berdusta dan mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh. Dalam versi bahasa Inggrisnya bibir serong ini dikatakan dengan "perverse in his speech". Dalam kamus bahasa Inggris kata perverse diartikan sebagai: "directed away from what is right or good", atau "obstinately persisting in an error or fault, wrongly self-willed or stubborn."
Jika anda berpikir bahwa memaki, menghujat atau mengutuk saja yang buruk, nanti dulu. Pada kenyataannya kita memang sangat kurang memperhatikan ucapan-ucapan kita yang seringkali keluar tanpa kita sadari. Ketika sedang sakit misalnya. Disatu sisi kita berkata bahwa kita percaya Tuhan akan menyembuhkan, namun pada kesempatan lain kita bisa mengatakan hal-hal yang sangat tidak baik, seperti "lebih baik mati saja daripada sakit seperti ini", atau "rasa sakit ini bakal membunuhku!" Kata-kata seperti ini pun juga "serong". It's something that directed away from what is good, itu bertentangan dengan pernyataan firman Tuhan. Itu sudah diingatkan oleh Yakobus. "Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi." (Yakobus 3:9-10). Yakobus bahkan mengumpamakan bagaimana lidah yang kecil bisa menjadi bagaikan api yang menghanguskan ribuan hektar hutan seperti yang sering terjadi di berbagai belahan dunia. "Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka." (ay 5-6). Bahkan kemudian ia juga berkata bahwa lidah itu buas, tidak terkuasai dan penuh racun yang mematikan. (ay 8). Yakobus tidak berlebihan menyitir akan hal ini, karena jika kita sadari, alangkah sulitnya bagi kita untuk bisa mengawasi dan mengawal setiap kata yang terlontar dari mulut kita setiap saat.
(bersambung)
====================
"Lebih baik seorang miskin yang bersih kelakuannya dari pada seorang yang serong bibirnya lagi bebal."
Pernahkah anda mencoba tidak mengeluarkan sesuatu yang negatif dari mulut satu hari saja? Tidak komplain, mengeluh, menggerutu, bergosip, menyindir, berbohong, mencela, menghina, atau yang lebih parah membentak, memaki, menghujat dan mengutuk. Seorang teman pernah mencobanya selama sehari, dan kesimpulannya adalah ia menjadi sangat sedikit bicara selama sehari itu. Ada ribuan kata yang keluar dari mulut kita setiap harinya. Bagi pria sekitar 5000 sampai 9000an, sedang bagi wanita bisa dua kali lipatnya. Lantas ada berapa yang memang benar-benar baik, berisi kata-kata positif, membangun, optimis, memberkati atau setidaknya bukan kata-kata negatif seperti yang saya rinci diatas? Dan bagaimana perbandingannya? "Ah, ngomong itu gratis kok...buat apa dipikirin", kata tetangga saya pada suatu kali sambil tertawa ketika saya menyampaikan pengalaman teman saya tadi. Benar, bicara memang gratis, dan itu seringkali membuat kita merasa tidak atau kurang perlu untuk menjaga setiap perkataan yang keluar dari mulut kita.
Jika kita tidak memperhatikan betul setiap kata yang keluar dari mulut kita, tanpa kita sadari, bisa jadi pada suatu ketika menyinggung perasaan orang lain, melukai mereka dan tentu saja merugikan diri kita sendiri. Kata-kata negatif yang terus dibiarkan bisa melemahkan kita, membuat iman kita tergerus dan itu akan fatal sekali akibatnya. Selain itu kita harus ingat pula bahwa biar bagaimanapun pada saatnya kelak mau tidak mau kita harus mempertanggungjawabkan setiap kata yang kita ucapkan di hadapan Tuhan. Yesus sendiri sudah berkata "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum." (Matius 12:36-37). Kita seringkali lupa akan hal ini. Kita awas terhadap dosa-dosa yang kita anggap besar lalu mengabaikan pentingnya menjaga omongan. Kita tidak membunuh orang, kita tidak mencuri, kita tidak menganiaya orang, dan kita berpikir bahwa itu sudah cukup. Tentu saja tidak berbuat dosa-dosa seperti itu memang baik, tetapi kita pun harus memperhatikan hal-hal lain terutama yang biasanya luput dari pengawasan kita, termasuk di dalamnya menjaga ucapan-ucapan yang terlontar dari mulut.
Begitu pentinya hal ini, sehingga Alkitab bahkan telah menegaskan bahwa hidup mati kita itu tergantung dari kata-kata yang keluar dari mulut kita. "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." (Amsal 18:21). Lebih lanjut lagi ada penekanan lainnya akan hal ini yang bisa kita jumpai pada bagian lain dari Amsal. "Lebih baik seorang miskin yang bersih kelakuannya dari pada seorang yang serong bibirnya lagi bebal." (19:1). Miskin tapi bersih masih jauh lebih baik daripada menjadi orang berbibir serong. Bibir serong, itu berarti lebih dari sekedar berdusta dan mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh. Dalam versi bahasa Inggrisnya bibir serong ini dikatakan dengan "perverse in his speech". Dalam kamus bahasa Inggris kata perverse diartikan sebagai: "directed away from what is right or good", atau "obstinately persisting in an error or fault, wrongly self-willed or stubborn."
Jika anda berpikir bahwa memaki, menghujat atau mengutuk saja yang buruk, nanti dulu. Pada kenyataannya kita memang sangat kurang memperhatikan ucapan-ucapan kita yang seringkali keluar tanpa kita sadari. Ketika sedang sakit misalnya. Disatu sisi kita berkata bahwa kita percaya Tuhan akan menyembuhkan, namun pada kesempatan lain kita bisa mengatakan hal-hal yang sangat tidak baik, seperti "lebih baik mati saja daripada sakit seperti ini", atau "rasa sakit ini bakal membunuhku!" Kata-kata seperti ini pun juga "serong". It's something that directed away from what is good, itu bertentangan dengan pernyataan firman Tuhan. Itu sudah diingatkan oleh Yakobus. "Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi." (Yakobus 3:9-10). Yakobus bahkan mengumpamakan bagaimana lidah yang kecil bisa menjadi bagaikan api yang menghanguskan ribuan hektar hutan seperti yang sering terjadi di berbagai belahan dunia. "Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka." (ay 5-6). Bahkan kemudian ia juga berkata bahwa lidah itu buas, tidak terkuasai dan penuh racun yang mematikan. (ay 8). Yakobus tidak berlebihan menyitir akan hal ini, karena jika kita sadari, alangkah sulitnya bagi kita untuk bisa mengawasi dan mengawal setiap kata yang terlontar dari mulut kita setiap saat.
(bersambung)
Sunday, July 22, 2012
Bekerja dengan Gembira
Ayat bacaan: Pengkhotbah 3:22
=======================
"Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?"
Bagi teman-teman yang sudah bekerja, apakah anda merasa bahagia dengan pekerjaan anda? Dari orang-orang yang saya kenal, ternyata jumlah yang tidak bahagia jauh lebih banyak ketimbang yang menikmati pekerjaannya dengan gembira. Saya mengenal banyak orang yang bekerja hanya untuk menyambung hidup tanpa adanya passion di dalamnya sama sekali. "Dari pada nggak makan, ya mau nggak mau lah..." kata salah seorang diantaranya. Jika ini yang ada di benak seseorang, bagaimana mungkin mengharapkan hasil yang terbaik dari pekerjaan mereka? Ada juga yang bekerja setengah hati karena merasa itu tidak sesuai dengan hobi atau selera mereka. Ada yang mengeluh beratnya pekerjaan tidak sebanding dengan gaji yang diterima, dan ada banyak lagi alasan-alasan lainnya yang bisa membuat orang bekerja hanya karena terpaksa tanpa disertai dengan hati yang gembira. Saya menjalani beberapa pekerjaan sekaligus, yang terkadang begitu menyita waktu sehingga saya masih harus bekerja hingga larut malam atau bahkan lewat tengah malam. Tapi apakah saya bahagia? Sangat. Saya tahu Tuhan siap memberkati usaha dan jerih payah saya. Saya tahu bahwa inilah 'kail' dan 'kolam' yang telah ia sediakan bagi saya, dan Dia akan memberkati hasil 'pancingan' saya. Jika demikian, mengapa saya harus tidak bahagia? Berat ringan itu relatif, besar kecilnya pendapatan pun demikian. Yang saya tahu adalah ini merupakan garis panggilan saya dalam hidup, dan saya ingin memberi yang terbaik atas segala sesuatu yang saya kerjakan. Tanpa rasa bahagia, saya tidak akan mungkin bisa melakukan itu.
Adalah menarik ketika kita melihat bahwa Pengkotbah sudah menyatakan hal seperti ini yang didasari oleh perenungan, pengalaman dan kesaksiannya sendiri. "Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?" (Pengkotbah 3:22). Mencintai profesi atau tidak, yang pasti lewat pengalamannya Pengkotbah menyimpulkan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada bergembira dalam pekerjaannya. Mengapa? Karena itu adalah bagian kita masing-masing. Jika kita tidak berbahagia dengan pekerjaan, apa yang bisa kita dapatkan dari sana? Mungkin pendapatan kita peroleh, tapi bagaimana dengan berbagai emosi atau rasa keterpaksaan yang akan membuat kita berkeluh kesah sepanjang hari, terus merasa tidak puas dan kehilangan damai sejahtera? Adakah itu membawa manfaat atau malah membuat etos kerja kita menurun, mengganggu orang lain bahkan mendatangkan penyakit bagi diri kita sendiri? Adakah hal positif yang bisa diperoleh jika kita sulit bersyukur dan hanya bersungut-sungut karena tidak kunjung merasa puas?
Bahagia atau tidak bukanlah tergantung dari kondisi atau situasi yang kita hadapi, melainkan tergantung dari seberapa jauh kita mengijinkan Tuhan untuk ambil bagian dalam hidup kita. Kebahagiaan atau kegembiraan sesungguhnya bukan tergantung dari situasi atau kondisi melainkan berasal dari Tuhan. Di dalam Amsal disebutkan: "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat." (Amsal 15:13). Atau dalam ayat lainnya: "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang." (Amsal 17:22). Bekerja dengan hati yang lapang, hati yang gembira, itu bagaikan obat yang manjur untuk menjaga kita agar tetap memiliki semangat untuk melakukan yang terbaik sambil terus bersukacita. Mensyukuri anugerah Tuhan akan membuat itu bisa terjadi, salah satunya dengan menghargai berkatNya atas pekerjaan yang kita peroleh saat ini. Apakah kita menikmati pekerjaan dengan penuh rasa syukur sebagai sebuah berkat dari Tuhan atau kita terus merasa kurang puas, semua itu tergantung kita. Tuhan sanggup membuat pekerjaan sekecil apapun menjadi emas. Apakah saya berbicara secara sempit mengenai harta kekayaan secara materi saja? Tentu tidak. Pekerjaan sekecil apapun bisa menjadi berkat luar biasa bagi orang lain dan bisa menjadi potret yang indah dari kemuliaan Tuhan. Sebuah pekerjaan bisa menjadi karya monumental kita yang selain akan menjadi buah yang indah dari jerih payah dan kesungguhan kita, tapi itupun akan menjadi saksi nyata kebesaran Tuhan juga menjadi sarana bagi kita untuk memuliakanNya.
