Tuesday, January 31, 2012

Angin Sakal

Ayat bacaan: Markus 6:48
====================
"Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka."

angin sakalSalah seorang teman saya pernah mengalami situasi hidup dan mati karena terjatuh dari sampan dan kemudian terseret arus. Ia bercerita bahwa arus itu sangat kuat menyeretnya. Ia berusaha melawan arus dengan berenang ke arah yang berlawanan tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk bertahan. Untunglah ditengah keadaan berbahaya itu ia kemudian melihat sebuah dahan yang cukup besar sehingga ia bisa berpegangan disana sampai diselamatkan. Melawan arus memang tidak mudah, apalagi kalau sendirian. Kita mungkin bisa bertahan sampai waktu tertentu, tetapi tenaga kita yang terbatas akan terus berkurang sehingga pada suatu saat kita akan menyerah dan terseret arus untuk dibawa entah kemana. Betapa mengerikan seandainya diujung sana terbentang air terjun dengan jurang yang besar. Nyawa kita pun bisa hilang kalau itu yang terjadi.

Dalam kehidupan ini kita pun seringkali harus terus berjuang melawan arus penyesatan di dunia. Kita sudah mati-matian berusaha untuk tidak terseret, tetapi arus yang sangat kuat bisa jadi menekan kita terus menerus sehingga pada saat kita lemah, kita pun akhirnya bisa ikut terseret arus itu. Melawan arus dunia seperti ini tidaklah mudah karena serangannya bisa dari segala arah. Salah-salah, kita bisa terbawa arus dalam berlayar mengarungi derasnya samudera kehidupan, dan akibatnya terperangkap pada akhir yang salah.

Mari kita lihat ketika situasi yang sama menimpa para murid Yesus dalam Markus 6. Tepat setelah Yesus melakukan mukjizat lewat lima roti dan dua ikan untuk memberi makan ribuan orang, murid-murid Yesus segera diperintahkan untuk berlayar terlebih dahulu menuju Betsaida, sementara Yesus sendiri mengambil waktu untuk bersama Bapa dengan pergi ke atas bukit untuk berdoa. Ketika para murid sudah sampai di tengah danau, muncullah angin sakal pada malam itu. Angin sakal adalah jenis angin yang berlawanan dengan arah perahu, bertiup datang dari depan. Bisa dibayangkan bagaimana mereka kepayahan mendayung kapal untuk melawan angin sakal tersebut. Di saat tengah malam mencapai masa-masa puncaknya, sekitar jam tiga, dan disaat mereka mungkin mulai kelelahan mendayung, datanglah Yesus dengan berjalan di atas air. Markus mencatat demikian: "Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka." (Markus 6:48). Mungkin karena sempat kelelahan mendayung, konsentrasi mereka menjadi lemah, dan sempat kaget mengira bahwa yang mendatangi mereka adalah hantu. Mereka pun menjadi panik. "Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu, lalu mereka berteriak-teriak" (ay 48). Tapi Yesus berkata: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" (ay 50). Begitu Yesus naik ke perahu, serta merta angin pun reda. (ay 51). Mereka pun bisa mendayung dengan tenang hingga sampai ke tujuan.

Mungkin saat ini kita sudah sampai di pertengahan perjalanan dalam berlayar menempuh samudera kehidupan, dan seperti kisah para murid dan Yesus di atas, angin sakal mulai bertiup sehingga kita mulai merasa kelelahan dalam mengemudikan kapal kita untuk terus maju ke depan hingga sampai ke tujuan akhir kita. Kita tahu destinasi kita semua yaitu menuju sebuah kehidupan kekal penuh sukacita tanpa ratap tangis bersama Bapa di Surga, tetapi mungkin saat ini terpaan angin sakal membuat kita kepayahan untuk mengarunginya. Sulit melawan arus dunia yang penuh tipu muslihat, ketidakadilan dan kesesatan. Pergaulan yang buruk, lingkungan yang tidak sehat, hal-hal negatif yang kita lihat dan dengar di sekitar kita, segala kedagingan duniawi, dan sebagainya, seringkali membuat kita menjadi lemah ketika kita berusaha melawannya. Kita memang diminta untuk tidak mengikuti arus dunia, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini" (Roma 12:2), tapi Tuhan mengerti bahwa mengandalkan tenaga kita sendiri tidak akan sanggup untuk melakukan itu. Ayat hari ini mengajarkan kita untuk berhenti menggunakan tenaga sendiri. Di antara murid-murid Yesus ada beberapa nelayan senior berpengalaman, yang seharusnya sudah tahu bagaimana cara berlayar yang baik dan benar, tapi mereka tetap saja kepayahan dan menemui masalah dalam perjalanan ketika didera angin yang berlawanan. Demikian pula hidup kita. Meski kita punya pengalaman, tenaga dan sebagainya, pada suatu ketika kita bisa berhadapan dengan situasi pelik yang tidak bisa kita atasi sendirian. Di saat seperti itulah kita bisa mulai belajar untuk mengandalkan Tuhan. Berkali-kali Tuhan berkata "Jangan takut" dalam Alkitab. Bagaimana kita bisa tidak takut? Caranya adalah dengan menyadari bahwa Tuhan selalu ada beserta kita. Jika ada penyertaan Tuhan dalam hidup kita, mengapa kita harus takut? Lihatlah ketika Yesus naik ke dalam kapal, angin sakal langsung berhenti saat itu juga. Dalam mengarungi lautan kehidupan ini kita akan terus berhadapan dengan angin sakal. Pada satu waktu kita akan mulai kesulitan, tidak peduli seberapa hebatnya kita sebagai manusia, kita akan mengalaminya cepat atau lambat. Karena itulah kita butuh Yesus menyertai dalam perjalanan kita agar kita bisa sampai ke tujuan yang benar seperti apa yang dikehendaki Tuhan bagi hidup kita. Ketika ada Tuhan dalam perahu hidup kita, kita pun tidak perlu takut, meski sedang berlayar melawan arus dan dalam kekelaman malam sekalipun. Yesus sudah menjanjikan bahwa Dia akan selalu menyertai kita sampai akhir zaman (Matius 28:20). Meski arus di dunia ini sulit kita hadapi, ada "banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang...Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat." (Matius 24:11,13). Agar dapat bertahan mengayuh bahtera kehidupan kita butuh penyertaan Tuhan Yesus dalam hidup kita. Angin sakal akan terus kita hadapi, bahkan angin badai sekalipun bisa saja bertiup kencang dalam perjalanan kita mengarungi hidup. Tapi percayalah bahwa bersama Yesus kita akan mampu bertahan dan memperoleh kemenangan. Karenanya janganlah mengandalkan kekuatan sendiri, tapi milikilah sebuah perjalanan manis bersama Yesus hingga selamat sampai ke seberang.

"Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus." (1 Korintus 1:8)


Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, January 30, 2012

Network and Teamwork (2)

Ayat bacaan: Ibrani 10:24
==================
"Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik."

networkMudahkah mengatur sebuah pagelaran pentas musik? Tentu saja tidak. Tidak ada satupun acara panggung yang sanggup dikerjakan hanya oleh satu orang. Harus ada ketua, tim produksi, penghubung atau liaison dan sebagainya lengkap dengan anggotanya. Harus ada penyedia tempat, orang yang menata panggung, soundmen dan artis yang bermain. Lalu harus ada pula media yang bisa menginfokan tentang acaranya dan meliput. Dan tentu saja harus ada penonton. Semua ini menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah acara tidaklah pernah tergantung hanya dari satu orang melainkan atas kerjasama yang baik antara berbagai pihak yang terkait didalamnya.

Menyambung renungan kemarin, mari kita lihat kembali pentingnya sebuah network dan teamwork yang solid dalam mencapai sebuah keberhasilan. Sejatinya manusia memang diciptakan bukan menjadi mahluk yang tahu dan sanggup berbuat segalanya sendirian. Kita diciptakan sebagai mahluk sosial yang harus saling berinteraksi dan terintegrasi dengan orang lain. Kita adalah bagian dari masyarakat, a part of the society yang terintegrasi di dalamnya. Dan ini haruslah kita ingat karena tidak satupun dari kita yang cukup hebat untuk bisa mencapai sukses sendirian.

Dalam banyak kesempatan Firman Tuhan selalu mengingatkan kita agar tidak berjalan sendirian. Kita tidak pernah dianjurkan untuk menjadi manusia yang absolut dan merasa kita sanggup melakukan segalanya sendirian. "Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya...Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan." (Pengkotbah 4:9-10,12). Ini bunyi firman Tuhan yang dengan jelas mengingatkan kita sebagai mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Itu kata pepatah kita. Dalam hal-hal kerohanian pun demikian. Network dan teamwork yang kokoh dibutuhkan bukan saja untuk kepentingan kita, kelompok atau sesama manusia secara umum, tetapi juga untuk menyatakan terang Allah dan memperluas KerajaanNya di muka bumi ini.

Tekanan dan godaan akan selalu ada disekitar kita setiap saat bahkan di saat-saat yang tidak terduga sama sekali. Cepat atau lambat kita akan kehabisan tenaga atau akal, kelelahan dan menjadi lemah. Disaat seperti itulah kita butuh dukungan dari teman-teman terutama yang seiman agar kita bisa kembali bangkit dari keterpurukan. Sebuah teamwork yang baik adalah kumpulan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama, berjalan ke arah yang sama dan berisi orang-orang yang saling peduli satu sama lain dan tidak mementingkan diri sendiri serta diarahkan kepada tujuan-tujuan yang positif, baik dan membangun. Dan itu sangatlah dibutuhkan terutama dalam menghadapi situasi-situasi yang sulit. Tanpa membangun network yang baik akan sulit bagi kita untuk memperoleh teamwork yang kuat. Saling menasihati, memberi masukan, menegur jika perlu, dan saling mengulurkan tangan untuk membantu, itu akan membuat kita semua bisa bertumbuh dengan baik dan dapat kembali bangkit dari keterpurukan, atau untuk mencapai peningkatan-peningkatan atas usaha kita.

Dalam surat Ibrani kita bisa memperoleh ayat yang menyatakan hal ini dengan jelas. "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik." (Ibrani 10:24). Inilah kuncinya. Saling memperhatikan, saling mendorong, dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Lantas perhatikan selanjutnya kita diingatkan agar tidak menjauh dari pertemuan-pertemuan dimana kita bisa saling mengisi dan menguatkan lewat firman Tuhan, saling mengingatkan akan janji-janji Tuhan termasuk apa yang harus kita lakukan untuk menuainya. Ayat selanjutnya berbunyi: "Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat." (ay 25). Cara atau gaya hidup jemaat mula-mula yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 merupakan contoh yang sangat sempurna mengenai hal ini.

Jika untuk sukses dalam pekerjaan atau karir sebuah teamwork dan network itu diperlukan, untuk memperluas Kerajaan Allah dan menyatakan kemuliaanNya di muka bumi ini pun demikian juga. Kita tidak bisa melakukan segala sesuatunya sendirian. Masing-masing orang diberikan karunia talenta atau bakat-bakat berbeda yang hanya akan bisa menjadi sesuatu yang luar biasa jika tersambung atau terhubung dengan orang-orang lain yang memiliki talenta berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Paulus telah mengingatkan hal tersebut dalam surat Roma. "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita.." (Roma 12:4-6). Dan ingatlah bahwa kita semua adalah anggota-anggota tubuh dengan Kristus sendiri sebagai Kepala (Efesus 4:15), "Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, --yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih." (ay 16). Semua ini dengan jelas menunjukkan pentingnya membangun hubungan dengan orang lain agar kita bisa memperoleh pencapaian-pencapaian dengan peningkatan yang signifikan.

Dalam segala hal, baik kehidupan di dunia maupun kehidupan rohani kita memerlukan networking dengan teamwork yang kuat. Kekristenan tidak pernah berbicara untuk membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang sombong, eksklusif dan tertutup. Kita tidak dibentuk untuk menjadi orang yang hanya bersembunyi di balik tembok gereja saja. We need to expand our horizon to reach the world outside the walls. Di marketplace, lingkungan tempat tinggal, atau dimanapun kita ditempatkan kita harus bisa menjadi contoh bagaimana kasih bisa membuat pribadi-pribadi yang menyenangkan, ramah dan bersahabat dengan tulus tanpa terbatas oleh sekat apapun. Itu adalah sesuatu yang berbeda dengan cara pandang dunia dan itulah panggilan kita sebagai ciptaan baru. Ini saatnya untuk menjadi orang-orang yang mengerti akan pentingnya network dan teamwork dalam mencapai peningkatan dalam segala aspek hidup kita.

