Sunday, August 31, 2014

Melihat Sisi Lain Dibalik Penderitaan

Ayat bacaan: Kisah Para Rasul 16:10
==========================
"Setelah Paulus melihat penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari penglihatan itu kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana."

Sudah berusaha hidup benar tapi kenapa kondisi kehidupan masih belum juga membaik? Mungkin anda pernah mendengar komentar seperti ini dari orang yang anda kenal, atau mungkin anda sendiri pernah mengalami perasaan seperti itu. Ada pula yang mungkin seperti pengalaman saya pribadi justru harus mengalami pembentukan yang sama sekali tidak enak bahkan menyakitkan di awal-awal masa pertobatan. Banyak orang kecewa ketika mereka masih tertimpa masalah padahal mereka sedang berjalan mengikuti kehendak Tuhan. Sebagian dengan cepat meragukan kebaikan Tuhan bahkan menuduh Tuhan berlaku jahat, sebagian lain menganggap ikut Tuhan bagai memilih produk di etalase dan dengan mudah berpindah kepada alternatif lain, hanya sedikit yang menyadari bahwa itu adalah bagian dari proses yang harus dijalani untuk menjadi lebih baik atau juga merupakan bagian dari rencana Tuhan untuk sesuatu yang indah di depan sana. Tidak ada seorang pun dari kita ingin mengalami penderitaan dalam hidup, tetapi ada kalanya memang kita harus mengalaminya, meski bukan karena melanggar ketetapan Tuhan. Ada banyak alasan mengapa Tuhan kadangkala mengijinkan anak-anakNya yang taat sekalipun untuk merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Melatih kita agar lebih kuat, membuat kita lebih dewasa dan bijaksana, menyadarkan kita agar tidak bergantung kepada kekuatan diri sendiri dan mengalami sendiri penyempurnaan kuasa Tuhan, itu adalah beberapa hal yang bisa kita peroleh justru ketika penderitaan hadir dalam hidup kita. Atau bisa juga untuk tujuan-tujuan yang lebih besar seperti menjadi bagian dari kesaksian yang kelak bisa mendatangkan pertobatan bagi orang lain. Ada sisi-sisi lain dari sebuah penderitaan yang mungkin luput dari perhatian kita.

Ada sebuah kisah menarik dalam pengalaman hidup Paulus. Suatu kali Paulus mendapat sebuah penglihatan pada suatu malam. Dalam penglihatan itu ia melihat ada seorang Makedonia berdiri dan berseru kepadanya: "Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!" (Kisah Para Rasul 16:9). Paulus percaya bahwa apa yang dilihatnya merupakan sebuah panggilan untuk mewartakan kabar keselamatan ke wilayah itu. "Setelah Paulus melihat penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari penglihatan itu kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana." (ay 10). Maka Paulus dan Silas berangkat menuju ke Makedonia.

Meski Paulus merespon panggilan tugas lewat penglihatannya, yang terjadi disana ternyata tidaklah serta merta lancar tanpa masalah. Justru sebaliknya, bukannya disambut dengan kegembiraan dan mendapat pelayanan bak hamba Tuhan terkenal dengan segala fasilitas istimewa, mereka malah mendapat diperlakukan buruk bahkan tidak manusiawi. "Lalu pembesar-pembesar kota itu menyuruh mengoyakkan pakaian dari tubuh mereka dan mendera mereka. Setelah mereka berkali-kali didera, mereka dilemparkan ke dalam penjara. Kepala penjara diperintahkan untuk menjaga mereka dengan sungguh-sungguh." (ay 22-23). Paulus dan Silas kemudian dipasung dan ditempatkan di bagian penjara yang paling dalam. (ay 24). Kita mungkin berpikir, bagaimana mungkin Tuhan setega itu, membiarkan hamba-hambaNya untuk mengalami penderitaan justru di saat mereka melakukan pekerjaan Tuhan? Tetapi Paulus dan Silas tidak berpikir seperti itu. Mereka tidak kecewa, tidak merasa tawar atau pahit terhadap Tuhan. Anda bisa bayangkan kondisi mereka yang dipasung di penjara paling dalam setelah terlebih dahulu disiksa. Aoa yang dilakukan Paulus dan Silas? Mereka malah menyanyikan puji-pujian sambil berdoa kepada Tuhan dengan lantang (ay 25). Yang terjadi selanjutnya adalah turunnya mukjizat Tuhan yang melepaskan mereka dari pasungan dan penjara. Tidak saja kebebasan kemudian diperoleh lewat cara yang ajaib, namun kita melihat pula pertobatan kepala penjara beserta seluruh keluarganya setelah melihat sebuah kesaksian luar biasa dari kedua hamba Tuhan ini. (ay 34).

Dari kisah ini kita bisa melihat bahwa mengikuti Kristus dan patuh kepada panggilan surgawi tidaklah serta merta menjadikan kita seratus persen terbebas dari masalah atau penderitaan. Tetapi lihatlah bahwa biar bagaimanapun ada rencana Tuhan yang indah dibalik itu semua yang akan tergenapi. Masalah mungkin ada, tapi itu adalah bagian dari sebuah "master plan" yang menjanjikan sebuah keindahan penuh sukacita di kemudian hari. Paulus dan Silas belum mengetahui apa rencana Tuhan lewat penderitaan yang mereka alami saat merespon perintah Tuhan. Tapi mereka sama sekali tidak protes. Mereka tidak mempertanyakan keputusan Tuhan, menuduh Tuhan jahat dengan membiarkan mereka seperti itu saat menuruti panggilanNya. Paulus dan Silas tetap percaya dan taat, tetap kuat untuk menjalani panggilan mereka dengan penuh semangat meski untuk itu mereka harus melewati aniaya. Itu sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Yesus. "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Markus 8:34). Di lain waktu Paulus pun mengingatkan hal yang sama.  "kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia." (Filipi 1:29). Menderita disebut Paulus sebagai sebuah karunia. Mengapa? Karena ada banyak rencana Tuhan dibalik itu semua yang akan sangat bermanfaat bagi pertumbuhan rohani kita menuju kemenangan.

Tuhan telah merancangkan rencana yang indah bagi kita, penuh damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh harapan. (Yeremia 29:11) Percayalah bahwa janji ini akan terus berlaku meski pada saat ini kita mungkin tengah bergumul dengan masalah. Kuasa dan janji Tuhan tidak pernah terhenti pada permasalahan. Justru dengan tegas firman Tuhan berkata: "..justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna."  (2 Korintus 12:9). Dalam keadaan ditimpa masalah, dalam sebuah penderitaan kita sebenarnya punya kesempatan untuk melihat kuasa Tuhan disempurnakan, menyaksikan dan mengalami sendiri hal-hal yang ajaib yang akan mampu membuat kita sadar betapa tak terbatasnya kuasa Tuhan dan kebaikanNya.

Apa yang dialami Paulus dan Silas bisa menjadi sebuah pelajaran bagi kita akan sebuah keteguhan iman dalam menggenapi rencana Tuhan. Apapun yang terjadi, jika anda sudah benar-benar mengikuti kehendak Tuhan, bersabarlah, tetap percaya dengan iman dan jangan putus asa. Semua penderitaan yang mungkin sedang anda hadapi saat ini hanyalah bagian dari "master plan" Tuhan yang punya tujuan indah. Sekarang mungkin terasa menyakitkan, tetapi percayalah, kelak anda akan bersyukur pernah mengalaminya.

Masalah hanyalah bagian dari rencana indah Tuhan dan merupakan kesempatan untuk melihat betapa luar biasanya ketika rencana Tuhan disempurnakan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, August 30, 2014

Lebih Baik Bersedih dan Berada di Rumah Duka? (2)

(sambungan)

Kemarin kita membahas sebuah ayat kontroversial dalam Pengkotbah 7:3 "Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega." Kalau kita lanjutkan pada ayat selanjutnya, kita akan mendapati ayat yang sama kontroversial dan terasa aneh. Ayatnya berbunyi: "Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria." (ay 4). Kalau kita mau jujur, dimana kita lebih senang berada, di rumah duka atau pesta? Tentu kita lebih memilih berada dalam sebuah pesta meriah, penuh dengan sajian makanan lezat, musik dan keceriaan. Tetapi Firman Tuhan berkata justru sebaliknya, bahkan lumayan keras. Hanya orang bodohlah yang lebih memilih tempat bersukaria ketimbang berada di rumah duka. Kalau hanya sepintas ayat ini tentu sulit kita terima. Tetapi marilah kita melihat mengapa berada di rumah duka itu lebih baik bagi orang berhikmat dibanding di pesta.

Apa yang kita pikirkan saat berada di sebuah pesta? Kebanyakan dari kita tentu lebih tertarik kepada makanan yang disajikan. Apa isi dari meja-meja kecil di sisi-sisi ruangan, makanan apa yang disajikan di meja panjang prasmanan, apakah musiknya bagus atau tidak dan sebagainya. Saat berada di tempat-tempat hiburan, kita pun cenderung lupa akan esensi hidup dan terlarut dalam kegembiraan yang seringkali hanya berisi kebahagiaan semu. Bahkan tidak jarang orang berkenalan dengan dosa di tempat-tempat hiburan.

Sebaliknya, berada di rumah duka seringkali membawa momen-momen perenungan bagi kita. Disana kita diingatkan bahwa hidup ini sesungguhnya singkat saja. Pemazmur menulis "Manusia sama seperti angin, hari-harinya seperti bayang-bayang lewat." (Mazmur 144:4). Seperti itulah singkatnya. Berapa lama? Alkitab berkata masa hidup kita tujuh puluh tahun, dan jika kuat, delapan puluh tahun. (90:10). Tujuh puluh tahun, kalau mujur, 80 tahun. Ada yang lebih dari itu, tapi tetap saja jauh lebih singkat dibanding masa yang kekal. Alangkah sia-sianya jika masa hidup yang singkat itu kita buang tanpa diisi dengan sesuatu yang berguna, terutama untuk diisi dengan hal-hal yang sesuai dengan ketetapan Tuhan. Kalau masa hidup yang singkat ini diisi dengan menjadi pelaku-pelaku firman yang tentu baru bisa dilakukan kalau kita kenal baik dengan ketetapan-ketetapanNya, itu akan sangat bermanfaat bagi kehidupan kekal yang akan kita masuki kelak setelah masa di dunia ini selesai. Betapa kita seringkali terlena dan lupa akan hal ini ketika kita sedang bersenang-senang. Tetapi berada di rumah duka biasanya akan mengingatkan kita dan membawa perenungan bagi kita. Itulah sebabnya dikatakan lebih baik berada di rumah duka ketimbang di rumah bersukaria.

Ayat lain dalam Pengkotbah berbunyi: "To everything there is a season, and a time for every matter or purpose under heaven", "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." (Pengkotbah 3:1). Ada berbagai "musim" dalam hidup kita yang mau tidak mau harus kita hadapi. Termasuk salah satunya dikatakan "ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari." (ay 4). Ada saat dimana kita bisa bergembira, tetapi ada pula saat dimana kita masuk ke dalam waktu untuk menangis dan meratap. Ini bukanlah waktu dimana Tuhan sedang bertindak kejam dan senang menyiksa kita. Ketika kita sedang berada dalam sebuah kesedihan, disanalah kita bisa belajar banyak dan sadar bahwa kita seharusnya mengisi hidup kita yang singkat ini dengan hal-hal yang bermanfaat bagi sesama maupun bagi masa depan kita. Jangan sia-siakan waktu bersedih hanya dengan mengeluh dan menangis, tetapi pakailah masa-masa itu untuk melakukan perenungan secara menyeluruh. Sadarilah bahwa ada banyak pelajaran yang bisa kita petik di balik sebuah kesedihan. Karena itu, jika Tuhan mengijinkan kita untuk berada dalam keadaan bersedih, bersyukurlah untuk itu.

Bersyukur dalam keadaan bersedih sesuai dengan firman Tuhan berikut; "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18) Kita diingatkan untuk tetap bersyukur bukan hanya dalam beberap hal, tetapi dalam segala hal. Artinya, meski kita sedang berada dalam kesesakan, masa-masa sulit atau bahkan saat tertindas, kita seharusnya tetap bisa betsyukur. Dibalik sebentuk kesedihan ada banyak manfaat yang bisa membuat kita menjadi lebih baik lagi termasuk di dalamnya mengalami pertumbuhan iman. Ada waktu dimana kita bersedih, pakailah itu sebagai momen untuk memperbaiki diri dan kembali menyadari esensi dari sebuah kehidupan yang dipercayakan Tuhan kepada kita, sehingga ketika saatnya untuk tertawa tiba, kita tidak akan terlena melupakannya. Apakah anda sedang berada dalam "musim" bersedih hari ini? Jika ya, jangan patah semangat, jangan putus asa, tetapi bersyukurlah dan pergunakan musim tersebut untuk mempelajari lebih jauh tentang ketetapanNya dan saat dimana anda bisa merasakan secara langsung jamahan Tuhan yang luar biasa.