Disaat orang berpendapatan lebih besar masih mengeluh, alangkah indahnya jika kita bisa bersyukur dan hidup gembira dengan menikmati pekerjaan kita hari ini. Tuhan pun akan sangat senang apabila kita mensyukuri pekerjaan yang telah Dia sediakan untuk kita sebagai sebuah berkat, dan memakainya sebagai alat untuk memberkati orang lain sekaligus memuliakan Tuhan. Mungkin ada saat ini di antara kita yang mulai merasa jenuh dengan pekerjaannya, mungkin ada yang merasa bahwa pekerjaan saat ini tidak cukup baik, namun saya ingin mengingatkan bahwa Tuhan tidak akan pernah kekurangan cara untuk memberkati kita. Yang dituntut dari kita adalah bekerja sungguh-sungguh dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Kita tidak akan bisa bekerja dengan segenap hati jika kita tidak ada kegembiraan atau gairah sedikitpun dalam melakukannya. Sekali lagi, besar kecilnya pendapatan bukanlah alasan untuk bergembira atau tidak, karena kebahagiaan sejati sesungguhnya terletak pada hubungan kita dengan Tuhan. Tidak jarang kita melihat keluarga yang hancur, hidup orang yang jauh dari bahagia, padahal mereka memiliki kekayaan yang besar atau pekerjaan yang mapan. Jika demikian, mengapa kita tidak mencoba memberikan kesempatan pada pekerjaan kita, mulai meneteskan cinta disana, mengucap syukur atas pekerjaan itu kepada Tuhan lalu memberikan yang terbaik dari kita? Jika itu anda lakukan, maka anda akan menyaksikan bagaimana luar biasanya Tuhan bisa memberkati kita lewat apapun yang kita kerjakan.
Tanpa hati yang gembira kita tidak akan pernah bisa memberikan yang terbaik
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=======================
"Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?"
Bagi teman-teman yang sudah bekerja, apakah anda merasa bahagia dengan pekerjaan anda? Dari orang-orang yang saya kenal, ternyata jumlah yang tidak bahagia jauh lebih banyak ketimbang yang menikmati pekerjaannya dengan gembira. Saya mengenal banyak orang yang bekerja hanya untuk menyambung hidup tanpa adanya passion di dalamnya sama sekali. "Dari pada nggak makan, ya mau nggak mau lah..." kata salah seorang diantaranya. Jika ini yang ada di benak seseorang, bagaimana mungkin mengharapkan hasil yang terbaik dari pekerjaan mereka? Ada juga yang bekerja setengah hati karena merasa itu tidak sesuai dengan hobi atau selera mereka. Ada yang mengeluh beratnya pekerjaan tidak sebanding dengan gaji yang diterima, dan ada banyak lagi alasan-alasan lainnya yang bisa membuat orang bekerja hanya karena terpaksa tanpa disertai dengan hati yang gembira. Saya menjalani beberapa pekerjaan sekaligus, yang terkadang begitu menyita waktu sehingga saya masih harus bekerja hingga larut malam atau bahkan lewat tengah malam. Tapi apakah saya bahagia? Sangat. Saya tahu Tuhan siap memberkati usaha dan jerih payah saya. Saya tahu bahwa inilah 'kail' dan 'kolam' yang telah ia sediakan bagi saya, dan Dia akan memberkati hasil 'pancingan' saya. Jika demikian, mengapa saya harus tidak bahagia? Berat ringan itu relatif, besar kecilnya pendapatan pun demikian. Yang saya tahu adalah ini merupakan garis panggilan saya dalam hidup, dan saya ingin memberi yang terbaik atas segala sesuatu yang saya kerjakan. Tanpa rasa bahagia, saya tidak akan mungkin bisa melakukan itu.
Adalah menarik ketika kita melihat bahwa Pengkotbah sudah menyatakan hal seperti ini yang didasari oleh perenungan, pengalaman dan kesaksiannya sendiri. "Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?" (Pengkotbah 3:22). Mencintai profesi atau tidak, yang pasti lewat pengalamannya Pengkotbah menyimpulkan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada bergembira dalam pekerjaannya. Mengapa? Karena itu adalah bagian kita masing-masing. Jika kita tidak berbahagia dengan pekerjaan, apa yang bisa kita dapatkan dari sana? Mungkin pendapatan kita peroleh, tapi bagaimana dengan berbagai emosi atau rasa keterpaksaan yang akan membuat kita berkeluh kesah sepanjang hari, terus merasa tidak puas dan kehilangan damai sejahtera? Adakah itu membawa manfaat atau malah membuat etos kerja kita menurun, mengganggu orang lain bahkan mendatangkan penyakit bagi diri kita sendiri? Adakah hal positif yang bisa diperoleh jika kita sulit bersyukur dan hanya bersungut-sungut karena tidak kunjung merasa puas?
Bahagia atau tidak bukanlah tergantung dari kondisi atau situasi yang kita hadapi, melainkan tergantung dari seberapa jauh kita mengijinkan Tuhan untuk ambil bagian dalam hidup kita. Kebahagiaan atau kegembiraan sesungguhnya bukan tergantung dari situasi atau kondisi melainkan berasal dari Tuhan. Di dalam Amsal disebutkan: "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat." (Amsal 15:13). Atau dalam ayat lainnya: "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang." (Amsal 17:22). Bekerja dengan hati yang lapang, hati yang gembira, itu bagaikan obat yang manjur untuk menjaga kita agar tetap memiliki semangat untuk melakukan yang terbaik sambil terus bersukacita. Mensyukuri anugerah Tuhan akan membuat itu bisa terjadi, salah satunya dengan menghargai berkatNya atas pekerjaan yang kita peroleh saat ini. Apakah kita menikmati pekerjaan dengan penuh rasa syukur sebagai sebuah berkat dari Tuhan atau kita terus merasa kurang puas, semua itu tergantung kita. Tuhan sanggup membuat pekerjaan sekecil apapun menjadi emas. Apakah saya berbicara secara sempit mengenai harta kekayaan secara materi saja? Tentu tidak. Pekerjaan sekecil apapun bisa menjadi berkat luar biasa bagi orang lain dan bisa menjadi potret yang indah dari kemuliaan Tuhan. Sebuah pekerjaan bisa menjadi karya monumental kita yang selain akan menjadi buah yang indah dari jerih payah dan kesungguhan kita, tapi itupun akan menjadi saksi nyata kebesaran Tuhan juga menjadi sarana bagi kita untuk memuliakanNya.
Disaat orang berpendapatan lebih besar masih mengeluh, alangkah indahnya jika kita bisa bersyukur dan hidup gembira dengan menikmati pekerjaan kita hari ini. Tuhan pun akan sangat senang apabila kita mensyukuri pekerjaan yang telah Dia sediakan untuk kita sebagai sebuah berkat, dan memakainya sebagai alat untuk memberkati orang lain sekaligus memuliakan Tuhan. Mungkin ada saat ini di antara kita yang mulai merasa jenuh dengan pekerjaannya, mungkin ada yang merasa bahwa pekerjaan saat ini tidak cukup baik, namun saya ingin mengingatkan bahwa Tuhan tidak akan pernah kekurangan cara untuk memberkati kita. Yang dituntut dari kita adalah bekerja sungguh-sungguh dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Kita tidak akan bisa bekerja dengan segenap hati jika kita tidak ada kegembiraan atau gairah sedikitpun dalam melakukannya. Sekali lagi, besar kecilnya pendapatan bukanlah alasan untuk bergembira atau tidak, karena kebahagiaan sejati sesungguhnya terletak pada hubungan kita dengan Tuhan. Tidak jarang kita melihat keluarga yang hancur, hidup orang yang jauh dari bahagia, padahal mereka memiliki kekayaan yang besar atau pekerjaan yang mapan. Jika demikian, mengapa kita tidak mencoba memberikan kesempatan pada pekerjaan kita, mulai meneteskan cinta disana, mengucap syukur atas pekerjaan itu kepada Tuhan lalu memberikan yang terbaik dari kita? Jika itu anda lakukan, maka anda akan menyaksikan bagaimana luar biasanya Tuhan bisa memberkati kita lewat apapun yang kita kerjakan.
Tanpa hati yang gembira kita tidak akan pernah bisa memberikan yang terbaik
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, July 21, 2012
Bapa Sayang AnakNya
Ayat bacaan: Mazmur 103:13
====================
"Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia."
Malam ini ketika sedang bekerja menulis sebuah artikel, dari mp3 player yang saya set dalam keadaan acak atau shuffle terdengarlah lagu rohani yang sudah cukup lama kita kenal, "Seperti Bapa Sayang Anaknya." Tak terasa kasih Tuhan pun mulai terasa mengalir ke dalam hati saya sampai-sampai saya berhenti sejenak untuk menikmati rasanya. "Seperti bapa sayang anaknya, Demikianlah Engkau mengasihiku.." dan seterusnya. Lagu ini berbicara tentang betapa Tuhan mengasihi kita seperti layaknya seorang ayah mengasihi anaknya. Seorang ayah yang baik adalah ayah yang tidak hanya sibuk mencari nafkah, tetapi tetap mampu meluangkan waktu untuk keluarga terlebih anak-anaknya ditengah kesibukan yang menggunung. Ayah yang baik mampu menjadi imam dalam keluarganya dan mampu mendidik anak-anaknya untuk tumbuh dewasa dengan budi pekerti yang baik. Dalam mendidik anak-anak seorang ayah yang bijaksana tidak akan mungkin menuruti setiap keinginan anaknya setiap saat. Bayangkan jika anak terus meminta permen atau es krim, apakah itu baik jika dituruti meski harganya relatif tidak seberapa? Tentu tidak. Hal tersebut tidak mendidik. Selain bisa membuat anaknya lupa diri dan manja, itu pun tidak baik bagi kesehatan mereka. Jika anak melakukan sesuatu kesalahan, ada kalanya harus dihukum. Mungkin sang ayah merasa perih untuk melakukannya, dan seringkali sang anak merasa sedih kenapa ayahnya berlaku begitu kejam, karena mereka belum bisa melihat bahwa hukuman terkadang harus diberikan bukan karena jahat melainkan demi kebaikan mereka sendiri. Saya rasanya perlu bersyukur karena bentuk hukuman dari ayah saya ketika saya masih kecil terbilang 'ringan' dibanding kebanyakan ayah lainnya. Ada banyak teman saya yang bercerita bahwa mereka kerap berhadapan dengan sebilah rotan atau lidi, tapi ayah saya memilih untuk menepuk telapak tangan saya apabila saya melakukan sesuatu yang salah. Meski terbilang ringan, tetap saja pada saat itu saya merasa sedih luar biasa. Saya masih ingat bagaimana perasaan saya ketika hukuman itu dijatuhkan. Tapi hari ini saya bersyukur bahwa didikan yang diberikan kedua orang tua saya sangatlah saya butuhkan untuk bisa menjadi diri saya saat ini. Tanpa itu semua, niscaya saya akan kehilangan saat-saat dimana saya dididik untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan, tentu saja termasuk bentuk hukuman ketika saya bersalah.
Kasih sayang Tuhan kepada kita hadir dalam bentuk yang begitu intim, begitu dekat, seperti kedekatan seorang ayah dengan anaknya. Lagu Jeffry S Tjandra di atas sepertinya terinspirasi dari apa yang dikatakan oleh Daud yang tertulis dalam kitab Mazmur: "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia." (Mazmur 103:13). Ya, Tuhan sangat mengasihi kita. Agar tidak bingung, maka Tuhan pun memberikan contoh yang tentu mudah kita terima. Seperti ayah yang baik menyayangi kita, seperti itulah Tuhan mengasihi anak-anakNya yang taat dan tidak mau mengecewakanNya.Itu tentu tidak sulit untuk dipahami bukan? Dalam banyak kitab lainnya kita bisa menemukan gambaran yang sama akan Allah yang berperan sebagai Bapa yang penuh kasih kepada kita anak-anakNya. Misalnya dalam kitab Yesaya: "Bukankah Engkau Bapa kami? Sungguh, Abraham tidak tahu apa-apa tentang kami, dan Israel tidak mengenal kami. Ya TUHAN, Engkau sendiri Bapa kami; nama-Mu ialah "Penebus kami" sejak dahulu kala." (Yesaya 63:16), atau dalam Maleakhi dikatakan: "Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia." (Maleakhi 3:17). Lebih jauh lagi kita tentu bisa melihat bagaimana Yesus selalu mengajarkan kita untuk menyebut Tuhan sebagai Bapa. Seperti halnya ayah kita di dunia menyediakan segalanya bagi kita, melindungi kita, demikian pula Bapa di Surga. Tapi di sisi lain, ketika kita melakukan kesalahan, ayah biologis kita terkadang perlu mendisiplinkan kita, dan salah satunya adalah melalui hukuman. Hal yang sama pula oleh Bapa Surgawi kita. Tuhan terkadang perlu menjatuhkan hukuman untuk mengajarkan dan mendisiplinkan kita, dan itu semua demi kebaikan kita sendiri.
