Monday, July 31, 2017

Salomo Pilih Hikmat (2)

(sambungan)

Tidaklah heran bahwa kemudian Tuhan memandang pilihan atau permintaan Salomo itu baik (ay 10). Sesuai janji, Tuhan pun memberikannya. Kita tahu Salomo tumbuh menjadi seseorang yang begitu hebat dari segi hikmat, tak tertandingi oleh siapapun. "Dan Allah memberikan kepada Salomo hikmat dan pengertian yang amat besar, serta akal yang luas seperti dataran pasir di tepi laut sehingga hikmat Salomo melebihi hikmat segala bani Timur dan melebihi segala hikmat orang Mesir." (1 Raja Raja 4:29-30). Salomo meminta hikmat, dan Tuhan memberikannya dengan maksimal, lebih dari sekedar cukup untuk bisa mengurus umat pilihan Tuhan yang besar jumlahnya itu.

Kalau itu saja sudah bukan main luar biasanya, ternyata pemberian Tuhan tidak berhenti sampai disitu saja. Pilihan yang diambil Salomo ternyata mendatangkan turunnya berkat-berkat lain ke dalam hidupnya. Firman Tuhan berkata: "Dan juga apa yang tidak kauminta Aku berikan kepadamu, baik kekayaan maupun kemuliaan, sehingga sepanjang umurmu takkan ada seorangpun seperti engkau di antara raja-raja. Dan jika engkau hidup menurut jalan yang Kutunjukkan dan tetap mengikuti segala ketetapan dan perintah-Ku, sama seperti ayahmu Daud, maka Aku akan memperpanjang umurmu." (ay 13-14). Wah, bukankah itu luar biasa? Bukan saja hikmat, tapi juga kekayaan, kemuliaan dan umur yang panjang. Semua itu menjadi bagian Salomo.

Maka kita tahu hari ini bahwa selain raja hikmat, Salomo adalah salah satu tokoh terkaya dalam Alkitab yang tidak akan pernah bisa tersaingi oleh orang terkaya manapun sepanjang jaman. Kemahsyuran namanya pun melegenda, hingga hari ini kita mengenal namanya. Alkitab mencatat seperti ini: "Raja Salomo melebihi semua raja di bumi dalam hal kekayaan dan hikmat." (1 Raja Raja 10:23). Sebuah pilihan yang luar biasa ketika ia tidak mementingkan diri sendiri dan lebih memilih untuk kepentingan orang lain agar bisa mendapatkan pertimbangan/keputusan yang adil sesuai hikmat dari Tuhan. Ia tidak berpikir untuk memperkaya diri atau mencari keuntungan-keuntungan pribadi tapi fokus kepada melakukan yang terbaik untuk panggilan yang diberikan Tuhan kepadanya. Hasilnya, Salomo diberkati luar biasa dalam segala hal.

Di kemudian hari ketika Salomo menulis Amsal, ia kembali menyinggung hal mengenai hikmat ini berdasarkan pengalamannya sendiri. Demikian Salomo menulis: "Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas." (Amsal 3:13-14). Tidak saja melebihi emas dan perak, tapi juga lebih berharga dari permata, begitu berharganya seingga tidak ada sesuatu hal lain yang mampu menandingi nilai sebuah hikmat ini. (ay 15). Dan seperti apa yang dikatakan Tuhan, juga sesuai dengan kesaksiannya sendiri, Salomo pun mengatakan kembali apa yang difirmankan Tuhan. "Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan." (ay 16). Pilihan yang tidak terpusat pada kepentingan sendiri, serius dalam menjalani panggilan, itulah ternyata yang berkenan di mata Tuhan.

Jika kita mundur satu generasi sebelumnya, ternyata ayah Salomo, Daud, sudah mengetahui pentingnya hikmat ini dalam hidup. Sebelum Salomo menulis tentang permulaan hikmat dalam Amsal 9:10 yang sangat terkenal itu ("Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian."), Daud sudah menyatakan dari mana hikmat itu bermula. "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, semua orang yang melakukannya berakal budi yang baik. Puji-pujian kepada-Nya tetap untuk selamanya." (Mazmur 111:10). Salomo belajar dari ayahnya dan menjalani hidupnya sesuai ketetapan ayahnya. Itu membuatnya tumbuh berbeda dari kebanyakan orang.

Dengan hikmat yang berawal dari takut akan Tuhan, kita akan mendapat pengertian, kita akan menjadi bijaksana dan bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, tidak peduli apapun bentuk kemasan dan samarannya. Tersamarkan atau kasat mata, kita akan bisa membedakan keduanya jika kita memiliki hikmat. Betapa pentingnya hikmat ini agar kita tidak salah jalan, terperangkap, tersandung, jatuh melainkan tetap mengambil keputusan benar dalam berjalan menggenapi rancangan Tuhan dalam hidup kita. Itulah sebabnya mengapa hikmat ini jauh lebih bernilai ketimbang emas, perak, permata atau keinginan/kekayaan lainnya yang pernah kita impikan.

Seandainya pilihan seperti kepada Salomo diberikan Tuhan kepada anda, jangan sampai salah menentukan pilihan. Lupakan segala kenikmatan-kenikmatan daging karena semua itu bukanlah yang terutama, melainkan pilihlah sebuah pilihan yang berkenan bagi Tuhan. Hikmat merupakan pilihan bijaksana yang bernilai tinggi di mata Tuhan. Karenanya berbahagialah orang yang mendapat hikmat.

"Knowlege comes, but wisdom lingers." - Alfred Lord Tennyson, pujangga Inggris

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, July 30, 2017

Salomo Pilih Hikmat (1)

Ayat bacaan: 1 Raja Raja 3:9
===================
"Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?"

Jika anda diberi kesempatan untuk menyebutkan satu permintaan yang pasti dikabulkan, apa yang anda pilih? Dalam ngobrol santai bersama teman-teman, kebanyakan memilih kaya dan panjang umur. Ada juga yang minta dapat pasangan cantik dan lain-lain. Tapi semua itu merupakan reaksi awal, karena setelah mereka memperhatikan bahwa permintaan cuma boleh satu kali, mereka pun mulai berpikir panjang untuk meminta yang paling baik. Kalau memilih panjang umur, bagaimana jika sepanjang umur itu hidup miskin dan menderita? Jika memilih kekayaan, bagaimana jika kaya tapi banyak masalah? Yang minta pasangan cantik, bagaimana kalau matre dan tidak setia? Sesuatu yang awalnya sepertinya sederhana ternyata menjadi sulit untuk dijawab atau diputuskan. Sama seperti apabila anda diminta untuk memilih madu atau racun. Tampaknya mudah, tentu pilih madu kan? Tapi terkadang ada racun yang rasanya manis seperti madu, atau sebaliknya ada yang dikira racun karena pahit tetapi ternyata pada akhirnya bermanfaat dan manis seperti madu.

Hidup sesungguhnya penuh pilihan. Dari saat awal bangun tidur kita sudah di'paksa' untuk memilih. Mau malas-malasan sebentar atau langsung bangun? Mau saat teduh atau mandi dulu, atau mau pergi olah raga pagi? Sarapan atau tidak? Kalau sarapan, mau roti, bubur, nasi atau biskuit sarapan pagi? Wah susunya habis.. mau pergi beli dulu ke warung dekat rumah atau lanjut saja tanpa susu? Kopi atau teh? Pakai baju apa? Mau naik apa berangkatnya? Kalau naik kendaraan pribadi, mau mengambil jalan yang terdekat tapi macet atau memutar sedikit dengan pertimbangan lebih lancar? Di kantor anda mungkin akan terlibat dalam pengambilan keputusan yang akan menentukan arah perusahaan tempat anda bekerja. Setelah selesai mau langsung pulang atau mampir ke tempat lain dulu? Di rumah mau langsung makan malam atau mandi? Hingga malam saat naik ke tempat tidur, apakah anda mau langsung menutup mata dan tidur atau main-main di sosial media dahulu sebelum tidur? Atau baca buku? Atau doa? Anda tidur, dan pagi harinya anda akan bertemu lagi dengan pilihan-pilihan yang membutuhkan keputusan anda. Untuk pilihan-pilihan yang ringan mungkin tidak akan ada masalah. Tapi untuk sesuatu yang serius dan berdampak panjang, bagaimana jika kita memilih sesuatu yang salah, padahal kesempatan memilih cuma diberikan satu kali saja?

Hari ini mari kita lihat kitab 1 Raja Raja 3 ketika Salomo diberikan Tuhan kesempatan untuk memberi satu permintaan sebagai bentuk penghargaan Tuhan atas keseriusan Salomo dalam mengasihiNya. Pada saat itu belum ada Rumah Tuhan sehingga untuk mempersembahkan kurban orang harus naik ke bukit-bukit. Salomo memang luar biasa dan berbeda. Selain ia dikatakan hidup menurut ketetapan Daud, ayahnya, ia pun secara teratur mempersembahkan korban sembelihan dan ukupan di bukit-bukit tempat pengorbanan tersebut. (ay 3). Itu adalah sebuah kualitas hidup mengasihi Tuhan yang terbukti berkenan di hadapanNya.