Banyak pelajaran yang dapat kita petik dibalik sebuah kesedihan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, August 29, 2014

Lebih Baik Bersedih dan Berada di Rumah Duka? (1)

Ayat bacaan: Pengkotbah 7:3
=====================
"Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega."

Tidak satupun dari kita yang dengan sengaja mau menjalani hari dengan rasa sedih. Mungkin ada yang sifatnya melankolis, hatinya sensitif dan mudah merasa sedih. Tapi kalau ditanyakan kepada mereka, seandainya mereka bisa memilih mereka tentu akan memilih untuk bergembira ketimbang bersedih. Ada banyak pria yang melarang diri mereka untuk bersedih apalagi menangis. Bagi mereka itu menunjukkan kelemahan dan memalukan. Sebaik-baiknya hidup, ada saat dimana kita harus bersedih. Bersedih menjadi tidak menguntungkan kalau dibiarkan berlarut-larut. Dan Tuhan pun memang tidak menginginkan kita menjadi orang-orang yang dipenuhi kesedihan melainkan ingin anak-anakNya menjadi pribadi yang penuh sukacita dengan merasakan kasih dan penyertaanNya. Tapi sekali waktu, mau tidak mau memang kita harus masuk ke dalam masa-masa bersedih. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh siapapun. Ada banyak ayat dalam Alkitab yang mampu menguatkan kita untuk kembali merasakan sukacita saat berada dalam kondisi sulit, dalam tekanan maupun saat tertindas.

Menariknya, ada ayat yang terdengar sangan kontroversial yang isinya seperti berlawanan dengan ayat-ayat yang menguatkan. Dibuka dengan judul perikop "Hikmat yang benar", Pengkotbah mengatakan "Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega." (Pengkotbah 7:3). Bersedih lebih baik dari tertawa, dan itu dirangkum dalam bagian yang menyampaikan hikmat yang benar, ditulis oleh orang paling berhikmat yang pernah ada di bumi yaitu Salomo. Aneh bukan? Ayat ini seolah menganjurkan kita untuk bersedih karena itu lebih baik ketimbang bergembira. Benarkah demikian? Apakah Tuhan sebenarnya ingin kita menjadi pribadi-pribadi yang kerap diliputi kesedihan, bermuka muram dan tidak ceria? Adakah keuntungan yang bisa kita peroleh dari kesedihan yang diijinkan Tuhan untuk kita rasakan? Kalau ada, apa saja?

Seperti yang saya sampaikan diatas, Tuhan tidak ingin kita larut dalam kesedihan. Dia memberi begitu banyak tips dan janji yang bisa meneguhkan, menguatkan dan mengembalikan kita ke dalam rasa bahagia, penuh damai sejahtera dan sukacita. Tapi ada saat dimana kita harus bersedih, dan itu tidak salah sepanjang tidak dibiarkan berlarut-larut dan membuat hubungan kita menjadi renggang dengan Tuhan. Disaat seperti itu, ternyata masih ada hal positif yang bisa kita petik agar hidup kita menjadi lebih kuat, lebih bijaksana dan lebih baik dari sebelumnya.

Dalam versi Bahasa Inggris amplified, ayat bacaan kita hari ini berbunyi: "Sorrow is better than laughter, for by the sadness of the countenance the heart is made better and gains gladness." Ayat ini sebenarnya mengatakan, bahwa bersedih ternyata tidaklah selalu harus buruk. Itu bisa lebih baik daripada tertawa, karena kesedihan yang membuat muka muram mampu membuat hati tarasa lebih baik, lega dan kemudian mendatangkan kesenangan hati. Ayat ini mendobrak paradigma yang selama ini kita anggap benar, yaitu bahwa kita sama sekali tidak boleh bersedih apapun situasinya, apapun kondisinya. Artinya, meski kita harus hidup dengan penuh sukacita, kalau memang harus bersedih, bersedihlah karena itupun bisa mendatangkan kebaikan bagi kita.

Seperti yang sudah saya sampaikan kemarin, Daud menyadari bahwa keadaan yang bisa mendatangkan kesedihan sangatlah baik dipakai sebagai waktu untuk belajar ketetapan-ketetapan Tuhan. "Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu." (Mazmur 119:71). Daud tidak mempergunakan masa-masa sulit sebagai alasan untuk menjadi lemah, merasa kecewa kepada Tuhan, merasa putus asa, hilang harapan dan sebagainya. Ia justru merasa bahwa itu membuka kesempatan baginya untuk mendalami ketetapan Tuhan. Disanalah ia bisa belajar banyak dan merasakan luar biasanya jamahan Tuhan. Bukankah manusia cenderung malas dan manja kalau hidup selalu berjalan baik? Maka keadaan sulit mengingatkan kita untuk mengandalkan Tuhan. Itu adalah kesempatan untuk kembali menata hidup seandainya sudah mulai melenceng dari jalan yang seharusnya, memperbaiki segala kesalahan yang akan kita sadari kalau kita belajar lebih jauh mengenai ketetapan Tuhan. Jadi kalau sekali waktu kita harus mengalami situasi yang tidak baik, jika kita memang harus bersedih, sikapi dengan baik dan pergunakan dengan baik pula. Itu akan mendatangkan kebaikan bagi kita, memberi kelegaan dan membuat kita bisa merasakan sukacita lebih dari waktu-waktu dimana kita sedang bergembira tanpa masalah.

Dalam kesedihan kita bisa belajar banyak. Kita bisa belajar untuk lebih kuat, lebih tegar, kita bisa belajar mengandalkan Tuhan lebih dari segalanya, kita bisa belajar lebih sabar dan tabah. Ini adalah hal-hal yang jarang bisa kita peroleh lewat kegembiraan. Kegembiraan seringkali membawa kita terlena dan lupa kepada hal-hal yang esensial atau penting dalam kehidupan yang singkat ini. Bukan kita tidak boleh bergembira, tetapi ada banyak hal di balik sebuah bentuk kesedihan yang akan mampu membuat kita bertumbuh lebih baik dan lebih kuat. Karena itu ketika Tuhan mengijinkan kita untuk masuk ke dalam keadaan sedih, janganlah bersungut-sungut dan menuduh Tuhan sedang berlaku kejam kepada kita. Justru disaat seperti itulah kita sedang dilatih untuk lebih baik lagi, sedang diajar untuk mengalami peningkatan baik dari segi iman maupun sikap dan perilaku kita sebagai pribadi.

(bersambung)

Thursday, August 28, 2014

Sisi Positif dari Penderitaan

Ayat bacaan: Mazmur 119:71
==========================
"Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu."

Mudah bagi kita untuk berkata bahwa Tuhan itu baik, tetapi akan menjadi sangat sulit saat kita sedang ditimpa masalah atau sedang dalam keadaan tertindas. Banyak orang yang segera merubah pandangannya saat hidup sedang berada pada titik yang tidak kondusif, bersungut-sungut, mengeluh lantas kecewa kepada  Tuhan bahkan kemudian meragukan eksistensiNya. Sebagian menuduh Tuhan sedang berlaku tidak adil, bertindak semena-mena atau bahkan dituduh kejam. Sangatlah menarik ketika melihat seorang musisi yang tengah dirundung masalah kesehatan sehingga tidak bisa tampil mencari nafkah untuk sekian lama tetapi masih bisa menuliskan status "God is good, all the time" pada sebuah jejaring sosial. Melihat statusnya, pikiran saya kembali kepada masa-masa sebelum dan sesudah bertobat.

Dahulu saya sempat mengalami sukses besar dengan kerja keras. Secara finansial saya tidak mengalami masalah, tapi hidup hancur-hancuran. Tidak ada yang namanya damai sejahtera, tidak ada kasih, tidak ada kepedulian. Saya hidup sebagai orang angkuh, merasa tidak butuh orang lain dan seenaknya menghamburkan apa yang saya punya, karena merasa bahwa itu mutlak hak saya atas hasil usaha sendiri. Sampai pada suatu ketika Tuhan mengguncangkan kemapanan semu itu. Semua habis ludes, saya bangkrut, ditambah ibu yang sakit keras dan koma hingga akhir hayatnya. Disana hidup saya bagai dijungkir balikkan dalam waktu sangat singkat. Butuh waktu lama untuk membangun hidup kembali. Untungnya dalam titik nadir itu saya mengalami perjumpaan dengan Yesus dan kemudian bertobat. Proses untuk mengenalNya tidak sebentar, dan anehnya, justru saat saya menerimaNya sebagai Tuhan dan Juru Selamat hidup justru terasa sangat berat. Bertahun-tahun saya dibentuk ulang, pengikisan karakter, sifat dan sikap buruk berlangsung menyakitkan. Dahulu disanjung, sekarang dihina. Dahulu semuanya mudah, sekarang bukan main sulitnya. Dahulu tinggi hati, sekarang ada banyak alasan yang bisa membuat harga diri amblas sampai ke titik nol. Hari ini kalau saya masih berdiri dan bisa melayani teman-teman lewat tulisan setiap hari, itu karena karunia Tuhan. It's all because of His grace. Hari ini kalau saya punya seorang istri yang sangat luar biasa, sebuah rumah sederhana tapi sangat nyaman, kendaraan untuk bepergian, semua karena karuniaNya. Kalau saya hari ini bisa memiliki kuasa untuk menikmati yang membuat hidup terasa indah tanpa tergantung dari kondisi faktual sehari-hari yang tetap ada masalahnya sendiri-sendiri, itu pun karena kebaikan Tuhan. Satu hal yang saya akan selalu syukuri bukanlah saat hidup sedang diatas, tetapi justru pada saat saya berada pada situasi tersulit dalam hidup. Saat saya tertindas, saat saya terpuruk, saat saya tidak lagi bisa mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri sendiri. Saat saya tidak lagi bisa melakukan apa-apa, disanalah saya belajar menyerahkan diri kepada Tuhan, belajar ketetapan-ketetapanNya dan kemudian mengalami sendiri bagaimana hebatnya Tuhan dalam membentuk ulang pribadi yang sudah terlanjur hancur untuk menjadi sebuah ciptaan baru. Waktu dialami tidak enak, tapi hari ini saya sangat bersyukur pernah mengalaminya. Tanpa itu, saya tidak akan menjadi siapa diri saya hari ini.

Tertindas itu ternyata ada baiknya. Rasa sakit ternyata bisa membuat kita belajar banyak hal, mendewasakan dan membentuk karakter yang jauh lebih kuat dan bijaksana dari sebelumnya. Seringkali manusia dengan segala kebandelannya harus belajar lewat rasa sakit untuk bisa mengerti. Orang tidak akan bisa naik sepeda kalau belum pernah terjatuh, orang sulit menghargai kesehatan sebelum merasakan sakit. Kita tidak tahu perihnya terbakar kalau belum merasakan panasnya api. Jadi ada waktunya kita memang perlu merasakan penderitaan, sehingga kita bisa menghargai yang namanya kebahagiaan dengan baik. Ada banyak pelajaran yang hanya bisa kita peroleh melalui penderitaan, saat tertindas atau kegagalan. Tuhan ternyata bisa memakai keadaan itu untuk mengoreksi kita.

Hal itulah yang disadari Daud. Seperti kita, Daud pun pernah mengalami banyak ketidakadilan, penindasan dan kesukaran. Bedanya, Daud tidak terfokus pada penderitaan tapi ia mendapatkan pemikiran positif dengan menyadari bahwa itu adalah saatnya untuk belajar. Katanya: "Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu." (Mazmur 119:67). Lantas ia melanjutkan: "Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu." (ay 71). Daud menyadari bahwa berada dalam posisi tertindas itu bukan berarti bahwa hidupnya tamat, kesempatan tertutup, tapi justru semua itu merupakan waktunya untuk belajar ketetapan-ketetapan Tuhan, mengalami pembentukan karakter agar lebih dewasa, menyadari bahwa ia harus belajar untuk mengandalkan Tuhan dan berhenti bergantung pada kekuatan manusia yang terbatas.