Mengenai bentuk pendisiplinan ini, Penulis Ibrani sudah menyebutkannya dengan sangat jelas. "Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya." (Ibrani 12:5). Mengapa begitu? Bukankah diperingatkan atau dihukum itu tidak enak? Tentu saja, tapi itu adalah bentuk perhatian Tuhan kepada kita. Akan jauh lebih baik kita diingatkan sekeras-kerasnya sekarang selagi masih ada kesempatan ketimbang dibiarkan tersesat hingga harus binasa dalam api yang menyala-nyala kelak bukan? Dan ayat selanjutnya pun berkata: "karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (ay 6). Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan lebih jauh di ayat selanjutnya. "Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." (ay 7-8). Jika lewat ayah kita di dunia kita didisplinkan, dan kita menghormati mereka, apalagi terhadap Bapa Surgawi kita, yang tetap mendidik kita demi kebaikan kita sendiri, agar kita layak untuk memperoleh bagian dalam kekudusanNya. (ay 9-10). Pada saat hukuman jatuh atas kita tentu menyakitkan. Tapi lihatlah hasil akhirnya, jika kita mau memperbaiki diri dan menerima hukuman itu dengan ketulusan, hasil dari hukuman itu akan menghasilkan buah kebenaran yang menyelamatkan kita.
Bentuk pendisiplinan yang terkadang hadir dalam bentuk hukuman dari Tuhan bukan terjadi atas keinginan untuk menyakiti dan menyiksa kita, tapi sebaliknya, karena Tuhan begitu mengasihi kita dan tidak ingin satupun dari kita binasa akibat perbuatan-perbuatan bodoh yang kita lakukan. Tuhan selalu menganggap penting untuk mendidik kita seperti layaknya seorang ayah mengajari anaknya. "Maka haruslah engkau insaf, bahwa TUHAN, Allahmu, mengajari engkau seperti seseorang mengajari anaknya." (Ulangan 8:5). Ingatlah bahwa dalam banyak kesempatan, penderitaan yang kita lalui adalah sebuah proses pemurnian dan pendisiplinan untuk mendatangkan kebaikan bagi kita sendiri juga. Jadi ketika kita sedang dididik atau bahkan dihukum Tuhan, itu terkadang bisa sakit sekali rasanya. Tapi daripada terus melawan dan menuduh, bersyukurlah karena itu tandanya Tuhan mengasihi kita seperti bapa yang sayang anaknya.
Tuhan mendisiplinkan kita karena Dia sangat mengasihi kita sebagai anak-anakNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
====================
"Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia."
Malam ini ketika sedang bekerja menulis sebuah artikel, dari mp3 player yang saya set dalam keadaan acak atau shuffle terdengarlah lagu rohani yang sudah cukup lama kita kenal, "Seperti Bapa Sayang Anaknya." Tak terasa kasih Tuhan pun mulai terasa mengalir ke dalam hati saya sampai-sampai saya berhenti sejenak untuk menikmati rasanya. "Seperti bapa sayang anaknya, Demikianlah Engkau mengasihiku.." dan seterusnya. Lagu ini berbicara tentang betapa Tuhan mengasihi kita seperti layaknya seorang ayah mengasihi anaknya. Seorang ayah yang baik adalah ayah yang tidak hanya sibuk mencari nafkah, tetapi tetap mampu meluangkan waktu untuk keluarga terlebih anak-anaknya ditengah kesibukan yang menggunung. Ayah yang baik mampu menjadi imam dalam keluarganya dan mampu mendidik anak-anaknya untuk tumbuh dewasa dengan budi pekerti yang baik. Dalam mendidik anak-anak seorang ayah yang bijaksana tidak akan mungkin menuruti setiap keinginan anaknya setiap saat. Bayangkan jika anak terus meminta permen atau es krim, apakah itu baik jika dituruti meski harganya relatif tidak seberapa? Tentu tidak. Hal tersebut tidak mendidik. Selain bisa membuat anaknya lupa diri dan manja, itu pun tidak baik bagi kesehatan mereka. Jika anak melakukan sesuatu kesalahan, ada kalanya harus dihukum. Mungkin sang ayah merasa perih untuk melakukannya, dan seringkali sang anak merasa sedih kenapa ayahnya berlaku begitu kejam, karena mereka belum bisa melihat bahwa hukuman terkadang harus diberikan bukan karena jahat melainkan demi kebaikan mereka sendiri. Saya rasanya perlu bersyukur karena bentuk hukuman dari ayah saya ketika saya masih kecil terbilang 'ringan' dibanding kebanyakan ayah lainnya. Ada banyak teman saya yang bercerita bahwa mereka kerap berhadapan dengan sebilah rotan atau lidi, tapi ayah saya memilih untuk menepuk telapak tangan saya apabila saya melakukan sesuatu yang salah. Meski terbilang ringan, tetap saja pada saat itu saya merasa sedih luar biasa. Saya masih ingat bagaimana perasaan saya ketika hukuman itu dijatuhkan. Tapi hari ini saya bersyukur bahwa didikan yang diberikan kedua orang tua saya sangatlah saya butuhkan untuk bisa menjadi diri saya saat ini. Tanpa itu semua, niscaya saya akan kehilangan saat-saat dimana saya dididik untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan, tentu saja termasuk bentuk hukuman ketika saya bersalah.
Kasih sayang Tuhan kepada kita hadir dalam bentuk yang begitu intim, begitu dekat, seperti kedekatan seorang ayah dengan anaknya. Lagu Jeffry S Tjandra di atas sepertinya terinspirasi dari apa yang dikatakan oleh Daud yang tertulis dalam kitab Mazmur: "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia." (Mazmur 103:13). Ya, Tuhan sangat mengasihi kita. Agar tidak bingung, maka Tuhan pun memberikan contoh yang tentu mudah kita terima. Seperti ayah yang baik menyayangi kita, seperti itulah Tuhan mengasihi anak-anakNya yang taat dan tidak mau mengecewakanNya.Itu tentu tidak sulit untuk dipahami bukan? Dalam banyak kitab lainnya kita bisa menemukan gambaran yang sama akan Allah yang berperan sebagai Bapa yang penuh kasih kepada kita anak-anakNya. Misalnya dalam kitab Yesaya: "Bukankah Engkau Bapa kami? Sungguh, Abraham tidak tahu apa-apa tentang kami, dan Israel tidak mengenal kami. Ya TUHAN, Engkau sendiri Bapa kami; nama-Mu ialah "Penebus kami" sejak dahulu kala." (Yesaya 63:16), atau dalam Maleakhi dikatakan: "Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia." (Maleakhi 3:17). Lebih jauh lagi kita tentu bisa melihat bagaimana Yesus selalu mengajarkan kita untuk menyebut Tuhan sebagai Bapa. Seperti halnya ayah kita di dunia menyediakan segalanya bagi kita, melindungi kita, demikian pula Bapa di Surga. Tapi di sisi lain, ketika kita melakukan kesalahan, ayah biologis kita terkadang perlu mendisiplinkan kita, dan salah satunya adalah melalui hukuman. Hal yang sama pula oleh Bapa Surgawi kita. Tuhan terkadang perlu menjatuhkan hukuman untuk mengajarkan dan mendisiplinkan kita, dan itu semua demi kebaikan kita sendiri.
Mengenai bentuk pendisiplinan ini, Penulis Ibrani sudah menyebutkannya dengan sangat jelas. "Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya." (Ibrani 12:5). Mengapa begitu? Bukankah diperingatkan atau dihukum itu tidak enak? Tentu saja, tapi itu adalah bentuk perhatian Tuhan kepada kita. Akan jauh lebih baik kita diingatkan sekeras-kerasnya sekarang selagi masih ada kesempatan ketimbang dibiarkan tersesat hingga harus binasa dalam api yang menyala-nyala kelak bukan? Dan ayat selanjutnya pun berkata: "karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (ay 6). Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan lebih jauh di ayat selanjutnya. "Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." (ay 7-8). Jika lewat ayah kita di dunia kita didisplinkan, dan kita menghormati mereka, apalagi terhadap Bapa Surgawi kita, yang tetap mendidik kita demi kebaikan kita sendiri, agar kita layak untuk memperoleh bagian dalam kekudusanNya. (ay 9-10). Pada saat hukuman jatuh atas kita tentu menyakitkan. Tapi lihatlah hasil akhirnya, jika kita mau memperbaiki diri dan menerima hukuman itu dengan ketulusan, hasil dari hukuman itu akan menghasilkan buah kebenaran yang menyelamatkan kita.
Bentuk pendisiplinan yang terkadang hadir dalam bentuk hukuman dari Tuhan bukan terjadi atas keinginan untuk menyakiti dan menyiksa kita, tapi sebaliknya, karena Tuhan begitu mengasihi kita dan tidak ingin satupun dari kita binasa akibat perbuatan-perbuatan bodoh yang kita lakukan. Tuhan selalu menganggap penting untuk mendidik kita seperti layaknya seorang ayah mengajari anaknya. "Maka haruslah engkau insaf, bahwa TUHAN, Allahmu, mengajari engkau seperti seseorang mengajari anaknya." (Ulangan 8:5). Ingatlah bahwa dalam banyak kesempatan, penderitaan yang kita lalui adalah sebuah proses pemurnian dan pendisiplinan untuk mendatangkan kebaikan bagi kita sendiri juga. Jadi ketika kita sedang dididik atau bahkan dihukum Tuhan, itu terkadang bisa sakit sekali rasanya. Tapi daripada terus melawan dan menuduh, bersyukurlah karena itu tandanya Tuhan mengasihi kita seperti bapa yang sayang anaknya.
Tuhan mendisiplinkan kita karena Dia sangat mengasihi kita sebagai anak-anakNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Friday, July 20, 2012
Belajar lewat Sikap Atlit Sejati (2)
(sambungan)
Tidak hanya Paulus, Petrus pun mengingatkan pentingnya hal yang sama. Petrus berpesan: "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu." (1 Petrus 1:14-15). Berbagai godaan akan terus berusaha masuk melalui daging. Paulus pun sudah merincinya. "Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya." (Galatia 5:19-21a). oleh karena itulah penting bagi kita untuk menguasai diri terhadap godaan-godaan atau serangan-serangan itu. Caranya sudah disampaikan pula dalam beberapa ayat sebelumnya: "Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging." (ay 16).