Kita adalah mahluk sosial sebagai bagian integral dari masyarakat dan bukan orang-orang eksklusif yang tertutup


Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, January 29, 2012

Network and Teamwork

Ayat bacaan: Markus 2:3-4
=====================
"ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang. Tetapi mereka tidak dapat membawanya kepada-Nya karena orang banyak itu, lalu mereka membuka atap yang di atas-Nya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring."

teamworkSaya merasa sangat senang hari ini. Betapa tidak, saya akhirnya menemukan dua orang untuk bertugas sebagai kontributor dari luar negeri, satu di negara lain di Asia dan satu di Amerika dalam kurun waktu kurang dari satu bulan. Hal ini buat saya sangatlah besar maknanya, karena saya bisa memperoleh hasil-hasil liputan dari koresponden atau kontributor di luar tanpa saya harus mengeluarkan biaya besar untuk pergi kesana sendiri atau mengirim tim dari negara kita untuk meliput kesana. Hal seperti ini tidak akan bisa tercapai kalau saya menutup diri dari pergaulan dan tidak terus memperluas jaringan atau network. Seperti halnya telepon selular, providernya tidak akan laku kalau daya jangkaunya sempit. Semakin luas, maka semakin besar pula kesempatan untuk dipilih oleh konsumen, karena apalah gunanaya sebuah fasilitas komunikasi apabila area jangkauannya sempit.

Banyak orang yang cenderung berpikir bahwa mereka sanggup melakukan segala sesuatu sendirian. Mereka sulit percaya orang lain dan mengira bahwa merekalah yang paling hebat dan karenanya tidak membutuhkan kehadiran orang lain. Membangun network di mana di dalamnya terdapat teamwork yang harmonis, baik dan kuat sangatlah penting, karena biar bagaimanapun tidak ada satupun manusia super yang sanggup melakukan segala sesuatunya sendirian. Itu bukan blueprint manusia menurut rancangan Tuhan. Kita diciptakan untuk saling melengkapi dan saling berinteraksi satu sama lain untuk bisa memperoleh hasil yang terbaik. Dengan jelas hal ini bisa kita lihat dari sejarah penciptaan awal manusia. Tuhan secara jelas berkata: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja." (Kejadian 2:18a). Dalam bahasa Inggrisnya dikatakan: "It is not good (sufficient, satisfactory) that the man should be alone." Terjemahannya kira-kira seperti ini: Tidak baik, tidak cukup, dan tidak akan maksimal kalau manusia itu sendirian. Artinya Tuhan tidak pernah menginginkan manusia untuk berusaha, bekerja atau bahkan hidup sendirian saja, terkucil, tertutup dan terisolasi dari sekitarnya. Dan itu bermakna bahwa selama kita hidup, kita harus bisa memperluas jaringan kita agar kita bisa terus lebih maksimal lagi dalam melakukan segala sesuatu dalam hidup kita.

Mari kita lihat sebuah kisah tentang network dengan teamwork yang baik di dalam Alkitab, yaitu dalam Markus 2:1-12. Pada satu hari Yesus datang lagi ke Kapernaum, dan orang ramai berkerumun mendatangi Dia untuk bertemu. Saking banyaknya orang yang datang, rumah di mana Yesus berada kemudian menjadi penuh sesak hingga dikatakan tidak ada tempat kosong lagi. Yesus pun kemudian memberitakan firman kepada semua yang hadir. Lalu "ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang." (ay 3). Keempat orang ini menggotong sahabat mereka dan ingin bertemu dengan Yesus agar sahabat mereka bisa sembuh. Tapi mereka tidak bisa menembus kerumunan yang sedemikian padat. Menyerahkah mereka? Ternyata tidak. Inilah yang mereka lakukan selanjutnya. "...mereka membuka atap yang di atas-Nya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring." (ay 4). Melihat kegigihan mereka, Yesus pun kagum. Alkitab mencatatnya seperti ini: "Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!" (ay 5). Adalah iman yang membuat mereka mau terus berjuang untuk bisa bertemu dengan Yesus dengan cara apapun. Iman mereka yang kuat membuat mereka tidak bisa dibatasi atau dihalangi oleh kerumunan besar orang. Singkatnya Yesus pun menyembuhkan orang itu. "Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu! Dan orang itupun bangun, segera mengangkat tempat tidurnya dan pergi ke luar di hadapan orang-orang itu, sehingga mereka semua takjub lalu memuliakan Allah, katanya: "Yang begini belum pernah kita lihat." (ay 11-12).

Dalam renungan ini marilah kita lihat sosok pribadi orang lumpuh tersebut secara khusus. Pernahkah terpikirkan oleh anda bagaimana sulitnya bagaimana susahnya menggotong seorang lumpuh di atas tilam ke atas atap di tengah kerumunan orang banyak? Pasti sulitnya bukan main. Memanjat sendiri saja susah, ini menggotong orang yang terbaring di atas tilam. Bahkan sekiranya pun mereka pemain sirkus itu masih tetap sulit untuk dilakukan. Jika kita melihat bahwa keempat orang ini mau bersusah payah untuk sahabatnya, kita bisa sampai pada sebuah kesimpulan bahwa orang lumpuh ini tentu merupakan orang yang baik dalam pergaulannya, dan pasti keempat orang itu punya kesan yang dalam atau hubungan yang sangat baik dengan dirinya. Kalau tidak mustahil rasanya keempatnya terbeban untuk menolong dengan harus menempuh cara yang sangat merepotkan bahkan berbahaya. Sekiranya orang lumpuh itu adalah orang yang sombong, saya yakin tidak akan ada orang yang peduli kepadanya, dan dia akan tetap lumpuh. Kita bisa menyimpulkan bahwa si lumpuh adalah orang yang sangat baik di mata temannya, dan dia berhasil membangun sebuah network yang baik.

Kemudian mari kita lihat hal selanjutnya. Untuk menurunkan seseorang dari atap seperti itu diperlukan sebuah proses teamwork yang baik. Mengapa demikian? Karena jelas, untuk menurunkan orang terbaring dengan tali dari atap butuh keseimbangan di setiap sisi agar si lumpuh tidak jungkir balik jatuh ke bawah. Satu saja tidak sinkron, maka bisa dibayangkan apa akibatnya. Bukannya sembuh, si lumpuh malah bisa terbanting dari atap dan menemui ajalnya seketika. sedikitnya ada tiga hal yang bisa kita pelajari dari bagian ini.

* Kesombongan tidak akan pernah membawa manfaat apa-apa selain mendatangkan kerugian pada diri sendiri. "Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan." (Amsal 16:18). Tuhan juga mengatakan bahwa pada saatnya nanti orang-orang yang sombong ini akan kena getahnya. "Manusia yang sombong akan direndahkan, dan orang yang angkuh akan ditundukkan; dan hanya TUHAN sajalah yang maha tinggi pada hari itu." (Yesaya 2:11).Kita harus selalu membina hubungan baik dengan sesama kita dengan tulus. Ada saat dimana kita menolong, ada pula saat ketika kita butuh pertolongan mereka. Kita tidak akan bisa hidup sendirian, dan kesombongan akan merupakan tembok penghalang utama bagi kita untuk bisa memperluas hubungan dengan lebih banyak orang laig.

* Untuk mencapai suatu keberhasilan dibutuhkan kerjasama yang baik dengan orang lain. It takes a good teamwork to succeed. Tidak ada orang yang bisa selalu kuat dan sanggup mengerjakan segala sesuatunya sendirian. Bayangkan jika sebuah gereja hanya terdiri dari satu pendeta tanpa adanya pengerja yang lain. Tanpa diaken, tanpa pengerja, pemusik, tim pendoa dan sebagainya, apa jadinya gereja itu? Sanggupkah satu orang merangkap semuanya itu? Tentu saja tidak.Tanpa kerjasama dengan orang lain maka akan sulit bagi kita untuk mencapai sebuah keberhasilan.

* Dibutuhkan keseimbangan atau balance dalam sebuah proses. Jika kita fokus hanya pada satu titik dan mengabaikan hal-hal lain, hidup tidak akan pernah bisa berjalan dengan baik. Jika anda hanya membaca alkitab tapi tidak bekerja, atau sebaliknya hidup membanting tulang dari kemampuan diri sendiri tanpa ditopang firman Tuhan untuk menguatkan dan membimbing anda, itu tidak akan membawa hasil apa-apa. Jika anda hanya berdoa tanpa melakukan apapun, atau mengabaikan pentingnya doa dan hanya berjuang, itu pun akan sia-sia.

Adalah penting bagi kita untuk membangun teamwork yang solid atau kokoh dan terus memperluas network kita. Tanpa itu semua kita akan stagnan, berjalan di tempat dan tidak akan pernah bisa maju dalam segala hal. Kesombongan, menutup diri atau merasa diri paling hebat haruslah kita tinggalkan secepat mungkin agar kita bisa melakukan hal itu. Menjadi pribadi yang rendah hati, penuh kasih akan membuat kita bisa mengulurkan jabat persahabatan dengan lebih banyak orang tanpa terkecuali dan itu sangatlah menentukan arah kesuksesan kita ke depannya. Belajarlah dari kisah orang lumpuh dengan keempat temannya ini dan jadilah orang-orang yang sukses dengan network luas dan teamwork kuat.

Without extending your network and building a solid teamwork you won't go anywhere

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, January 28, 2012

Kualitas dan bukan Kuantitas

Ayat bacaan: Zakharia 4:10
=====================
"Who despises the day of small things?"

kualitasDunia percaya bahwa semakin besar atau semakin banyak itu artinya semakin hebat. The more the merrier, the bigger the better. Ada banyak orang yang serabutan mengerjakan ini dan itu agar kelihatan hebat, tetapi akibatnya mereka tidak fokus dan tidak satupun yang hasilnya baik. Sementara ada banyak pula orang yang malas mengurusi satu atau dua orang saja. Buang-buang waktu, begitu pikir mereka. Ada banyak artis yang mementingkan berapa banyak jumlah penontonnya sebelum mereka menerima tawaran manggung. Seorang gitaris asal Amerika yang pernah saya temui berkata bahwa ia tidak peduli berapa jumlah penontonnya. "I don't care if it's 5 or 10 people. As long as they enjoy my performance, I'll be delighted." katanya sambil tersenyum. Inilah sebuah sikap profesional yang bagi saya sangat indah didengar. Bagi saya sendiri jumlah tidaklah penting, karena bukan kuantitas yang saya cari melainkan kualitas. Saya akan mengajar dengan kualitas yang sama baik ketika muridnya berjumlah puluhan atau satuan. Satu orang atau sepuluh orang, saya tetap sama seriusnya dalam mentransfer ilmu mendidik mereka. Dalam kehidupan saya pun seringkali hal-hal kecil yang sederhana atau kelihatannya sepele tetapi bisa memberi makna luar biasa, baik dalam kehidupan di dunia maupun spiritual. Saya pernah menemukan sebuah ayat yang ditulis di pintu toilet. Singkat, namun ayat itu sungguh berbicara banyak kepada saya.

Dunia memang cenderung mementingkan kuantitas dibanding kualitas. Ironisnya ada banyak gereja atau pelayan Tuhan pula yang terjebak pada pemikiran seperti ini. Mereka akan bersemangat melayani ketika jemaat penuh, namun kehilangan gairah melihat bangku kosong. Gereja akan mulai berpikir serius jika jemaatnya banyak tetapi seadanya saja jika sedikit.Tuhan tidak mengajarkan atau menganjurkan kita untuk berpikir seperti itu. Kita tidak boleh memandang hina hal-hal kecil, karena seringkali berkat Tuhan pun dimulai dari sesuatu yang biasa, kecil dan kelihatan sepele. Bahkan kelemahan kita yang terparah sekalipun bisa dipakai Tuhan untuk menjadi lahan subur untuk menyatakan kuasaNya. Dan Tuhan sebenarnya senang dengan hal ini. Lihatlah sebuah ayat berikut: "Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat." (1 Korintus 1:27). Tuhan senang memakai hal-hal kecil untuk menunjukkan kebesaran kuasaNya.