Pada suatu malam di Gibeon, sebuah tempat pengorbanan yang paling besar dimana Salomo mempersembahkan seribu korban di mezbah, ia diberikan sebuah kesempatan emas untuk meminta sesuatu dari Tuhan secara langsung. "Di Gibeon itu TUHAN menampakkan diri kepada Salomo dalam mimpi pada waktu malam. Berfirmanlah Allah: "Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu." (1 Raja-Raja 3:5). Bukan main besarnya hadiah dari Tuhan ini. Jika itu terjadi pada diri anda, anda bakal minta apa? Mungkin pilihan-pilihan di atas langsung muncul di kepala kita. Bingung memilih apa yang paling menguntungkan buat kita, bukan untuk orang lain.  "Saya saja masih kurang, masa harus mikirin orang lain dulu?" Begitu mungkin reaksi sebagian orang kalau mendapat kesempatan emas seperti Salomo.

Hebatnya, atau mungkin anehnya dari kacamata manusia, Salomo ternyata mengambil keputusan yang mengejutkan. Sesuatu yang mungkin tidak lazim dipilih ketika berhadapan dengan satu kesempatan seumur hidup untuk mendapatkan sebuah permintaan yang bisa langsung dikabulkan. Ketika mendapat kesempatan luar biasa, Salomo ternyata tidak meminta kekayaan atau panjang umur. Ia tidak minta berkat materi dan tidak meminta hal-hal yang berhubungan dengan pemuasan dirinya sendiri, melainkan HIKMAT.

Banyak orang mungkin berpikir, bisa minta kekayaan, kemakmuran, ketenaran atau umur panjang, masa mintanya hikmat? Untuk apa memangnya hikmat itu? Salomo menjelaskan alasannya dengan lengkap. Katanya: "Maka sekarang, ya TUHAN, Allahku, Engkaulah yang mengangkat hamba-Mu ini menjadi raja menggantikan Daud, ayahku, sekalipun aku masih sangat muda dan belum berpengalaman. Demikianlah hamba-Mu ini berada di tengah-tengah umat-Mu yang Kaupilih, suatu umat yang besar, yang tidak terhitung dan tidak terkira banyaknya.Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?" (ay 7-9).

Perhatikanlah beberapa poin berikut:

1. Salomo tidak meminta untuk kepentingan dirinya. Yang ia minta adalah sesuatu yang berhubungan dengan apa yang digariskan Tuhan untuk ia kerjakan. Salomo meminta hikmat, meminta kebijaksanaan memenuhi dirinya ternyata bertujuan agar ia mampu membedakan mana yang baik dan jahat, benar dan salah, supaya ia mampu menimbang perkara dan memutuskan dengan benar.
2. Sikap luar biasa seperti itu bisa dimiliki Salomo karena ia membangun kualitas dirinya dengan berpegang pada kebenaran yang diajarkan oleh ayahnya, dan ia mengasihi Tuhan dengan sangat serius. Bukan ala kadarnya, bukan asal-asalan, bukan main-main, tapi sangat serius.
3. Salomo tahu bahwa ia harus memberi yang terbaik dalam panggilannya, dan ia tahu apa yang tepatnya ia butuhkan. Ada banyak orang yang tidak tahu apa panggilannya, tidak tahu harus berbuat apa, dan tidak tahu mereka butuh apa agar bisa maksimal. Salomo paham dengan semua ini.
4. Salomo tahu bahwa :
a. hikmat sejati itu berasal dari Tuhan dan diberikan buat siapapun yang mencari atau memintanya
b. permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan
c. hikmat itu jauh lebih berharga dari emas, perak, permata dan harta sebesar dan sebanyak apapun
d. hikmat akan memelihara dan menjaga yang memilikinya

Kelak di kemudian hari Salomo menuliskan semua ini dalam Amsal.

(bersambung)


Saturday, July 29, 2017

Lebih Jauh Mengenal Hikmat (3)

(sambungan)

Karena itulah kita juga diingatkan lewat Amsal bahwa hikmat sesungguhnya lebih berharga dari emas dan perak. ""Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas." (Amsal 3: 13-14). Pada ayat lain dikatakan: "Karena hikmat lebih berharga dari pada permata, apapun yang diinginkan orang, tidak dapat menyamainya." (Amsal 8:11). Apa yang paling diinginkan orang? Popularitas? Kekayaan? Uang? Emas? Perak? Berlian? Apapun itu, Firman Tuhan sudah mengingatkan bahwa tidak satupun dari semua itu yang lebih tinggi nilainya daripada hikmat. Bagi banyak orang yang masih terjebak menggantungkan kebahagiaan dan hari depannya pada harta, emas dan perak serta hal-hal fana lainnya, mereka akan meluputkan sesuatu yang sesungguhnya jauh lebih berharga dari semua itu. Karena itu pastikan diri kita agar tidak mengambil pilihan yang salah.

Dalam Amsal pasal 4 kita kembali diingatkan akan pentingnya hikmat dan manfaat yang bisa kita peroleh darinya. "Perolehlah hikmat, perolehlah pengertian, jangan lupa, dan jangan menyimpang dari perkataan mulutku. Janganlah meninggalkan hikmat itu, maka engkau akan dipeliharanya, kasihilah dia, maka engkau akan dijaganya." (ay 5-6). Hikmat adalah kualitas diri yang bisa menjadikan seseorang bijaksana, memiliki pengetahuan dan kemampuan melihat/menilai dengan benar. Hikmat adalah kemampuan, kecerdasan untuk mengerti hal-hal yang bagi banyak orang sulit untuk dimengerti, kemampuan membedakan mana yang benar dan salah, kemampuan untuk melihat segala sesuatu lewat kacamata yang benar sesuai prinsip kebenaran Tuhan. Hikmat akan mampu memelihara dan menjaga kita dalam berjalan di setiap langkahnya hingga rencana Tuhan tergenapi dan membawa kita tetap berada di koridor yang benar hingga sampai di garis akhir.

Jika ada diantara teman-teman yang belum mengetahui panggilan apa sebenarnya yang disematkan Tuhan pada anda, bagi yang saat ini tengah bingung berada di antara dua atau lebih pilihan, yang sedang gamang menghadapi masa depan, bagi yang kesulitan menimbang sebuah tawaran, masih sering terjatuh melakukan yang salah ketimbang yang benar atau kesulitan untuk hidup benar, saatnya untuk mempertimbangkan hadirnya hikmat sejati dalam diri anda.

Secara garis besar, ingatlah bahwa:
1. Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan
2. Hikmat berasal dari Tuhan dan akan diberikan buat siapapun yang mencarinya
3. Hikmat lebih berharga dari emas, perak dan permata
4. Hikmat akan memelihara dan menjaga yang memilikinya

Pastikan agar kita tidak keliru dalam mengejar apa yang paling berharga. Dunia akan terus mendorong kita untuk mengejar banyak hal selain hikmat, dunia akan terus mengajarkan kita sebaliknya, tapi dengarkan apa kata manusia yang paling berhikmat yang pernah hadir di muka bumi ini. Berkali-kali Salomo mengingatkan kita untuk mendengar baik-baik dan mematuhi apa yang ia katakan agar kita tidak keliru menyikapi cara hidup dan pola pikir untuk menuai segala yang baik dari Tuhan, tepat seperti keinginanNya.

Look up to the source of Wisdom and find out what He has been planning for you

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, July 28, 2017

Lebih Jauh Mengenal Hikmat (2)

(sambungan)

Para rasul juga menyadari betul pentingnya hikmat bagi orang percaya. Dalam surat kepada jemaat Kolose, Paulus mengatakan "kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah." (Kolose 1:9-10). Ia berdoa agar kiranya jemaat Kolose menerima hikmat sepenuhnya, menerima pengertian yang benar dan mengetahui kehendak Tuhan sepenuhnya, agar hidup mereka:
(1) layak di hadapan Tuhan
(2) berkenan kepadaNya dalam segala hal
(3) menghasilkan buah dalam pekerjaan baik
(4) bertumbuh dalam pengertian yang sebenarnya tentang Allah.

Dari ayat diatas kita tahu bahwa apabila kita ingin punya hikmat, maka yang paling pertama yang harus kita lakukan adalah membangun hidup yang takut akan Tuhan. Anda tidak akan bisa mendapatkan hikmat jika masih hidup mengikuti kehendak sendiri apalagi kalau masih terus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip kebenaran Kerajaan.

Berikutnya, mari kita lihat ayat berikut. "Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian." (Amsal 2:6).

Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa hikmat itu berasal dari Tuhan. Hikmat yang sejati tidak akan pernah kita peroleh dari dunia, melainkan dari Tuhan saja. Dialah yang memberikan hikmat, pengetahuan dan kepandaian. Itu bisa kita dapatkan apabila kita memperoleh pengertian tentang takut akan Tuhan dan pengenalan yang benar akan Dia. Jika itu kita lakukan, "Maka engkau akan mengerti tentang kebenaran, keadilan, dan kejujuran, bahkan setiap jalan yang baik." (ay 9).

Sebuah pernyataan yang sama tentang hikmat ini bisa kita peroleh lewat Yakobus. "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, --yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit--, maka hal itu akan diberikan kepadanya." (Yakobus 1:5). Perhatikan, Tuhan membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi kita untuk meminta hikmat kepadaNya. Dengan cara apa? Ayat selanjutnya mengatakan "Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin." (ay 6). Kita bisa memintanya dalam iman, dan melangkahlah dengan pasti. Kebimbangan akan membuat semuanya mentah, tanpa iman pun kita tidak akan bisa menuai hikmat apapun yang sejati berasal dari Tuhan.