2. Atlit yang baik bertanding dengan efektif
Kalimat bijak yang saya kutip kemarin berkata: "Real power doesn't hit hard but straight to the point." Apakah kalimat ini diambil dari Firman Tuhan atau tidak saya tidak tahu, tapi yang pasti Firman Tuhan jelas menyatakan hal yang sama. "Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul" (ay 26). Atlit panah akan berusaha mengarahkan busurnya tepat ke tengah sasaran. Pemain sepakbola akan menjaga staminanya agar tahan bermain 90 menit penuh. Petinju yang baik akan tahu kapan harus mempergunakan tenaga dalam memukul dan kapan harus menyimpannya. Pelari maraton harus menjaga kecepatannya agar sanggup berlari hingga mencapai garis finish. Tanyakan kepada atlit-atlit bela diri, maka mereka pun akan mengatakan bahwa sebuah serangan efektif adalah serangan yang 'on target' atau tepat sasaran. Intinya: Efektiflah dalam melakukan sesuatu. Jangan buang tenaga secara sia-sia. Melayani itu baik, tapi masihkah itu baik jika kita melakukannya berlebihan lalu itu membuat kita kehilangan momen-momen indah untuk bersekutu secara pribadi dengan Tuhan, atau membuat kita tidak lagi punya waktu khusus dengan keluarga? Demikian juga dengan orang yang melakukan pekerjaan terus menerus siang dan malam. Selain itu, kondisi tubuh yang tidak dijaga dengan cukup beristirahat dan olahraga pun bisa menimbulkan akibat-akibat yang sama-sama tidak kita inginkan. Atlit yang baik akan tahu kapan menyimpan tenaga dan kapan memakainya, tanpa itu mereka tidak akan bisa keluar sebagai pemenang. Demikian pula kita dalam perlombaan menuju garis akhir kehidupan kita.
3. Atlit yang baik akan terus berlatih
Sehebat-hebatnya bakat seorang atlit, mungkinkah mereka bisa menjadi yang terbaik apabila mereka tidak berlatih? Tentu saja tidak. Atlit yang baik akan berlatih secara rutin beberapa jam setiap harinya. Mereka memiliki porsi latihan teratur dan dengan disiplin menjalankannya. Kita melihat atlit-atlit yang tadinya bersinar kemudian redup bukan karena bakatnya tiba-tiba hilang, tapi ternyata karena mereka bermalas-malasan dalam berlatih. Berlatih itu berbicara mengenai proses yang berkesinambungan atau berkelanjutan dan teratur. Untuk menjadi atlit yang baik kita harus terus berlatih dengan giat, untuk mencapai hasil atau performance terbaik dalam berbagai aspek kehidupan pun kita memerlukan itu, terlebih dalam hal ibadah. Paulus mengingatkan: "Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang." (1 Timotius 4:7b-8). Jika anda baru mulai berolahraga anda akan mulai ringan-ringan saja dahulu. Berjalan 1 atau 2 km, atau kalau mengangkat beban anda akan mulai dari berat yang ringan dulu baru kemudian ditingkatkan secara perlahan. Ini pun berlaku dalam hal-hal kehidupan lainnya termasuk dalam melakukan ibadah. Kedisiplinan tidak akan bisa dicapai dalam sekali waktu. Itu memerlukan proses yang kontinu, dan itulah yang sangat baik untuk kita lakukan.
Anda mungkin tidak menjalani panggilan sebagai seorang atlit, tapi sesungguhnya anda tetap bisa meneladani pola kehidupan atlit yang baik untuk bisa menjadi pemenang dalam perlombaan hidup kita. Life is like a race, and in fact we are in the middle of it. Semua orang turut berlomba, tapi tidak semua bisa keluar menjadi pemenang. Oleh karena itu Paulus berkata, "larilah begitu rupa sehingga kamu memperolehnya!" (1 Korintus 9:24b) Sebelum saya tutup, mari kita lihat bagaimana ayat ini ditulis dalam versi The Message (MSG): "You've all been to the stadium and seen the athletes race. Everyone runs; one wins. Run to win. All good athletes train hard. They do it for a gold medal that tarnishes and fades. You're after one that's gold eternally. " (ay 24-25). Since we are all running inside the race, let's act like one true athlete. Berjuanglah dengan sebaik-baiknya agar keluar menjadi pemenang.
We are after one crown of eternal blessedness, so run to win!
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tidak hanya Paulus, Petrus pun mengingatkan pentingnya hal yang sama. Petrus berpesan: "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu." (1 Petrus 1:14-15). Berbagai godaan akan terus berusaha masuk melalui daging. Paulus pun sudah merincinya. "Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya." (Galatia 5:19-21a). oleh karena itulah penting bagi kita untuk menguasai diri terhadap godaan-godaan atau serangan-serangan itu. Caranya sudah disampaikan pula dalam beberapa ayat sebelumnya: "Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging." (ay 16).
2. Atlit yang baik bertanding dengan efektif
Kalimat bijak yang saya kutip kemarin berkata: "Real power doesn't hit hard but straight to the point." Apakah kalimat ini diambil dari Firman Tuhan atau tidak saya tidak tahu, tapi yang pasti Firman Tuhan jelas menyatakan hal yang sama. "Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul" (ay 26). Atlit panah akan berusaha mengarahkan busurnya tepat ke tengah sasaran. Pemain sepakbola akan menjaga staminanya agar tahan bermain 90 menit penuh. Petinju yang baik akan tahu kapan harus mempergunakan tenaga dalam memukul dan kapan harus menyimpannya. Pelari maraton harus menjaga kecepatannya agar sanggup berlari hingga mencapai garis finish. Tanyakan kepada atlit-atlit bela diri, maka mereka pun akan mengatakan bahwa sebuah serangan efektif adalah serangan yang 'on target' atau tepat sasaran. Intinya: Efektiflah dalam melakukan sesuatu. Jangan buang tenaga secara sia-sia. Melayani itu baik, tapi masihkah itu baik jika kita melakukannya berlebihan lalu itu membuat kita kehilangan momen-momen indah untuk bersekutu secara pribadi dengan Tuhan, atau membuat kita tidak lagi punya waktu khusus dengan keluarga? Demikian juga dengan orang yang melakukan pekerjaan terus menerus siang dan malam. Selain itu, kondisi tubuh yang tidak dijaga dengan cukup beristirahat dan olahraga pun bisa menimbulkan akibat-akibat yang sama-sama tidak kita inginkan. Atlit yang baik akan tahu kapan menyimpan tenaga dan kapan memakainya, tanpa itu mereka tidak akan bisa keluar sebagai pemenang. Demikian pula kita dalam perlombaan menuju garis akhir kehidupan kita.
3. Atlit yang baik akan terus berlatih
Sehebat-hebatnya bakat seorang atlit, mungkinkah mereka bisa menjadi yang terbaik apabila mereka tidak berlatih? Tentu saja tidak. Atlit yang baik akan berlatih secara rutin beberapa jam setiap harinya. Mereka memiliki porsi latihan teratur dan dengan disiplin menjalankannya. Kita melihat atlit-atlit yang tadinya bersinar kemudian redup bukan karena bakatnya tiba-tiba hilang, tapi ternyata karena mereka bermalas-malasan dalam berlatih. Berlatih itu berbicara mengenai proses yang berkesinambungan atau berkelanjutan dan teratur. Untuk menjadi atlit yang baik kita harus terus berlatih dengan giat, untuk mencapai hasil atau performance terbaik dalam berbagai aspek kehidupan pun kita memerlukan itu, terlebih dalam hal ibadah. Paulus mengingatkan: "Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang." (1 Timotius 4:7b-8). Jika anda baru mulai berolahraga anda akan mulai ringan-ringan saja dahulu. Berjalan 1 atau 2 km, atau kalau mengangkat beban anda akan mulai dari berat yang ringan dulu baru kemudian ditingkatkan secara perlahan. Ini pun berlaku dalam hal-hal kehidupan lainnya termasuk dalam melakukan ibadah. Kedisiplinan tidak akan bisa dicapai dalam sekali waktu. Itu memerlukan proses yang kontinu, dan itulah yang sangat baik untuk kita lakukan.
Anda mungkin tidak menjalani panggilan sebagai seorang atlit, tapi sesungguhnya anda tetap bisa meneladani pola kehidupan atlit yang baik untuk bisa menjadi pemenang dalam perlombaan hidup kita. Life is like a race, and in fact we are in the middle of it. Semua orang turut berlomba, tapi tidak semua bisa keluar menjadi pemenang. Oleh karena itu Paulus berkata, "larilah begitu rupa sehingga kamu memperolehnya!" (1 Korintus 9:24b) Sebelum saya tutup, mari kita lihat bagaimana ayat ini ditulis dalam versi The Message (MSG): "You've all been to the stadium and seen the athletes race. Everyone runs; one wins. Run to win. All good athletes train hard. They do it for a gold medal that tarnishes and fades. You're after one that's gold eternally. " (ay 24-25). Since we are all running inside the race, let's act like one true athlete. Berjuanglah dengan sebaik-baiknya agar keluar menjadi pemenang.
We are after one crown of eternal blessedness, so run to win!
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, July 19, 2012
Belajar lewat Sikap Atlit Sejati (1)
Ayat bacaan: 1 Korintus 9:26
=======================
"Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul."
Mike Tyson adalah salah satu petinju terbesar sepanjang masa. Mendapat julukan si leher beton, atau di Amerika disebut "The Iron" alias si manusia besi, Tyson memiliki pukulan mengerikan yang bisa membuat lawannya KO dengan telak dalam satu kali pukulan. Terlepas dari pribadinya yang kontroversi, kita harus akui bahwa di masanya Tyson sangat sulit atau hampir-hampir tidak mungkin dikalahkan. Kemenangan KO atas lawan pun memenuhi catatan karirnya. Meski lawannya sibuk memukul secara sporadis kemana-mana, ia hanya butuh satu pukulan saja, tapi telak sehingga bisa merontokkan lawan. Bagi saya ini adalah bentuk bertanding yang efektif. Tidak mengumbar tenaga atau energi sehingga cepat habis sia-sia, tapi tenaga baru ia kerahkan sepenuhnya ketika peluang itu sudah tiba, terlebih ketika lawan sudah kehabisan tenaga karena diforsir sejak awal.
Sebuah peribahasa mengatakan: "Real power doesn't hit hard but straight to the point." Kekuatan yang sesungguhnya bukanlah dengan memukul keras melainkan tepat pada sasaran. Betapa kata bijak ini sangat terpakai dalam pertandingan olah raga, dan berlaku juga di berbagai aspek kehidupan kita. Betapa seringnya kita mengeluarkan energi sia-sia untuk sesuatu yang sia-sia pula. Kita terus memaksakan diri untuk melakukan segala sesuatu sendirian lalu melupakan banyak aspek lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya. Akan hal ini kita bisa belajar dari para atlit yang memiliki gaya efektif seperti Tyson. Uniknya, Paulus pernah memakai gaya atlit ini dalam sebuah perumpamaannya. Ia mengibaratkan kita sebagai peserta yang berlomba di gelanggang. Sebuah mahkota kehidupan yang abadi disediakan di depan, .."dan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah" demikian kata Paulus dalam 1 Korintus 9:24. Oleh karena itu apabila kita menyadari hal ini, ..."larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!" sambung Paulus. Bukankah aneh kalau kita sadar kita tengah berlomba tetapi kita tidak mengeluarkan kemampuan terbaik untuk keluar menjadi pemenang?
Pertama-tama mari kita lihat terlebih dahulu selengkapnya apa yang dikatakan Paulus mengenai atlit. "Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak." (1 Korintus 9:25-27). Secara garis besar, dalam perumpamaan Paulus ini kita bisa mengambil 3 poin penting dimana kita bisa belajar dari rahasia sukses para atlit dalam mencapai sukses untuk keluar menjadi pemenang.