Mari kita lihat perumpamaan tentang Talenta dalam Matius 25. Talenta dibagikan berbeda oleh sang tuan kepada tiga hambanya. Ada yang memperoleh lima, dua dan juga satu. Lalu perhatikanlah reaksi sang tuan ketika kembali. Kepada hamba dengan lima talenta dan dua talenta, sang tuan memberikan jawaban yang sama. "Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (Matius 25:21,23). Dari sini kita bisa melihat dengan jelas bahwa talenta besar maupun kecil dihargai sama oleh Tuhan, selama keduanya bisa menghasilkan buah. Tuhan menghargai sama terhadap laba dua talenta dan lima talenta. Artinya jelas. Tuhan tidak melihat kuantitas, melainkan kualitas. Dua talenta sekalipun akan sangat dihargai apabila kita melakukannya dengan sepenuh hati dan sungguh-sungguh. Tuhan akan menghargai sangat besar setiap yang kita lakukan dengan serius dan penuh totalitas. Kita harus ingat bahwa Tuhan tidak melihat apa yang di depan mata, tapi melihat hati. (1 Samuel 16:7).

Lantas kita pun bisa meneladani Yesus dalam melakukan pelayananNya di dunia. Yesus tidak pernah memperhitungkan jumlah. KedatanganNya memang untuk menebus semua manusia, tetapi ribuan atau satu orang diperdulikan sama olehNya. Yesus pernah melakukan kotbah di atas bukit dihadapan orang banyak (Matius 5-7). Tapi tidak pernah menutup mata dari pribadi atau individu perorangan yang menjumpaiNya. Bahkan ketika muridNya berkurang, seperti yang kita baca dalam Yohanes 6:66, "Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia", Yesus tetap tidak merasa terganggu sedikitpun dalam menjalani tugasnya memenuhi rencana Allah. Dalam kitab Zakharia kita bisa pula melihat hal ini. "Siapa yang memandang hina hari peristiwa-peristiwa yang kecil.." "Who [with reason] despises the day of small things?" (Zakharia 4:10). Dan saya pun tersenyum membaca ayat dalam Zakharia ini, karena jelas disana dikatakan: "Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman TUHAN semesta alam." "Not by Not by might, nor by power, but by My Spirit, says the Lord of hosts." (ay 6).

Apakah ada diantara anda yang saat ini merasa down atau gagal karena jumlah yang dilayani sedikit atau terasa sulit berbuah? Atau adakah diantara anda yang saat ini merasa bahwa pekerjaan anda seolah terlau kecil atau sepele? Jika saat ini anda mengalami masa surut dalam pelayanan maupun pekerjaan, tetaplah bersyukur dan tetaplah melayani atau bekerja semaksimal mungkin dengan sepenuh hati. Biar bagaimanapun apa yang Tuhan pandang adalah hati anda, bukan jumlah atau apapun yang dipandang oleh mata dunia. For God is not about the size. Size is nothing; substance is everything. Baik ketika anda melayani gereja kecil, sekolah minggu, atau melayani hanya satu orang saat ini, layanilah dengan segenap hati. Baik ketika anda menjabat direktur maupun cuma janitor, bekerjalah dengan sama baiknya. Jika kita setia dalam perkara kecil, Tuhan akan memberikan tanggung jawab dalam perkara yang lebih besar pada waktunya. Little things often lead to big things, itu harus selalu kita ingat. Tetaplah beri yang terbaik dari diri anda dalam hal-hal kecil, karena bukan kuantitas yang penting, melainkan substansi dan kualitas yang murni berasal dari hati.

Small is big when God's in it

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, January 27, 2012

Menyikapi Kebebasan Secara Benar

Ayat bacaan: 1 Korintus 10:23
======================
"Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun."

menyikapi kebebasanSejauh mana kita mengapresiasikan kemerdekaan? Tidak ada satupun orang yang mau terjajah, tetapi banyak orang yang bingung bagaimana menyikapi kemerdekaan. Banyak orang mengira bahwa kemerdekaan berarti bebas berbuat apa saja seenak perutnya tanpa mempertimbangkan apa-apa. Dan itulah yang terjadi di Indonesia persisnya setelah reformasi. Kata saling pengertian dan toleransi semakin lama semakin menghilang dari muka negara ini. Menyuarakan aspirasi tentu saja tidak salah. Itu hak setiap warga negara. Tapi sebuah kemerdekaan tanpa rambu-rambu jelas akan membahayakan bahkan menghancurkan, bukan saja diri kita tetapi juga orang banyak atau bahkan negara. Kemerdekaan yang dijalankan atas kepentingan pribadi atau golongan tanpa aturan sedikitpun akan menimbulkan banyak masalah. Bayangkan jika setiap orang merasa dirinya paling benar dan berhak menghancurkan yang tidak sepaham dengan mereka, apa jadinya negara ini? Seperti halnya belahan dunia lain, bangsa ini pun merupakan sebuah titipan Tuhan kepada kita yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Kita diijinkan untuk menikmatinya, tetapi jangan lupa bahwa ada tugas penting bagi kita untuk mengelola bumi dengan segala isinya dengan sebaik-baiknya, dan itu sudah digariskan Tuhan sejak pada awal penciptaan, seperti yang disebutkan dalam Kejadian 1:26,28. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban kita kelak seandainya kita malah ambil bagian dari proses penghancuran dan pengrusakan bumi beserta orang-oragn yang tinggal di dalamnya hanya karena kita tidak tahu bagaimana menyikapi kemerdekaan atau kebebasan ini dengan benar?

Kebebasan bukanlah berarti kita bisa melakukan apapun semau kita dengan seenaknya. Sebuah kebebasan seharusnya bisa dipertanggungjawabkan dan dipakai untuk tujuan-tujuan yang konstruktif dan positif, bukan destruktif dan negatif. Sebuah kebebasan seharusnya membuat kehidupan di muka bumi ini semakin damai dan sejahtera, Kita bisa belajar dari apa yang dikatakan Paulus dalam surat 1 Korintus pasal 10. Paulus berkata: "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun." (1 Korintus 10:23). Dari ayat ini kita bisa dengan jelas melihat apa yang bisa kita jadikan sebuah dasar pertimbangan dalam menyikapi kebebasan, yaitu:
1. Apakah kebebasan itu bermanfaat bagi kita dan sesama atau tidak?
2. Apakah kebebasan yang kita peroleh itu membangun kehidupan kita dan orang lain atau tidak?
3. Apakah itu memberkati kota dimana kita tinggal atau malah membuatnya semakin kacau?
dan tentu saja, kalau kita berbicara mengenai segala sesuatu yang berguna dan membangun, itu artinya kita pun harus mempertimbangkan satu hal lagi:
4. Apakah kita memuliakan Tuhan dengan cara kita menyikapi kebebasan itu?

Keempat poin ini sangatlah penting untuk dijadikan koridor dalam menyikapi arti sebuah kebebasan. Apalah gunanya kita melakukan sesuatu apabila itu malah membuat kita semakin menjauh dari Tuhan, semakin menghancurkan hidup kita atau menyengsarakan orang lain? Apakah kita harus tega menghancurkan hidup orang lain atau bahkan menghabisinya hanya demi memuaskan hasrat yang ada dalam diri kita? Itu bukanlah gambaran sikap yang diinginkan Tuhan dalam memberikan kemerdekaan atau kebebasan bagi umatNya.

Adalah penting bagi kita untuk memperhatikan apa yang kita lakukan sehari-hari, apakah itu memberkati orang lain atau malah mengganggu? Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang kita anggap baik bagi diri kita tetapi itu ternyata mengganggu kepentingan orang lain atau bahkan merugikan mereka. "apakah segala sesuatu yang kita lakukan itu memuliakan Allah atau tidak? "Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." (1 Korintus 10:31). Perhatikanlah bahwa adalah kewajiban kita untuk memuliakan Allah, Sang Pencipta kita dalam segala sesuatu yang kita lakukan. Bukan hanya hal-hal tertentu, sebagian, tetapi dikatakan semuanya. Menyikapi kebebasan dengan cara-cara yang salah seperti memaksakan kehendak dengan cara-cara yang tidak baik, memusuhi orang lain, menghakimi, memupuk dendam, berusaha membalas kejahatan dengan kejahatan dan lain-lain akan membuat kita justru menjadi batu sandungan bukannya memuliakan Allah tetapi malah sebaliknya akan mempermalukan Allah.

Paulus menyampaikan kesimpulannya secara sederhana tetapi sangat jelas dalam surat Galatia. "Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih." (Galatia 5:13). Jangan pergunakan kemerdekaan atau kebebasan seenaknya sehingga kita merasa wajar untuk hidup dalam dosa atau melukis gurat dosa dalam diri kita dengan merugikan orang lain, tetapi hendaklah itu kita pergunakan untuk melayani atas dasar kasih. Alangkah pentingnya memiliki kasih sejati dalam hidup kita, yang akan mampu membuat pola pikir kita berbeda dari pola pikir dunia dalam menyikapi sebuah kebebasan. Petrus berkata: "Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah." (1 Petrus 2:16). Sebuah kehidupan yang merdeka seharusnya dipakai untuk menjadi hamba Allah yang mengasihi, yang akan memuliakanNya lebih lagi, dan bukan untuk berbuat berbagai kejahatan yang akan menghancurkan diri kita sendiri, keluarga kita dan orang lain. Kebebasan diberikan kepada kita bukan untuk membuat segalanya semakin buruk, tetapi justru agar kehidupan manusia bisa semakin baik. Hendaknya lewat diri kita orang akan bisa melihat seperti apa sebenarnya bentuk kebebasan yang sesungguhnya yang sesuai dengan firman Tuhan.

Sikapi kebebasan secara benar dengan penuh tanggung jawab

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, January 26, 2012

Konsumtif vs Rasa Cukup

Ayat bacaan: 1 Timotius 6:8
=======================
"Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar."

rasa cukupSeberapa jauh kita bisa bersyukur dengan apa yang sudah kita miliki sekarang? Puji Tuhan jika anda termasuk orang yang bersyukur atas segala yang ada pada anda, meski mungkin ada di antara teman-teman yang masih hidup pas-pasan atau sering disebut orang dengan cukup makan alias pas-pasan. Kenyataannya dunia semakin cenderung mendorong sikap konsumtif untuk keluar. Berbagai iklan menggambarkan seolah-olah kebahagiaan pasti diperoleh jika membeli produknya, bahkan ada pula yang secara tidak langsung atau mungkin terang-terangan bahwa orang yang tidak membeli produknya adalah orang-orang yang ketinggalan jaman, kurang gaul dan sebagainya. Kita terus berusaha memiliki segala-galanya. Tidak pernah ada kata cukup buat kita, dan dengan demikian kita terus mengejar untuk memiliki lebih banyak lagi. Tawaran-tawaran kartu kredit di pusat-pusat perbelanjaan yang mendesak atau memaksa dengan sikap kurang sopan terus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. "Selamat siang pak, sudah punya kartu kredit dari bank A?" Jika anda menjawab sudah punya, mereka pun kemudian akan bertanya: "Pakai kartu kredit apa pak?" Ini bentuk-bentuk pemaksaan yang terus terang membuat saya cukup risih berhadapan dengan mereka. Ada pula yang menelepon menawarkan fasilitas ini dan itu, seperti yang baru saja saya alami. Bayangkan, saya harus membayar 2 juta rupiah untuk memperoleh fasilitasnya, dan itu ia katakan sebagai hadiah. "Tidak semua orang loh pak, hanya 30 orang saja, dan ini sudah saya siapkan. Bapak beruntung terpilih untuk memperoleh ini. Sayang lho kalau diambil orang lain. Dikirimnya ke alamat mana?" Wah, saya cuma geleng-geleng kepala saja mendengar ini dan merasa miris melihat bagaimana dunia terus berubah menjadi semakin materialistis, egois dan konsumtif.