Dari renungan terdahulu dan pembahasan di atas, kita bisa tahu betapa berharganya hikmat ini bagi hidup kita. Hikmat akan membuat kita tahu apa yang menjadi panggilan kita, apa yang harus kita lakukan, apa yang harus kita hindari, bagaimana agar kita menghasilkan buah-buah baik, bagaimana kita harus berjalan agar kita bisa tetap melakukan hal yang benar dan setia memelihara iman hingga akhir. Hikmat bukan saja akan berguna pada kehidupan saat ini tapi juga yang akan datang, hingga fase berikutnya di kekekalan.

(bersambung)


Thursday, July 27, 2017

Lebih Jauh Mengenal Hikmat (1)

Ayat bacaan: Amsal 9:10
===================
"Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian."

Menjalani hidup sesungguhnya tidaklah mudah. Sebaik-baiknya kita menjaga hidup benar, tipuan, godaan, hasutan dan ancaman yang siap menggoyang iman kita akan hadir dari setiap sisi lewat bermacam-macam cara. Kalau itu terlihat nyata mungkin kita mudah menghindarinya. Masalahnya, seringkali berbagai bentuk penyesatan ini hadir tersamar alias tidak kelihatan nyata. Dipoles, dikemas sedemikian rupa sehingga terlihat nikmat, menarik atau bahkan sepintas bisa saja kelihatan seolah merupakan kebenaran. Anda bayangkan jika anda berkendara di jalan pada waktu malam hari. Ada lubang cukup dalam ditengah jalan dan anda sedang menuju kearahnya. Jika anda tidak awas, maka anda bisa mengalami kecelakaan. Cara satu-satunya untuk bisa terhindar dari celaka adalah dengan memperhatikan betul jalan di depan anda. Memastikan agar lampu kendaraan anda nyala dengan cukup terang, bagi yang naik mobil memastikan agar kaca mobil tidak tertutup kabut, itu wajib. Lalu anda pun harus benar-benar konsentrasi dalam berkendara agar tidak lengah saat ada kondisi buruk di jalan yang bisa muncul setiap saat.

Ketika berada diantara dua pilihan, apa yang harus kita ambil, kemana kita harus melangkah? Kalau salah pilih kita bisa buang waktu dan mengalami kerugian. Semakin jauh salahnya, semakin besar pula kerugian dan kesia-siaan sebagai konsekuensinya. Ketika datang sebuah tawaran, apakah kita mampu melihat apakah tawaran itu baik atau tidak, atau kita buru-buru mengambilnya karena butuh tanpa melihat terlebih dahulu apakah tawaran itu bertentangan dengan Firman Tuhan atau tidak? Saat berinteraksi dengan orang, mampukah kita memilih teman yang benar atau kita masih suka salah bergaul? Apakah kita mampu membedakan mana yang benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari?

Yang juga esensial, apakah kita sudah benar-benar tahu apa panggilan kita sesuai rencana Tuhan, lalu apakah kita sudah menjalankannya dan menghasilkan buah? Yang terbaik adalah mengetahui dengan pasti apa yang menjadi rencana Tuhan dalam hidup kita. Dalam Amsal dikatakan "Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada." (Amsal 8:23). Lebih lanjut firman Tuhan pun berkata bahwa semua tentang kita sudah Dia rencanakan jauh sebelum kita ada "mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya." (Mazmur 139:16). Apa yang dirancangkan Tuhan atas kita adalah "rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Jadi jelas, mengikuti rencana atau rancanganNya akan mendatangkan yang terbaik bagi kita.

Masalahnya, apakah kita tahu apa rencana Tuhan bagi diri kita secara spesifik? Ketidaktahuan akan membuat kita terus gonta-ganti usaha. Rintis, jalan, berhenti, lalu kembali ke titik nol tanpa pernah bertemu dengan panggilan. Alangkah sayangnya waktu dan lainnya yang harus terbuang, sementara waktu kita untuk menggenapi panggilan sangatlah terbatas. Bagaimana agar kita tahu apa yang menjadi panggilan kita, apa yang harus kita perbuat agar bisa maksimal dalam menjalankan panggilan? Bagaimana cara kita mengambil keputusan yang benar di setiap langkah? Apa yang harus kita lakukan supaya buah yang dihasilkan bisa memberkati banyak orang dan mendatangkan rasa sukacita dalam diri kita? Semua pertanyaan ini membutuhkan satu hal: hikmat.

Bagaimana cara kita mendapatkan hikmat? Langkah pertama, dengarkan apa yang dikatakan Salomo dalam kitab Amsal berikut."Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian." (Amsal 9:10). Ini sejalan dengan sebuah pernyataan datang lewat ayahnya Daud: "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, semua orang yang melakukannya berakal budi yang baik. Puji-pujian kepada-Nya tetap untuk selamanya." (Mazmur 111:10).

Jadi permulaannya adalah takut akan Tuhan. Seperti apa takut akan Tuhan? Apakah seperti takut hantu, takut orang jahat dan sejenisnya? Bukan. Takut akan Tuhan, sebuah rasa takut yang positif, sebuah sikap hormat yang tepat. Takut akan Tuhan adalah sebuah sikap hati untuk sepenuhnya tunduk pada kehendak Tuhan. Takut akan Tuhan adalah kerinduan untuk tidak melakukan dosa melawan Tuhan karena kita mengasihiNya dan sadar betul betapa besar kasih setiaNya pada kita. Itulah yang akan menjadi jalan pembuka turunnya hikmat Tuhan menerangi akal pikiran kita. Betapa pentingnya hikmat ini bagi kita. Jika melakukan segala sesuatu yang hanya menurut kita saja maka itu tidak akan bisa sebaik mengikuti rencana yang sudah dicanangkan Tuhan sejak awal. Apalagi kalau sampai salah jalan, sampai berkali-kali pula.

(bersambung)


Wednesday, July 26, 2017

Hikmat Dibanding Emas dan Perak (2)

(sambungan)

Lihatlah ada begitu banyak manfaat yang bisa kita peroleh lewat hikmat, yang jelas berguna bagi kita sebagai bekal untuk menjalani hidup sampai akhir dan memperoleh mahkota kehidupan sebagai pemenang. Jelas semua itu akan mendatangkan keuntungan lebih dari emas dan perak buat kita

Lantas bagaimana agar kita bisa memperoleh hikmat? Lihatlah apa yang dikatakan Salomo sebelumnya. "jikalau engkau mencarinya seperti mencari perak, dan mengejarnya seperti mengejar harta terpendam, maka engkau akan memperoleh pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah. Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian." (ay 4-6). Jelaslah bahwa hikmat bukanlah seperti durian runtuh yang jatuh dari langit begitu saja, bukan pula pembawaan lahir, namun semua itu berasal dari Tuhan dan untuk mendapatkannya dibutuhkan usaha sungguh-sungguh serta keseriusan kita. Lihatlah bahwa ada hubungan antara anugerah dari Tuhan dan upaya dari kita sendiri untuk memperoleh hikmat.

Kalau kita lihat dalam Perjanjian Baru, disana kembali ditegaskan bahwa hikmat ini adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan. "sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan" (Kolose 2:3) Untuk memperolehnya dibutuhkan upaya kita yang serius. Yakobus mengatakannya seperti ini: "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, --yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit--,maka hal itu akan diberikan kepadanya." (Yakobus 1:5). Lalu Yakobus pun memberikan tips lebih lanjut untuk bisa memperoleh hikmat, yaitu dengan memintanya dalam iman dan percaya. (ay 6). Itu artinya tanpa iman dan keyakinan teguh, niscaya hikmat tidak akan bisa kita peroleh.

Tuhan siap untuk menganugerahkan hikmat kepada anak-anakNya. Dia sangat rindu untuk melengkapi anak-anakNya dengan bekal yang cukup untuk melewati hari-hari yang sulit, sehingga semua anakNya akan mampu mencapai garis akhir dengan baik, menjadi pemenang dengan gemilang dan memperoleh mahkota kehidupan seperti yang Dia janjikan. Tanpa hikmat kita akan kesulitan untuk hidup lurus dan bisa menyerah di tengah jalan. Akibatnya kita pun bisa kehilangan kesempatan menerima anugerah keselamatan dari Tuhan. Selain itu, hidup kita di dunia ini pun bisa menderita, penuh kerugian dan kegagalan. Kita akan luput melihat panggilan Tuhan apalagi menggenapinya. Betapa pentingnya hikmat bagi kehidupan kita. Oleh karena itu kejarlah hikmat, itu lebih berharga dari emas dan perak.

Too many people loose wisdom because they are searching for silver and gold

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, July 25, 2017

Hikmat Dibanding Emas dan Perak (1)

Ayat bacaan: Amsal 3:13-14
=====================
"Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas."

Suatu hari di awal tahun 1848, seorang tukang kayu bernama James Marshall yang bekerja di penggergajian di kaki bukit Sierra Nevada menemukan sebuah bongkahan besar batu sangat besar berwarna kuning. Pencarian lebih lanjut memunculkan lebih banyak lagi batu sejenis yang ternyata bukanlah batu biasa melainkan..emas. Frase "There's gold in them dry hills!" pun dengan cepat bergema ke seantero negeri. Hanya dalam setahun berita itu sudah sampai ke Pantai Timur, dan terjadilah serbuan tambang emas California. Tidak kurang dari 50 ribu pencari emas masuk ke sana lewat jalan darat dan laut. San Fransisco sebagai gerbang masuk ke tambang-tambang emas itu secara dramatis bertumbuh sebagai kota penting yang ramai. Dari jumlah penduduk tidak sampai 1000, hanya dalam beberapa bulan terjadi peningkatan drastis hingga 25 ribu jiwa. Kejadian ini begitu besar hingga mempengaruhi pasar uang di seluruh dunia, mengubah jalannya sejarah Amerika dan dalam waktu singkat menciptakan peradaban Amerika di pantai barat benua itu.