1. Atlit yang baik menguasai dirinya dalam segala hal.
"Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi." (ay 25). Menguasai diri merupakan hal yang sangat penting, karena tidak peduli sehebat dan sekuat apapun kita, ada banyak bahaya yang mengancam lewat keteledoran kita membiarkan keinginan-keinginan daging masuk dan berkuasa atas diri kita. Paulus pun tercatat berkali-kali mengingatkan akan pentingnya penguasaan diri ini. Dalam ayat 27 Paulus menyatakan bagaimana ia melakukan hal yang sama, terlebih ketika ia menjalani panggilannya sebagai pewarta Injil. "Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak." (ay 27) Apakah cukup bagi kita untuk menguasai sebagian saja? Tidak. Paulus mengingatkan agar kita mampu menguasai seluruhnya, dalam segala hal. Dalam suratnya kepada Titus, Paulus berkata: "Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal." (Titus 2:6).
(bersambung)
=======================
"Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul."
Mike Tyson adalah salah satu petinju terbesar sepanjang masa. Mendapat julukan si leher beton, atau di Amerika disebut "The Iron" alias si manusia besi, Tyson memiliki pukulan mengerikan yang bisa membuat lawannya KO dengan telak dalam satu kali pukulan. Terlepas dari pribadinya yang kontroversi, kita harus akui bahwa di masanya Tyson sangat sulit atau hampir-hampir tidak mungkin dikalahkan. Kemenangan KO atas lawan pun memenuhi catatan karirnya. Meski lawannya sibuk memukul secara sporadis kemana-mana, ia hanya butuh satu pukulan saja, tapi telak sehingga bisa merontokkan lawan. Bagi saya ini adalah bentuk bertanding yang efektif. Tidak mengumbar tenaga atau energi sehingga cepat habis sia-sia, tapi tenaga baru ia kerahkan sepenuhnya ketika peluang itu sudah tiba, terlebih ketika lawan sudah kehabisan tenaga karena diforsir sejak awal.
Sebuah peribahasa mengatakan: "Real power doesn't hit hard but straight to the point." Kekuatan yang sesungguhnya bukanlah dengan memukul keras melainkan tepat pada sasaran. Betapa kata bijak ini sangat terpakai dalam pertandingan olah raga, dan berlaku juga di berbagai aspek kehidupan kita. Betapa seringnya kita mengeluarkan energi sia-sia untuk sesuatu yang sia-sia pula. Kita terus memaksakan diri untuk melakukan segala sesuatu sendirian lalu melupakan banyak aspek lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya. Akan hal ini kita bisa belajar dari para atlit yang memiliki gaya efektif seperti Tyson. Uniknya, Paulus pernah memakai gaya atlit ini dalam sebuah perumpamaannya. Ia mengibaratkan kita sebagai peserta yang berlomba di gelanggang. Sebuah mahkota kehidupan yang abadi disediakan di depan, .."dan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah" demikian kata Paulus dalam 1 Korintus 9:24. Oleh karena itu apabila kita menyadari hal ini, ..."larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!" sambung Paulus. Bukankah aneh kalau kita sadar kita tengah berlomba tetapi kita tidak mengeluarkan kemampuan terbaik untuk keluar menjadi pemenang?
Pertama-tama mari kita lihat terlebih dahulu selengkapnya apa yang dikatakan Paulus mengenai atlit. "Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak." (1 Korintus 9:25-27). Secara garis besar, dalam perumpamaan Paulus ini kita bisa mengambil 3 poin penting dimana kita bisa belajar dari rahasia sukses para atlit dalam mencapai sukses untuk keluar menjadi pemenang.
1. Atlit yang baik menguasai dirinya dalam segala hal.
"Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi." (ay 25). Menguasai diri merupakan hal yang sangat penting, karena tidak peduli sehebat dan sekuat apapun kita, ada banyak bahaya yang mengancam lewat keteledoran kita membiarkan keinginan-keinginan daging masuk dan berkuasa atas diri kita. Paulus pun tercatat berkali-kali mengingatkan akan pentingnya penguasaan diri ini. Dalam ayat 27 Paulus menyatakan bagaimana ia melakukan hal yang sama, terlebih ketika ia menjalani panggilannya sebagai pewarta Injil. "Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak." (ay 27) Apakah cukup bagi kita untuk menguasai sebagian saja? Tidak. Paulus mengingatkan agar kita mampu menguasai seluruhnya, dalam segala hal. Dalam suratnya kepada Titus, Paulus berkata: "Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal." (Titus 2:6).
(bersambung)
Wednesday, July 18, 2012
Penyembah yang Benar
Ayat bacaan: Yohanes 4:23
====================
"It's who you are and the way you live that count before God. Your worship must engage your spirit in the pursuit of truth. That's the kind of people the Father is out looking for: those who are simply and honestly themselves before him in their worship." [The Message (MSG)]
Apa yang terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata 'penyembah-penyembah yang benar'? Sebagian besar orang akan segera membayangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas bermusik dan bernyanyi dalam memanjatkan pujian dan penyembahan kepada Tuhan. Tim musik di gereja, WL (Worship Leader), singers/choirs, mungkin itu tepatnya yang langsung terlintas dipikiran kita ketika mendengar istilah ini. Apalagi ada sebuah kelompok musik rohani yang sangat terkenal sejak tahun 1996 dan terus berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya bernama True Worshippers. Menghubungkan kata penyembah yang benar dengan aktivitas menyampaikan pujian-penyembahan lewat lagu dan musik tentu tidak salah. Tapi apakah kata penyembah hanya secara sempit mengacu kepada kegiatan ini? Satu lagi pertanyaannya, apakah ada istilah bahwa kita terlalu muda atau belum siap untuk menjadi penyembah-penyembah yang benar? Hari ini saya rindu mengajak teman-teman untuk melihat pandangan Kerajaan Allah akan hal ini.
Mari kita lihat sebuah ayat yang tidak asing lagi bagi kita dimana kata penyembah-penyembah benar ini disebutkan. "Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian." (Yohanes 4:23). Dalam versi BIS dikatakan: "Tetapi waktunya akan datang, malahan sudah datang, bahwa dengan kuasa Roh Allah orang-orang akan menyembah Bapa sebagai Allah yang benar seperti yang diinginkan Bapa." Atau dalam bahasa Inggrisnya, "...true (genuine) worshippers will worship Father in spirit and in truth (reality)..." (English AMP). Dari sini kita bisa melihat bahwa penyembah-penyembah yang benar alias true worshippers itu adalah orang-orang yang menyembah Bapa sebagai Allah yang benar baik dalam spirit (roh) maupun kebenaran, alias in truth atau reality. Reality, atau realitas berbicara mengenai kehidupan kita sehari-hari, sehingga lebih dari sekedar menyanyikan pujian-penyembahan, seorang penyembah yang benar akan memperhatikan betul kehidupannya di tengah masyarakat sehari-hari, baik di rumah, kantor, sekolah, kampus, warung, ketika hangout bersama teman-teman dan lain sebagainya. Seorang penyembah yang benar akan mencerminkan kebenaran tentang Allah baik ketika tengah berada ditengah keramaian, bersama orang lain atau ketika sendirian. Disaat seperti inilah kita bisa membuktikan apakah karakter, gaya hidup, sikap dan tingkah laku atau gaya bicara bahkan integritas kita sudah mencerminkan Tuhan yang kita sembah atau belum.
Mari kita lihat satu versi lagi dari versi The Message. Disana ayat Yohanes 4:23 ini dikatakan sebagai berikut: "It's who you are and the way you live that count before God. Your worship must engage your spirit in the pursuit of truth. That's the kind of people the Father is out looking for: those who are simply and honestly themselves before him in their worship." Perhatikan kata yang dicetak tebal: "It's who you are and the way you live that count before God." Bukan merdunya suara kita, bukan keindahan lagu dan aransemen, bukan tangisan, teriakan atau pengakuan-pengakuan secara lisan saja, bukan pula berapa besar uang yang kita kasih, apa yang bisa kita capai, kehebatan kita, kekuatan kita dan sebagainya, tapi apa yang penting ternyata adalah "who we are and the way we live". Siapa diri kita dan bagaimana cara kita hidup. Itulah yang akan menunjukkan apakah kita sudah merupakan penyembah-penyembah yang benar atau belum. A true worshipper is the one who has his spirit engaged/attached in the pursuit of truth. Orang-orang yang menghidupi kebenaran Tuhan dalam segala sesuatu yang dilakukan sehari-hari. Orang yang hidupnya sesuai dengan kemauan Tuhan, kemauan dari "Yang Disembah". Itulah sosok penyembah benar yang sejati.
Selanjutnya, adakah alasan bagi kita bahwa kita masih terlalu muda untuk menjadi penyembah yang benar? Tentu saja tidak. Alkitab sudah menegaskan: "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12). Secara spesifik ayat ini tertulis dalam surat Paulus yang ditujukan untuk mempersiapkan Timotius menjadi hamba Tuhan yang hebat sejak masa mudanya, tapi inipun berlaku bagi kita semua, terutama anak-anak muda. Perhatikan bahwa keteladanan dalam segala sisi kehidupan bukan saja merupakan kewajiban dari orang-orang tua atau dewasa, tetapi juga harus diadopsi dan diaplikasikan oleh anak-anak muda. Singkatnya, anak muda pun bisa menjadi teladan yang bersinar terang bagi orang-orang yang berusia lebih dari mereka.
Dalam surat kepada jemaat Roma, Paulus mengatakan demikian: "Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." (Roma 12:1). Lihatlah bawha ibadah yang sejati di mata Tuhan bukanlah ibadah rutin kita setiap hari Minggu atau aktivitas-aktivitas peribadatan lainnya, tapi justru seluruh diri kita sendiri. Seluruh hidup kita, our whole-selves yang kudus dan berkenan, dalam bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari atau ketika kita sedang sendirian. Seperti itulah ibadah yang sejati di mata Tuhan, seperti itulah sikap seorang yang menyembah Tuhan dengan benar. That's the spirit of a true worshipper. Jika demikian, mari kita pertanyakan diri kita hari ini: sudahkah kita menjadi penyembah-penyembah yang benar? Kenyataannya lebih banyak orang yang lebih tertarik menjadi 'true gossipers' ketimbang true worshippers. Kita tidak akan pernah bisa membuat perbedaan-perbedaan menuju ke arah yang lebih baik sebelum kita berubah menjadi sosok penyembah yang benar. We can't never make a change, menjadi terang dan garam di dunia sebelum kita memperhatikan sikap dan gaya hidup kita. Sebelum kita berharap lebih banyak, mari pastikan terlebih dahulu diri kita sebagai penyembah yang benar.
The time has come when what we're called and where we go to worship don't matter anymore. It's who we are and the way we live that count before God
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
====================
"It's who you are and the way you live that count before God. Your worship must engage your spirit in the pursuit of truth. That's the kind of people the Father is out looking for: those who are simply and honestly themselves before him in their worship." [The Message (MSG)]
Apa yang terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata 'penyembah-penyembah yang benar'? Sebagian besar orang akan segera membayangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas bermusik dan bernyanyi dalam memanjatkan pujian dan penyembahan kepada Tuhan. Tim musik di gereja, WL (Worship Leader), singers/choirs, mungkin itu tepatnya yang langsung terlintas dipikiran kita ketika mendengar istilah ini. Apalagi ada sebuah kelompok musik rohani yang sangat terkenal sejak tahun 1996 dan terus berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya bernama True Worshippers. Menghubungkan kata penyembah yang benar dengan aktivitas menyampaikan pujian-penyembahan lewat lagu dan musik tentu tidak salah. Tapi apakah kata penyembah hanya secara sempit mengacu kepada kegiatan ini? Satu lagi pertanyaannya, apakah ada istilah bahwa kita terlalu muda atau belum siap untuk menjadi penyembah-penyembah yang benar? Hari ini saya rindu mengajak teman-teman untuk melihat pandangan Kerajaan Allah akan hal ini.