Ada banyak orang yang berhutang demi memiliki gadget tertentu. Itu bukan karena mereka memerlukannya, tetapi hanya sekedar agar tidak dianggap ketinggalan jaman, miskin atau tidak gaul. Ada yang terpaksa habis-habisan atau bahkan harus melakukan kecurangan agar bisa mengikuti gaya hidup sebuah lingkungan pergaulan kelas atas supaya terlihat hebat. Saya mengenal banyak orang yang punya pandangan seperti ini. Semakin lama kita semakin sulit untuk merasa bersyukur atas segala yang kita miliki, semakin jarang kita mendengar kata cukup diucapkan dengan penuh sukacita. Dunia mengarahkan kita ke pola pikir seperti itu. Karena itulah kita perlu kembali melihat betapa pentingnya sebuah rasa cukup bagi hidup kita. Tuhan tidak ingin kita menjadi orang yang kemaruk dan tidak pernah puas. Tuhan ingin kita menjadi orang yang tahu bersyukur di atas rasa cukup.

Kepada Timotius, Paulus berkata: "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar." (1 Timotius 6:6). Lihatlah bahwa hanya ibadah yang disertai rasa cukuplah yang akan memberi keuntungan besar. Sebaliknya ibadah tidak akan bermakna apa-apa apabila rasa tidak pernah puas terus mewarnai hidup kita sebagai pribadi-pribadi konsumtif yang hanyut dengan arus dunia yang semakin lama semakin buruk. Jika demikian, seberapa jauh sebenarnya kata cukup itu menurut Alkitab? Dari rangkaian ayat dalam 1 Timotius 6 ini kita bisa menemukan jawabannya. "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah." (ay 8). Makanan dan pakaian, keduanya adalah kebutuhan paling mendasar manusia yang seharusnya mendatangkan kata cukup jika sudah dimiliki. Tapi berapa banyak orang yang masih bisa bersyukur kalau cuma memiliki makanan dan pakaian? Kecenderungan manusia adalah kemudian melebarkan kedua kebutuhan vital ini di dalam balutan kemewahan. Makanan seperti apa? Baju merek apa dan gayanya bagaimana atau seharga berapa hingga berapa banyak koleksinya. Sesungguhnya Alkitab sudah mengingatkan kita bahwa setidaknya jika kita masih bisa makan dan tidak harus telanjang, itu artinya kita sudah layak untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Jika kita lupa akan hal ini kita tidak akan pernah bisa bersyukur. Lalu rasa tidak puas dan masih kurang akan terus menguasai diri kita. Ayat selanjutnya berkata: "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan." (ay 9). Inilah yang terjadi jika kita membiarkan diri kita untuk selalu mengejar kebutuhan-kebutuhan di luar kebutuhan utama. Karena memburu uang, kita bisa menyimpang dari iman, terjatuh dalam lubang-lubang dosa dan menjadi seorang hamba uang. Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan "cinta akan uang adalah akar segala kejahatan." (ay 10).

Saya tidak sedang menganjurkan kepada kita semua untuk menjalani hidup miskin. Tidak. Tuhan pun tidak bermaksud demikian. Apa yang diingatkan Tuhan adalah agar kita tidak menjadi orang-orang konsumtif yang tidak pernah puas, melainkan menjadi orang-orang yang tahu berterimakasih, tahu mengucap syukur atas segala yang telah Tuhan berikan kepada kita. Sekecil apapun, berkat tetaplah berkat yang seharusnya kita ucapkan syukur atasnya. Jika kita melihat ayat 1 Timotius 6:10 diatas, kita bisa melihat bahwa bukanlah "uang" nya yang menjadi akar segala kejahatan melainkan "cinta akan uang". Mempertuhankan harta di atas segalanya termasuk di atas Sang Pencipta kita. Dan itulah akar dari segala kejahatan, the root of all evil. Dan Tuhan Yesus sudah mengingatkan kita mengenai bahaya akan hal ini. "Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Lukas 16:13, Matius 6:24). Untuk menghindari terjebaknya kita dalam hal itu, kita harus belajar mengerti mengenai rasa cukup. Bukan terus tidak puas dan terus merasa kurang, tetapi mampu bersyukur atas apa yang kita miliki dengan rasa cukup. Dan itulah yang akan memberikan keuntungan besar bagi perjalanan hidup kita menuju keselamatan di ujung sana.

Kembali kepada 1 Timotius 6 di atas, selanjutnya kita diingatkan pula bahwa sebenarnay kita tidak membawa apapun ke dalam dunia, dan nanti kita tidak akan dapat membawa apa-apa ke luar. "Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." (ay 7). Jadi buat apa semua itu kalau hanya bisa memberikan kenikmatan sesaat tetapi lalu menjauhkan kita dari kebahagiaan yang kekal? Tuhan Yesus pun mengatakan: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Matius 16:26). Dalam surat Ibrani kembali kita diingatkan akan hal yang sama : "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5). Jika Tuhan sudah berjanji untuk tidak sekali-kali membiarkan atau meninggalkan kita, mengapa kita harus terus merasa tidak puas dan tidak nyaman dengan apa yang kita miliki hari ini? Alangkah baiknya jika kita mulai belajar untuk mampu mencukupkan diri dengan segala apa yang ada pada kita saat ini dan senantiasa mengucap syukur atasnya. Kita harus melatih diri agar bisa memiliki rasa cukup dan tidak terus merasa kekurangan, dan itu sesungguhnya akan memberi keuntungan besar yang sangat penting buat masa depan kita kelak setelah masa di dunia ini selesai. Dimana letak anda saat ini? Apakah masih terpengaruh oleh budaya konsumtif seperti yang dipercaya dunia sebagai yang terbaik atau anda termasuk orang yang selalu bersyukur di tengah keterbatasan atau cukup-cukupan saja? Sekali lagi, Tuhan tidak menginginkan anda menjadi orang-orang yang miskin dan menderita di dunia, tetapi apa yang Dia inginkan adalah agar kita menjadi orang-orang yang tahu terima kasih dan tahu bersyukur atas berkat-berkat yang telah Dia berikan kepada kita.

Berhentilah terus mengejar apa yang tidak kita miliki, mari fokus untuk bersyukur atas apa yang sudah ada pada kita saat ini

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, January 25, 2012

Knowing Our Own Potential

Ayat bacaan: Kisah Para Rasul 3:6
=======================
"Tetapi Petrus berkata: "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!"

mengetahui potensi"Ah, apa sih yang bisa saya buat pak, saya cuma tukang kebun yang sudah tua dan tidak punya cukup pendidikan.." demikian kata tukang kebun langganan saya pada suatu kali. Ia adalah seorang bapak tua berperawakan kecil dengan penampilan yang sangat sederhana. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang kebun atau terkadang bertukang, sedang istrinya menerima cucian. Dengan kegiatan itu ia dan istri mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Mungkin pendapatannya terbilang kecil dibanding orang-orang yang bekerja di perusahaan atau kantor apalagi yang memegang jabatan-jabatan tinggi, tetapi ia sangat salah jika berpikir bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah ia masih sehat dan masih bekerja dengan amat sangat baik di usia senjanya? Bukankah ia masih bisa menghidupi keluarga termasuk anak, menantu dan cucunya yang tidak bekerja? Itu adalah sesuatu yang menurut saya sangat pantas dikagumi, dan karena itulah saya menaruh hormat yang sangat tinggi kepadanya.

Seperti bapak tukang kebun tadi, ada banyak orang yang berpikir sama bahwa mereka tidaklah bisa apa-apa. Bapak tukang kebun itu masih jauh mendingan karena ia masih berusaha bekerja dan hasilnya pun sangat baik. Ada banyak orang yang memandang dirinya dari sisi ketidakmampuan jauh lebih parah, dan itu sangatlah ironis. Mengapa? Sebab itu artinya mereka tidak menyadari potensi yang ada pada mereka, tidak tahu talenta, bakat atau kelebihan apa yang mereka punya dan tidak tahu apa yang menjadi tujuan hidup mereka seperti yang direncanakan Tuhan sejak semula. Kebanyakan dari mereka hanya duduk meratapi diri tanpa melakukan apa-apa. Belum apa-apa sudah merasa tidak mampu, tidak sanggup atau tidak layak. Bayangkan berapa banyak peluang yang kemudian mereka sia-siakan. Dan pada suatu kali ketika kesempatannya habis, apa yang harus mereka jawab ketika Tuhan meminta pertanggungjawaban? Menyalahkan Tuhan karena merasa tidak sebaik orang lain? Itu yang dijawab oleh sang hamba dalam perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-30) dan kita tahu bagaimana reaksi Tuhan setelahnya. (bacalah ayat 30 dari perikop ini). Ini adalah sesuatu yang patut kita renungkan. Mengetahui potensi diri, memanfaatkan segala yang telah diperlengkapi Tuhan, berjalan seturut rencanaNya dan melakukan itu semua dengan sebaik-baiknya atas dasar kasih merupakan rangkaian dari apa yang seharusnya kita lakukan. Singkatnya, bukan menangisi apa yang tidak kita punya tetapi menyadari potensi diri kita sendiri dan mempergunakannya demi kemuliaan Tuhan. Itulah yang seharusnya kita lakukan.

Kita bisa belajar akan hal ini dari kitab Kisah Para Rasul pasal 3:1-10. Bagian ini menceritakan mengenai Petrus menyembuhkan orang lumpuh yang sedang duduk tepat didepan pintu masuk Bait Allah. Ketika itu Petrus dan Yohanes tengah berjalan menuju ke Bait allah menjelang waktu berdoa. Di luar Bait Allah tampaklah seorang laki-laki yang lumpuh sejak lahir. Ia selalu diletakkan disana untuk mengemis kepada orang-orang yang hendak masuk ke Bait Allah. Melihat Petrus dan Yohanes, ia pun seperti biasa meminta sedekah. Apa yang ia minta adalah sedekah seperti halnya pengemis yang kerap kita jumpai dimana-mana. Sangatlah menarik melihat bagaimana respon Petrus dalam menanggapi bapak pengemis yang lumpuh itu. "Tetapi Petrus berkata: "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!" (Kisah Para Rasul 3:6). Langsung pada saat itu juga orang lumpuh itu diangkat naik oleh Petrus dan mukjizat terjadi. "Seketika itu juga kuatlah kaki dan mata kaki orang itu." (ay 7b). Betapa senangnya hati orang lumpuh itu. Ia pun segera menikmati sesuatu yang sudah lama ia rindukan, lebih dari sekedar sedekah saja. Ia terus berjalan kesana kemari, melompat-lompat, bahkan ikut masuk ke dalam Bait Allah sambil terus memuji Tuhan. Dan hal itu pun menjadi kesaksian bagi semua orang yang melihat kejadian pada saat itu. "Ia melonjak berdiri lalu berjalan kian ke mari dan mengikuti mereka ke dalam Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat serta memuji Allah. Seluruh rakyat itu melihat dia berjalan sambil memuji Allah, lalu mereka mengenal dia sebagai orang yang biasanya duduk meminta sedekah di Gerbang Indah Bait Allah, sehingga mereka takjub dan tercengang tentang apa yang telah terjadi padanya." (ay 8-10).

Ada banyak pelajaran penting yang tentunya bisa kita petik dari kisah ini. Salah satunya adalah mengenai pengenalan akan apa yang kita miliki. Marik kita simak sekali lagi jawaban Petrus. "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu.." Petrus tahu pasti apa yang ia miliki, dan ia tidak perlu mengeluh terhadap apa yang tidak ada padanya. Ia lalu memakai apa yang ada padanya untuk memberkati orang lain, dan ternyata itu jauh lebih indah daripada sedikit sedekah seperti yang diminta orang lumpuh tersebut. Bukan hanya sejumlah peser, tetapi mukjizat kesembuhan ternyata hadir dari apa yang dimiliki Petrus. Apa yang ia miliki adalah iman akan Kristus yang memiliki kuasa untuk melakukan hal-hal yang mustahil sekalipun di mata manusia. Dari kisah ini kita bisa melihat rangkaian yang saling berhubungan. Bermula dari kepekaan terhadap sesama yang butuh pertolongan, lalu pengenalan apa yang ada dan tidak ada pada diri kita, dan dari sana kita bisa mempergunakan apa yang ada pada kita untuk memberkati sesama, sesuai talenta kita, kemampuan kita, keistimewaan kita, dengan didasarkan oleh kasih. Petrus peduli terhadap penderitaan si orang yang sudah lumpuh sejak lahir. Orang lumpuh itu merasa hanya bisa bertahan hidup mengharapkan sedekah dari orang lain karena toh dirinya lumpuh, tidak bisa apa-apa. Tetapi Petrus mengalirkan kasih Tuhan kepadanya dengan memberi mukjizat kesembuhan. Tidak memiliki harta, emas dan perak bukanlah kendala sama sekali buat Petrus untuk memberkati orang lain dan menyalurkan kasih Kristus untuk memenuhi mereka. Ia tidak memakai alasan tidak punya harta untuk menjadi alasan tidak sanggup membantu orang lain. Petrus sangat peka terhadap penderitaan orang lain dan ia tahu pasti apa yang ia punyai. Lalu ia pergunakan itu untuk memberkati orang lain, yang tentu saja juga membawa kemuliaan bagi Tuhan. Kesaksian itu dilihat oleh banyak orang, dan dengan sendirinya lewat perbuatannya ini Petrus menjadi saksi Kristus yang ternyata sanggup melakukan hal-hal yang mustahil sekalipun bagi dunia.