Benar, saat mengalami bukan main perih rasanya. Kabar baiknya, seperti pengalaman saya sendiri, ternyata Tuhan tidak membiarkan kita sendirian melewati penderitaan. Dia senantiasa menyertai kita dalam situasi sesulit apapun kalau kita mau belajar mengandalkanNya. "Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati" (Ulangan 31:8). Sewaktu-waktu Dia memberikan kekuatan, ketegaran bahkan kelegaan, sehingga saya bisa melewati proses pembentukan itu sepenuhnya. Tuhan juga sudah berjanji bahwa sekalipun kita harus berjalan dalam lembah kekelaman, gada dan tongkatNya akan selalu beserta kita, menjauhkan kita dari bahaya dan mendatangkan penghiburan (Mazmur 23:4). Daripada membiarkannya berjalan sia-sia dan hanya dipenuhi rasa sakit, mengapa kita tidak manfaatkan keadaan tertindas yang penuh penderitaan sebagai sebuah proses untuk belajar patuh mengikuti firman Tuhan. Dan lihat apa kata Tuhan ketika hidup kita berkenan padaNya. "TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya." (Mazmur 37:23-24). Cara pandang dalam menyikapi hidup akan sangat berperan, apakah kita hanya akan menjadikannya sebagai momen kejatuhan kita atau justru kebangkitan kita menuju hari depan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Jika ada di antara anda saat ini yang tengah merasakan penderitaan atau berada dalam keadaan tertindas, belajarlah banyak akan ketetapanNya. Pakailah itu sebagai momen untuk membentuk diri untuk menjadi pribadi-pribadi pemenang. Tuhan bisa memakai masalah sebagai sarana untuk mengoreksi kita dan membentuk ulang diri kita. Lewat penindasan atau penderitaan Tuhan bisa mengikis ego kita, membuat kita menjadi pribadi baru yang seturut dengan kehendakNya. Jangan sia-siakan, jangan keraskan hati, jangan buru-buru negatif apalagi menyalahkan Tuhan. Pada suatu hari nanti, saya percaya seperti saya, anda akan bersyukur pernah dilatih Tuhan melalui penindasan atau masalah untuk menjadi pribadi yang kuat, tegar dan taat, yang mengalami kasih Tuhan yang luar biasa dalam banyak hal serta memiliki kerinduan pula untuk menjadi umatNya yang mewakili otoritas Kerajaan dalam menyatakan kasih di muka bumi ini.

Bad situations can be a way to experience real victory

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, August 27, 2014

Ada Banyak UmatKu di Kota Ini

Ayat bacaan: Kisah Para Rasul 18:10
===========================
"...banyak umat-Ku di kota ini."

Ada seorang musisi senior yang kiprahnya sudah sangat lama, setidaknya ia sudah aktif di era 70an. Saya bertemu dengannya belum lama ini saat ia tampil dalam sebuah acara. Hari itu hari sabtu dan konser selesai saat hari sudah sangat larut malam. Saat itu sembari ngobrol santai ia terlihat agak tergesa-gesa mengumpulkan instrumen dan barang-barangnya. Ketika saya tanya kenapa ia tidak menginap saja semalam sebelum kembali ke kota tempat tinggalnya, sambil tersenyum ia berkata bahwa ia harus segera pulang karena di pagi hari ia harus melayani di gereja, sebuah kegiatan rutin yang sudah ia jalani selama puluhan tahun. Wah, luar biasa. Ketika orang berpikir bahwa dunia hiburan bergelimang dosa dan kesesatan, ternyata orang-orang yang masih aktif sebagai pelayan Tuhan pun tetap ada disana. Bukan hanya musisi senior ini saja, tapi ada banyak lagi, bahkan diantaranya musisi yang saat ini tengah berada di puncak ketenaran, mereka masih tetap menyediakan waktu untuk melayani.

Ada kalanya kita harus masuk ke lingkungan yang baru yang secara umum tidak mendukung pertumbuhan iman. Bisa jadi disana pergumulan akan banyak kita alami, mungkin kita bisa merasa terasing. Tapi seburuk-buruknya sebuah lingkungan, tetap saja akan ada orang-orang percaya yang hidup benar berada disana. Mungkin jumlahnya tidak banyak, tetapi akan selalu ada sahabat-sahabat seiman untuk sharing dan saling menguatkan dimanapun kita ditempatkan. No matter what, how and where, We're never alone, because God still has His people wherever we go.

Paulus pernah mengalami perasaan terasing seperti itu saat ia mendarat di Korintus, sebuah kota yang terletak di Yunani. Pada masa itu Korintus dikenal sebagai kota yang memiliki moral buruk dan gemar melakukan kejahatan termasuk didalamnya korupsi. Itu bukanlah tempat yang bersahabat bagi orang percaya, apalagi bagi Paulus yang memiliki panggilan untuk mewartakan Kabar Keselamatan dimanapun ia sampai. Melakukan itu di kota yang terkenal buruk akhlaknya? Salah-salah hidupnya bisa berakhir disana. Paulus merasakan hal itu. Tuhan tahu itu dan menganggap penting untuk meneguhkannya. "Pada suatu malam berfirmanlah Tuhan kepada Paulus di dalam suatu penglihatan: "Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam!" (Kisah Para Rasul 18:9). Tuhan menguatkannya terlebih dahulu dan memintanya untuk terus maju. Bukan hanya menguatkan, tapi Tuhan pun memberikan alasannya. "Sebab Aku menyertai engkau dan tidak ada seorangpun yang akan menjamah dan menganiaya engkau, sebab banyak umat-Ku di kota ini." (ay 10). Kita bisa melihat bagaimana Tuhan mengingatkan Paulus bahwa meski berada disebuah kota yang tidak kondusif dan beresiko tinggi, dia tidak sendirian berada di kota itu. Bukan saja Tuhan sendiri mengingatkan bahwa Dia selalu menyertai Paulus, tetapi ada banyak umat Tuhan lainnya yang sesungguhnya berada di kota itu. Hanya saja Paulus mungkin belum bertemu atau melihat mereka, karena ia baru saja tiba disana. Oleh karena itu Paulus tidak perlu merasa was-was dan sendirian berada di sebuah kota dengan kondisi moral yang buruk karena ia akan tetap punya orang-orang yang akan terus mendukung dan menguatkannya selain tentunya Tuhan sendiri.

Dari pengalaman Paulus ini kita bisa melihat meskipun kita berada dalam sebuah kota atau lingkungan yang sama sekali asing bagi kita, meski situasinya terlihat buruk, sesungguhnya Tuhan tetap berada bersama kita, dan saudara-saudari seiman pun tetaplah ada disana. Apa yang perlu kita lakukan adalah menemukan dimana mereka berada. Kita tidak akan bisa menemukan mereka kalau kita masih bersikap eksklusif atau punya pribadi tertutup. Kita harus mau membuka diri, lalu saling dukung, saling bantu dan bekerjasama dengan mereka agar bisa tumbuh bersama. Dari sanalah kita kemudian akan mampu berbuat sesuatu bagi Kerajaan Allah dalam sebuah jaringan kerjasama yang kuat, menjadi terang dan garam yang akan memberkati orang, lingkungan, kota, bangsa atau bahkan dunia.

Jika ada diantara teman-teman yang mungkin baru pindah ke sebuah kota lain atau negara lain dan merasa kesepian disana, atau mungkin anda tengah berada di sebuah lingkungan yang sepertinya sulit, ingatlah bahwa anda tidak pernah sendiri. Hari ini Tuhan mengingatkan anda secara khusus bahwa anda sebenarnya tidaklah pernah sendirian. Selain Tuhan berdiri disamping anda, selalu ada saudara-saudari seiman yang akan anda temukan seandainya anda mau membuka diri, berkenalan dan bersahabat dengan mereka. Sekalipun jika anda pindah ke sebuah lokasi baru dan sulit menemukan cabang dari gereja anda sebelumnya atau minimal yang sejenis, ingatlah bahwa di dalam Kristus kita semua bersaudara, terlepas dari denominasi apa yang anda anggap mampu mendukung pertumbuhan iman anda hingga kini. Tidak ada yang kebetulan bahwa kita ditempatkan Tuhan pada sebuah tempat tertentu dimana kita berada hari ini, dan untuk itu Tuhan pun sudah merencanakan segalanya dengan sangat baik, termasuk di dalamnya menempatkan saudara-saudari seiman yang akan bisa saling berbagi, mengingatkan dan menguatkan di tempat yang sama. Kita tidak pernah direncanakan Tuhan sebagai mahluk individual yang anti-sosial, Tuhan justru menginginkan kita untuk menjadi orang-orang yang mau menjalin pertemanan atau persaudaraan dengan siapapun tanpa terkecuali. Jika anda baru saja pindah atau memasuki dunia yang sama sekali asing bagi anda, pergunakan waktu-waktu yang ada untuk berkenalan dengan banyak orang. Temukanlah umat Tuhan lainnya dan bertumbuhlah bersama. Jangan khawatir, apalagi takut, karena Tuhan sudah berkata "Jangan takut...sebab banyak umatKu di kota ini."

Temukan umat Tuhan lainnya dan bertumbuhlah bersama-sama

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, August 26, 2014

Paulus dan Keteladanan

Ayat bacaan: 1 Korintus 4:16
====================
"Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!"

Seperti apakah orang yang bisa dijadikan teladan? Kata teladan biasanya mengacu kepada sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh seperti dalam sifat, sikap, perbuatan, perilaku dan sebagainya. Benar, ada banyak orang yang keliru mengambil figur panutan dan 'meneladani' perilaku-perilaku buruk dari figur yang diidolakan. Misalnya musisi yang hidupnya penuh dengan obat-obat terlarang, hubungan bebas dan sebagainya, atau malah tokoh dunia yang terkenal kejam dan sudah membantai begitu banyak jiwa yang mereka anggap akan membuat mereka keren di mata orang lain. Ada saja memang orang yang seperti itu, tetapi itu bukanlah sebuah keteladanan menurut pengertian sebenarnya. Seorang yang bisa dijadikan panutan atau teladan adalah orang yang terus menanamkan nilai-nilai kebenaran, budi pekerti dan berbagai kebaikan lainnya yang bukan hanya sebatas ajaran lewat kata-kata saja tetapi tercermin langsung dalam keseharian hidup mereka. Artinya, orang-orang yang menjadi teladan adalah orang berintegritas yang punya kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Itu sebabnya untuk menjadi teladan bukanlah perkara mudah. Bila dalam mengajar kita hanya perlu membagikan ilmu dan pengetahuan lewat perkataan, tetapi dalam menerapkan keteladanan kita harus mengadopsi langsung seluruh nilai-nilai  yang kita ajarkan untuk tampil secara langsung dalam perbuatan kita. Ada orang-orang yang mampu menunjukkan nilai-nilai kebenaran dalam hidupnya sehingga mampu memberi pengajaran tersendiri meski tanpa mengucapkan kata-kata sekalipun. Sebaliknya ada orang yang terus berbicara tapi hasilnya tidak maksimal karena tidak disertai dengan contoh nyata dari cara atau sikap hidupnya.

Ada banyak orang tua yang kecapaian akibat terlalu sibuk bekerja hanya akan memarahi anak-anaknya tanpa memeriksa terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Di satu sisi mereka melarang ini dan itu, tapi di sisi lain mereka melanggar sendiri peraturan yang mereka buat. Saya orang tua, terserah saya. Kamu masih anak kecil, harus menurut. Titik. Ini bukanlah sikap orang yang bisa dijadikan teladan karena hanya memerintah tanpa mencontohkan. Anak pun akan sulit belajar tentang kebenaran jika berada dalam bentuk keluarga otoriter yang mementingkan posisi atau status seperti itu. Agar bisa menjadi teladan itu berat dan seringkali butuh pengorbanan. Kalau anda mengajarkan bahwa tidak baik untuk cepat marah, anda harus terlebih dahulu menunjukkan kesabaran, bukan malah menunjukkan betapa pendeknya sumbu kesabaran anda. Kalau anda mengajarkan harus hidup jujur dan bersih, anda harus terlebih dahulu melakukannya tanpa syarat, bukan mencari alasan karena terpaksa dan sebagainya. Kalau anda mengajarkan harus rajin membangun hubungan dengan Tuhan, anda harus mencontohkannya dan bukan hanya menyuruh tapi sendirinya malas karena merasa tidak lagi punya cukup waktu untuk itu. Ada seorang pengusaha yang saya kenal pernah berkata bahwa urusan doa adalah urusan istri, sementara dia tugasnya memenuhi kebutuhan akan materi. Ketika saya tanyakan apakah anak laki-lakinya yang masih kecil ia ajarkan untuk rajin berdoa sejak di usia kecil, ia berkata dengan bangga: "tentu saja." Disini bisa kita lihat contoh orang yang meski mengajarkan anaknya tentang hal benar tapi ia sendiri tidak memberi keteladanan. Atau ada pula yang rajin berdoa tapi dalam hidup sehari-hari perilakunya buruk dan secara transparan dilihat oleh anak-anaknya. Ini tidak akan baik bagi pertumbuhan spiritual dari si anak.