Mari kita lihat sebuah ayat yang tidak asing lagi bagi kita dimana kata penyembah-penyembah benar ini disebutkan. "Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian." (Yohanes 4:23). Dalam versi BIS dikatakan: "Tetapi waktunya akan datang, malahan sudah datang, bahwa dengan kuasa Roh Allah orang-orang akan menyembah Bapa sebagai Allah yang benar seperti yang diinginkan Bapa." Atau dalam bahasa Inggrisnya, "...true (genuine) worshippers will worship Father in spirit and in truth (reality)..." (English AMP). Dari sini kita bisa melihat bahwa penyembah-penyembah yang benar alias true worshippers itu adalah orang-orang yang menyembah Bapa sebagai Allah yang benar baik dalam spirit (roh) maupun kebenaran, alias in truth atau reality. Reality, atau realitas berbicara mengenai kehidupan kita sehari-hari, sehingga lebih dari sekedar menyanyikan pujian-penyembahan, seorang penyembah yang benar akan memperhatikan betul kehidupannya di tengah masyarakat sehari-hari, baik di rumah, kantor, sekolah, kampus, warung, ketika hangout bersama teman-teman dan lain sebagainya. Seorang penyembah yang benar akan mencerminkan kebenaran tentang Allah baik ketika tengah berada ditengah keramaian, bersama orang lain atau ketika sendirian. Disaat seperti inilah kita bisa membuktikan apakah karakter, gaya hidup, sikap dan tingkah laku atau gaya bicara bahkan integritas kita sudah mencerminkan Tuhan yang kita sembah atau belum.
Mari kita lihat satu versi lagi dari versi The Message. Disana ayat Yohanes 4:23 ini dikatakan sebagai berikut: "It's who you are and the way you live that count before God. Your worship must engage your spirit in the pursuit of truth. That's the kind of people the Father is out looking for: those who are simply and honestly themselves before him in their worship." Perhatikan kata yang dicetak tebal: "It's who you are and the way you live that count before God." Bukan merdunya suara kita, bukan keindahan lagu dan aransemen, bukan tangisan, teriakan atau pengakuan-pengakuan secara lisan saja, bukan pula berapa besar uang yang kita kasih, apa yang bisa kita capai, kehebatan kita, kekuatan kita dan sebagainya, tapi apa yang penting ternyata adalah "who we are and the way we live". Siapa diri kita dan bagaimana cara kita hidup. Itulah yang akan menunjukkan apakah kita sudah merupakan penyembah-penyembah yang benar atau belum. A true worshipper is the one who has his spirit engaged/attached in the pursuit of truth. Orang-orang yang menghidupi kebenaran Tuhan dalam segala sesuatu yang dilakukan sehari-hari. Orang yang hidupnya sesuai dengan kemauan Tuhan, kemauan dari "Yang Disembah". Itulah sosok penyembah benar yang sejati.
Selanjutnya, adakah alasan bagi kita bahwa kita masih terlalu muda untuk menjadi penyembah yang benar? Tentu saja tidak. Alkitab sudah menegaskan: "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12). Secara spesifik ayat ini tertulis dalam surat Paulus yang ditujukan untuk mempersiapkan Timotius menjadi hamba Tuhan yang hebat sejak masa mudanya, tapi inipun berlaku bagi kita semua, terutama anak-anak muda. Perhatikan bahwa keteladanan dalam segala sisi kehidupan bukan saja merupakan kewajiban dari orang-orang tua atau dewasa, tetapi juga harus diadopsi dan diaplikasikan oleh anak-anak muda. Singkatnya, anak muda pun bisa menjadi teladan yang bersinar terang bagi orang-orang yang berusia lebih dari mereka.
Dalam surat kepada jemaat Roma, Paulus mengatakan demikian: "Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." (Roma 12:1). Lihatlah bawha ibadah yang sejati di mata Tuhan bukanlah ibadah rutin kita setiap hari Minggu atau aktivitas-aktivitas peribadatan lainnya, tapi justru seluruh diri kita sendiri. Seluruh hidup kita, our whole-selves yang kudus dan berkenan, dalam bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari atau ketika kita sedang sendirian. Seperti itulah ibadah yang sejati di mata Tuhan, seperti itulah sikap seorang yang menyembah Tuhan dengan benar. That's the spirit of a true worshipper. Jika demikian, mari kita pertanyakan diri kita hari ini: sudahkah kita menjadi penyembah-penyembah yang benar? Kenyataannya lebih banyak orang yang lebih tertarik menjadi 'true gossipers' ketimbang true worshippers. Kita tidak akan pernah bisa membuat perbedaan-perbedaan menuju ke arah yang lebih baik sebelum kita berubah menjadi sosok penyembah yang benar. We can't never make a change, menjadi terang dan garam di dunia sebelum kita memperhatikan sikap dan gaya hidup kita. Sebelum kita berharap lebih banyak, mari pastikan terlebih dahulu diri kita sebagai penyembah yang benar.
The time has come when what we're called and where we go to worship don't matter anymore. It's who we are and the way we live that count before God
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, July 17, 2012
Tak Jemu-Jemu Berdoa
Ayat bacaan: Lukas 18:1
====================
"Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu."
Berdoa sekedarnya, begitu tidak dikabulkan lantas berhenti dan menuduh Tuhan tidak peduli atau bahkan tidak ada. Itu menjadi kebiasaan banyak orang, terlebih di jaman sekarang ketika semuanya menuntut hal-hal yang instan, mudah dan cepat. Doa dianggap sebagai sarana meminta yang harus dikabulkan, atau kalau tidak maka Tuhan bersalah. Bagi mereka Tuhan tak ubahnya seperti kopi instan 3 in 1 yang hanya tinggal diseduh air panas langsung jadi. Kita mungkin bisa belajar dari kegigihan seorang anak dalam meminta sesuatu yang pada akhirnya membuat orang tuanya menyerah dan mengabulkan permintaan mereka. Bukan lewat merengek-rengek tentu, karena itu biasanya tidak akan membawa hasil kecuali mendapat teguran atau dimarahi orang tuanya, tapi lewat wajah mereka yang polos dan penuh harap atau lewat usaha-usaha yang mampu membuat hati orang tuanya luluh. Begitu sayangnya kepada anak, orang tua biasanya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengabulkan permintaan anaknya. Apalagi jika apa yang mereka minta merupakan sesuatu yang penting, tentu orang tua akan lebih mati-matian lagi berusaha memenuhinya.
Dalam menghadapi masalah dan mengharapkan pertolongan Tuhan, seberapa besar kesabaran kita untuk berharap kepadaNya? Seperti yang sudah sering saya sampaikan, seringkali ketidaksabaran ini menjadi penghalang terbesar bagi kita untuk menikmati janji-janji Tuhan. Awalnya mungkin kita berdoa dengan rajin, tapi ketika jawaban tidak kunjung datang secepat yang kita kehendaki, intensitas doa pun menurun drastis hingga akhirnya sampai ke titik nadir alias berhenti total. Sebagian orang akan segera mencari alternatif-alternatif lain akibat merasa kecewa kepada Tuhan. Sulit bagi mereka untuk bersabar dengan menerima kenyataan bahwa waktunya Tuhanlah yang terbaik, lebih baik dari apa yang baik menurut kita, dan Tuhan sudah berjanji untuk sediakan segala yang terbaik itu kepada kita semua. Waktu yang terbaik menurut kita hanyalah berpusat pada pandangan kita pribadi, dimana waktunya Tuhan tidak lagi punya nilai apa-apa disana. Sebagian orang malah hanya menganggap doa seperti mengirim paket permintaan semata. Ada perlu baru berdoa, jika semua berjalan sesuai keinginan, maka doa pun selesai. Padahal lebih dari apapun, doa merupakan sarana bagi kita untuk berhubungan dengan Tuhan. Semakin rajin kita berdoa, hubungan kita akan semakin dekat, kita pun akan semakin peka terhadap suaraNya. Itu akan sangat bermanfaat baik buat hidup kita saat ini maupun yang kekal nanti.
Akan hal ini, Yesus memberikan sebuah perumpamaan menarik mengenai kekuatan dari ketekunan berdoa seperti yang tertulis dalam Lukas 18:1-8. Perikop ini dibuka dengan kalimat berikut: "Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu." (Lukas 18:1). Yesus mengambil perumpamaan tentang seorang janda, sosok yang lemah dan sering digambarkan sebagai figur yang tertindas, hidup susah dan diperlakukan tidak adil di dalam Alkitab, dan seorang hakim yang lalim. Dalam kisah ini, seorang janda diceritakan terus memohon kepada hakim yang lalim agar berkenan membela haknya. (ay 3). Sementara hakim dalam kisah ini bukanlah orang yang takut akan Tuhan, dan mempunyai sikap arogan yang tidak menghormati siapapun. Sesuai dengan gambaran pribadi si hakim, sudah tentu ia menolak mentah-mentah permohonan janda ini. Tapi lihatlah kegigihan si ibu janda. Ia tidak jemu-jemu mendatanginya dan memohon, dan akhirnya ia berhasil meluluhkan hakim yang lalim itu. Dan Yesus pun berkata, "Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu!" (ay 6). Jika hakim yang lalim saja bisa luluh terhadap permohonan tidak jemu-jemu, dan pada akhirnya mau mengabulkan permintaan si janda, masakan Tuhan yang begitu penuh kasih setia, begitu mengasihi kita manusia ciptaanNya sendiridan menganggap kita begitu istimewa tidak mendengarkan seruan kita? "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?" (ay 7). Tuhan yang penuh kasih dan adil akan selalu mengulurkan tanganNya, bukan mengulur-ulur waktu, untuk menolong kita anak-anakNya yang siang dan malam berseru kepadaNya dengan tidak jemu-jemu. Tuhan tidak bakal dan tidak akan pernah mengulur-ulur waktu untuk menolong kita.
Tuhan selalu menepati janjiNya. Itu pasti. Yang sering jadi masalah justru karena seringkali kita memandang hanya berdasarkan apa yang terbaik menurut kita sendiri saja, bukan kepada apa yang terbaik menurut Tuhan. "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir." (Pengkotbah 3:11). Apa yang Tuhan Yesus ajarkan lewat perumpamaan tadi begitu jelas. Mari kita lihat sekali lagi ayat bacaan hari ini: "Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu." (Lukas 18:1). Yesus mengajarkan bagaimana kuasa doa, bagaimana kita sebagai anak-anak Allah sebaiknya terus berdoa siang dan malam dengan tidak jemu-jemu, tanpa putus asa, tanpa pupus pengharapan. Paulus dalam beberapa kesempatan menunjuk pada doa yang terus dilakukan siang dan malam dengan sungguh-sungguh. Salah satu contoh adalah ketika Paulus menyatakan betapa ia terus berdoa siang dan malam dalam kerinduan untuk bertemu dengan para jemaat di Tesalonika dan melayani mereka. (1 Tesalonika 3:10).