Dari kisah ini kita bisa melihat bahwa dalam berbuat baik kita tidak perlu berfokus pada apa yang tidak kita miliki yang bisa menghambat kita untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Kesalahan fokus pandangan ini akan membuat kita tidak menyadari apa yang ada pada kita dan karenanya kehilangan kesempatan untuk menolong orang lain bahkan termasuk di dalamnya menolong diri sendiri. Ingatlah bahwa Firman Tuhan sangat tegas berkata: "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa." (Yakobus 4:17). Oleh karena itu adalah sangat penting bagi kita untuk mengetahui potensi diri kita, mengetahui apa yang kita punya dan kemudian memakainya untuk memberkati orang lain.

Tidak perlu mengeluh tentang apa yang tidak kita punya, tetapi pakailah apa yang kita punya untuk memberkati sesama

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, January 24, 2012

Cap Buruk

Ayat bacaan: Keluaran 20:7
====================
"Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan."

cap buruk"Saya kecewa melihat orang-orang beratribut seolah mewakili sebuah agama tertentu tetapi perilakunya sangat memalukan. Mereka memberi cap buruk yang akan mengenai pemeluk kepercayaan yang sama, termasuk pula orang-orang seperti saya yang sama sekali tidak setuju dengan perilaku mereka itu." Demikian kata seorang teman yang gerah melihat berbagai teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengatas namakan sebuah kepercayaan. Dan ini sudah menjadi konsumsi berita sehari-hari. Aksi kekerasan, aksi teror dengan berbagai bentuk dan modus seolah mendapat pembenaran lewat berbagai alasan. Kasihan memang orang-orang yang tidak setuju terhadap perilaku mereka harus pula terkena getahnya. Hanya sekelompok yang berbuat, tetapi yang terkena bisa luas. Jika anda berpikir bahwa hal seperti ini hanya terjadi di luar kita, tunggu dulu. Dalam bentuk lain yang mungkin terasa tidak seekstrim itu, sebenarnya di kalangan orang percaya pun perilaku seperti ini juga terjadi. Hari ini saya melihat seorang pemuda yang memakai kalung salib membentak seorang pramuniaga di mal karena merasa terganggu. Itu dilihat oleh orang banyak. Pernah pula saya melihat mobil bertuliskan "Jesus Inside" yang memelesetkan slogan "Intel Inside" justru ugal-ugalan di jalan. Perilaku-perilaku seperti ini pun sesungguhnya sama mencemarkan kepercayaan yang dianut, yang tentu saja akan mengenai orang-orang lain yang seiman. Cap buruk bisa mengenai semuanya secara luas, dan hal seperti itu sering terjadi di depan mata kita, atau jangan-jangan kita sendiri pun sudah menjadi batu sandungan secara tidak sadar. Lihatlah bagaimana sesama orang percaya saling curiga dan tarik menarik jemaat. Mereka menganggap gerejanya paling benar sedang yang lain salah bahkan sesat. Saya pernah juga bertemu dengan seseorang yang secara kasar memaksa saudara/i seimannya untuk pindah ke gerejanya. Ia dengan mudahnya menjelek-jelekkan gereja tempat lawan bicaranya bertumbuh bahkan berani membawa-bawa nama Tuhan, bertindak seolah-olah ia adalah Tuhan yang paling tahu dan berhak menghakimi. Bukankah ini pun merupakan bentuk teror dan perbuatan buruk yang sama saja? Itu artinya, di kalangan kita sendiri pun tidak tertutup kemungkinan berkembangnya perilaku buruk yang bisa mencemarkan orang-orang yang seiman terlebih memberi nama buruk buat Kristus di mata dunia. Hal seperti ini sangatlah tidak berkenan di mata Tuhan, dan sejak semula Tuhan sesungguhnya sudah mengingatkan hal itu.

Mari kita lihat ayatnya. "Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan." (Keluaran 20:7). Ini adalah satu dari 10 Perintah Allah atau dikenal juga dengan the Ten Commandments yang tentu saja sudah tidak asing lagi bagi kita. Menyebut nama Tuhan? Itu berarti berhubungan dengan ucapan yang keluar lewat suara atau kata-kata kan? Belum tentu, karena sebenarnya itu bisa pula tampil lewat atribut yang kita pergunakan, atau bahkan sebagai orang yang menyandang namaNya. Kita harus benar-benar memperhatikan sikap, perbuatan dan gaya hidup kita. Kita harus memperlakukan Tuhan dengan penuh hormat dan takut, dan sikap kita ketika menyandang namaNya akan menunjukkan seberapa besar hormat dan takut kita itu kepadaNya. Jika kita menyebut atau merepresentasikan Tuhan secara sembarangan atau tidak benar, maka itu dipandang sebagai kesalahan, dan kita tahu konsekuensi yang harus kita pikul jika perbuatan kita dipandang Tuhan sebagai sebuah bentuk kesalahan.

Selain daripada itu, mari kita lihat sebuah ayat dalam Efesus berikut ini: "kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera." (Efesus 6:15). Berkasutkan atau bersepatukan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera, ini artinya bahwa ketika kita memakai atribut Kekristenan, Tuhan pun ingin kita memberitakan Injil yang membawa damai sejahtera dan keselamatan. Bukan hanya lewat kata-kata, tetapi lewat perilaku, sikap dan gaya hidup kita. Itupun sungguh penting, malah mungkin jauh lebih penting ketimbang memberitakannya hanya sebatas perkataan saja. Jika Tuhan inginnya seperti itu, bukankah kita berlaku jauh sebaliknya ketika kita menunjukkan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji termasuk ketika kita mengenakan atribut-atribut yang menunjukkan siapa diri kita?

Lantas bagaimana atribut yang seharusnya? Atau apa yang sesungguhnya harus kita tunjukkan sebagai pengikut Kristus? Jawabannya hanyalah satu, yaitu KASIH. Kasih akan membawa pengaruh penting dan menunjukkan sebuah perbedaan nyata dari sikap dan cara kita dalam memandang orang lain atau bahkan memandang hidup. Yesus berkata: "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (Yohanes 13:35). Memakai atribut yang bergambarkan kekristenan tetapi melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji akan memberi pemahaman yang salah terhadap Tuhan. Itu akan mempermalukan Tuhan dan tentu saja hal itu akan dipandang sebagai sebuah kesalahan yang besar di mata Tuhan. Paulus pun menyinggung hal ini. ".."Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan." (2 Timotius 2:19). Kemanapun kita melangkah, seharusnya kita ingat bahwa kita sedang membawa Kabar Sukacita kepada orang lain, kita membawa nama baik Tuhan Yesus, Sang Juru Selamat kita. Apakah itu lewat kata-kata, sikap, bahasa tubuh kita, perbuatan dan sebagainya, kita haruslah bisa menunjukkan sikap yang benar sebagai murid Yesus. Itu akan memberi kesaksian tersendiri kepada orang lain, dan lewat itu kita bisa memuliakan Tuhan dan dengan sendirinya bisa memberitakan Kabar Keselamatan yang akan jauh lebih bermakna ketimbang sekedar perkataan saja. Paulus mengingatkan kita: "Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia." (2 Korintus 3:3).

Ini saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa disaat kita berjalan dengan atribut-atribut tersebut, kita sesungguhnya sedang membawa nama Yesus kemanapun kita pergi. Baik atau tidak namaNya dikenal orang, benar atau tidak pemahaman orang tentang Dia, itu akan sangat tergantung dari gerak langkah kita, sikap, tindakan dan perbuatan kita sehari-hari ditengah masyarakat. Bagaikan seorang ayah yang bisa dikenal orang lewat sikap anaknya, demikian pula antara kita dengan Bapa. Oleh karena itu, marilah sekarang juga kita mulai mengalirkan kasih kepada semua orang tanpa terkecuali, bertindak, berpikir dan berbuat atas dasar kasih, dan disanalah orang akan memperoleh pemahaman yang benar akan Kristus.


Marilah kita menyatakan kasih seperti yang diinginkan Tuhan, sehingga orang bisa mengenal pribadi Tuhan secara benar lewat diri kita

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, January 23, 2012

Guru Sekolah Minggu

Ayat bacaan: Matius 18:6
================
"Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut."

guru sekolah minggu"Kalaupun harus melayani, saya lebih memilih jadi guru Sekolah Minggu saja.. cuma anak-anak yang dihadapi, kan gampang.." kata teman saya pada suatu ketik dengan ringan. Benarkah mengurus anak-anak itu lebih ringan dibanding orang dewasa? Tidak juga, malah bisa lebih berat. Guru Sekolah Minggu dituntut bisa ekstra sabar dan mengerti dunia anak-anak. Mereka harus mampu menangkap perhatian anak dan membawakan pelajaran dengan cara bisa dimengerti anak-anak, tidak jarang mereka harus memberi contoh-contoh sederhana dengan cara-cara yang menyenangkan seperti bermain, bernyanyi dan sebagainya. Jika teman saya berpikir bahwa menjadi guru Sekolah Minggu itu cuma tugas ringan, kenyataannya banyak gereja yang justru kesulitan mencari kandidat yang terbaik. Apa yang sulit adalah mencari orang-orang yang benar-benar terpanggil, benar-benar takut akan Tuhan dan mau mendedikasikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap anak-anak kecil yang polos dan lugu ini. Tugas atau panggilan untuk membimbing anak-anak untuk mengenal Tuhan sejak dini sesungguhnya merupakan tugas yang sangat penting dan mulia. Dan Tuhan sendiri menganggap ini sangat penting, bahkan tanggung jawabnya pun ternyata dikatakan jauh lebih berat ketimbang mengajar orang-orang dewasa yang sudah memiliki nalar sendiri.

Mari kita lihat kata-kata Yesus sendiri akan hal ini. "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut." (Matius 18:6). Lihatlah betapa berat konsekuensinya. Adalah lebih baik, kata Yesus, untuk mengikat batu penggilingan saja di leher dan kemudian menenggelamkan diri ke laut ketimbang mengajar asal-asalan sehingga bisa menyesatkan anak-anak. Apalagi jika membuat mereka berbuat dosa. (ay 7). Menurut Tuhan, justru tidak sembarang orang bisa mengerjakan hal ini, gereja tidak boleh sembarangan dalam merekrut pekerja. Ada panggilan mulia yang dinilai sangat penting oleh Tuhan sendiri disertai dengan konsekuensi yang sangat berat pula.

Anak-anak sangatlah dinilai berharga di mata Tuhan. Lihatlah perikop pembuka Matius 18 ini. Ketika itu para murid bertanya "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?" (ay 1). Dan Yesus menjawab dengan memanggil seorang anak kecil sebagai peraga langsung di hadapan mereka, lalu berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga." (ay 3). Yesus kemudian melanjutkan "Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (ay 4-5). Dalam kesempatan lain Yesus juga pernah berkata: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya."(Markus 10:15, Lukas 18:17). Bayangkan jika anak-anak kecil ini justru rusak di tangan kita. Dunia yang akan mereka isi setelah mereka dewasa adalah dunia yang jahat, kejam lengkap dengan segala penyesatan di dalamnya. Mereka harus dibekali dengan baik sedini mungkin agar memiliki cukup kekuatan dan iman untuk tetap hidup lurus di dalamnya. Tidaklah mengherankan apabila Tuhan memberi konsekuensi yang sangat berat apabila kerusakan ternyata berasal dari kita. Begitu besar arti anak kecil di mata Tuhan. Oleh karena itu kita tidak boleh membiarkan mereka menjadi rusak sejak kecil. Kita harus membimbing mereka, mengenalkan mereka kepada Kristus sejak dini agar mereka bisa bertumbuh dengan pengenalan yang baik dan rasa takut atau hormat akan Tuhan.