Pada suatu kali Paulus berkata dengan tegas kepada jemaat Korintus: "Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (1 Korintus 4:16). Hanya sebuah kalimat singkat dan sederhana, tapi kalau kita renungkan tidaklah ringan. Paulus tidak mungkin berani berkata seperti itu apabila ia tidak atau belum mencontohkan apapun yang ia sampaikan mengenai kebenaran firman Tuhan. Tapi kita tahu seperti apa cara hidup Paulus. Ia mengalami perubahan hidup 180 derajat dalam waktu relatif singkat. Dari seorang penyiksa orang percaya, ia berubah menjadi orang yang sangat radikal dan berani dalam menyebarkan Injil keselamatan. Ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk pergi ke berbagai pelosok dalam menjalankan misinya bahkan sampai menjejaki Asia kecil. Tidak ada pesawat waktu itu yang mampu mengantar orang dalam waktu singkat, tidak ada pula sarana internet yang memungkinkan orang bisa berhubungan tatap muka secara langsung meski berada jauh satu sama lain seperti chatting, teleconference dan sebagainya. Di saat seperti itu ia justru masih harus bekerja demi membiayai keperluan pelayanannya. Bisa kita bayangkan bagaimana beratnya perjuangan Paulus. Cobalah letakkan diri kita pada posisinya, rasanya kita bisa stres, depresi dan sebagainya diterpa kelelahan dan tekanan dalam menghadapi hari demi hari. Atau mungkin saja kita merasa kecewa dan tawar hati karena apa yang dialami berbeda dengan yang diharapkan.

Tapi Paulus bukanlah orang yang punya mental seperti itu. Ia tahu diatas segalanya anugerah keselamatan yang ia terima merupakan sebuah anugerah yang luar biasa besar sehingga ia ingin melihat banyak orang lagi bisa mengikuti jejaknya. Ia memang berkeliling menyampaikan berita keselamatan, tetapi yang jauh lebih penting adalah ia mencontohkan sendiri aplikasi kebenaran dalam hidup lewat cara hidupnya. Ia benar-benar menghayati keselamatan yang diperolehnya dengan penuh rasa syukur dan mempergunakan seluruh sisa hidupnya secara penuh hanya untuk Tuhan. Dalam menjalankan misinya Paulus mengalami banyak hal yang mungkin akan mudah membuat kita kecewa apabila berada di posisinya. Tetapi tidak demikian dengan Paulus. Lihatlah apa yang ia katakan: "Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah." (1 Korintus 4:11-13a). Wow, lihatlah bagaimana contoh yang ia berikan dalam menghadapi tekanan dan siksaan. Ia tetap memberkati walau dimaki, ia tetap sabar walau dianiaya, ia tetap ramah meski difitnah. Itu bukan hanya sebatas pengajaran lewat perkataan saja melainkan ia tunjukkan langsung dengan perbuatan nyata. Kita bisa melihat sendiri bagaimana karakter dan sikap Paulus dalam menghadapi berbagai hambatan dalam pelayanannya. Apa yang ia ajarkan semuanya telah dan terus ia lakukan sendiri dalam kehidupannya. Oleh sebab itu pantaslah jika Paulus berani menjadikan dirinya sebagai teladan seperti yang tertulis pada ayat bacaan hari ini.

Dalam masa hidupNya yang singkat di muka bumi ini, Yesus pun menunjukkan hal yang sama. Segala yang Dia ajarkan telah Dia contohkan secara langsung pula. Lihatlah sebuah contoh dari perkataan Yesus sendiri ketika ia mengingatkan kita untuk merendahkan diri kita menjadi pelayan dan hamba dalam Matius 20:26-27. Yesus berkata: "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (ay 28). Apa yang diajarkan Yesus telah Dia contohkan pula secara nyata. Ketika Yesus berkata "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu." (Yohanes 15:12), kita pun lalu bisa melihat sebesar apa kasihNya kepada kita. Yesus mengasihi kita sebegitu rupa sehingga Dia rela memberikan nyawaNya untuk menebus kita semua. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (ay 13). Yesus membuktikannya secara langsung lewat karya penebusanNya.

Jauh lebih mudah untuk menegur dan menasihati orang ketimbang menjadi teladan, karena sebagai teladan sikap kita haruslah sesuai dengan perkataan yang kita ajarkan.  Sikap hidup yang sesuai dengan pengajaran seperti itu sudah semakin sulit saja ditemukan hari ini. Tuhan menghendaki kita semua agar tidak berhenti hanya dengan memberi nasihat, teguran atau pengajaran saja, melainkan menjadi teladan dengan memiliki karakter, gaya hidup, sikap, tingkahlaku dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang kita katakan. Alkitab mengatakan : "Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu" (Titus 2:7) Kita dituntut untuk bisa menjadi teladan di muka bumi ini. Sesungguhnya itu jauh lebih bermakna ketimbang hanya menyampaikan ajaran-ajaran lewat perkataan kosong. Sebagai orang tua, abang, kakak, dan teman kita harus sampai kepada sebuah tingkatan untuk menjadi contoh teladan. Tetapi tugas menjadi teladan pun bukan hanya menjadi keharusan untuk orang-orang tua saja. Sejak muda pun kita sudah bisa, dan sangat dianjurkan untuk bisa menjadi teladan bahkan bagi orang-orang yang lebih tua sekalipun. Firman Tuhan berkata: "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12).

Kalau Paulus bisa dengan berani meminta jemaat di Korintus untuk meneladani cara hidup dan perbuatannya, mengapa kita tidak? Sebuah kehidupan yang mengaplikasikan firman secara nyata akan mampu berbicara banyak. Hal keteladanan sangatlah penting karena orang cenderung lebih mudah percaya dan menerima sebuah kebenaran yang dipraktekkan secara langsung ketimbang hanya lewat kata-kata atau teoritis saja. Orang yang hidup sesuai kebenaran akan memiliki banyak kesaksian untuk dibagikan yang sanggup mengenalkan kebenaran kepada orang-orang yang belum mengetahuinya. Tidak perlu muluk-muluk, hal-hal sederhana saja bisa menjadi sebuah bukti penyertaan Tuhan yang luar biasa yang mampu menjadi berkat bagi orang lain. Seperti apa karakter yang kita tunjukkan hari ini? Apakah kita sudah atau setidaknya tengah berusaha untuk menjadi teladan dalam berbuat baik atau kita masih hidup egois, eksklusif, pilih kasih, kasar, membeda-bedakan orang bahkan masih melakukan banyak hal yang jahat meski kerap mengajarkan kebaikan? Sadarilah bahwa cara hidup kita akan selalu diperhatikan oleh orang lain. Anak-anak kita akan melihat sejauh mana kita melakukan hal-hal yang kita nasihati kepada mereka, begitu juga dengan teman-teman dan orang-orang di sekitar kita. Menjadi teladan adalah sebuah keharusan, marilah kita terus melatih diri kita untuk menjadi teladan seperti yang dikehendaki Tuhan atas anak-anakNya.

"Example is not the main thing in influencing others. It's the only thing" - Albert Schweitzer, ahli teologia/filsuf asal Jerman, misionaris di Afrika

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, August 25, 2014

Menjadi Teladan dalam Berbuat Baik

Ayat bacaan: Titus 2:7
================
"Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik."

Secara teoritis begini, pada prakteknya begitu. Ketidaksesuaian antara teori dan praktek menjadi hal yang biasa terjadi dalam hidup manusia. Peraturan sedianya dibuat untuk membuat kita menjadi lebih baik, tapi bagi banyak orang peraturan ada untuk dilanggar. Contoh sederhana saja, ada berapa banyak diantara kita yang tetap mematuhi lampu merah saat malam hari yang sepi, tidak ada polisi disana? Pada hakekatnya lampu merah harus dipatuhi agar kita terhindar dari kecelakaan dan mencelakakan orang lain, tapi orang lebih takut rugi ditilang polisi daripada mencegah terjadinya kecelakaan. Berbagai penyimpangan kebenaran menjadi hal yang sangat lumrah. Saking lumrahnya, justru orang yang mencoba hidup benarlah yang terlihat aneh. Tidak sedikit orang percaya yang bukannya menunjukkan pola hidup yang benar menurut Kerajaan Allah tapi malah menyerah ikut-ikutan prinsip dunia dalam memandang hidup. Orang tua melarang anaknya ini dan itu, tapi mereka sendiri melanggarnya didepan anak-anak. Di tengah dunia yang semakin jahat, dimanakah seharusnya orang percaya berdiri? Apakah memang jumlah orang percaya yang benar terlalu sedikit sehingga kita harus terlalu mudah menyerah dan mengikuti cara hidup orang dunia?

Kepada kita telah disematkan tugas mulia untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia, menjadikan seluruh bangsa sebagai muridNya. (Matius 28:19-20), menjadi saksi Kristus dimanapun kita berada, bahkan sampai ke ujung bumi. (Kisah Para Rasul 1:8). Tetapi bagaimana mungkin kita bisa menjalankan tugas ini hanya dengan menyampaikannya sebatas kata-kata saja? Meski kita terus menyampaikan firman Tuhan sampai berbusa sekalipun tidak akan membawa hasil apabila itu tidak tercermin dari sikap hidup kita. Itu hanyalah akan menjadi bahan tertawaan atau olok-olok dari orang yang disampaikan. Kita juga dituntut untuk menjadi terang dan garam dunia. (Matius 5:13-16). Garam tidak akan bermanfaat kalau tidak dipakai secara langsung dalam masakan dan hanya dibiarkan diam di dalam botol saja. Terang pun demikian. Lampu tidak akan bermanfaat kalau hanya disimpan, tidak dinyalakan atau tidak diletakkan pada posisinya. Semua ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kabar gembira yang kita sampaikan dengan bentuk perbuatan nyata yang harus tercermin lewat sikap hidup kita sendiri. Dengan kata lain, keteladanan lewat sikap dan perbuatan kita merupakan hal yang mutlak untuk kita perhatikan apabila kita ingin menjadi agen-agen Tuhan yang berfungsi benar di dunia ini.

Menjadi teladan, setting up examples through our own lives merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Dalam Titus 2 kita bisa membaca serangkaian nasihat yang menggambarkan kewajiban kita, orang tua, pemuda dan hamba dalam kehidupan. Pertama, kita diminta untuk memberitakan apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat. (Titus 2:1). Pria dewasa diminta untuk "hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan." (ay 2). Sementara wanita dewasa "hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang." (ay 3-5). Anak-anak muda diminta agar mampu "menguasai diri dalam segala hal". (ay 6). Semua pesan ini menunjukkan perintah untuk memberikan keteladanan secara nyata tanpa memandang usia, gender maupun latar belakang lainnya. Itulah yang akan mampu membuat ajaran yang sehat bisa diterima oleh orang lain secara baik dan membuahkan perubahan. Seruannya jelas: "dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik." (ay 7). Jadikan diri kita teladan, menjadi agen-agen Tuhan menyampaikan kebenaran lewat perbuatan-perbuatan baik yang merupakan buah dari keselamatan yang kita terima dalam Kristus.

Kalau kita mundur ke kitab Perjanjian Lama, perihal keteladanan juga telah disampaikan terutama ditujukan kepada orang tua. Ketika pesan "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun" (Ulangan 6:7) diberikan, itu kemudian disusul dengan keharusan untuk mengaplikasikan itu ke dalam kehidupan sehari-hari yang mampu memberikan teladan. "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9). Ayat ini berbicara dengan jelas mengenai keharusan kita untuk menunjukkan contoh secara langsung dalam hidup kita dan bukan hanya sebatas kata saja. Ini adalah hal yang wajib diaplikasikan setiap kehidupan anak-anak Tuhan. Kita tidak akan pernah cukup menyampaikan saja, tetapi terlebih pula harus mampu menunjukkan secara langsung melalui keteladanan lewat kehidupan kita.