Berdoa dengan tidak jemu-jemu, doa yang dipanjatkan terus menerus siang dan malam bukanlah berarti doa harus terus kita ulang-ulang atau bertele-tele. Bukan pula dengan cara-cara memaksa. Hal berdoa diajarkan dengan jelas oleh Yesus sendiri dalam Matius 6:5-15, dan hendaknya itu menjadi acuan kita. Bukan karena banyaknya kata-kata, keindahan rangkaian kata dalam doa, tapi doa yang disertai iman lah yang penting. Bukan pula doa yang hanya dilakukan karena ada permintaan dan kebutuhan, menjadikan doa sebagai paket berisi wishlist atau daftar permintaan, tapi dasarkan doa sebagai sarana bagi kita untuk membina keintiman hubungan dengan Tuhan. Sejauh mana kita mampu bergantung dan mau mengandalkan Tuhan, itu akan terlihat dari kesetiaan kita dalam berdoa. Dalam Roma kita diingatkan agar senantiasa "Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!" (Roma 12:12). Bertekun dalam doa, tidak jemu-jemu, siang dan malam, tidak akan pernah berakhir sia-sia. Ada kalanya jawaban Tuhan tidak akan segera datang. Mungkin waktunya belum tepat, mungkin Tuhan ingin menguji keteguhan dan ketekunan kita, tapi pada saatnya, Tuhan akan menolong dan memberkati kita sesuai janji-janjiNya. Karena itu, hindarilah ketidaksabaran yang bisa mengarahkan kita kepada rupa-rupa kesesatan ketika kita memilih untuk mencari alternatif atau jalan pintas yang bisa membinasakan. Adalah jauh lebih penting untuk membina hubungan karib dengan Tuhan, dan sarana untuk itu adalah melalui doa. Bertekunlah berdoa. Jangan jemu-jemu. "Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia." (Ibrani 10:23).
Jangan pernah jemu untuk berdoa, karena pada saatnya Tuhan pasti bertindak
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
====================
"Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu."
Berdoa sekedarnya, begitu tidak dikabulkan lantas berhenti dan menuduh Tuhan tidak peduli atau bahkan tidak ada. Itu menjadi kebiasaan banyak orang, terlebih di jaman sekarang ketika semuanya menuntut hal-hal yang instan, mudah dan cepat. Doa dianggap sebagai sarana meminta yang harus dikabulkan, atau kalau tidak maka Tuhan bersalah. Bagi mereka Tuhan tak ubahnya seperti kopi instan 3 in 1 yang hanya tinggal diseduh air panas langsung jadi. Kita mungkin bisa belajar dari kegigihan seorang anak dalam meminta sesuatu yang pada akhirnya membuat orang tuanya menyerah dan mengabulkan permintaan mereka. Bukan lewat merengek-rengek tentu, karena itu biasanya tidak akan membawa hasil kecuali mendapat teguran atau dimarahi orang tuanya, tapi lewat wajah mereka yang polos dan penuh harap atau lewat usaha-usaha yang mampu membuat hati orang tuanya luluh. Begitu sayangnya kepada anak, orang tua biasanya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengabulkan permintaan anaknya. Apalagi jika apa yang mereka minta merupakan sesuatu yang penting, tentu orang tua akan lebih mati-matian lagi berusaha memenuhinya.
Dalam menghadapi masalah dan mengharapkan pertolongan Tuhan, seberapa besar kesabaran kita untuk berharap kepadaNya? Seperti yang sudah sering saya sampaikan, seringkali ketidaksabaran ini menjadi penghalang terbesar bagi kita untuk menikmati janji-janji Tuhan. Awalnya mungkin kita berdoa dengan rajin, tapi ketika jawaban tidak kunjung datang secepat yang kita kehendaki, intensitas doa pun menurun drastis hingga akhirnya sampai ke titik nadir alias berhenti total. Sebagian orang akan segera mencari alternatif-alternatif lain akibat merasa kecewa kepada Tuhan. Sulit bagi mereka untuk bersabar dengan menerima kenyataan bahwa waktunya Tuhanlah yang terbaik, lebih baik dari apa yang baik menurut kita, dan Tuhan sudah berjanji untuk sediakan segala yang terbaik itu kepada kita semua. Waktu yang terbaik menurut kita hanyalah berpusat pada pandangan kita pribadi, dimana waktunya Tuhan tidak lagi punya nilai apa-apa disana. Sebagian orang malah hanya menganggap doa seperti mengirim paket permintaan semata. Ada perlu baru berdoa, jika semua berjalan sesuai keinginan, maka doa pun selesai. Padahal lebih dari apapun, doa merupakan sarana bagi kita untuk berhubungan dengan Tuhan. Semakin rajin kita berdoa, hubungan kita akan semakin dekat, kita pun akan semakin peka terhadap suaraNya. Itu akan sangat bermanfaat baik buat hidup kita saat ini maupun yang kekal nanti.
Akan hal ini, Yesus memberikan sebuah perumpamaan menarik mengenai kekuatan dari ketekunan berdoa seperti yang tertulis dalam Lukas 18:1-8. Perikop ini dibuka dengan kalimat berikut: "Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu." (Lukas 18:1). Yesus mengambil perumpamaan tentang seorang janda, sosok yang lemah dan sering digambarkan sebagai figur yang tertindas, hidup susah dan diperlakukan tidak adil di dalam Alkitab, dan seorang hakim yang lalim. Dalam kisah ini, seorang janda diceritakan terus memohon kepada hakim yang lalim agar berkenan membela haknya. (ay 3). Sementara hakim dalam kisah ini bukanlah orang yang takut akan Tuhan, dan mempunyai sikap arogan yang tidak menghormati siapapun. Sesuai dengan gambaran pribadi si hakim, sudah tentu ia menolak mentah-mentah permohonan janda ini. Tapi lihatlah kegigihan si ibu janda. Ia tidak jemu-jemu mendatanginya dan memohon, dan akhirnya ia berhasil meluluhkan hakim yang lalim itu. Dan Yesus pun berkata, "Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu!" (ay 6). Jika hakim yang lalim saja bisa luluh terhadap permohonan tidak jemu-jemu, dan pada akhirnya mau mengabulkan permintaan si janda, masakan Tuhan yang begitu penuh kasih setia, begitu mengasihi kita manusia ciptaanNya sendiridan menganggap kita begitu istimewa tidak mendengarkan seruan kita? "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?" (ay 7). Tuhan yang penuh kasih dan adil akan selalu mengulurkan tanganNya, bukan mengulur-ulur waktu, untuk menolong kita anak-anakNya yang siang dan malam berseru kepadaNya dengan tidak jemu-jemu. Tuhan tidak bakal dan tidak akan pernah mengulur-ulur waktu untuk menolong kita.
Tuhan selalu menepati janjiNya. Itu pasti. Yang sering jadi masalah justru karena seringkali kita memandang hanya berdasarkan apa yang terbaik menurut kita sendiri saja, bukan kepada apa yang terbaik menurut Tuhan. "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir." (Pengkotbah 3:11). Apa yang Tuhan Yesus ajarkan lewat perumpamaan tadi begitu jelas. Mari kita lihat sekali lagi ayat bacaan hari ini: "Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu." (Lukas 18:1). Yesus mengajarkan bagaimana kuasa doa, bagaimana kita sebagai anak-anak Allah sebaiknya terus berdoa siang dan malam dengan tidak jemu-jemu, tanpa putus asa, tanpa pupus pengharapan. Paulus dalam beberapa kesempatan menunjuk pada doa yang terus dilakukan siang dan malam dengan sungguh-sungguh. Salah satu contoh adalah ketika Paulus menyatakan betapa ia terus berdoa siang dan malam dalam kerinduan untuk bertemu dengan para jemaat di Tesalonika dan melayani mereka. (1 Tesalonika 3:10).
Berdoa dengan tidak jemu-jemu, doa yang dipanjatkan terus menerus siang dan malam bukanlah berarti doa harus terus kita ulang-ulang atau bertele-tele. Bukan pula dengan cara-cara memaksa. Hal berdoa diajarkan dengan jelas oleh Yesus sendiri dalam Matius 6:5-15, dan hendaknya itu menjadi acuan kita. Bukan karena banyaknya kata-kata, keindahan rangkaian kata dalam doa, tapi doa yang disertai iman lah yang penting. Bukan pula doa yang hanya dilakukan karena ada permintaan dan kebutuhan, menjadikan doa sebagai paket berisi wishlist atau daftar permintaan, tapi dasarkan doa sebagai sarana bagi kita untuk membina keintiman hubungan dengan Tuhan. Sejauh mana kita mampu bergantung dan mau mengandalkan Tuhan, itu akan terlihat dari kesetiaan kita dalam berdoa. Dalam Roma kita diingatkan agar senantiasa "Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!" (Roma 12:12). Bertekun dalam doa, tidak jemu-jemu, siang dan malam, tidak akan pernah berakhir sia-sia. Ada kalanya jawaban Tuhan tidak akan segera datang. Mungkin waktunya belum tepat, mungkin Tuhan ingin menguji keteguhan dan ketekunan kita, tapi pada saatnya, Tuhan akan menolong dan memberkati kita sesuai janji-janjiNya. Karena itu, hindarilah ketidaksabaran yang bisa mengarahkan kita kepada rupa-rupa kesesatan ketika kita memilih untuk mencari alternatif atau jalan pintas yang bisa membinasakan. Adalah jauh lebih penting untuk membina hubungan karib dengan Tuhan, dan sarana untuk itu adalah melalui doa. Bertekunlah berdoa. Jangan jemu-jemu. "Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia." (Ibrani 10:23).
Jangan pernah jemu untuk berdoa, karena pada saatnya Tuhan pasti bertindak
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, July 16, 2012
Menyenangkan Hati Bapa
Ayat bacaan: Hosea 6:6
===================
"Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran."
Seorang teman saya baru saja bercerita bahwa anaknya yang masih balita suka membawakan secangkir kopi yang dibuatkan istrinya setiap dia pulang bekerja dan akan memeluknya didepan pintu. "Itu membuat rasa lelah saya bekerja dan terjebak macet di jalan terbayar lunas", katanya sambil tersenyum senang. Sambutan yang mencerminkan kasih sayang sang anak akan sangat berarti bagi seorang ayah, apalagi setelah lelah bekerja sehari penuh. Bandingkanlah keluarga harmonis ini dengan gambaran sebaliknya yang dialami banyak keluarga lainnya. Situasi di rumah tidak harmonis, istri entah dimana, anak-anak sibuk dengan dunia masing-masing, tidak ada satupun yang menyambut seolah mereka tidak butuh kehadiran sang ayah sama sekali di rumah. "Saya yakin tidak ada ayah yang tidak bahagia mendapat sambutan seperti ini dari anaknya, kecuali si ayah itu mati rasa", katanya lagi sambil tertawa. Apa yang ia katakan benar. Siapapun kita tentu merindukan perasaan dikasihi, dihargai dan dipedulikan dari orang lain, terlebih dari orang yang kita sayang. Jika kita merasa seperti itu, pernahkah kita berpikir bahwa Bapa Surgawi kita pun rindu untuk mendapat sambutan penuh kasih sayang dari anak-anaknya? Lalu, jika kita ingin melakukan itu, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita menghidangkan secangkir kopi panas yang nikmat? Memijat pundakNya? Memeluk? Tentu tidak demikian, karena Tuhan tidak hadir secara fisik di depan kita seperti ayah biologis kita di dunia. Hari ini mari kita lihat bagaimana kita bisa menyenangkan hati Tuhan, membuatNya merasa dikasihi dan dicintai oleh kita, anak-anakNya.
Mari kita lihat kitab Hosea. Dalam pasal 6 kita bisa menemukan bagaimana cara kita untuk menyenangkan hati Bapa Surgawi kita. Perhatikan ayat berikut: "..Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6). Kasih dan kesetiaan kita yang besar bagi Tuhan yang tidak lekang dimakan jaman, tidak gampang luntur karena cemaran berbagai warna-warni duniawi, dan kerinduan kita tanpa henti untuk mengenal pribadi Bapa lebih lagi, itulah yang menyenangkan Tuhan. Dan itu dikatakan lebih dari "TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orang-orang yang berharap akan kasih setia-Nya." (Mazmur 147:11). Menyenangkan hati Tuhan bisa kita lakukan dengan hidup takut akan Tuhan dan terus percaya penuh kepadaNya tanpa pernah ragu atau putus asa. Hal-hal seperti inilah yang bisa kita lakukan untuk menyenangkan hatiNya. Lewat pengenalan akan Tuhan, mengasihiNya dengan setia, menyadari dan percaya sepenuhnya kasih setia Tuhan dalam kondisi apapun yang kita alami, dan terus menjalani hidup dengan rasa takut akan Tuhan, itulah yang bisa kita perbuat untuk mengetuk pintu hati Tuhan dan menyenangkanNya.