Pesan ini bukan hanya berlaku untuk para guru Sekolah Minggu, tetapi juga bagi para orang tua. Ada banyak orang tua yang hanya mementingkan mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan dan pendidikan anak-anaknya tetapi kemudian mengabaikan pentingnya pengajaran akan firman Tuhan atau memperkenalkan pribadi Kristus secara benar kepada anak-anaknya. Atau mungkin mereka sudah mengajar, tetapi mereka sama sekali tidak memberikan keteladanan lewat contoh nyata dari sikap atau gaya hidup mereka sendiri. Anak kecil sama seperti buku tulis yang kosong, dan orang tua sangatlah berperan untuk menentukan tulisan-tulisan seperti apa yang akan mengisi buku itu. Anak kecil cenderung mencontoh perilaku orang tuanya, itu malah lebih mereka perhatikan dan tiru ketimbang berbagai pengajaran secara teori saja. Mereka cuma anak kecil, tidak tahu apa-apa? Pandangan seperti ini sebaiknya kita ubah mulai sekarang, karena Tuhan tegas mengatakan bahwa kita tidak boleh menganggap remeh atau rendah anak-anak kecil. "Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 18:10). Jika pandangan  yang menganggap anak-anak kecil itu tidak apa-apa diabaikan dan diremehkan, maka sekali lagi, lebih baik mengikat batu kilangan di leher dan meenggelamkan diri ke laut daripada melakukan itu, karena konsekuensi penyesatan anak-anak ini sesungguhnya sangatlah berat.

Mengajar atau memperkenalkan Kristus kepada anak-anak kecil bukanlah tugas yang ringan. Mereka tidak akan mengerti hanya dengan mendengarkan satu kali saja. Kita harus berulang-ulang menjelaskan kepada mereka agar mereka bisa menangkap dengan baik apa yang menjadi kerinduan Tuhan bagi mereka. Dan Alkitab sudah mengingatkan hal itu. "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (Ulangan 6:6-7). Mengajarkan berulang-ulang itu penting, tetapi itu tidak akan ada gunanya apabila tidak disertai dengan contoh teladan yang baik pula dari kita sendiri. Kembali Firman Tuhan pun menyatakan hal itu. "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9).

Menjadi pengajar atau pekerja-pekerja yang terlibat dalam kegiatan Sekolah Minggu memerlukan keseriusan dan komitmen yang tinggi, bukan sekedar asal-asalan saja. Menjadi orang tua dari anak-anak kita pun demikian juga. Hari ini saya secara khusus memberi hormat kepada para guru Sekolah Minggu dan para orang tua yang sudah memegang komitmen mulia ini. Di tangan anda-lah terletak masa depan dari calon-calon pahlawan dan pemenang di masa depan ini. Apa yang anda berikan dan contohkan akan mengisi tiap lembar buku mereka. Saya juga mau mengingatkan, jika teman-teman ada yang terbeban untuk melayani anak-anak kecil ini, mengertilah dengan sungguh-sungguh betapa berharganya kepercayaan yang telah Tuhan berikan kepada anda. Mendidik dan membimbing anak kecil bukanlah urusan sepele dan tidak boleh dianggap remeh. Bagaimana mereka kelak di masa depan akan sangat tergantung dari bagaimana anda menyeriusinya hari ini.

Ajarkan dan berikan keteladanan kepada anak-anak kita, karena mereka sangatlah berharga di mata Tuhan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, January 22, 2012

Figur Teladan (2)

 (Sambungan)

Lalu mari kita lihat figur Yesus. Dalam masa kedatanganNya di muka bumi ini, Yesus pun menunjukkan hal yang sama. Segala yang Dia ajarkan bukanlah sekedar teori saja, tetapi semua itu telah Dia contohkan secara langsung lewat cara hidupnya. Mari kita ambil sebuah contoh dari perkataan Yesus sendiri ketika ia mengingatkan kita untuk merendahkan diri kita menjadi pelayan dan hamba dalam Matius 20:26-27. Yesus berkata: "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (ay 28). Apa yang Dia ajarkan itu sudah Dia lakukan secara nyata. Lalu lihatlah saat Yesus berkata "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu." (Yohanes 15:12) dan "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (ay 13). kita jelas bisa melihat sebesar apa kasihNya kepada kita. Yesus mengasihi kita sebegitu rupa sehingga Dia rela memberikan nyawaNya untuk menebus kita semua. Yesus sudah membuktikan diriNya sebagai sahabat yang sejati secara langsung lewat karya penebusanNya.

Seperti yang saya sampaikan kemarin, adalah jauh lebih mudah untuk menegur dan menasihati orang ketimbang menjadi teladan. Menjadi teladan berarti sikap kita haruslah sesuai dengan perkataan yang kita ajarkan. Ini adalah sebuah gambaran dari kehidupan yang berintegritas, sesuatu yang sudah semakin langka untuk ditemukan hari ini. Menasihati, mengajar atau menegur itu tentu baik. Tetapi Tuhan menghendaki kita semua agar tidak berhenti hanya sampai disini, melainkan melanjutkan langkah kita ke jenjang berikutnya yaitu dengan menjadi teladan dengan memiliki karakter, gaya hidup, sikap, tingkahlaku dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang kita ajarkan, terutama hal-hal yang kita ketahui menjadi suara hati Tuhan seperti yang tercatat di dalam Alkitab.

Lalu perhatikanlah Firman Tuhan berkata "Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu" (Titus 2:7) Lihatlah bahwa kita semua dituntut untuk bisa menjadi teladan di muka bumi ini. Sesungguhnya itu jauh lebih bermakna ketimbang hanya menyampaikan ajaran-ajaran lewat perkataan kosong. Sebagai orang tua, guru, abang, kakak, teman, rekan sekerja, saudara sepelayanan dan sebagainya, kita harus terus meningkatkan kualitas kita hingga sampai kepada sebuah tingkatan untuk bisa menjadi contoh atau teladan. Banyak orang yang mengira bahwa itu hanyalah tugas orang-orang dewasa atau berusia lanjut saja, tetapi Firman Tuhan berkata jelas bahwa tugas menjadi teladan pun merupakan sesuatu yang harus dilakukan sejak di usia muda. Sangat dianjurkan untuk bisa menjadi teladan di tengah lingkungan masyarakat sekitar, di tengah keluarga dan lain-lain, bahkan bagi orang-orang yang lebih tua sekalipun. Ayat berikut menunjukkan dengan jelas akan hal ini. "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12).

Yesus rindu melihat kita tampil menjadi orang-orang yang mampu bercahaya di dunia yang gelap ini. "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Matius 5:16) Dan itu tidak akan pernah bisa kita lakukan apabila kita tidak memiliki sikap yang pantas sebagai seorang teladan atau panutan. Menjaga kehidupan, perbuatan, tingkah laku dan sikap kita sesuai dengan Firman Tuhan merupakan jalan satu-satunya agar kita bisa menjadi terang yang bercahaya bagi orang lain dan bukan menjadi batu sandungan. Itu jelas tidak mudah, tetapi bukan tidak bisa. Kemauan dan keseriusan kita akan sangat menentukan, dan ingatlah pula bahwa ada Roh Kudus, Sang Penolong Sejati yang akan selalu memampukan kita untuk berkarakter penuh integritas dan kuat. Seperti apa karakter yang kita tunjukkan hari ini? Apakah sudah menyerupai karakter Kristus yang penuh kasih terhadap semua orang tanpa terkecuali atau kita masih hidup egois, eksklusif, pilih kasih, kasar, membeda-bedakan orang bahkan masih melakukan banyak hal yang jahat? Apakah kita sudah sejalan dengan apa yang kita ajarkan atau katakan atau masih bertolak belakang? Apakah kita sudah menjadi teladan atau malah dinilai munafik? Sadarilah bahwa cara hidup kita akan selalu diperhatikan oleh orang lain. Anak-anak kita akan melihat sejauh mana kita melakukan hal-hal yang kita nasihati kepada mereka, teman-teman dan orang lain pun akan mampu melihat apakah kita layak menjadi teladan atau tidak. Yang pasti menjadi teladan adalah sebuah keharusan, sebuah panggilan yang wajib kita laksanakan. Seperti halnya Yesus dan Paulus, marilah kita terus melatih diri kita untuk menjadi teladan seperti yang dikehendaki Tuhan atas anak-anakNya di muka bumi ini.

Kita tidak bisa menjadi terang dan garam kalau kita tidak memiliki sikap yang pantas sebagai teladan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, January 21, 2012

Figur Teladan (1)

Ayat bacaan: 1 Korintus 4:16
====================
"Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!"

teladanBanyak orang yang bisa mengajar, tetapi sedikit yang bisa menjadi teladan. Dalam kamus bahasa Indonesia kata teladan didefenisikan sebagai "sesuatu yang patut ditiru atau dicontoh." Kepintaran mengajar dan luasnya pengetahuan yang dimiliki belum tentu menjamin seseorang bisa menjadi teladan. Sebaliknya seringkali kita menyaksikan orang-orang yang sederhana dan bersahaja, mungkin tingkat pendidikannya pun rendah, tetapi mereka sanggup bersinar menjadi teladan di mata orang lain bahkan bisa berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebanyakan orang pintar menasihati atau menegur, tetapi apa yang mereka tontonkan dari perilaku atau gaya hidup mereka sehari-hari justru menunjukkan sebaliknya. Ada banyak pula orang tua yang mengira bahwa mereka cukup mengajar anak-anaknya saja tanpa perlu menunjukkan keteladanan. Seorang rekan dosen bercerita mengenai temannya. Orang tua temannya ini adalah perokok dan suka minum minuman keras bersama rekan-rekannya. Sayangnya hal ini dilakukan ayahnya di rumah, sehingga sejak kecil ia terbiasa melihat perilaku ayahnya itu. Lucunya, sang ayah memang selalu melarang anaknya ikut-ikutan dan mengatakan itu tidak baik bagi kesehatannya, tetapi apa yang dilakukan sang ayah justru melanggar habis-habisan apa yang ia ajarkan. Tidaklah mengherankan apabila kemudian anaknya menjadi pemabuk dan gampang sinis memandang orang lain. Itu semua berasal dari pengalaman buruknya sejak kecil, dimana figur ayah yang seharusnya jadi teladan gagal melakukan itu.

Adalah menarik jika kita melihat bagaimana Paulus sanggup berkata tegas kepada jemaat Korintus untuk meneladaninya. Paulus berkata demikian: "Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (1 Korintus 4:16). Kalimat ini sangatlah singkat, tetapi sesungguhnya sama sekali tidak ringan. Paulus tidak mungkin berani berkata seperti itu apabila ia tidak atau belum mencontohkan apa-apa dalam hidupnya sama sekali. Tapi tentu saja tidak seorang pun dari kita yang bisa membuktikan sebaliknya. Paulus memang merupakan sosok teladan yang luar biasa. Ia mengalami transformasi hidup 180 derajat dalam waktu relatif singkat setelah perjumpaannya langsung dengan Kristus. Kisahnya bisa kita baca dalam Kisah Para Rasul 9:1-19. Dari seorang pembunuh kejam dan penyiksa orang percaya, ia berubah menjadi orang yang sangat radikal dan berani dalam menyebarkan Injil keselamatan. Ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk pergi ke berbagai pelosok dalam menjalankan misinya bahkan sampai ke Asia kecil. Tidak ada pesawat, mobil, bus atau travel waktu itu yang mampu mengantar orang ke tempat jauh dalam waktu singkat. Tidak ada pula sarana internet, teleconference dan sebagainya yang bisa mempermudah kita dalam berhubungan dengan orang lain di belahan dunia lain. Bisa kita bayangkan bagaimana beratnya perjuangan Paulus. Cobalah letakkan diri kita pada posisinya, mungkin kita akan mudah stres, depresi dan labil diterpa kelelahan dan tekanan setiap harinya. Jika itu belum cukup, kita bisa tahu pula bahwa Paulus masih harus bekerja. Ia bekerja sebagai "pembuat kemah" (Kisah Para Rasul 18:2-3), dan penghasilannya ia gunakan untuk "membiayai keperluan dan kebutuhannya beserta teman-teman sekerja dalam melayani" (ay 20:34) dan juga untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Karena itulah Paulus kemudian bisa mengingatkan: "Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (ay 35). Paulus mengajarkan sesuatu yang telah ia lakukan sendiri, sebagai contoh atau teladan yang sejalan dengan pengajarannya.