Banyak yang mengira bahwa mewartakan kabar keselamatan hanya bisa dilakukan lewat kotbah panjang lebar, artinya menjadi tugas para pendeta atau pelayan Tuhan di gereja saja. Itu adalah pemikiran keliru, karena semua orang percaya wajib melakukannya. Bisa jadi sebagian dari kita tidak terlalu pintar berbicara, tetapi saat kita menunjukkan perbuatan-perbuatan baik yang sesuai dengan firman Tuhan kepada orang lain lewat keteladanan yang mencerminkan kebenaranNya, itu sudah lebih dari cukup untuk bisa memperkenalkan pribadi Kristus kepada orang lain. Anda akan jauh lebih mudah dalam menyampaikan kebenaran apabila hidup anda sudah mencerminkan kebenaran itu secara nyata. Bagaimana orang mau percaya kalau kita sendiri masih belum beres dan tidak punya kesaksian apa-apa? Dari pengalaman sendiri, dari kesaksian sendiri, semua akan menjadi bukti-bukti bahwa firman Tuhan mampu membawa banyak hal luar biasa ketika dipatuhi dan dijalankan dengan benar. Keteladanan kita akan mampu membawa sebuah perubahan besar dalam lingkungan di mana kita berada. Ada banyak orang yang mengaku anak Tuhan tetapi sama sekali tidak menunjukkan itu dalam perilaku dan perbuatan sehari-hari. Bukannya kesaksian yang datang, malah mereka menjadi batu sandungan. Bukannya menjadi teladan tapi malah ikut-ikutan melakukan perbuatan-perbuatan yang salah. Tuhan ingin kita menjadi teladan dalam perbuatan baik. Kita harus menunjukkan bahwa kita mampu. Ingatlah bahwa tindakan yang kita lakukan akan membawa dampak, apakah itu baik atau buruk, dan itu tergantung dari tindakan seperti apa yang kita lakukan. Mari hari ini kita menjadi anak-anak Allah yang mampu menjadi teladan, khususnya dalam menyatakan kasih dan perbuatan baik bagi orang-orang di sekitar kita.

Menjadi teladan dalam berbuat baik merupakan kewajiban dari umatNya

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, August 24, 2014

Menjauhkan Hukuman atas Bangsa

Ayat bacaan: Yoel 2:13
==================
"Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya."

Layaknya sebuah perjalanan hidup kita, perjalanan hidup bangsa dan negara pun penuh liku-liku dengan suka dan dukanya sendiri. Ada puluhan bahkan ratusan juta orang yang tinggal disana dengan tingkahnya masing-masing, tipe pemimpin pun berganti-ganti. Jika yang memimpin dan dipimpin mau bahu-membahu menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa dan memiliki roh yang takut akan Tuhan, apapun masalah yang dihadapi bisa segera terselesaikan. Disanapun Tuhan akan menjauhkan penghukuman dan akan menurunkan kasih setiaNya dengan berlimpah. Terkadang bisa jadi kita salah mengambil keputusan. Apa yang penting untuk diingat apabila kita sudah terlanjur salah dalam melangkah adalah tidak mempertahankan kesalahan dan malah melanjutkannya kepada sekuens kesalahan berikutnya tetapi segera menyadari dan bergegas untuk berbalik arah dan kembali kepada jalan yang benar.

Dalam renungan terdahulu kita sudah melihat bagaimana Daniel mendoakan bangsanya dengan mengambil posisi bukan sebagai orang luar tetapi sebagai bagian dari bangsanya sendiri dengan menggunakan kata 'kami' dalam doanya dan bukan 'mereka' yang tertulis dalam Daniel 19:1-9. Meski Daniel tidak ikut-ikutan berbuat kejahatan, tapi ia menyadari bahwa ia adalah satu dari sekian banyak orang yang hidup disana dan oleh karenanya sebagai orang benar ia mengambil bagian untuk mendoakan bangsanya, agar kiranya murka Allah menjauh dari bangsanya. Doa orang benar yang didoakan dengan yakin itu besar kuasanya (Yakobus 5:16), maka peran aktif orang percaya untuk mendoakan bangsanya akan sangat penting, selain tentunya turut berperan serta secara aktif dengan bentuk-bentuk perbuatan nyata yang sesuai dengan ketetapan Tuhan.

Contoh lainnya ada dalam kitab Yoel. Disana kita bisa melihat bagaimana mengerikannya hukuman Tuhan yang jatuh atas bangsa Yehuda. Disana kita melihat serbuan belalang yang menakutkan (Yoel 1:4), dimana serbuan belalang itu menimbulkan kerusakan sangat parah pada pertanian dan perekonomian mereka. (ay 7-12). Tidak ada lagi gandum, anggur dan minyak, sehingga mereka tidak bisa lagi mempersembahkan korban curahan. (ay 9-13). Menyikapi hal ini, Yoel menyampaikan seruan Allah pada mereka yang telah meninggalkanNya dan seperti Daniel, Yoel pun berdoa bagi semuanya. (ay 19). Yoel meminta bangsa Yehuda untuk melakukan tiga hal: meratap (ay 8,13), berkabung (ay 13) dan  puasa (ay 14). Yoel menyerukan agar bangsa Yehuda yang sudah terlanjur tersesat untuk segera berbalik kembali pada Tuhan dengan hati yang koyak, seperti yang saya ambil menjadi ayat bacaan hari ini. "Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya." (Yoel 2:13). Sebuah pertobatan dengan hati terkoyak punya kekuatan untuk mendorong Tuhan menghentikan hukuman kemudian mengembalikan belas kasihNya secara berlimpah untuk turun atas umatNya. Yoel 2:18-27 berbicara mengenai janji Tuhan yang luar biasa pada bangsa yang bertobat. Pemulihan luar biasa atas pertanian yang penuh kelimpahan, curah hujan yang cukup, kehormatan, semua akan mereka peroleh begitu mereka bertobat dengan sungguh-sungguh. Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh kasih, adil, setia dan selalu siap untuk mengampuni siapapun yang datang kepadanya dengan hati hancur untuk bertobat, meninggalkan kesesatan mereka dan kembali pada jalan yang benar, kembali kepada Tuhan.

Kita bisa saja berdalih bahwa sebagai kaum minoritas yang kerap mengalami tekanan dan ketidak-adilan, maka apapun yang diusahakan tidak akan bisa berdampak besar dalam mengatasi kondisi bangsa yang carut marut. Ini adalah pemikiran yang keliru, karena dari kisah Abraham dan kota Sodom saja kita bisa melihat bahwa jumlah orang percaya yang benar meski hanya 10 orang saja akan mampu membuat Tuhan mengurungkan niat untuk menghabisi kota tersebut beserta orang-orangnya. Itu bisa kita baca dalam Kejadian 18:16-33. Bayangkan sebuah kota yang sudah begitu parah kerusakan moralnya seperti Sodom saja bisa beroleh pengampunan jika ada orang yang benar-benar hidup menurut ketetapanNya disana. Artinya kita pun bisa melakukan sesuatu bagi bangsa ini, seandainya umat Allah yang hidup di dalamnya mau benar-benar hidup dengan benar, tidak menyimpang dari ketetapanNya melainkan melakukan semuanya dengan taat, bukan malah ikut-ikutan berbuat hal-hal buruk atau malah lebih parah dari perilaku jahat orang-orang yang tidak mengenal atau tidak takut akan Tuhan.

Ketika kita mendapati bangsa kita ada ditengah situasi sulit, terbelit masalah ekonomi, kesulitan hidup, kecelakaan bahkan bencana, lewat kitab Yoel ini kita bisa belajar sesuatu. Periksalah cara hidup, tingkah laku dan perbuatan. Apakah kita sudah berjalan bersama Tuhan, mentaati dan memprioritaskanNya dalam perjalanan hidup kita? Sudahkah kita mendengarkan Tuhan dengan serius karena kita sungguh mengasihiNya, atau kita tanpa sadar sudah begitu jauh menyimpang dari jalanNya? Seringkali kita terlalu mudah menyalahkan orang lain, tidak mau turut serta tapi hanya menimpakan kepada pemimpin, atau malah dengan berani menyalahkan Tuhan. Rentang jarak pemisah untuk datangnya pertolongan Tuhan bisa timbul sebagai akibat dari jarak antara perbuatan kita yang penuh dosa dengan tahtaNya. Alangkah baiknya sebelum menyalahkan siapa-siapa, kita terlebih dahulu melihat kembali dimana kita ada saat ini. Tidak pernah ada kata terlambat untuk bertobat. Bahkan dalam keadaan sangat hancur seperti bangsa Yehuda diatas sekalipun, belumlah terlambat untuk bertobat karena Tuhan akan segera mengampuni dan melimpahkan berkatNya segera begitu kita berbalik kembali kepadaNya. Kita harus datang menghampiriNy dengan hati terkoyak, hati yang hancur, yang berarti dengan segala kesungguhan meninggalkan segala perbuatan yang tidak berkenan di hadapan Allah. Ingatlah bahwa "Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." (Mazmur 51:19). Tuhan penuh kasih setia yang berlimpah dan tidak terbatas. Kesungguhan kita akan menjauhkan murkaNya dan mendatangkan berkatNya kepada bangsa.

Peran orang percaya yang benar sangat diperlukan untuk membenahi bangsa

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, August 23, 2014

Hidup sebagai Budak dalam Kemerdekaan

Ayat bacaan: Keluaran 1:11
========================
"Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses."

Adakah orang yang mau hidup dibawah tekanan perbudakan? Rasanya tidak ada. Semua orang menginginkan sebuah kemerdekaan seutuhnya dimana mereka bisa bebas dalam mengekspresikan diri tanpa paksaan, ancaman dan bentuk-bentuk represif lainnya. Lihatlah bagaimana pekik merdeka yang disertai wajah-wajah bahagia seperti yang terlihat pada film-film perjuangan kita dari masa ke masa. Salah seorang mantan pejuang kemerdekaan yang sudah sangat tua pernah bercerita pada saya bahwa pada saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, rasa plong, lega dan bahagia memang menyeruak di hati para pejuang di masa itu. Betapa tidak, mereka merasa tidak lagi perlu memanggul senjata mempertaruhkan nyawa, bisa tenang mengalami alam kemerdekaan bersama keluarga dan sebagainya. Kenyataannya bangsa kita masih harus mengalami masa-masa sulit di awal kemerdekaan tersebut dengan datangnya kembali tentara Belanda membawa sekutu-sekutunya dimana perang kembali pecah secara sporadis di beberapa daerah. Orang akan berperang melawan penjajahan. Orang akan memberontak dari perbudakan, kapanpun, dimanapun, itu akan selalu sama terjadi.

Bangsa Israel pun sempat mengalami masa-masa seperti itu. Seperti bangsa kita yang mengalami kerja paksa, mereka pun pernah mengalaminya ketika berada di bawah kekuasaan Mesir. "Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses." (Keluaran 1:11). Mereka diharuskan melakukan kerja rodi, alias kerja paksa yang diwajibkan oleh bangsa penjajah tanpa memperoleh upah apapun. Seperti apa beratnya an bagaimana mereka diperlakukan? "Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa orang Israel bekerja, dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata, dan berbagai-bagai pekerjaan di padang, ya segala pekerjaan yang dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka itu." (ay 13-14). Belakangan mereka pun kembali mengalami pembuangan di Babel dan kembali harus mengalami kerja paksa ini. Jelas menjadi budak terjajah seperti itu sangatlah menyakitkan. Pahit, getir, penuh penderitaan.

Tidak ada satupun orang yang mau mengalami itu. Tapi sadarkah kita kalau bisa jadi, tanpa sadar kita masih terbelenggu di alam kemerdekaan? Kita berpikir bahwa kita sudah merdeka, tetapi sebenarnya kita masih berada dibawah perbudakan. Dengan menerima Kristus kita bukan saja diselamatkan tetapi juga dimerdekakan dari berbagai kuk perhambaan (Galatia 5:1). Kita pun sudah menerima anugerah hidup baru di dalam Kristus (2 Korintus 5:17). Itu benar adanya. tetapi kalau kita tidak sadar, jangan-jangan  kita masih terbelenggu oleh dosa-dosa atau kebiasaan buruk kita di masa lalu atau masih berada dibawah pengaruh si jahat yang terus menggoda kita melakukan berbagai pelanggaran. Bila ini yang terjadi maka status merdeka kita pun hanya tinggal status, karena kenyataannya kita masih terjajah dan terbelenggu oleh berbagai hal buruk, masih diperbudak oleh iblis dan terus menjadi hamba dosa. Ikatan ini bisa begitu kuat sehingga seperti bangsa Israel kita pun masih berpikir untuk lebih memilih menjadi bangsa terjajah ketimbang keluar dan menuai janji Tuhan. Lihat bagaimana bangsa Israel bersungut-sungut. "Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini." (Keluaran 14:12). Kita mungkin tertawa melihat kebodohan mereka, tapi bisa jadi kita pun masih bertindak seperti itu. Gelimang dosa dan kebiasaan buruk terkadang terasa begitu nikmat, sehingga kita lebih memilih untuk membiarkan diri kita binasa ketimbang berbalik untuk mengikuti jalan Tuhan dengan penuh ketaatan. Sebagian dari kita terus melakukan kerja rodi tanpa henti, mengorbankan segalanya demi memenuhi kebahagiaan menurut ukuran-ukuran dunia. Betapa berbahayanya dan ironis apabila kita yang seharusnya sudah merdeka masih memilih hidup di bawah standar perbudakan.