Emas adalah logam mulia yang sudah diketahui manusia punya nilai tinggi sejak ribuan tahun lalu. Sejarah mencatat setidaknya sejak 2500 SM emas sudah dipakai untuk membuat perhiasan dan benda-benda kerajinan berharga. Koin emas sudah ada sekitar tahun 700 SM. Bagi banyak orang, emas dianggap bukti kesuksesan dan kebahagiaan. Banyak yang lebih memilih untuk menyimpan uangnya dalam bentuk emas ketimbang ditabung di bank. Selain tidak terkena potongan bulanan seperti di bank, nilainya cenderung lebih stabil dan naik dibanding bunga bank. Ada orang-orang yang justru membuat dirinya seperti etalase emas untuk menunjukkan statusnya. Dalam persepsi dunia, kekayaan harta menjamin kebahagiaan dan kemakmuran. Emas dan perak tentu termasuk di dalamnya, bersama-sama dengan berbagai bentuk lainnya seperti uang dan lain-lain. Tidak heran jika ada banyak orang yang tidak ada habisnya mati-matian menumpuk harta dengan berbagai cara, seperti terus mengejar menumpuk duit dengan lebih mengejar kerja dan menomorduakan keluarga hingga tergiur untuk bisa memperolehnya lewat cara apapun termasuk berbagi bentuk kecurangan.

Dunia boleh saja mengagungkan emas dan perak, tapi penulis Amsal justru mengajarkan hal yang berbeda. Dikatakan, "Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas." (Amsal 3:13-14). Lihatlah bahwa apa yang membuat orang berbahagia dan mendapat keuntungan bukan harta, bukan emas dan perak, tapi hikmat. Hikmat ini dikatakan jauh lebih bernilai dibandingkan emas dan perak, karenanya inilah yang harus kita prioritaskan.

Mengapa kita harus mementingkan hikmat? Bukankah tanpa harta kekayaan kita akan sulit hidup layak? Mencari nafkah tentu penting. Tuhan sendiri tidak pernah menyuruh kita untuk berleha-leha, bermalas-malasan, tetapi kita justru diharuskan untuk bekerja. Begitu penting sehingga dikatakan "jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10). Itu kewajiban, tapi jangan sampai karena melakukannya tanpa henti kita menomorduakan Tuhan dan lupa bahwa hikmat jauh lebih penting dari kepemilikan atas emas dan perak yang fana. Selain semua itu pada akhirnya akan sia-sia, kita pun akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh hikmat.

Apa saja manfaat yang bisa kita peroleh dari hikmat sampai-sampai keuntungannya dikatakan melebihi nilai tinggi emas dan perak? Salomo menguraikan manfaat-manfaat yang bisa kita peroleh dari  hikmatdalam Amsal 2, diantaranya:

- kita akan memperoleh pengertian yang benar tentang takut akan Tuhan (ay 5)
- kita bisa lebih mengenal Allah (ay 5)
- hikmat menjadikan kita orang jujur, tidak bercela, adil dan setia (ay 7-8), sehingga,
- dengan demikian kita mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan Tuhan. (ay 7-8)
- memampukan kita untuk mengerti tentang apa yang adil, jujur, baik dan benar(ay 9)
- hikmat mendatangkan kebijaksanaan dan pengetahuan (ay 11)
- kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat (ay 12)
- menguatkan kita agar tidak gampang terjebak nafsu kedagingan (ay 16)

(bersambung)


Monday, July 24, 2017

Sukacita karena Tuhan adalah Perlindungan Kita (2)

(sambungan)

Bukankah itu yang dirasakan banyak orang? Banyak yang menerima Yesus karena motivasi yang keliru, yaitu karena mengharapkan berkat duniawi, segala kenyamanan, bebas dari masalah, terhindar dari kebangkrutan dan sebagainya. Pada saat itu belum atau tidak terjadi, mereka pun kemudian kecewa dan mempertanyakan eksistensi Tuhan. Tuhan baik? Omong kosong. Lihat apa yang ia lakukan pada saya! Itu mungkin yang menjadi respon. Kalau itu yang muncul, itu artinya seseorang itu belumlah memiliki motivasi yang benar terhadap pertobatannya. Yang justru sering terjadi, sebagaimana yang juga terjadi pada saya yang mengenal dan menerima Yesus bukan sejak lahir, kita justru harus melewati dahulu masa-masa sulit, diproses, dikikis segala perilaku dan kebiasaan buruknya untuk bisa menjadi orang yang sama sekali baru. Tanpa itu kita tidak akan mungkin maju. Tanpa itu kita tidak akan mungkin memiliki iman yang kuat. Ujian demi ujian akan terus datang agar kita naik kelas. Yang pasti, selama masalah bukan datang dari kesalahan kita, akhirnya pasti bertujuan baik buat kita. Meski saat ini kita belum bisa melihatnya, dengan iman kita tahu bahwa apa yang dikerjakan Allah, meski berat adalah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita.

Kembali pada Paulus, apakah ia menyesal? Bukankah hidupnya saat belum bertobat terlihat jauh lebih baik? Sama sekali tidak. Ia berkata bahwa apa yang dulu ia anggap keuntungan sekarang merupakan kerugian jika masih ia lakukan. Ia terus konsisten dalam mewartakan firman Tuhan kemanapun ia pergi, apapun resikonya. Bukan itu saja, secara jelas kita bisa melihat bahwa sukacita ternyata tetap menyertainya. Lihat apa katanya: "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! ... Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus." (Filipi 4:4,6-7). Dalam menghadapi perkara-perkara berat yang menyiksa, ia berkata "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (ay 13). Seperti itulah bentuk iman Paulus yang tahu betul bagaimana pentingnya memiliki sukacita yang berasal dari Tuhan, yang mampu memberikannya kekuatan dalam menghadapi berbagai masalah dalam pelayanannya.

Berada dalam penjara, mendapat siksaan secara fisik sekalipun, Paulus tidak patah semangat. Paulus tidak menganggap penjara sebagai sebuah halangan, kendala atau kerugian, tapi justru sebagai kesempatan atau keuntungan baginya. Ia mempergunakan ruang penjaranya bukan sebagai tempat untuk meratapi nasib, tapi mengubahnya sebagai pusat penginjilannya. Ia tahu bahwa selama kesempatan masih diberikan, ia harus bekerja menghasilkan buah. Banyak surat ia tuliskan berasal dari dalam penjara yang justru berisi cara pikir dan pandang kehidupan yang esensial dari Kekristenan. Ia terus membagi sukacita kerajaan Allah dan tips-tips kehidupan yang penuh kemenangan seperti apa yang ia alami. Lihatlah bahwa sebuah sukacita karena Tuhan tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar. Semua itu sesungguhnya adalah sebuah pilihan bagi kita. Apakah kita mau membiarkan diri kita dikuasai masalah dan kemudian kehilangan sukacita, atau kita mau memakai sukacita dalam Tuhan sebagai kekuatan yang memampukan kita menghadapi badai apapun dengan tegar.

Jika ada diantara teman-teman yang saat ini tengah bersusah hati, jangan biarkan kesedihan atau kepedihan itu menghapuskan sukacita dalam diri anda. Jangan gantungkan sukacita di tempat yang salah, menggantungkannya kepada masalah, situasi atau orang lain. Tetapi gantungkanlah pada Tuhan. Disanalah terletak perlindungan anda. Disanalah letak kekuatan anda dalam menghadapi apapun tanpa kehilangan sukacita dalam diri anda. Saat Paulus menghadapi keadaan sangat berat, ia berkata : "Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita." (Filipi 1:18b). Seperti itu pula hendaknya prinsip hidup kita. Jangan sampai kita menyerah kalah oleh masalah, jangan sampai kesusahan membuat kita lupa akan kasih karunia Allah, jangan sampai pula berbagai tekanan hidup itu menjadi jalan masuk bagi iblis untuk merampas kemenangan kita. Masalah boleh hadir dan tidak bisa kita hindari seterusnya, tapi biar bagaimanapun sukacita karena Tuhan harus tetap ada dalam diri kita, sebab itulah perlindungan kita.

"Do not grieve, for the joy of the LORD is your strength!"

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, July 23, 2017

Sukacita karena Tuhan adalah Perlindungan Kita (1)

Ayat bacaan: Nehemia 8:11b
========================
"Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena TUHAN itulah perlindunganmu!"

Mudahkah untuk bersukacita? Mungkin mudah kalau sedang tidak ada masalah, saat semua berada dalam keadaan baik. Tapi saat ada masalah, akan jadi sulit sekali bagi kita untuk bersukacita. Rata-rata orang menghubungkan sukacita kepada sebuah perasaan dalam suatu kondisi dimana tidak ada penderitaan atau permasalahan yang sedang menimpa mereka. Berarti sukacita bagi mayoritas orang sangat tergantung dari kondisi atau keadaan yang sedang dialami. Kalau hidup sedang lancar, aman, berkecukupan atau bahkan berkelebihan, sedang dapat rejeki atau keuntungan, mendapat hadiah, bonus dan lain-lain barulah kita bersukacita. Sebaliknya, kalau sedang menghadapi persoalan, itu tandanya sukacita tidak boleh ada lagi didalam diri kita. Paling tidak sampai situasi bisa menunjukkan perubahan terlebih dahulu. Bagaimana mungkin bersukacita jika sedang dalam keadaan tersesak? Itu pandangan sebagian besar manusia.