Menjadi ciptaan baru di dalam Kristus seperti yang dikatakan dalam surat 2 Korintus 5:17 memang merupakan anugerah tak terhingga besarnya dari Tuhan. Tetapi biar bagaimanapun keputusan ada di tangan kita. Apakah kita mau benar-benar menghayati transformasi yang telah diberikan kepada kita atau tetap hidup dalam sifat-sifat buruk di masa lalu merupakan pilihan atau keputusan yang tergantung dari kita sendiri. Hidup akan selalu penuh dengan pilihan, kita harus terus mengambil keputusan demi keputusan. Paulus bisa saja tetap berlaku seperti sebelumnya, terus menyiksa dan membunuh meski ia sudah mengalami sendiri perjumpaan dengan Kristus, tetapi untungnya ia tidak mengambil pilihan itu. Ia benar-benar menghayati kemerdekaan yang diperolehnya dengan penuh rasa syukur dan mengabdikan seluruh sisa hidupnya secara penuh untuk Tuhan. Dalam menjalankan misinya Paulus mengalami banyak hal yang mungkin akan mudah membuat kita kecewa atau patah apabila berada di posisinya. Tetapi tidak demikian dengan Paulus. Lihatlah apa yang ia katakan: "Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah." (1 Korintus 4:11-13a). Kita bisa melihat sendiri bagaimana karakter Paulus dalam hidupnya setelah bertobat. Apa yang ia ajarkan semuanya telah dan terus ia lakukan sendiri dalam kehidupannya. Oleh sebab itu pantaslah Paulus menjadi seorang teladan dan ia pun berhak mengingatkan orang agar menjadikannya teladan tanpa ragu.

(bersambung)

Friday, January 20, 2012

Hidangan dan Proses Penyajiannya

Ayat bacaan: Kejadian 39:5
=====================
"Sejak ia memberikan kuasa dalam rumahnya dan atas segala miliknya kepada Yusuf, TUHAN memberkati rumah orang Mesir itu karena Yusuf, sehingga berkat TUHAN ada atas segala miliknya, baik yang di rumah maupun yang di ladang."

makananBerapa banyak makanan yang dihidangkan tepat di hadapan anda apabila anda duduk di sebuah rumah makan Padang? Semua terlihat nikmat, dan kita pun sering kesulitan memilih mana yang hendak kita makan. Tadi siang saya mengunjungi sebuah rumah makan Padang dan mengalami sendiri sulitnya menentukan pilihan dari sekian banyak makanan lezat yang terhidang di atas meja. Di saat bingung memilih, saya tiba-tiba terpikir betapa panjangnya jalur proses hingga makanan itu bisa sampai ke atas meja. Peternak ayam bersusah payah membiakkan ayamnya lalu sampai ke pasar untuk dijual. Pihak restoran, rumah makan atau ibu rumah tangga membelinya, dan di dapur ayam itu akan bertemu dengan berbagai bumbu dan sayuran yang menempuh proses yang panjang pula. Sayuran ditanam petani dengan susah payah, di bawah terik matahari dan harus berhadapan dengan berbagai hama atau cuaca buruk yang berpotensi merusak hasil taninya. Jika ditambah lagi dengan ikan, para nelayan harus menempuh berbagai resiko ketika melaut. Tidak jarang gelombang tinggi atau malah badai mengancam mereka, dan tidak jarang pula mereka harus meluangkan waktu lebih banyak untuk mendapat hasil tangkapan yang memadai. Ada supir yang bertugas mengantarkan produk ke pasar/supermarket hingga ke dapur, ada para pembantu dan koki yang bekerja memasaknya, ada penjual di pasar atau malah karyawan/karyawati supermarket yang siap membantu anda dalam membeli. Jika kita pikirkan, proses yang harus dilewati sungguhlah panjang. Kita mungkin hanya tahu beres, tinggal menyantap makanan lezat di atas meja saja, tetapi agar makanan itu bisa kita nikmati, selalu ada sebuah proses panjang yang melibatkan banyak orang di dalamnya.

Kita selalu diingatkan untuk berdoa sebelum makan, mengucap syukur dan meminta agar apa yang kita makan diberkati Tuhan sehingga menjadi sumber tenaga, kesehatan dan kekuatan yang menjauhkan penyakit dari tengah-tengah kita. Sebuah ayat dalam kitab Keluaran berkata: "Tetapi kamu harus beribadah kepada TUHAN, Allahmu; maka Ia akan memberkati roti makananmu dan air minumanmu dan Aku akan menjauhkan penyakit dari tengah-tengahmu." (Keluaran 23:25). Itulah sebabnya mengapa kita harus berdoa terlebih dahulu sebelum makan. Dan jika kita melihat ketika Yesus datang ke dunia, berkali-kali pula ia menunjukkan pentingnya mengucap syukur terlebih dahulu atas roti/makanan sebelum disantap. Bukan itu saja, tetapi alangkah baiknya apabila dalam doa kita itu kitapun mendoakan dan memberkati orang-orang yang terkait dalam proses panjang makanan itu. Mengapa? Sebab sebagai agen-agen Tuhan di dunia hari ini kita harus ingat tugas kita untuk menjadi saluran berkat dari Tuhan bagi orang lain.

Dalam ayat bacaan hari ini kita bisa melihat bahwa Yusuf bisa menjadi saluran berkat Tuhan atas Potifar. "Sejak ia memberikan kuasa dalam rumahnya dan atas segala miliknya kepada Yusuf, TUHAN memberkati rumah orang Mesir itu karena Yusuf, sehingga berkat TUHAN ada atas segala miliknya, baik yang di rumah maupun yang di ladang." (Kejadian 39:5). Ayat ini jelas menunjukkan bahwa kita bisa menjadi saluran berkat seperti halnya Yusuf atas Potifar. Potifar dikatakan diberkati Tuhan dan jelas disana disebutkan bahwa itu "karena Yusuf". Artinya lewat kita anak-anakNya yang percaya, Tuhan bisa memberkati orang lain. Kita bisa menjadi saluran berkat bagi banyak orang dan itu bisa kita lakukan dengan mendoakan orang yang memasak dan menghidangkan. Sayangnya banyak yang lupa bahwa sebenarnya butuh proses panjang agar makanan bisa terhidang dan melibatkan banyak pihak. Lupa bahwa mereka-mereka ini pun layak untuk kita doakan. Padahal apabila satu saja mata rantai itu terputus, makananpun tidak akan sampai ke atas meja kita dan kita tidak akan bisa menikmati sajian yang lezat itu.

Lebih sering cacian, prasangka dan tuduhan yang lebih sering keluar dari lidah ketimbang berkat bagi orang lain. Firman Tuhan sudah mengingatkan hal itu dalam banyak kesempatan, misalnya "dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi." (Yakobus 3:10). Kita sering lupa bahwa untuk menjadi diri kita sekarang ada banyak orang yang memiliki peran penting di sepanjang perjalanan hidup kita. Adalah jauh lebih mudah untuk mengingat sesuatu yang buruk daripada mengingat jasa dan kebaikan orang lain. Petrus pun mengingatkan kita untuk terus memberkati, karena kita dipanggil untuk memperoleh berkat pula. "Dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat. Sebab:Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu." (1 Petrus 3:9-10) Kita diberkati untuk memberkati. Karenanya kita harus menjadi saluran berkat pula untuk menjangkau orang lain secara luas, tanpa terkecuali dan tanpa batas. 

Jika esok anda melihat hamparan makanan lezat dihidangkan di depan anda, ingatlah bahwa semua itu butuh proses perjalanan yang panjang. Ada orang-orang yang sudah bersusah payah bekerja sehingga makanan lezat itu pun bisa terhidang di meja anda. Doakan dan berkatilah mereka yang terlibat di dalamnya, karena selain semua itu adalah hasil kerja mereka yang patut kita hargai, kita pun bisa menjadi saluran berkat bagi orang lain.

Seperti Tuhan selalu memberkati kita, kita pun harus memberkati lebih banyak lagi

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, January 19, 2012

Benih dan Tanah

Ayat bacaan: Matius 13:26
====================
"Ketika gandum itu tumbuh dan mulai berbulir, nampak jugalah lalang itu."

benih dan tanahSudah beberapa kali saya dan istri mencoba menanam mulai dari benih. Beberapa hari kami pun harap-harap cemas menanti apakah benih itu akan tumbuh atau tidak. Ada beberapa memang yang gagal, tapi kebanyakan berhasil. Betapa gembiranya melihat munculnya tunas kecil menyembul dari tanah, dan kemudian terus tumbuh membesar. Benih-benih sayuran itu kini sudah menunjukkan hasil yang cukup baik. Beberapa malah sudah siap petik. Menanam sendiri dari benih dan melihat hasilnya terasa jauh lebih menyenangkan dan lebih puas ketimbang membeli yang sudah jadi. Apa yang saya perhatikan selanjutnya bukan hanya benih yang tumbuh tunas dan menjadi tanaman itu saja, tetapi saya pun melihat bagaimana tanah bekerja. Tanah tidak bisa dan tidak akan pernah bisa memilih. Tanah akan menumbuhkan apapun yang kita tabur ke atasnya. Jika kita menabur benih buah maka buah yang akan tumbuh. Jika benih sayur, maka sayurlah yang tumbuh. Tidak akan mungkin benih sayur menjadi buah, tidak mungkin pula benih buah menjadi sayur. Kondisi tanah pun harus subur. Campuran antara tanah dan pupuk harus baik. Terlalu banyak pupuk akan membuat tanah menjadi panas, tanpa pupuk sama sekali pun benih akan sulit tumbuh. Tidak sulit untuk menanam, tetapi mudah juga tidak. Kondisi tanah, keadaan benih dan ketekunan kita merawat adalah hal-hal yang penting bagi keberhasilan kita dalam menanam.

Sebuah perumpamaan dari Yesus mempergunakan ilustrasi mengenai mengenai benih dan tanah ini, yaitu dalam perumpamaan tentang lalang di antara gandum. (Matius 13:24-30). "Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya." (Matius 13:24). Rasanya orang hanya akan selalu menaburkan benih yang baik di ladangnya, dan tidak akan pernah mau menabur benih yang bisa merusak lahan taninya. Apakah ada orang yang dengan sengaja menanam benih lalang atau tanaman liar? Tentu saja tidak. Tapi musuh bisa menaburkan benih yang tidak baik di sana. "Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan benih lalang di antara gandum itu, lalu pergi." (ay 25). Perhatikanlah, tanahnya sama, tapi benih yang baik dan yang tidak baik keduanya bisa sama-sama tumbuh dengan subur. "Ketika gandum itu tumbuh dan mulai berbulir, nampak jugalah lalang itu." (ay 26). Lalu bagaimana akhirnya? "Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu itu aku akan berkata kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berberkas-berkas untuk dibakar; kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku." (ay 30). Tanah tempat tumbuhnya sama, kedua benih yang baik dan tidak sama-sama tumbuh subur, tapi pada akhirnya kita bisa melihat mana yang masuk ke lumbung dan mana yang berakhir dengan dibakar.