Lewat Kristus sesungguhnya kita sudah diberikan kemerdekaan, bukan kemerdekaan yang ala kadarnya tapi sebuah kemerdekaan yang sebenar-benarnya."Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka." (Yohanes 8:36). Benar-benar merdeka, bayangkanlah itu. Itu bukanlah sekedar omongan belaka, tetapi merupakan sebuah anugerah luar biasa yang sudah diberikan kepada kita. Masalahnya adalah, apakah kita benar-benar mau menghargai kemerdekaan sebenar-benarnya itu secara sungguh-sungguh atau kita masih memilih hidup di bawah perbudakan, menjadi hamba dosa, menjadi tawanan iblis?

Maka Paulus turut mengingatkan hal ini. "Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran." (Roma 6:18). Hal ini dia ingatkan kepada jemaat Roma agar mereka sadar akan kelemahan mereka. "Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu. Sebab sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kamu kepada pengudusan." (ay 19). "Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran...Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal." (ay 20, 22). Dan ia menambahkan sesuatu yang sangat jelas: "Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita." (ay 23). Ya, dalam Yesus Kristus. Itulah satu-satunya jalan untuk bisa terbebas sepenuhnya dari jerat iblis dengan berbagai jebakan dosanya.

Lantas apa yang harus kita lakukan agar kita tetap bisa hidup dalam kemerdekaan? "Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan." (Roma 10:9-10). Itulah cara yang harus kita lakukan agar kita benar-benar bisa mengalami sebuah kemerdekaan secara utuh dan sepenuhnya. Tidak ada alasan bagi kita untuk terus hidup terjajah, karena bentuk kemerdekaan seutuhnya sudah diberikan pada kita lewat Kristus. Sudah selayaknya kita mensyukuri anugerah Tuhan yang luar biasa besar itu dengan hidup menjaga kekudusan dalam Yesus. Ingatlah bahwa kita adalah orang-orang merdeka. Oleh karenanya hiduplah sebagai orang merdeka dan tidak lagi tunduk kebiasaan-kebiasaan buruk yang mengarahkan kita ke dalam jurang kebinasaan sebagai orang-orang dibawah kendali si jahat.

Dalam Yesus kita menjadi orang-orang yang benar-benar merdeka, jangan mau lagi diperbudak oleh dosa

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, August 22, 2014

Cara Menyikapi Kemerdekaan

Ayat bacaan: Galatia 5:13
====================
"Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih."

Mumpung kita belum terlalu jauh memperingati hari Proklamasi kemerdekaan, kita rasanya perlu tahu bagaimana seharusnya sikap yang benar dalam menyikapi kemerdekaan. Bangsa kita sudah merdeka selama 69 tahun, lantas reformasi pun sudah berlalu 16 tahun. Hari ini orang bebas menyampaikan pendapat, unek-unek atau keluhan selama tidak dilakukan lewat tindakan-tindakan anarkis. Ada banyak orang yang kebablasan menyikapi kebebasan atau kemerdekaan dengan berbuat seenak jidat mereka. Mereka mengira kemerdekaan itu berarti mereka bebas melakukan apapun yang mereka inginkan. Kalau mau kasar boleh, kalau mau kejam juga boleh. Maka hari ini kita melihat keadaan yang bukannya baik tapi justru sulit dikendalikan. Pemaksaan kehendak, turuti saya atau saya akan melakukan kekerasan atau bahkan merasa berhak membunuh dengan membawa-bawa nama Tuhan sebagai pembenaran, bentuk-bentuk penekanan, penindasan dan lain-lain. Fanatisme tersalurkan lewat tindak-tindak kriminal, tidak ada lagi saling menghormati, saling menghargai apalagi saling mengasihi. Dalam banyak kasus pemerintah terkesan takut dan hanya melindungi kelompok-kelompok yang melanggar hukum dan kemanusiaan. Kelima sila Pancasila tidak lagi punya makna. Manusia tidak lagi adil, tidak beradab melainkan biadab, keadilan sosial hanya jadi jargon, musyawarah mufakat digantikan oleh pemaksaan kehendak oleh yang lebih kuat/mayoritas. Bagaimana seharusnya kita menyikapi kemerdekaan? Apakah kita harus ikut-ikutan seperti itu agar tidak terus menerus ditindas dan diperlakukan tidak adil? Apakah kita harus adu kuat? Adakah Alkitab mengajarkan kita akan cara menyikapi kemerdekaan yang sesuai dengan prinsip kebenaran Kerajaan Allah?

Tentu saja. Alkitab sudah lama mengajarkan mengenai bagaimana cara menyikapi kemerdekaan. Pada hakekatnya kita adalah orang-orang yang sudah dimerdekakan dari dosa dan berbagai kuk perhambaan oleh Kristus sendiri. Ayat dalam Galatia 5:1 berbunyi "Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan." Kalau memang mau merdeka, Yesus sudah memberikan itu. Karenanya jangan lagi mau diperbudak oleh berbagai dosa lewat keinginan-keinginan yang menyesatkan. Lalu Yesus juga berkata: "Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka." (Yohanes 8:36). Tuhan memberikan kebebasan untuk melakukan apa saja, baik dalam hal penggunaan waktu, bergaul, berusaha/bekerja/berbisnis, dan sebagainya. Tuhan tidak menciptakan manusia seperti robot, atau seperti kerbau dicocok hidung. Tuhan mengasihi kita dan menciptakan kita menurut gambar dan rupaNya sendiri sehingga Dia memberi kehendak bebas kepada kita. Itu artinya ada kemerdekaan yang diberikan kepada kita, yang harus disikapi dengan benar karena akan ada konsekuensi yang menyertai apapun keputusan yang kita ambil. Kita bisa hidup sesuai firman Tuhan dalam menyikapi kemerdekaan, tapi kita bisa pula terjerumus dalam berbagai bentuk dosa kalau memang itu yang kita pilih.

Maka Paulus pun mengingatkan seperti apa sebenarnya sebuah kemerdekaan dan bagaimana sikap kita seharusnya akan hal itu. "Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih." (Galatia 5:13). Benar bahwa Allah menyediakan pengampunan untuk dosa kita, tapi janganlah menyalahgunakan kasih Tuhan itu sebagai kesempatan untuk terus hidup dalam dosa. Menyikapi kebebasan atau kemerdekaan dengan beranggapan bahwa kita boleh berbuat seenaknya, merugikan orang lain karena merasa diri paling benar sendiri, hanya sibuk menuntut hak tanpa memikirkan kewajiban, memaksakan kehendak, merusak, menghancurkan, dan lain-lain bukanlah hal yang sesuai dengan kebenaran. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa mengelak dari konsekuensi akibat dosa-dosa yang kita lakukan. Dan pada saatnya nanti, segala perbuatan dan perkataan kita haruslah kita pertanggungjawabkan di hadapanNya. Paulus berkata, cara terbaik menyikapi kemerdekaan justru dengan mengaplikasikan atau menyatakan kasih dalam setiap kesempatan yang ada. Itulah cara terbaik yang tepat dan wajib dilakukan oleh orang-orang percaya.

Selanjutnya diingatkan pula pada kita: "Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah." (1 Petrus 2:16). Hidup sebagai orang merdeka adalah hidup sebagai hamba Allah, bukan seperti orang-orang yang menyalahgunakan kemerdekaan sebagai kesempatan untuk berbuat kejahatan. Lebih lanjut Petrus mengatakan: "Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!" (ay 17). Ini pesan penting dalam menyikapi kemerdekaan yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kita. Cukuplah orang-orang jahat yang menyusahkan negara dalam perjalanannya ke arah yang lebih baik, menghambat proses pembangunan dengan segala tingkah laku mereka yang mengganggu keamanan dan stabilitas. Jangan sampai kita pun ikut-ikutan menciptakan atau malah menjadi masalah. Jika hari ini Tuhan memberikan berkat kesehatan, keuangan, keluarga yang bahagia, pekerjaan yang baik dengan segala kebebasan yang ada di dalamnya, pergunakanlah itu semua dengan penuh tanggung jawab. Hiduplah dengan kasih, perhatikan apa yang bisa kita lakukan dan siapa yang bisa kita bantu dengan dasar kasih itu, hiduplah sebagai seorang hamba Allah, bukan sebagai preman atau berandal. Tetaplah berhati-hati dalam menyikapi kemerdekaan yang ada, jaga setiap langkah agar jangan sampai terjatuh pada berbagai perilaku sesat orang-orang yang keblinger menyikapi sebuah kemerdekaan.

Kemerdekaan harus disikapi secara benar, menghidupi kasih lewat peran aktif dan menjunjung tinggi prinsip hidup sebagai hamba Allah

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, August 21, 2014

Melakukan Hal Nyata Bagi Bangsa (4)

(sambungan)

3. Kesejahteraan kota adalah Kesejahteraan kita juga

Sangatlah menarik untuk dicermati bahwa Daniel menggunakan kata "kami" dan bukan "mereka". Daniel memiliki sebuah kerendahan hati untuk tidak bermegah diri meski dia sendiri sudah mengaplikasikan hidup benar dan akrab dengan Tuhan sejak semula. Daniel mengasihi bangsanya, ia peduli terhadap nasib bangsanya dan dalam doanya ia memakai kata 'kami' yang menunjukkan kesadarannya bahwa ia merupakan bagian dari bangsanya. Jika bangsanya menderita, ia pun akan turut menderita. Sebaliknya jika bangsanya makmur dan sejahtera, maka ia pun akan menjadi bagian yang bisa menikmati itu. Daniel mengerti bahwa meski ia tidak berbuat satupun kesalahan, tapi biar bagaimanapun ia tetap merupakan bagian yang terintegrasi dengan bangsa yang saat itu tengah memberontak, tengah berperilaku fasik, bangsa yang bergelimang perilaku menyimpang dan dosa. Selain itu, Daniel sadar betul bahwa jika bukan dia, siapa lagi yang harus berdoa agar malapetaka dan murka Tuhan dijauhkan dari bangsanya?

Lihatlah bagaimana Daniel berdoa. "Ya Tuhan, sesuai dengan belas kasihan-Mu, biarlah kiranya murka dan amarah-Mu berlalu dari Yerusalem, kota-Mu, gunung-Mu yang kudus; sebab oleh karena dosa kami dan oleh karena kesalahan nenek moyang kami maka Yerusalem dan umat-Mu telah menjadi cela bagi semua orang yang di sekeliling kami." (Daniel 9:16). Kemudian, "Oleh sebab itu, dengarkanlah, ya Allah kami, doa hamba-Mu ini dan permohonannya, dan sinarilah tempat kudus-Mu yang telah musnah ini dengan wajah-Mu, demi Tuhan sendiri. Ya Allahku, arahkanlah telinga-Mu dan dengarlah, bukalah mata-Mu dan lihatlah kebinasaan kami dan kota yang disebut dengan nama-Mu, sebab kami menyampaikan doa permohonan kami ke hadapan-Mu bukan berdasarkan jasa-jasa kami, tetapi berdasarkan kasih sayang-Mu yang berlimpah-limpah. Ya Tuhan, dengarlah! Ya, Tuhan, ampunilah! Ya Tuhan, perhatikanlah dan bertindaklah dengan tidak bertangguh, oleh karena Engkau sendiri, Allahku, sebab kota-Mu dan umat-Mu disebut dengan nama-Mu!" (ay 17-19). Dalam doanya, Daniel menempatkan diri dari bagian kota dan bangsanya. Ia tidak mengatakan 'mereka' tapi 'kami'. Artinya Daniel tahu bahwa kesejahteraannya akan sangat tergantung dari kesejahteraan dimana ia tinggal sekaligus menunjukkan bentuk cintanya terhadap kota dan bangsanya.

Seperti Daniel, kita sebagai anak-anak Tuhan pun seharusnya bisa melihat dari sisi yang sama. Jika bukan kita, siapa lagi yang bisa berdoa agar Tuhan menjauhkan segala malapetaka dari negara kita, agar Tuhan berkenan memberkati bangsa dan negara kita ini. Lantas jangan berhenti disitu, tapi lanjutkan pula dengan melakukan perbuatan-perbuatan nyata sesuai dengan panggilan masing-masing yang sesuai pula dengan kebenaran dan tidak melanggar ketetapanNya.