Teman saya yang baru kehilangan ayahnya baru saja curhat bahwa saat ini ia merasa sepi, karena biasanya ia sering menelepon ayahnya yang tinggal di kota berbeda untuk bercerita tentang kesehariannya. Ia bilang, sekarang ia memandang telepon genggamnya dan tahu bahwa ia tidak lagi bisa mengajak ayahnya ngobrol santai. Sesuatu yang biasa ia lakukan, sekarang ia harus membiasakan diri melupakan hal itu. Apakah ia kehilangan sukacitanya? Ia katakan, ia bersyukur bahwa ayahnya dipanggil dalam keadaan menjaga kesetiaan iman sampai akhir. Ia bahkan dipanggil Tuhan saat sedang menyiapkan bahan sharing untuk komselnya. Ia juga bersyukur bahwa selama ini Tuhan jaga kedua orang tuanya dengan sangat baik, dikaruniai umur yang panjang dengan kondisi baik, dan ia juga tahu bahwa soal waktu dipanggil itu merupakan hak Tuhan sepenuhnya yang tidak bisa kita campuri. Ia berkata bahwa ia tidak bisa membayangkan apabila ayahnya dipanggil dalam keadaan tidak siap secara iman. Entah masih melakukan dosa, berpaling dari Tuhan, malas dalam mebangun hubungan intim dengan Tuhan, berlaku buruk terhadap orang lain dan sebagainya. Ia juga bersyukur bahwa ia tidak membuang kesempatan untuk menunjukkan rasa sayang dan kepedulian selama ayahnya masih hidup. "Untuk semua itu saya bersyukur, dan bersukacita." katanya. Tapi tetap saja ia merasakan kesepian. Dan disamping itu, ia harus menguatkan ibunya yang juga kehilangan. Tidak mudah. Ia tentu berhak merasa sedih karena kehilangan orang yang ia cintai, tapi jangan sampai rasa sedih itu kemudian membunuh rasa sukacita dan syukur, kemudian menggantikannya dengan kekecewaan, kemarahan, frustasi, depresi dan hal-hal lainnya yang tidak kondusif bagi hidup saat ini dan yang akan datang kelak.

Seorang teman lain bercerita bahwa beberapa tahun terakhir ia sebenarnya sedang kesulitan secara finansial. Berat, tapi ia menyikapinya dengan positif. Ia belajar berhemat dalam mencukupi kebutuhannya, memperbaiki pola hidup dan memilih untuk tetap bersukacita ditengah keterbatasan. Pertanyaannya, bagaimana agar kita tidak kehilangan sukacita saat keadaan sedang tidak baik, sedang bersedih, sedang dalam kesesakan, sedang bersusah hati dan sebagainya? Apakah kita harus membiarkan rasa susah menguasai kita menutupi rasa syukur dan sukacita? Atau, apakah kita harus pura-pura kuat padahal sebenarnya kita goyah?

Dalam renungan kemarin yang saya bagi dalam beberapa bagian kita sudah melihat bahwa sukacita yang sejati sesungguhnya tidak tergantung dari apa yang sedang kita alami atau rasakan. Itu karena sukacita yang sesungguhnya itu seharusnya berasal dari Tuhan dan tidak boleh tergantung dari manusia, situasi, kondisi atau keadaan apapun. Alkitab menyebutnya dengan sukacita dalam Tuhan, yang bisa kita dapati dalam berbagai ayat mulai dari Mazmur sampai Filipi diantara ayat-ayat lainnya.

Ada sebuah ayat menarik akan hal ini yang bisa kita renungkan. "Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena TUHAN itulah perlindunganmu!" (Nehemia 8:11b). Sukacita karena Tuhan ternyata bukan saja bisa mengobati kesusahan hati tetapi sangat mampu menjadi perlindungan kita. Artinya tidak saja sukacita itu tidak boleh digantungkan kepada keadaan atau kondisi yang tengah kita hadapi, tetapi seharusnya sukacita itu digantungkan pada Tuhan, dan itu bisa memberikan sebuah kekuatan tertentu untuk bisa bertahan bahkan menjadikan kita keluar sebagai pemenang ditengah kesesakan apapun. That's the power of rejoicing. Kalau memakai kekuatan kita sendiri tentu saja berat bahkan terlihat seolah tidak mungkin, tapi dengan memandang pada Tuhan, menggantungkan kesusahan kita kepadaNya kita bisa mendapatkan perlindungan dan kekuatan.

Bagi saya, Paulus selalu bisa menjadi contoh bagaimana seseorang itu bisa tetap berlimpah sukacita meski kondisi faktual yang sedang dialami sedemikian beratnya. Setelah bertobat, hidup Paulus bukanlah menjadi lebih gampang. Yang terjadi justru sebaliknya, karena ia segera bertemu dengan masalah dan penderitaan. Ia mengalami berbagai tekanan, siksaan, deraan bahkan ancaman yang setiap saat bisa menamatkan nyawanya. Secara logika kita mungkin akan berpikir bahwa itu artinya ada sesuatu yang salah.

(bersambung)


Saturday, July 22, 2017

Sukacita dalam Tuhan (4)

(sambungan)

Daud tahu dosa akan membuat hidupnya tidak nyaman dan jauh dari Tuhan. Dan jika ia biarkan itu terjadi, sukacita pun jelas tidak akan pernah ia rasakan lagi. Itulah sebabnya Daud segera meminta hatinya disucikan agar ia dapat mengembalikan sukacita ke dalam kehidupannya, lepas dari binasa dan kembali ke dalam jalur keselamatan. Begitu pentingnya bagi kita untuk memastikan bahwa Firman Tuhan tertanam dan tumbuh subur di dalam hati kita agar kehidupan yang terpancar keluar adalah kehidupan yang penuh sukacita. Jika saat ini kita tidak merasakan adanya sukacita, mungkin inilah waktunya untuk mulai meminta pengampunan dan penyucian hati dari Tuhan

6. Sukacita dalam penderitaan
Ini mungkin yang paling sulit. Sukacita dan penderitaan bagi mayoritas manusia tidak akan pernah sejalan, selalu berada berseberangan dan bertolak belakang. Artinya, terdengar aneh apabila ada orang yang sedang menderita tetapi tetap bersukacita, dan sebaliknya orang yang bersukacita artinya sedang tidak sedang mengalami penderitaan.

Tetapi Alkitab menyatakan hal yang berbeda. Sukacita dalam Tuhan  bukanlah sukacita semu yang hanya bergantung kepada situasi dan kondisi yang kita alami sehari-hari. Lihatlah apa yang dikatakan Paulus dalam surat Roma. "Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!" (Roma 12:12).

Surat ini ia tulis ketika ia berada dalam penjara. Situasi sama sekali tidak memihak kepadanya. Ia patuh dan taat kepada perintah Yesus, tetapi justru penderitaanlah yang ia alami. Tetapi Paulus tidak kehilangan sukacita. Bagaimana ia bisa seperti itu? Paulus bisa, sebab fokusnya bukan ia letakkan di dunia melainkan ke dalam kehidupan kekal yang menanti didepannya. Berbagai penderitaan yang dialami Paulus sungguh berat. Hampir di setiap langkah ia akan mengalami situasi yang tidak menyenangkan dan penuh resiko. Tapi lihatlah apa kata Paulus mengenai rangkaian penderitaan itu. "Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami." (2 Korinuts 4:17).

Paulus dengan tegas mengatakan bahwa semua yang ia alami itu ringan. Dan itu bisa ia lakukan karena ia mengarahkan pandangannya bukan ke dalam apa yang ia alami di dunia melainkan ke dalam kehidupan kekal kelak. Jemaat di Makedonia pun mengalami hal yang sama. "Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan." (2 Korintus 8:2). Jika kita berkata, bagaimana mungkin kita bisa bersukacita di dalam penderitaan, maka Tuhan akan menjawab, kenapa tidak? Sukacita dari Tuhan tidaklah bergantung kepada keadaan melainkan kepada seberapa dekat kita denganNya.

Jika ada diantara teman-teman yang sedang kehilangan sukacita, lihatlah bahwa sukacita ada dimana-mana, dan tidak sulit untuk ditemukan. Sebagai penutup dari renungan yang cukup panjang ini, mari kita lihat apa kata Daud berikut: "Engkau telah memberikan sukacita kepadaku, lebih banyak dari pada mereka ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur. Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman." (Mazmur 4:8-9). Anda rindu suasana seperti yang dirasakan Daud ini? Sadarilah bahwa Tuhan senantiasa melimpahi sukacita kepada kita.Tuhan selalu siap memberikan kelegaan dan menggantikan kesedihan kita dengan sukacita sejati yang berasal daripadaNya. Itu bisa kita miliki dan rasakan, tetapi ingatlah bahwa semua tergantung kita apakah kita mau atau tidak.

Look at the roses inside thorn bushes, and rejoice for that! 