Seperti halnya tanah, demikian pula yang terjadi dengan pikiran kita. Pikiran kita ibarat tanah yang subur. Pikiran kita selalu menerima, memberi respon, menumbuhkan apapun yang ditabur masuk di dalamnya tanpa terkecuali, sama seperti tanah. Apakah itu baik atau buruk, apakah itu positif atau negatif, apakah itu bermanfaat atau merusak, apakah yang mengarah pada keselamatan atau menjerumuskan kita ke dalam jurang dosa, semuanya akan ditumbuhkan oleh pikiran kita tanpa terkecuali. Baik atau buruk, keduanya bisa tumbuh subur di pikiran kita. Itulah sebabnya kita harus mampu menguasai pikiran kita sebelum pikiran kita berbalik berkuasa atas diri kita. Jika kita menanam hal-hal yang tidak baik, misalnya pikiran negatif, pornografi, berprasangka buruk, menduga-duga, atau malah menghakimi orang lain dalam pikiran kita, maka itulah yang akan tumbuh subur dan merajai hidup kita. Jika kita menabur hal-hal seperti mengasihani diri berlebihan, menganggap diri rendah, kebencian, dendam, atau bahkan kutuk, maka itulah yang akan direspon pikiran kita. Dari benih yang kecil, itu akan tumbuh hingga kelak berbuah. Dan benih yang jahat akan menghasilkan tindakan-tindakan yang jahat pula. Firman Tuhan sudah mengingatkan "Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia." (Amsal 23:7) Dalam versi King James Version dikatakan: "For as he thinketh in his heart, so is he." Seperti yang kita pikirkan, demikianlah kita. Kita bisa menjadi pribadi yang baik, kudus dan berkenan, atau sebaliknya menjadi pribadi yang buruk, penuh kebencian dan kepahitan, semua tergantung dari benih seperti apa yang kita tabur ke dalam pikiran kita.

Oleh karena itu penting bagi kita agar selalu menanam hal-hal yang positif dalam pikiran kita. Paulus pun pernah mengingatkan hal ini dengan sangat jelas. "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8). Lihatlah bahwa kita dianjurkan untuk selalu mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang baik. Memandang dari sisi negatif akan membuat kita menjadi negatif pula, karena itulah yang akan ditumbuhkan oleh pikiran kita dan kemudian berbuah subur dalam hidup kita. Jika kita mengikuti pesan yang tertulis dalam Filipi 4:8 di atas, maka kita pun akan menuai persis seperti apa yang kita tanam, yaitu hal-hal yang benar, adil, mulia, suci, manis dan baik. Adalah sangat penting bagi kita untuk terus menabur benih firman Tuhan dalam pikiran kita secara teratur, sehingga tidak ada lagi tempat atau celah bagi benih-benih negatif untuk bertumbuh di dalam pikiran kita dan merusak kita serta merampas kesempatan kita untuk menjadi bagian dari Kerajaan Surga.

Karena Allah adalah kasih, maka firman-firmanNya yang kita tabur tentu akan menumbuhkan kasih pula. Jika kasih yang tumbuh, maka lita pun akan penuh dengan buah kasih dan kebajikan. "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." (1 Korintus 13:4-7). Semua inilah yang akan tumbuh dan semua ini akan membentuk pribadi kita menjadi pribadi yang berkenan di mata Tuhan. Tidak ada tempat bagi hal-hal negatif di dalam kasih. Jika kita berbuah kasih, maka pikiran kita bisa terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif yang siap menenggelamkan diri kita dan mengarahkan kita untuk hanyut semakin jauh dalam dosa. Selain itu, janganlah kita memenuhi pikiran kita dengan berbagai ketakutan atau kekhawatiran yang seringkali tidak beralasan dan belum tentu terjadi seperti yang kita takutkan. "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur." (Filipi 4:6). Jika ini kita lakukan maka hidup kita pun menjadi lebih indah sebab damai sejahtera Allah akan selalu hadir di dalam diri kita. "Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus." (Filipi 4:7).

Menabur firman Tuhan dalam pikiran kita, menabur benih-benih yang baik disana, itu akan membuat kita kelak bertunas hal-hal yang baik pula. Jangan lupakan bahwa kita pun harus menaklukkan pikiran kita dalam Kristus agar tidak ada benih-benih negatif yang bakal tumbuh disana. Hal ini tepat seperti yang dilakukan pula oleh Paulus dan rekan-rekan sepelayanannya. "Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus" (2 Korintus 10:5b). Control your mind and don't let your mind control you. Kita harus mampu mengendalikan pikiran kita, menabur hal-hal yang positif, yang baik dan yang benar sesuai firman Tuhan, serta menaklukkannya kepada Kristus. Marilah kita mengendalikan dan memperhatikan pikiran kita, sebab apapun benih yang kita tanam di dalamnya akan sangat menentukan tunas seperti apa yang akan tumbuh dari diri kita.

Apa yang tumbuh dalam pikiran kita tergantung dari benih seperti apa yang kita tabur di dalamnya

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, January 18, 2012

Kesaksian

Ayat bacaan: Markus 5:19
=====================
"Yesus tidak memperkenankannya, tetapi Ia berkata kepada orang itu: "Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu dan bagaimana Ia telah mengasihani engkau!"

kesaksianBuat saya selalu menyenangkan ketika mendengar pengalaman hidup dari tokoh-tokoh senior. Lewat pengalaman hidup mereka saya bisa belajar banyak dan itu selalu berguna untuk perjalanan hidup saya ke depan. Bagaimana mereka sukses, atau apa yang menyebabkan mereka jatuh, bagaimana mereka kemudian bangkit lagi dan berbagai pesan-pesan bijaksana dari orang yang sudah mengalami secara langsung. Mendengar kesaksian-kesaksian orang yang diubahkan Tuhan pun selalu memberi kekuatan dan berkat tersendiri bagi saya. Menurut banyak teman saya, bentuk kesaksian nyata seperti ini bagi mereka jauh lebih mengena ketimbang sesuatu yang hanya berdasarkan teori saja. Di balik sebuah kesaksian nyata itu ada bukti, dan manusia memang cenderung lebih percaya pada bukti ketimbang hanya mendengarkan pesan secara teoritis. Karena itu pula saya selalu membagikan pengalaman hidup saya sendiri kepada para murid saya. Bukan hanya yang baik-baik, tetapi juga yang buruk agar mereka bisa belajar dan tidak perlu terjatuh ke dalam lubang yang sudah pernah saya rasakan sebelumnya. Ketika banyak orang beranggapan bahwa mereka tidak punya apapun untuk dibagikan, sesungguhnya sebuah kesaksian kecil tentang kebaikan Tuhan dalam hidup pun bisa bermakna sangat besar bagi orang lain.

Sebuah kesaksian akan keajaiban perbuatan Tuhan dalam hidup manusia akan mampu berbicara banyak mengenai kebaikan Tuhan. Sebuah kesaksian yang paling sederhana sekalipun bisa jadi malah akan lebih efektif ketimbang mengkotbahi orang panjang lebar tanpa disertai contoh yang nyata. Manusia biasanya akan lebih mudah menangkap ilustrasi dari sebuah kehidupan nyata dan akan lebih mudah mencerna hingga mengaplikasikannya ketimbang hanya disuruh menelan bulat-bulat segala sesuatu yang sifatnya teoritis saja. Sebuah pengalaman pribadi tentang sesuatu akan memiliki kekuatan tersendiri untuk menggerakkan orang lain. Ada waktu-waktu dimana kita butuh mendengar berbagai kesaksian dari orang-orang yang mengalami mukjizat untuk menguatkan kita di saat kita tengah tergoncang akibat menghadapi beban hidup atau masalah.  Bisa jadi kita tahu banyak akan janji-janji Tuhan yang diberikan dalam Alkitab, tetapi kita merasa jauh dari janji itu ketika tengah menghadapi pergumulan. Itulah sebabnya berbagai kesaksian biasanya mampu menguatkan kita dan memulihkan iman kita untuk kembali dipenuhi pengharapan akan janjiNya.

Tuhan Yesus pun mengerti akan pentingnya sebuah kesaksian. Kepada murid-muridNya Dia menyampaikan sebuah pesan terakhir sebelum terangkat naik kembali ke tahtaNya di surga. "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah Para Rasul 1:8). Itu bukanlah tugas yang mudah. Kita diminta bertindak menjadi saksi Kristus baik di Yerusalem, yang berbicara mengenai "area jangkauan" kecil, di lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan, Yudea, bericara mengenai area lebih luas yaitu propinsi, mencakup kota-kota atau desa-desa di sekitar kota kita, Samaria, yaitu menjangkau saudara-saudara kita yang belum mengenal Kristus bahkan hingga ke seluruh bumi. Bersaksi bukan hanya tugas pendeta, dan Kita tidak harus menjadi pendeta terlebih dahulu untuk bisa bersaksi. Kita tidak perlu berpikir bahwa kita harus berkotbah panjang lebar di jalan-jalan untuk menjalankan tugas ini. Kita bisa melakukan itu dengan memberi kesaksian bagaimana campur tangan Tuhan dalam kehidupan kita membuat perbedaan dalam kesempatan-kesempatan biasa ketika berkumpul bersama teman dan sebagainya.

Kita bisa melihat betapa pentingnya memberi kesaksian itu di mata Yesus lewat sebuah kisah  "Yesus mengusir roh jahat dari orang Gerasa" (Markus 5:1-20). Dalam perikop ini diceritakan bagaimana Yesus mengusir orang yang tengah dirasuk roh jahat yang keluar dari area pekuburan. Begitu banyaknya roh jahat yang masuk ke dalam orang Gerasa itu, dikatakan sebagai sebuah legiun, hingga tidak ada satupun orang yang sanggup melepaskannya. Bahkan rantai sekalipun tidak cukup kuat untuk menahan. Adalah Yesus yang akhirnya turun tangan dan melepaskan orang Gerasa itu. Untuk mengungkapkan rasa syukurnya, si orang itu pun kemudian meminta agar ia diperkenankan mengikuti Yesus kemanapun Dia pergi. Betapa menarik melihat reaksi Yesus selanjutnya. "Yesus tidak memperkenankannya, tetapi Ia berkata kepada orang itu: "Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu dan bagaimana Ia telah mengasihani engkau!" (Markus 5:19). Perhatikan bahwa Yesus memintanya untuk kembali ke kampungnya, lalu bersaksi disana. Orang Gerasa yang disembuhkan itu pun kemudian patuh. "Orang itupun pergilah dan mulai memberitakan di daerah Dekapolis segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya dan mereka semua menjadi heran." (ay 20). Apa yang ia alami adalah sebuah pengalaman luar biasa mengenai bagaimana Tuhan sanggup melakukan apapun dan betapa besarnya belas kasihan Tuhan. Itu akan menjadi sebuah kesaksian indah yang akan mampu memberkati orang-orang lain. Area Dekapolis terdiri dari 10 kota, dan dari ayat 20 kita bisa melihat bahwa orang yang disembuhkan itu ternyata berkeliling dari satu kota ke kota lain di Dekapolis untuk membagikan kesaksiannya. Kita tidak tahu berapa orang yang kemudian bertobat setelah kesaksian itu, tapi saya percaya ada banyak yang diberkati dan kemudian bertobat lalu memutuskan untuk menjadi orang percaya.

Kesaksian adalah salah satu alat yang mampu membunuh iblis dan perbuatan-perbuatan jahatnya, dan Firman Tuhan sudah menyatakan hal itu. "Dan mereka mengalahkan dia oleh darah Anak Domba, dan oleh perkataan kesaksian mereka. Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut." (Wahyu 12:11). Ini menggambarkan betapa pentingnya sebuah kesaksian untuk menghancurkan jebakan, tipu muslihat iblis dan kuasa-kuasa kegelapan yang sangat ingin menggiring kita masuk ke dalam api neraka. Sebuah kesaksian tidak harus selalu berisikan mukjizat-mukjizat seperti kesembuhan sakit penyakit, pelepasan, pemulihan, berkat-berkat dan sebagainya. Sebuah kesaksian kecil mengenai bagaimana kita bisa tetap hidup dalam pengharapan di kala kesesakan, bagaimana kita bisa tetap teguh dalam iman di saat sulit, itupun bisa menjadi berkat yang memberi kekuatan tersendiri bagi orang lain. Tidak ada satu orangpun yang tidak punya kesaksian untuk dibagikan. Masalahnya adalah, maukah kita membagikannya kepada orang lain agar mereka bisa mengenal siapa Yesus sebenarnya? Bukan kemampuan kita berbicara atau ilmu  yang kita miliki yang dibutuhkan, tetapi pakailah kuasa Allah yang bekerja di dalam diri kita.

Kesaksian yang paling sederhana pun bisa memberkati orang lain secara luar biasa

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Dua Ibu Janda dan Kemurahan Hatinya (8)

 (sambungan) Dua janda yang saya angkat menjadi contoh hari ini hendaknya mampu memberikan keteladanan nyata dalam hal memberi. Adakah yang ...