Dalam bagian lain pada kitab Mazmur pasal 147 tadi kita bisa melihat juga bahwa memberikan puji-pujian, bermazmur bagiNya, itu pun menyenangkan Tuhan jika kita lakukan dengan hati yang tulus. Sebelum Pemazmur menuliskan hal yang membuat Tuhan senang dalam ayat 11 di atas, kita dapati ayat yang berbunyi "Bernyanyilah bagi TUHAN dengan nyanyian syukur, bermazmurlah bagi Allah kita dengan kecapi!" Itu tertulis dalam ayat 7. Tuhan tentu akan disenangkan apabila kita memiliki gaya hidup yang senantiasa memuji dan menyembahNya, bermazmur bagiNya baik dalam keadaan suka maupun duka, baik dalam keadaan senang maupun susah, dan melakukan itu semua dengan hati yang tulus sepenuhnya karena mengasihi Tuhan lebih dari segalanya bukan karena mengharapkan sesuatu imbalan atau lainnya.
Kita harus benar-benar waspada karena ada begitu banyak keinginan daging yang akan selalu berusaha untuk menjauhkan kita dari Tuhan dan merusak hubungan kita denganNya. Seringkali kita menyerah untuk memberi toleransi kepada keinginan-keinginan kedagingan, dan mengira bahwa itu tidaklah apa-apa jika kita anggap hanya sekali-kali atau sedikit-sedikit saja. Padahal kenyataannya Tuhan sama sekali tidak berkenan kepada orang-orang yang memilih untuk hidup dalam daging dan menomor duakan keinginan Roh. "Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah." (Roma 8:8). Selanjutnya yang juga penting, apakah kita sudah berkenan meluangkan waktu untuk berdoa bagi orang lain, untuk pemerintah dari tingkat regional hingga nasional? Sudahkah kita menaikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur buat orang lain, buat pemimpin-pemimpin kita? Hal ini pun penting untuk kita cermati, karena firman Tuhan berkata "Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita" (1 Timotius 2:3). Lalu ingat pula bahwa kita bisa melakukan sesuatu untuk membalas segala kebaikan Tuhan dan menunjukkan kasih kita kepadaNya bukan dengan menyogok Tuhan lewat berbagai cara, tapi justru dengan melakukan sesuatu untuk saudara-saudari kita yang membutuhkan uluran tangan kita. "Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40).
Kita mungkin tidak bisa membuat secangkir kopi buat Tuhan atau memijatNya. Tapi Alkitab sudah memberitahukan bagaimana caranya kita bisa menyenangkan hati Bapa. Lebih dari korban bakaran, Tuhan lebih menyukai kasih setia kita dan usaha kita untuk semakin jauh mengenal pribadiNya. Tuhan rindu untuk dapat bergaul karib dengan kita. Kepada kita yang menyenangkan hatiNya, yang berkenan di hadapanNya, Tuhan tidak akan menahan-nahan berkatNya untuk tercurah. "Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." (Mazmur 84:11). Ini janji Tuhan kepada setiap anakNya yang selalu berusaha menyenangkan hatiNya bukan karena berharap sesuatu atau pamrih tapi semata-mata karena mengasihi Tuhan lebih dari segala hal lainnya. Tuhan akan sangat senang jika kita menjadikan diriNya prioritas utama dalam hidup kita. Dia akan sangat bangga jika kita mempersembahkan ibadah sejati kita dengan mempersembahkan tubuh kita sendiri sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepadaNya. (Roma 12:1). Tetap percaya dan berpegang kepadaNya dalam kondisi dan situasi apapun, selalu melakukan kehendakNya dengan sepenuh hati, tetap bersukacita dan bersyukur meski dalam kesesakan sekalipun, dan tentunya tidak sekali-kali menomorduakan apalagi meninggalkan Tuhan demi kenikmatan sesaat. Anda siap menyukakan hati Bapa?
Lebih dari korban-korban sembelihan atau bakaran, Tuhan lebih menyukai kasih setia dan kerinduan kita untuk mengenalNya lebih jauh
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
===================
"Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran."
Seorang teman saya baru saja bercerita bahwa anaknya yang masih balita suka membawakan secangkir kopi yang dibuatkan istrinya setiap dia pulang bekerja dan akan memeluknya didepan pintu. "Itu membuat rasa lelah saya bekerja dan terjebak macet di jalan terbayar lunas", katanya sambil tersenyum senang. Sambutan yang mencerminkan kasih sayang sang anak akan sangat berarti bagi seorang ayah, apalagi setelah lelah bekerja sehari penuh. Bandingkanlah keluarga harmonis ini dengan gambaran sebaliknya yang dialami banyak keluarga lainnya. Situasi di rumah tidak harmonis, istri entah dimana, anak-anak sibuk dengan dunia masing-masing, tidak ada satupun yang menyambut seolah mereka tidak butuh kehadiran sang ayah sama sekali di rumah. "Saya yakin tidak ada ayah yang tidak bahagia mendapat sambutan seperti ini dari anaknya, kecuali si ayah itu mati rasa", katanya lagi sambil tertawa. Apa yang ia katakan benar. Siapapun kita tentu merindukan perasaan dikasihi, dihargai dan dipedulikan dari orang lain, terlebih dari orang yang kita sayang. Jika kita merasa seperti itu, pernahkah kita berpikir bahwa Bapa Surgawi kita pun rindu untuk mendapat sambutan penuh kasih sayang dari anak-anaknya? Lalu, jika kita ingin melakukan itu, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita menghidangkan secangkir kopi panas yang nikmat? Memijat pundakNya? Memeluk? Tentu tidak demikian, karena Tuhan tidak hadir secara fisik di depan kita seperti ayah biologis kita di dunia. Hari ini mari kita lihat bagaimana kita bisa menyenangkan hati Tuhan, membuatNya merasa dikasihi dan dicintai oleh kita, anak-anakNya.
Mari kita lihat kitab Hosea. Dalam pasal 6 kita bisa menemukan bagaimana cara kita untuk menyenangkan hati Bapa Surgawi kita. Perhatikan ayat berikut: "..Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6). Kasih dan kesetiaan kita yang besar bagi Tuhan yang tidak lekang dimakan jaman, tidak gampang luntur karena cemaran berbagai warna-warni duniawi, dan kerinduan kita tanpa henti untuk mengenal pribadi Bapa lebih lagi, itulah yang menyenangkan Tuhan. Dan itu dikatakan lebih dari "TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orang-orang yang berharap akan kasih setia-Nya." (Mazmur 147:11). Menyenangkan hati Tuhan bisa kita lakukan dengan hidup takut akan Tuhan dan terus percaya penuh kepadaNya tanpa pernah ragu atau putus asa. Hal-hal seperti inilah yang bisa kita lakukan untuk menyenangkan hatiNya. Lewat pengenalan akan Tuhan, mengasihiNya dengan setia, menyadari dan percaya sepenuhnya kasih setia Tuhan dalam kondisi apapun yang kita alami, dan terus menjalani hidup dengan rasa takut akan Tuhan, itulah yang bisa kita perbuat untuk mengetuk pintu hati Tuhan dan menyenangkanNya.
Dalam bagian lain pada kitab Mazmur pasal 147 tadi kita bisa melihat juga bahwa memberikan puji-pujian, bermazmur bagiNya, itu pun menyenangkan Tuhan jika kita lakukan dengan hati yang tulus. Sebelum Pemazmur menuliskan hal yang membuat Tuhan senang dalam ayat 11 di atas, kita dapati ayat yang berbunyi "Bernyanyilah bagi TUHAN dengan nyanyian syukur, bermazmurlah bagi Allah kita dengan kecapi!" Itu tertulis dalam ayat 7. Tuhan tentu akan disenangkan apabila kita memiliki gaya hidup yang senantiasa memuji dan menyembahNya, bermazmur bagiNya baik dalam keadaan suka maupun duka, baik dalam keadaan senang maupun susah, dan melakukan itu semua dengan hati yang tulus sepenuhnya karena mengasihi Tuhan lebih dari segalanya bukan karena mengharapkan sesuatu imbalan atau lainnya.
Kita harus benar-benar waspada karena ada begitu banyak keinginan daging yang akan selalu berusaha untuk menjauhkan kita dari Tuhan dan merusak hubungan kita denganNya. Seringkali kita menyerah untuk memberi toleransi kepada keinginan-keinginan kedagingan, dan mengira bahwa itu tidaklah apa-apa jika kita anggap hanya sekali-kali atau sedikit-sedikit saja. Padahal kenyataannya Tuhan sama sekali tidak berkenan kepada orang-orang yang memilih untuk hidup dalam daging dan menomor duakan keinginan Roh. "Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah." (Roma 8:8). Selanjutnya yang juga penting, apakah kita sudah berkenan meluangkan waktu untuk berdoa bagi orang lain, untuk pemerintah dari tingkat regional hingga nasional? Sudahkah kita menaikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur buat orang lain, buat pemimpin-pemimpin kita? Hal ini pun penting untuk kita cermati, karena firman Tuhan berkata "Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita" (1 Timotius 2:3). Lalu ingat pula bahwa kita bisa melakukan sesuatu untuk membalas segala kebaikan Tuhan dan menunjukkan kasih kita kepadaNya bukan dengan menyogok Tuhan lewat berbagai cara, tapi justru dengan melakukan sesuatu untuk saudara-saudari kita yang membutuhkan uluran tangan kita. "Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40).
Kita mungkin tidak bisa membuat secangkir kopi buat Tuhan atau memijatNya. Tapi Alkitab sudah memberitahukan bagaimana caranya kita bisa menyenangkan hati Bapa. Lebih dari korban bakaran, Tuhan lebih menyukai kasih setia kita dan usaha kita untuk semakin jauh mengenal pribadiNya. Tuhan rindu untuk dapat bergaul karib dengan kita. Kepada kita yang menyenangkan hatiNya, yang berkenan di hadapanNya, Tuhan tidak akan menahan-nahan berkatNya untuk tercurah. "Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." (Mazmur 84:11). Ini janji Tuhan kepada setiap anakNya yang selalu berusaha menyenangkan hatiNya bukan karena berharap sesuatu atau pamrih tapi semata-mata karena mengasihi Tuhan lebih dari segala hal lainnya. Tuhan akan sangat senang jika kita menjadikan diriNya prioritas utama dalam hidup kita. Dia akan sangat bangga jika kita mempersembahkan ibadah sejati kita dengan mempersembahkan tubuh kita sendiri sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepadaNya. (Roma 12:1). Tetap percaya dan berpegang kepadaNya dalam kondisi dan situasi apapun, selalu melakukan kehendakNya dengan sepenuh hati, tetap bersukacita dan bersyukur meski dalam kesesakan sekalipun, dan tentunya tidak sekali-kali menomorduakan apalagi meninggalkan Tuhan demi kenikmatan sesaat. Anda siap menyukakan hati Bapa?
Lebih dari korban-korban sembelihan atau bakaran, Tuhan lebih menyukai kasih setia dan kerinduan kita untuk mengenalNya lebih jauh
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Subscribe to:
Posts (Atom)
Sukacita Kedua (7)
(sambungan) Menempatkan diri dari sisi sang pemilik rumah, saya merasa ia sadar bahwa itu adalah bagian atau resiko dari pelayanan. Saat ki...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...