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, July 21, 2017

Sukacita dalam Tuhan (3)

(sambungan)

3. Sukacita akan keselamatan
Cobalah pikir. Kalau Tuhan sudah memberi jaminan keselamatan kekal lewat Kristus kepada kita, bukankah itu seharusnya mampu kita syukuri tanpa henti dan membuat kita bersukacita? Dunia hanyalah tempat persinggahan kita sementara. Mau seberat apapun sebuah masalah, jaminan keselamatan yang sifatnya kekal itu seharusnya mampu membuat kita tetap bisa  bersukacita meski sedang berada dalam situasi sulit.

Paulus berkata "Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu." (Roma 5:10-11). Yesus turun ke bumi, mendamaikan hubungan kita dengan Allah dan juga menyelamatkan hidup kita. Tidakkah hal itu seharusnya mampu membuat kita bersukacita?

4. Sukacita akan Firman Tuhan
Sadarkah kita bahwa firman Tuhan yang bisa kita baca di dalam Alkitab mengandung kuasa yang hidup, mampu menjadi solusi atas segala permasalahan kita dan dengan demikian mampu mendatangkan sukacita karenanya? Daud tahu bagaimana pentingnya menyimpan Firman Tuhan untuk terus tumbuh di dalam dirinya. "aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku." (Mazmur 40:9). Bahkan awal kitab Mazmur pun langsung diawali dengan pesan penting akan hal ini. "Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (1:1-3).

Melewatkan membaca firman Tuhan yang tertulis di dalam Alkitab itu sama saja dengan membuang kesempatan kita untuk dipenuhi sukacita. Jika sukacita bisa hadir lewat firman Tuhan, mengapa kita terus mengabaikan mengambil waktu untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan dan kemudian tumbuh menjadi para pelakunya?

5. Sukacita akan hati yang murni
Hati merupakan sumber yang penting yang akan berdampak kepada seluruh sendi kehidupan kita. Dalam Amsal kita diingatkan akan hal ini. "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Seringkali kita tidak menyadari bahwa hati merupakan sumber kehidupan. Kita membiarkan hati kita kering, lapar dan haus, kita membiarkan berbagai kecemasan, kecurigaan dan ketakutan mengkontaminasi hati kita. Tidaklah mengherankan jika rasa sukacita pun tidak lagi punya tempat karena segala yang tidak baik sudah memenuhi diri kita. Apa yang ada di dalam hati kita saat ini akan sangat berdampak kepada bagaimana kehidupan kita.

Mari kita lihat penggalan doa Daud yang berisikan pengakuan dosa berikut: "Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku! Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela!" (Mazmur 51:12-14).

(bersambung)


Thursday, July 20, 2017

Sukacita dalam Tuhan (2)

(sambungan)

Sejaan dengan ayat dari Paulus diatas, ayat bacaan hari ini jelas menyatakan dimana letaknya sukacita sejati itu. "Bersukacitalah dalam TUHAN dan bersorak-soraklah, hai orang-orang benar; bersorak-sorailah, hai orang-orang jujur!" (Mazmur 32:11). Sukacita sejati itu ternyata ada di dalam Tuhan, di dalam persekutuan kita yang manis denganNya. Disanalah letak sukacita itu, dan bukan pada keadaan kita di dunia atau tegantung orang lain. Sorak sorai akan selalu keluar dari mulut orang-orang benar dan jujur, karena ada Tuhan bersama orang-orang seperti ini. Dalam persekutuan yang erat dengan Tuhan, kita pun tidak akan gampang goyah menghadapi masalah apapun. Ada sukacita dalam Tuhan yang akan terus mengalir dan mengalir mengisi setiap relung hati kita. Dan sukacita seperti ini tidak akan mampu dihentikan oleh masalah apapun.

Pertanyaannya sekarang, dari mana kita bisa mendapatkan sukacita dalam Tuhan itu? Terkadang kita berpikir terlalu jauh, padahal sukacita bisa kita temukan dalam hal-hal yang sederhana. Mari kita lihat dari mana saja sukacita itu bisa muncul.

1. Sukacita akan kehadiran Tuhan.
Lewat Daud kita bisa mengetahuinya dengan jelas "Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah. Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram." (Mazmur 16:8-9). Menyadari kehadiran Allah bersama kita akan membuat kita tenang menghadapi segalanya. Bukankah Tuhan punya kuasa lebih dari segalanya? Adakah hal yang terlalu sulit bagi Allah? Adakah satupun hal yang tidak sanggup dilakukan Tuhan? Sama sekali tidak ada. Artinya, jika kita menyadari bahwa Allah hadir bersama kita, tidak ada satu hal pun yang dapat mencuri sukacita itu. Kita tidak perlu panik, takut, kecewa, marah, melainkan bisa merasakan sukacita, penuh sorak sorai dan merasakan tenteram dalam hati.

2. Sukacita akan kasih setia dan kebaikan Tuhan.
Selain dengan menyadari kehadiranNya, kita pun harus menyadari betapa baiknya Tuhan itu. Dalam kitab Yesaya kita bisa menemukan hubungan antara menyadari kebaikan Tuhan dengan datangnya sukacita. "Aku hendak menyebut-nyebut perbuatan kasih setia TUHAN, perbuatan TUHAN yang masyhur, sesuai dengan segala yang dilakukan TUHAN kepada kita, dan kebajikan yang besar kepada kaum Israel yang dilakukan-Nya kepada mereka sesuai dengan kasih sayang-Nya dan sesuai dengan kasih setia-Nya yang besar." (Yesaya 63:7).

Seringkali kita lupa menyadari kebaikan Tuhan dalam hidup kita. Kita begitu mudah menyalahkan Tuhan dan menuduh Tuhan pilih kasih, tidak adil dan sebagainya bahkan menuduh kejam saat pertolonganNya tidak kunjung turun sesuai kemauan kita. Di sisi lain, kita begitu sulit merasakan kebaikan Tuhan ketika hidup kita sedang baik-baik saja. Apakah dengan hadirnya masalah itu artinya Tuhan tidak baik? Tentu saja tidak. Ada banyak alasan mengapa kita harus tetap melalui lembaran-lembaran berat dalam kehidupan kita. Tuhan bisa pakai itu untuk melatih otot rohani kita dan membawa kita naik kelas, Tuhan bisa pakai juga untuk memberi pelajaran bagi kita. Atau bisa jadi pula akibat dosa kita sendiri. Tetapi yang pasti Tuhan itu baik. Ayat Yesaya di atas kemudian dilanjutkan dengan: "..maka Ia menjadi Juruselamat mereka dalam segala kesesakan mereka. Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya. Ia mengangkat dan menggendong mereka selama zaman dahulu kala." (ay 8-9). Ketika Yesus datang ke bumi, ia langsung turun tangan menyelamatkan umat manusia, memulihkan hubungan kita dengan Tuhan dan melayakkan kita untuk bisa memperoleh keselamatan.

Di zaman Salomo kita bisa menemukan sebuah lagu pujian yang dipersembahkan kepada Tuhan dengan megahnya. "Demikian pula para penyanyi orang Lewi semuanya hadir, yakni Asaf, Heman, Yedutun, beserta anak-anak dan saudara-saudaranya. Mereka berdiri di sebelah timur mezbah, berpakaian lenan halus dan dengan ceracap, gambus dan kecapinya, bersama-sama seratus dua puluh imam peniup nafiri. Lalu para peniup nafiri dan para penyanyi itu serentak memperdengarkan paduan suaranya untuk menyanyikan puji-pujian dan syukur kepada TUHAN. Mereka menyaringkan suara dengan nafiri, ceracap dan alat-alat musik sambil memuji TUHAN dengan ucapan: "Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." Pada ketika itu rumah itu, yakni rumah TUHAN, dipenuhi awan." (2 Tawarikh 5:12-13). Lihatlah lagu pujian yang menyatakan kebaikan Tuhan itu mampu membuat kemuliaanNya turun dari langit. Jangan pernah lupakan kebaikan Tuhan, bersukacitalah atas hal itu.

(bersambung)


Wednesday, July 19, 2017

Sukacita dalam Tuhan (1)

Ayat bacaan: Mazmur 32:11
==================
"Bersukacitalah dalam TUHAN dan bersorak-soraklah, hai orang-orang benar; bersorak-sorailah, hai orang-orang jujur!"

Ada satu kutipan perkataan mantan Presiden Amerika Serikat pada masa perang saudara, Abraham Lincoln. "We can complain because rose bushes have thorns, or rejoice because thorn bushes have roses". Kita bisa protes karena semak bunga mawar banyak durinya, atau kita bisa bersukacita karena semak duri punya banyak mawar. Belakangan, seorang evangelist dan guru bernama Dwight L Moody mengatakan: "Men grumble because God put thorns on roses, would it not be better to thank God that he put roses on thorns?" Manusia menggerutu karena Tuhan memberi duri pada bunga mawar, bukankah lebih baik untuk bersukur bahwa Tuhan menaruh mawar pada duri?

Kedua kutipan yang mirip ini mengacu kepada cara kita memandang sesuatu yang tidak baik. Apakah kita fokus kepada durinya atau mawar? Apakah kita memilih untuk mengeluh, menggerutu, protes atau bersyukur, bersukacita? Apakah kita melihat dari sisi negatif atau positif? Satu hal yang pasti, bersukacita tentu lebih menyenangkan dan membahagiakan daripada bersungut-sungut dan bentuk-bentuk perasaan tidak enak lainnya. Kita sering lupa bahwa itu tergantung dari sudut pandang kita sendiri dan bukan tergantung dari keadaan, situasi atau orang lain. Kalau itu tergantung keputusan kita, bukankah akan jauh lebih baik apabila kita memutuskan untuk bersukacita ketimbang membiarkan perasaan-perasaan sebaliknya menguasai diri kita?