Sudahkah kita melakukan karya nyata bagi kota, bangsa dan negara kita? Sudahkah kita mendoakan para pemimpin?  Sudahkah kita menjadi anak-anak Tuhan yang tidak egois, tidak apatis dan peduli dengan kemakmuran serta kemajuan bangsa kita? Sudahkah kita ambil bagian sesuai porsi kita dan berdoa syafaat bagi bangsa kita? Sebagai anak bangsa, sudah selayaknya kita melakukan itu. Hendaklah kita sebagai orang percaya tampil menjadi warganegara yang baik. Hormati dan tunduklah pada pemimpin kita, jangan hanya mengeluh dan membuat segalanya semakin sulit. Sebab firman Tuhan berkata: "Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu." (Ibrani 13:17). Dan Petrus pun mengingatkan hal yang sama, untuk tunduk kepada pemerintah demi nama Allah. "Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi.." (1 Petrus 2:13).

Akan sangat membantu jika kita anak-anak Tuhan bersepakat untuk melakukan apa yang difirmankan Tuhan untuk kita lakukan. Dan tentu saja, berdoalah bagi bangsa. Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang termasuk bagi pemimpin-pemimpin kita dan juga untuk bangsa dan negara kita. Sedalam apa kita mencintai negeri ini? Betul, kondisi negeri ini masih jauh dari kondisi ideal. Masih begitu banyak yang harus dibenahi. Untuk itulah kita harus berperan serta, baik lewat perbuatan nyata maupun memanjatkan doa-doa syafaat bagi bangsa ini. Jadilah orang percaya yang peduli. Ingatlah bahwa kita diselamatkan untuk menjadi berkat buat orang lain, untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik yang bisa menyelamatkan orang lain (Efesus 2:10), termasuk buat bangsa dan negara kita.

Jadilah orang percaya yang peduli terhadap bangsa dan negara

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, August 20, 2014

Melakukan Hal Nyata Bagi Bangsa (3)

(sambungan)

2. Berdoa syafaat bagi kota, bangsa dan negara

Setelah 'mengusahakan kesejahteraan kota', selanjutnya ayat Yeremia 29:7 mengatakan "...dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN...". Doa syafaat untuk bangsa dan negara merupakan keharusan bagi setiap orang percaya. Sayangnya sedikit yang menyadari pentingnya hal ini dan lebih cenderung mengarahkan doa hanya dengan berpusat kepada keinginan-keinginan (wishlist) diri sendiri saja. Mengacu kepada ayat dalam Yeremia ini, mengusahakan kesejahteraan kota dan berdoa bagi kota (dan bangsa) merupakan kesatuan yang tidak boleh dipisahkan dan keduanya sama pentingnya. Untuk contoh kecil saja yang menggambarkan kepedulian orang percaya akan pentingnya berdoa bagi kota, bangsa dan negara ini, perhatikan berapa banyak jemaat yang masih bertahan dan berapa yang lebih memilih pulang duluan karena takut terjebak macet saat ibadah raya ditutup dengan doa bagi kota, bangsa, negara beserta para pemimpinnya? Itu bisa menunjukkan sebesar apa kepeduliaan dari orang percaya akan nasib kota, bangsa dan negaranya.

Mari kita lihat apa yang pernah dilakukan Daniel sekian ribu tahun yang lampau. Pada saat itu Daniel menyadari betapa bangsanya telah jatuh ke dalam begitu banyak kesalahan. Daniel mungkin bisa saja memilih diam mengingat dia bukanlah termasuk salah satu dari orang-orang dari bangsanya pada saat itu yang berbuat kejahatan di mata Tuhan. Tapi lihatlah bahwa Daniel memilih untuk melakukan sesuatu lewat doa. Dia mengambil waktu untuk berdoa bukan difokuskan untuk dirinya sendiri tetapi untuk bangsanya. Bacalah seluruh isi doa Daniel yang tertulis dalam Daniel 9:1-19 maka kita bisa melihat seperti apa bentuk doa yang ia tujukan bagi bangsanya.

Dalam surat untuk Timotius, Paulus mengatakan demikian: "Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan." (1 Timotius 2:1-2). Mengapa demikian? Karena "Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran." (ay 3-4). Tuhan tidak ingin satupun dari kita untuk binasa, Dia tidak pernah bersenang hati melihat kehancuran sebuah negara dan bangsa, karena Dia adalah Bapa yang penuh kasih. Keselamatan sudah dianugerahkan lewat Kristus untuk semua bangsa, semua golongan, semua ras, tanpa terkecuali. Tapi bagi yang sudah selamat, sudahkah kita meluangkan waktu untuk mendoakan bangsa kita sendiri? Kuasa doa itu sesungguhnya amat besar, apalagi jika dilakukan oleh orang yang benar. "Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." (Yakobus 5:16b).

(bersambung)

Tuesday, August 19, 2014

Melakukan Hal Nyata Bagi Bangsa (2)

(sambungan)

1. Do something real, work on it like you really mean it!

Pertama mari kita lihat dari segi urutan kata. Kata "dan" pada ayat ini menunjukkan adanya dua aktivitas berbeda namun saling berhubungan. Usahakanlah kesejahteraan kota, itu ditempatkan di depan, selanjutnya berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan. Artinya terlepas dari panggilan kita sebagai anak Tuhan untuk terus memanjatkan doa syafaat atas kota, bangsa dan negara kita, termasuk para pemimpin di dalamnya, adalah sangat penting pula bagi kita untuk melakukan sesuatu secara nyata demi kesejahteraan kota dimana kita tinggal. Sangat disayangkan melihat tidak banyak gereja yang mau keluar dari balik dinding-dindingnya untuk menjangkau kehidupan di luar tembok gereja dengan melakukan sesuatu secara nyata, bahkan tidak jarang pula melihat banyak gereja hari ini masih bergumul di lingkungannya sendiri, belum mampu mengatasi perbedaan dan mengedepankan persatuan yang jelas sangat diperlukan untuk bisa membawa perubahan-perubahan berarti di luar sana. Mendoakan itu perlu dan sesuai firman Tuhan. Tentu saja itu sangat benar. Tetapi firman Tuhan dalam Yeremia 29:7 mengajak kita untuk kembali menyadari apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan untuk kita lakukan. Seberapa jauh gereja dan jemaatnya hari ini mau berfungsi nyata dalam kehidupan disekitarnya demi mengusahakan kesejahteraan kota seperti panggilan Tuhan itu? Mendoakan itu sangat penting. Doa punya kuasa yang luar biasa, apalagi jika dilakukan oleh orang benar. (Yakobus 5:16b). Tapi sebuah tindakan nyata yang aktif juga merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kita pikirkan dan lakukan, begitu pentingnya bahkan kata "usahakan" itu diletakkan di depan.

Kata "mengusahakan" menurut kamus bahasa Indonesia mencakup 4 hal, yaitu:
- mengerjakan/menciptakan sesuatu
- mengikhtiarkan (berpikir dalam-dalam untuk mencari solusi)
- berusaha sekeras-kerasnya dalam melakukan sesuatu

Mengusahakan bukanlah sebuah hal yang sepele. Jika Tuhan meminta kita untuk mengusahakan kesejahteraan kota dimana kita ditempatkan, itu artinya poin-poin di atas haruslah mendapat perhatian penting bagi kita. Pola pikir diarahkan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup kita dan keluarga saja tetapi berbuat sesuatu sebagai bagian dari kontribusi dan peran serta kita secara aktif untuk pembangunan kesejahteraan di manapun kita ditempatkan. Masalahnya, mungkinkah kita mau melakukan dan memperjuangkan yang terbaik kalau kita tidak mengasihi seseorang? Demikian pula halnya dengan kota dan dalam skala lebih besar, bangsa.

Kita tidak akan pernah bisa tergerak untuk melakukan peran aktif demi kesejahteraan kota apabila kita tidak mengasihi kota dimana kita tinggal. Mungkinkah kita habis-habisan melakukan yang terbaik jika kita tidak mencintai seseorang? Tentu tidak, bukan?  Sama halnya seperti kota dan bangsa secara keseluruhan. Kita akan memiliki kerinduan untuk mengusahakan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan talenta yang kita miliki demi kesejahteraan kota kita hanya apabila kita mengasihi kota, bangsa dan negara kita, termasuk orang-orang yang hidup di dalamnya. Firman Tuhan sudah berkata bahwa "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (Efesus 2:10). Perhatikan bahwa segala yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan baik sudah dilengkapi oleh Allah lewat Kristus buat kita. Ini termasuk dalam mengusahakan kesejahteraan dan keselamatan bangsa. Dan Tuhan mengatakan bahwa Dia mau kita hidup di dalamnya. Kemampuan, kesanggupan, kekuatan dan bekal-bekal lainnya sudah Dia persiapkan. Tinggal kesediaan, kesadaran dan kesungguhan kita saja yang dibutuhkan. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk mengelak dari kewajiban ini. Jalani sesuai panggilan masing-masing. Perbuatan kecil atau besar bukan masalah, selama semuanya dilakukan demi kemuliaan Tuhan dan bukan atas motivasi-motivasi lain. It's time for us to do something real, work on it like we really, really mean it. 

(bersambung)

Monday, August 18, 2014

Melakukan Hal Nyata Bagi Bangsa (1)

Ayat bacaan: Yeremia 29:7
====================
"Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu."

69 tahun kita sudah merdeka, seperti apa bangsa kita saat ini? Secara hukum negara kita adalah negara yang berdaulat. Undang-Undang sudah dibuat dimana kesejahteraan rakyat atau warga negara yang hidup di dalamnya terjamin, mendapat kepastian hukum, keamanan dan keadilan. Selama 69 tahun negara ini berdiri, sudahkah semua itu ada? Jawaban mungkin beragam. Negara yang seharusnya makmur karena memiliki begitu banyak kekayaan alam ternyata masih terlilit hutang dan hasil buminya habis diporoti negara-negara lain yang lebih kuat. Harga bahan-bahan pokok atau kebutuhan primer terus ngebut naik sementara pendapatan merangkak kalau tidak bisa dibilang jalan di tempat atau bahkan menurun. Perlindungan kepada kaum minoritas masih terus menjadi kendala, ketidakberdayaan pemerintah menghadapi ormas-ormas atau kelompok-kelompok tertentu masih terlhat jelas, apalagi kalau mereka ini punya 'backing' kuat. Korupsi masih mewarnai berbagai lapisan dalam pemerintahan dari hulu sampai hilir. Semua masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dipikirkan agar bisa menjadi negara seperti yang dicita-citakan para pendirinya. Tapi tidak adil juga kalau kita hanya terus melihat sisi-sisi buruk. Hal yang positif adalah bahwa trend negara ini terus menuju kepada kondisi yang lebih baik. Munculnya orang-orang bersih yang diberi kesempatan untuk memimpin beberapa daerah ternyata membuka mata kita bahwa masih ada orang-orang berintegritas yang peduli terhadap nasib bangsa, tidak hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya saja tetapi mau mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadinya. Kepedulian terhadap penderitaan orang lain masih ada, dan orang-orang yang mengedepankan kebersatuan ditengah kemajemukan belum habis.

Bagaimana dengan kita? Kalau kita termasuk orang-orang yang memimpikan tatanan kehidupan yang jauh lebih beradab, lebih baik, lebih damai, lebih bersatu dan lebih-lebih positif lainnya, apakah kita sudah berbuat sesuatu untuk itu atau kita masih menjadi orang-orang yang hanya mengeluh tanpa mau mengambil langkah apapun? Ada orang yang pernah berkata kepada saya bahwa ia merasa tidak perlu berbuat apa-apa karena apalah artinya satu orang dibanding sekian ratus juta orang lainnya dalam membenahi perjalanan bangsa ini ke depan. Benarkah demikian? Salah seorang kandidat pemimpin negara pernah mengatakan bahwa ia mencoba terjun langsung ke gelanggang pemilihan karena ia tidak mau menjadi orang yang hanya berpangku tangan dalam impiannya akan sebuah negara yang lebih baik. Ia tidak mau hanya menjadi komentator atau jago mengeluh, tapi ia memilih untuk terjun langsung agar bisa membenahinya. Ini adalah sebuah sikap yang sangat baik karena Tuhan sendiri tidak mau kita hanya diam saja tetapi iman yang ada di dalam diri kita wajib dicurahkan lewat berbagai bentuk tindakan nyata. Mungkin kecil, mungkin terlihat tidak membawa perubahan apa-apa dalam waktu singkat, tetapi percayalah apapun yang baik yang kita lakukan sesuai dengan ketetapan dan kebenaranNya, seturut kehendakNya, sesuai panggilan kita masing-masing dan dilakukan demi namaNya tidak akan pernah berakhir sia-sia. Kalaupun di dunia ini belum berdampak besar, setidaknya di mata Tuhan itu akan punya nilai dan akan sangat diperhitungkan.