Banyak orang hari-hari ini semakin sulit untuk bersukacita. Di waktu susah dalam pergumulan kita mengeluh, dalam kesesakan kita panik, tersenggol sedikit kita emosi, terpercik api sedikit kita langsung berkobar bagai kasus kebakaran hutan. Tapi waktu hidup sedang baik, saat laut tenang, banyak pula orang yang tidak bisa bersukacita. Saat diberkati secara finansial mereka takut kehilangan harta, ketika bertemu orang bawaannya curiga, cemas menatap hari depan dan berpikir, bagaimana nanti kalau badai datang? Makin banyak yang dimiliki, semakin banyak pula yang diinginkan. Tidak pernah merasa puas, terus mengejar segala sesuatu yang fana. Pendeknya, ada saja hal yang dijadikan masalah. Atau, ada orang yang tidak punya kuasa menikmati dan itu dikatakan Pengkotbah sebagai suatu kemalangan, kesia-siaan dan penderitaan yang pahit. Bukankah sangat menyedihkan saat orang justru mengalami penderitaan akibat kekayaannya?

Ditengah semakin sulitnya hidup, ditengah semakin hilangnya sukacita dalam diri manusia, hari ini marilah kita membenahi hati kita dengan mengisinya dengan sukacita. Kekecewaan, kepedihan hingga amarah bisa menimbulkan akar yang pahit, yang kalau terus dibiarkan pada suatu ketika akan sulit sekali dicabut. Itu akan merugikan kita, menimbulkan kerugian dan mencemarkan banyak orang (Ibrani 12:15).  Sebaliknya bersukacita akan menyehatkan kita, menciptakan situasi kondusif sehingga kita bisa produktif menghasilkan buah dan akan mendatangkan berkat, seperti yang disebutkan dalam ayat berikut: "dan bergembiralah karena TUHAN ; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu." (Mazmur 37:4).

Ada banyak orang yang tahu bahwa jauh lebih baik bersukacita daripada membiarkan perasaan-perasaan negatif berkuasa dalam hatinya, tapi masalahnya banyak orang yang tidak tahu bagaimana caranya atau tidak kuasa menggantikan perasaannya dengan sukacita. Adakah kunci yang bisa tetap membuat kita bersukacita? Kalau ada, apakah itu?

Dalam renungan kemarin saya sudah menyinggung tentang sukacita sejati. Sukacita sejati bukanlah tergantung dari baik buruknya keadaan, bukan tergantung dari orang lain. Kita sudah belajar lewat Paulus dan contoh yang saya berikan bagaimana mereka bisa tetap mengucap syukur, berkata Tuhan baik bahkan tetap menghasilkan buah disaat sedang menghadapi penderitaan dalam kondisi yang berat. Lihatlah bahwa meski dalam penjara dan menanti datangnya hukuman mati dengan cara kejam, ia masih bisa berseru dengan lantang: "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Filipi 4:4).

(bersambung)


Tuesday, July 18, 2017

Bersukacita di Tengah Penderitaan (2)

(sambungan)

Atau, lihatlah seruan yang sudah tidak asing lagi bagi kita: "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (4:4). Menariknya, ayat ini ada pada bagian akhir dari surat Filipi, dengan judul perikop "Nasihat-nasihat terakhir."

Bagaimana Paulus bisa seperti itu? Bagaimana seseorang yang sudah melayani Tuhan untuk waktu yang lama masih bisa menyerukan ujaran untuk tetap bersukacita saat keadaannya sedang terluka dalam penjara dan menanti datangnya hukuman mati? Kalau kita baca surat-suratnya, kita akan melihat bahwa Paulus mengarahkan pandangannya bukan seperti orang dunia. Ia tidak mengharapkan kekayaan, kemudahan, kelancaran, perlakuan istimewa, pamor, popularitas, segala sesuatu yang justru mungkin mudah ia dapatkan sebelum ia bertobat. Tapi ia memandang ke depan, terus berlari dengan tujuan untuk memperoleh panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus.

Mari kita lihat apa yang ia tulis. "Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati... Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus." (Filipi 3:10-11, 13-14). Ia juga kemudian berkata "Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat,  yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya." (20-21).

Kita bisa lihat apa yang menjadi fokus pandangan Paulus dalam menjalani sisa hidupnya setelah bertobat. Meski akhir hidupnya secara duniawi sangat tidak baik, ia bersukacita karena mendapat keselamatan dan kesempatan untuk melayani Tuhan. Ia tahu bahwa ia harus tetap berbuah selama kesempatan masih ada, dan ia tahu bahwa ia harus terus setia mempertahankan imannya sampai akhir. Dan itulah tepatnya yang ia lakukan. Ia melakukan persis dengan apa yang ia ajarkan: "Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!" (Roma 12:12).

Kita akan sulit bersukacita kalau menggantungkan atau memandangnya pada penderitaan. Tetapi sebuah sukacita sejati adalah sebuah sukacita dalam Tuhan. Itu seruan yang disampaikan Paulus dalam ayat bacaan kita hari ini, yang juga pernah disampaikan oleh Daud ribuan tahun sebelumnya seperti yang bisa kita baca dalam Mazmur 32:11. Adakah hal yang menghalangi anda untuk bersukacita hari ini? Berhentilah memandang masalah, gantikan dengan mengarahkan pandangan pada Tuhan. Temukan Tuhan dalam hati anda dan bersyukurlah didalamNya. Atas semua anugerah dan kasih karuniaNya pada kita, Dia itu sungguh baik. Jangan lupa akan hal itu, dan bersukacitalah.

"Life is too tragic for sadness: Let us rejoice" - Edward Abbey

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, July 17, 2017

Bersukacita di Tengah Penderitaan (1)

Ayat bacaan: Filipi 4:4
================
"Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!"

Bersukacita, bergembira saat hidup sedang baik itu mudah. Sedang tidak ada masalah, pekerjaan sedang lancar, semua dalam keadaan baik, tentu kita pun tidak sulit untuk bersenang hati. Pertanyaannya, apakah kita masih tetap bisa bersukacita saat kondisi sedang tidak kondusif, sulit atau bahkan sangat berat? Bisakah kita tetap memuji Tuhan pada saat kita kehilangan orang yang kita sayangi, saat kita tengah ditimpa masalah atau berada dalam pergumulan? Teman saya baru saja kehilangan ayahnya secara tiba-tiba. Sang ayah tadinya sehat-sehat saja. Pagi hari ia masih mengantar ibunya ke pasar dan tukang jahit. Tapi siang hari ia terjatuh dari kursi, kepalanya terbentur keras ke lantai dan saat itu juga meninggal dunia. Begitu mendadak, tidak ada anggota keluarga yang siap untuk kehilangan. Saat saya datang untuk memberi penghiburan, ibunya bercerita panjang tentang saat-saat terakhir bersama suaminya, dan kenangannya hidup bersama hampir 50 tahun.

Buat saya, mereka ini adalah contoh yang sangat baik dari pernikahan. Kemana-mana berdua, suaminya begitu telaten mengurus istrinya yang sebenarnya lebih lemah kondisinya. Ia memapah istrinya kemana-mana, membantu pekerjaan rumah disamping masih aktif bekerja dan pelayanan. Di usia senjanya ia juga sebenarnya masih rajin olah raga bersepeda, yang rutin ia lakukan selesai saat teduh. Tidak ada satupun dari keluarganya yang ingin ayahnya pergi secepat itu, tapi Tuhan berkehendak lain. Sambil menangis, si ibu berkata bahwa ia bangga suaminya setia menjaga imannya sampai akhir dan berhasil menjadi ayah, suami, imam dan anak Tuhan yang baik. "Saya kehilangan, tapi saya bersyukur Tuhan kasih suami seperti dia. Tuhan itu baik. Terima kasih Tuhan." katanya sambil tersenyum ditengah linangan air mata.

Buat saya apa yang ditunjukkan ibu teman saya ini bukan main luar biasa. Ditengah rasa kehilangan dan ketidaktahuannya bagaimana hidup tanpa bantuan suami ke depan, ia masih bisa mengucap syukur dan mengatakan Tuhan itu baik. Meski kehilangan, meski hatinya mungkin tengah hampa dan perih, ia tidak kecewa pada Tuhan. Kok bisa? Saya yakin karena ia memandang dari sisi lain. Kalau sisi penderitaan yang ia pandang, tidak mungkin ia bisa bereaksi seperti itu. Tapi ia tahu bahwa suaminya sekarang sudah ada bersama Bapa di surga, suaminya sudah meninggalkan begitu banyak kenangan indah dan warisan iman. Tidak semua orang bisa menjaga kesetiaan imannya sampai akhir, tidak semua orang mau menjaga hubungan yang intim dengan Tuhan hingga jangka waktu lama. Tidak semua orang pula bisa terus hidup benar ditengah godaan, cara hidup/pandang dan pengajaran dunia yang seringkali berbanding terbalik dengan Firman Tuhan. Ia pun masih punya satu anak dan menantu yang sudah mapan dan pasti dengan senang hati merawatnya. Atas semua ini, ia tahu bahwa tidak ada alasan baginya untuk kecewa. Rasa sedih karena kehilangan itu satu hal, tapi seharusnya kita jangan sampai menanggapinya dengan kekecewaan pada Tuhan, menyalahkan atau bahkan menghujatNya.