Firman Tuhan banyak berbicara akan hal ini. Bahkan ada ayat-ayat yang menggambarkan bahwa meski sedikit, kalau memang yang sedikit itu benar-benar mengamalkan firman Tuhan secara nyata, maka itu mampu mencegah turunnya murka Tuhan dan berkenan mencurahkan berkatNya bagi seisi bangsa. Itu bisa kita lihat lewat kisah pada saat Abraham memohon kepada Tuhan agar Dia mengurungkan niatNya memusnahkan Sodom beserta isinya dalam Kejadian 18. Abraham memohon: "Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?" (Kejadian 18:25). Tuhan meresponnya seperti ini: "Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka." (ay 26). Ternyata disana saat itu jumlah orang benar ada dibawah 50 orang. Tawar menawar terus terjadi, hingga "Katanya: "Janganlah kiranya Tuhan murka, kalau aku berkata lagi sekali ini saja. Sekiranya sepuluh didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan memusnahkannya karena yang sepuluh itu." (ay 32). Seandainya ada 10 orang saja yang sungguh-sungguh hidup benar maka Tuhan tidak akan menghukum Sodom sekeras itu. Mengingat bahwa Tuhan memutuskan untuk menghukum Sodom, artinya jumlah orang benar yang hidup disana sudah teramat sangat kecil, atau mungkin malah tidak ada sama sekali lagi. Padahal jika ada 10 orang saja, 10 orang benar, orang peduli dan tidak apatis, orang yang taat dan takut akan Tuhan, Tuhan akan mengampuni bangsa Sodom beserta semua orang yang hidup didalamnya.

Seperti apa orang benar yang dimaksud Tuhan ini? Orang benar bukanlah sekedar orang yang mengaku percaya saja tetapi mereka yang mengamalkan, menerjemahkan atau mewujudkan imannya ke dalam bentuk-bentuk perbuatan nyata. Bukan sekedar mengaku lantas di saat yang sama ikut melakukan perbuatan-perbuatan buruk, bukan sekedar mengaku lalu hidupnya masih sama sekali tidak mencerminkan pribadi Kristus, bukan pula orang-orang yang tampak seolah suci tetapi hanya diam saja tanpa melakukan apapun bagi bangsanya. Jadi bisa saja ada ribuan bahkan jutaan orang yang mengaku sebagai umatNya, tetapi kalau tidak berbuat apa-apa atau malah masih lemah sehingga terus terseret ke dalam berbagai penyimpangan kebenaran firman dan belum aktif sebagai pelaku firman, maka semuanya akan sia-sia saja.

Dalam kitab Yeremia ada sebuah ayat yang menunjukkan peran orang percaya dalam hubungannya dengan kesejahteraan kota dimana kita/mereka tinggal. "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu." (Yeremia 29:7). Bagi saya ayat ini berbicara sangat banyak meski bentuknya hanya terdiri atas satu kalimat singkat saja. Ijinkan saya mengulasnya satu persatu.

(bersambung)

Sunday, August 17, 2014

Membangun Karakter Berintegritas Tinggi

Ayat bacaan: 1 Raja Raja 3:6
===================
"Lalu Salomo berkata: "Engkaulah yang telah menunjukkan kasih setia-Mu yang besar kepada hamba-Mu Daud, ayahku, sebab ia hidup di hadapan-Mu dengan setia, benar dan jujur terhadap Engkau; dan Engkau telah menjamin kepadanya kasih setia yang besar itu dengan memberikan kepadanya seorang anak yang duduk di takhtanya seperti pada hari ini." 

Orang yang berintegritas sering digambarkan sebagai orang-orang yang perbuatannya sesuai perkataan, bertindak konsisten dengan menjunjung nilai-nilai luhur, mampu mengemban tanggung jawab, mengamalkan kebenaran tanpa syarat dan berbagai nilai moral lainnya. Ada yang menyebutkan integritas sebagai keterpaduan antara kesempurnaan dan ketulusan. Dalam sebuah kamus integritas didefinisikan sebagai 'the quality of being honest and having strong moral principles; moral uprightness', yang artinya punya kualitas untuk hidup jujur, memiliki prinsip moralitas dengan standar tinggi dan lurus. Begitu banyak nilai baik yang terkandung dari sebuah pribadi berintegritas yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang diadopsi dari prinsip dunia dalam memandang kebahagiaan saat ini, sehingga sulit sekali mencari orang yang masih memilikinya di tengah kehidupan global yang semakin jauh dari akhlak mulia dan budi pekerti. Alasan harus memenuhi kebutuhan atau beban hidup yang semakin meningkat, takut kehilangan kesempatan dan sebagainya akan dengan mudah menggeser prinsip-prinsip moral untuk menyerah kepada sikap-sikap oportunis, cari aman dan keuntungan sendiri, berpusat pada diri pribadi bahkan tega mengorbankan orang lain untuk itu. Berbohong menjadi sesuatu yang wajar, berbohong itu biasa. Banyak orang bermimpi untuk menikmati dunia yang lebih baik, lebih damai dan lebih bersahabat, tapi lucunya tidak menyadari bahwa tanpa membangun pribadi-pribadi yang berintegritas itu akan sangat sulit diwujudkan atau malah akan berakhir sebatas utopia saja.

Di masa mudanya, Salomo menunjukkan bentuk hidup yang menaati ketetapan-ketetapan Daud dengan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan kasihnya kepada Tuhan. Tuhan ternyata terkesan dengan sikapnya, dan pada suatu kali menampakkan diri kepada Salomo saat ia tengah berada di Gibeon untuk mempersembahkan korban. Bukan hanya menampakkan diri, tapi Tuhan juga memberi hadiah istimewa buat Salomo dengan berjanji akan memenuhi permintaan Salomo. Ini dicatat dalam kitab Raja Raja pasal 3. Bagaimana reaksi Salomo? "Lalu Salomo berkata: "Engkaulah yang telah menunjukkan kasih setia-Mu yang besar kepada hamba-Mu Daud, ayahku, sebab ia hidup di hadapan-Mu dengan setia, benar dan jujur terhadap Engkau; dan Engkau telah menjamin kepadanya kasih setia yang besar itu dengan memberikan kepadanya seorang anak yang duduk di takhtanya seperti pada hari ini." (1 Raja Raja 3:6). Perhatikan bahwa meski Salomo bisa meminta sesuatu yang instan yang dipandang dunia merupakan ukuran kebahagiaan, Salomo tidak meminta itu. Ia justru meminta hikmat agar ia bisa menjadi raja yang adil dan bijaksana agar ia sanggup menengahi berbagai problema rakyatnya dan memiliki kemampuan untuk menimbang mana yang baik dan jahat. Menariknya, saat ia menjawab pemberian Tuhan ini, ia mengacu kepada integritas ayahnya, Daud, yang ia lihat sendiri mendatangkan kasih setia Tuhan dengan sangat besar.

Seperti apa bentuk integritas Daud yang dilihat oleh Salomo? Perhatikan kembali ayat tadi, maka disana ada tiga elemen dari integritas yang disebutkan Salomo sebagai gaya hidup atau sikap ayahnya, yaitu (1) setia, (2) benar dan (3) jujur. Dari contoh nyata Daud, orang yang menghidupi ketiga elemen penting ini akan mendapatkan kasih setia Tuhan yang besar, dan itu dikatakan pula merupakan sebuah jaminan dari Tuhan. Setia, benar dan jujur merupakan elemen yang akan membentuk sebuah karakter berintegritas tinggi yang akan pula menuai segala kebaikan dari Tuhan. Salomo tahu itu karena ia sudah melihat sendiri buktinya dari apa yang dialami oleh ayahnya.

Pertanyaannya, apakah Daud menyadari pentingnya hal ini sehingga ia menghidupinya secara nyata dengan sungguh-sungguh? Adakah ayat dimana Daud menyebutkan hal itu? Ada. Mari kita lihat pandangan Daud akan pentingnya sebuah integritas, sebuah kebenaran yang ia dapatkan sehingga ia bisa teguh mengamalkan elemen-elemen integritas ini dalam hidupnya. Semua itu terangkum dalam Mazmur 15 yang isinya sangat pendek. Cuma ada 5 ayat disana tetapi apa yang terkandung di dalamnya sesungguhnya bernilai sangat tinggi mengenai karakter orang yang berintegritas dan bagaimana hal tersebut dimata Tuhan. Mari kita lihat isinya dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari.

"Mazmur Daud. TUHAN, siapa boleh menumpang di Kemah-Mu dan tinggal di bukit-Mu yang suci. Orang yang hidup tanpa cela dan melakukan yang baik, dan dengan jujur mengatakan yang benar; yang tidak memfitnah sesamanya, tidak berbuat jahat terhadap kawan, dan tidak menjelekkan nama tetangganya; yang menganggap rendah orang yang ditolak Allah, tetapi menghormati orang yang takwa; yang menepati janji, biarpun rugi dan meminjamkan uang tanpa bunga; yang tak mau menerima uang suap untuk merugikan orang yang tak bersalah. Orang yang berbuat demikian, akan selalu tentram." (Mazmur 15:1-5 BIS).

Lihatlah nilai-nilai yang terkandung disana. Ini adalah hasil perenungan Daud mengenai orang dengan pribadi seperti apa yang bisa tinggal dalam kemahNya dan dibukitNya yang suci. Dalam Bahasa Inggrisnya dikatakan: "LORD, WHO shall dwell [temporarily] in Your tabernacle? Who shall dwell [permanently] on Your holy hill?" (ay 1). Orang yang bisa memperoleh ini adalah orang yang hidupnya:
- tanpa cela
- melakukan yang baik
- jujur yang berkata benar
- tidak memfitnah orang lain
- tidak berbuat jahat
- tidak menjelekkan orang lain
- tidak ikut-ikutan berbuat seperti orang yang tidak berkenan bagi Allah melainkan menghormati orang yang takwa
- orang yang menepati janji sekalipun harus merugi karenanya
- yang tidak mengharapkan bunga kalau meminjamkan
- yang tidak menerima suap

Daud menjabarkan lebih rinci, tapi semua poin ini akan menuju kepada tiga hal seperti yang digambarkan Salomo di atas, yaitu: kesetiaan, kebenaran dan kejujuran. Daud jelas mengerti kriteria orang yang akan berhak berdiam dalam Kerajaan Allah yang kudus, karena itulah ia pun menghidupi nilai-nilai yang terkandung dalam integritas itu seperti apa yang telah ia ketahui. Tidak heran apabila kemudian Salomo kemudian menjadikan nilai-nilai yang dihidupi ayahnya sebagai sesuatu yang harus pula ia adopsi dalam hidupnya. Inilah bentuk sebuah integritas, sebuah bentuk kehidupan yang berkenan di mata Tuhan.

Satu saja dari nilai-nilai itu tidak kita lakukan maka integritas pun hilang dari diri kita. Sekedar mengetahui saja tidak cukup, hanya mengatakan saya tidak cukup, kita harus pula menyelaraskannya dengan perbuatan nyata dalam hidup kita. Jika kita merenungkan poin-poin di atas sesungguhnya membangun karakter yang berintegritas tidaklah mudah, dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari mungkin akan jauh lebih sulit lagi mengingat kita hidup di dunia yang punya prinsip bertolak belakang, penuh dengan orang-orang yang saling sesat menyesatkan. Tetapi sosok seperti inilah yang sesungguhnya diinginkan Tuhan untuk mewarnai kehidupan kita, orang-orang percaya. Untuk membangun pribadi yang berintegritas dan berkualitas maka Mazmur 15 ini penting untuk kita renungkan dan kemudian terapkan dalam hidup. Secara ringkas, setia, benar dan jujur merupakan hal mutlak yang tidak boleh kita abaikan kalau kita tidak mau kehilangan berkat-berkat Tuhan. Meski mungkin sulit, tetapi kita bisa mulai berkomitmen untuk menghidupinya mulai dari sekarang. Sebagai warga Kerajaan kita harus mampu pula hidup dengan nilai-nilai Kerajaan. Orang yang berintegritas tinggi semakin lama semakin langka. Maka kita diharapkan mampu membawa perbedaan dan menunjukkan sebuah konsep gaya hidup berintegritas tinggi  Siapkah anda tampil beda di dunia ini dengan menjadi sosok berintegritas yang menjunjung tinggi nilai-nilai Kerajaan Allah?

Setia, benar dan jujur harus menjadi bagian hidup kita sebagai orang-orang berintegritas yang menuai segala kebaikan dari Tuhan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Belajar dari Rehabeam (2)

 (sambungan) Mengharap berkat itu satu hal, tapi ingat bahwa menyikapi berkat itu hal lain. Dan salah menyikapi berkat bukannya baik tapi ma...