Saya pun kemudian ingat akan Paulus. Setelah bertobat lewat 'perjumpaan' dengan Kristus, Paulus kemudian membaktikan diri sepenuhnya untuk melayani Tuhan. Sepanjang perjalanannya yang menempuh jarak hingga puluhan ribu kilometer, ia kerap bertemu dengan situasi berat, mengalami banyak siksaan, tekanan dan sebagainya. Luka fisik, itu biasa. Ia dipenjara, dipasung, dianiaya, tapi tidak satupun dari itu menghentikan langkahnya. Setelah sekian tahun, ending dari kisah Paulus ada di penjara menanti datangnya hukuman mati. Banyak orang yang akan segera kecewa pada Tuhan, mempertanyakan keadilan Tuhan jika mengalami kisah seperti Paulus. Bukankah ia punya seribu satu alasan untuk marah pada Tuhan dan merasa dikhianati? Tapi kita tidak menemukan itu sama sekali. Justru di dalam penjara Paulus masih menulis beberapa surat untuk jemaat dan rekan sekerjanya. Ia memberi begitu banyak pesan yang saat ini menjadi pondasi esensial bagi hidup setiap orang percaya.

Yang juga luar biasa, isi surat-suratnya tidaklah berisi keluhan, kesedihan melainkan seruan-seruan agar tetap teguh dan tidak berhenti bersukacita. Dalam surat Filipi misalnya, ada begitu banyak pesan agar jemaat Filipi tetap bersukacita. Berkali-kali pula ia menyatakan bahwa meski dalam kondisi seperti itu ia masih tetap bisa bersukacita. Lihatlah contohnya: " Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian. Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku." (Filipi 2:17-18) atau "Akhirnya, saudara-saudaraku, bersukacitalah dalam Tuhan. Menuliskan hal ini lagi kepadamu tidaklah berat bagiku dan memberi kepastian kepadamu." (3:1)

(bersambung)


Sunday, July 16, 2017

Akar Pahit

Ayat bacaan: Ibrani 12:15
============
"Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang."

Belum lama ini ada seorang teman yang curhat pada saya tentang apa yang ia alami beberapa bulan terakhir. Mulanya, ia mendapat kritik dalam pelayanannya. Mungkin cara penyampaiannya kurang pas atau datang pada waktu yang tidak tepat. Ia merasa kecewa saat dikritik dan gagal menanggapinya dengan baik, karena ia merasa sudah melakukan yang terbaik. Perlahan rasa kecewa itu bertambah parah. Ia mulai membawa pulang kekecewaan itu ke rumah dengan bersikap cepat tersinggung, mengeluarkan kata-kata negatif saat ada pembicaraan yang berhubungan dengan gereja maupun pelayanan. Ia masih melayani tapi tidak lagi sepenuh hati, ia pun hanya ke gereja saat ada jadwal. Suatu kali istrinya mengajaknya bicara dan mengutarakan bahwa ia sepertinya sudah terkena kepahitan dan jelas, itu tidak baik. Untungnya ia menerima hal itu. Ia kemudian memperbaiki diri meski tidak seketika. Ia memperbaiki sikapnya di dalam dan luar rumah, belajar untuk lebih lapang dada menerima kritik maupun teguran meski menurutnya sulit. Ia mengampuni orang yang mengkritiknya dan perlahan pulih. "Saya belajar banyak. Sesuatu yang awalnya ringan, jika tidak segera diatasi ternyata bisa mendatangkan kebencian, kemarahan kemudian kepahitan yang akan terus tambah parah." katanya.

Dalam hidup kita sehari-hari kita bersinggungan dengan begitu banyak orang dengan sifat, tingkah dan pola masing-masing. Ada yang tipe ramah, ada yang ketus. Ada yang pintar basa-basi, ada yang to the point. Ada yang topengnya tebal, ada yang wajahnya tampil tanpa polesan sama sekali, sehingga apapun yang mereka rasa bisa tercetak dari raut wajahnya. Ada yang suka memotivasi, ada yang cuek, ada yang hobi mengkritik. Pokoknya bermacam-macam gayanya. Saat bertemu dengan yang provokatif, terang-terangan dan tidak pintar menyampaikan, bisa jadi kita bisa tersinggung atau kecewa. Sampai disitu masih wajar, tapi saat kita tidak segera menyelesaikan, berhati-hatilah akan tumbuhnya akar pahit yang kemudian bukan saja menghancurkan diri sendiri tapi juga bisa berdampak buruk pada banyak orang.

Curhatan teman saya mengingatkan saya pada ayat dalam Ibrani: "Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang." (Ibrani 12:15). Kita diingatkan Penulis Ibrani agar tetap hidup dalam kasih karunia supaya jangan sampai tumbuh akar pahit. Perhatikanlah bahwa kata yang dipakai bukan 'agar jangan sampai kepahitan', tetapi 'agar jangan tumbuh akar yang pahit'. Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa kepahitan ternyata punya akar!

Mari fokus terhadap kata akar. Kita tahu bahwa akar sangat menentukan kehidupan sebuah pohon dan kekokohannya. Jika kita menebang dahan atau bahkan sebagian dari pohon tersebut, selama akarnya masih ada pohon bisa tumbuh lagi. Karena itulah apabila kita ingin membuang sebuah pohon, kita harus mencabutnya sampai ke akar-akarnya. Hal yang sama dengan kepahitan. Bibit kekecewaan, kemarahan, rasa tersinggung, sakit hati dan sejenisnya kalau kita biarkan seperti menabur bibit-bibit kepahitan. Dari bibit tersebut akan muncul akar yang semakin lama semakin dalam dan kuat menancap dalam hati kita. Apabila kita terus biarkan, bagaikan pohon yang terlanjur punya akar kuat, kepahitan akan sulit kita cabut dari hati kita alias makin sulit diatasi.

Ayat sebelumnya dalam Ibrani memberikan sebuah kunci agar kita jangan sampai jatuh pada kepahitan. "Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan." (ay 14). Pertama: usahakan terus untuk hidup damai atau rukun dengan semua orang. Lalu kedua: berusahalah untuk terus hidup dengan kekudusan, karena tanpa itu kita tidak akan melihat Tuhan dalam hidup kita. Tanpa adanya Tuhan dalam hidup kita, tanpa kesabaran dalam menghadapi orang lain, kita akan mudah terjatuh ke dalam kekecewaan, sakit hati dan kebencian. Apabila tidak segera diatasi, bagai pohon, akar-akar kepahitan akan menancap kuat ke dalam hati kita sehingga sulit untuk dibuang.

Kepahitan tidak akan pernah membawa hal positif bagi diri kita melainkan menimbulkan banyak masalah. Cobalah bandingkan hidup yang damai sejahtera dengan hidup dengan kepahitan. Itu tentu berbanding terbalik. Orang yang kepahitan penuh rasa benci, mudah tersinggung, over sensitive dan panas tempramennya. Mereka biasanya eksplosif, negatif bicaranya dan buruk perilakunya. Dari bangun pagi saja perasaan sudah tidak damai, lantas terus membangun masalah dengan banyak orang. Bayangkan hidup seperti itu, tentu saja tidak enak. Kepahitan akan membuat kita sulit maju dan sulit bertumbuh termasuk dalam iman. Bagaimana mau mengharapkan pertumbuhan kalau hati kita dipenuhi pohon pahit dengan akar-akarnya yang kuat? Kalau sudah begitu, dimana lagi damai sejahtera dan kasih bisa tumbuh? Lantas kalau sudah begitu, bagaimana mau berharap hidup damai sejahtera dlam kasih karunia?

Teruskanlah hidup seperti itu, maka berbagai penyakit pun mengintai siap mengganggu kita. Mulai dari depresi, jantung, darah tinggi sampai kanker yang menurut penelitian ilmiah seringkali terjadi dari kondisi hati dan pikiran yang bermasalah dengan hal-hal negatif. Pada akhirnya, kita pun akan gagal di garis akhir karena kita tidak bisa berharap bisa diampuni Tuhan kalau kita tidak mengampuni sesama.

Selain mendatangkan kerugian pada diri sendiri, akar yang pahit ini juga akan berdampak pada orang-orang di sekitar kita. Kalau kita marah-marah saja dengan mood yang kacau, tanyakan orang-orang di sekitar kita apakah mereka senang kita ada di dekat mereka? Apalagi kalau kita sudah penuh kepahitan. Meledak-ledak, omongan negatif, air muka kusut, itu hanya akan menyakiti orang lain. Lantas kita pun tidak akan bisa berbuah baik memberkati orang ditengah tumbuh suburnya kepahitan. Bukan buah yang baik yang muncul, melainkan buah-buah buruk hasil dari pohon kepahitan dalam diri kita. Bayangkan ada berapa banyak prinsip Kerajaan yang gagal kita capai akibat kepahitan ini.

Berusaha hidup rukun dengan semua orang menjadi satu dari beberapa tips agar tidak menabur dan menumbuhkan kepahitan. Benar, ada kalanya bukan kita yang mulai. Bisa jadi kita yang dijahati orang. Tapi keputusan untuk mau mengampuni dan tetap berusaha hidup rukun adalah keputusan kita. Memendam kebencian hingga menumbuhkan akar yang pahit pada akhirnya hanya akan merugikan diri kita sendiri, baik dalam hidup sekarang maupun yang kekal nanti. Tips berikutnya adalah tetap hidup dalam menjaga kekudusan. Jangan terjebak hanya karena kemarahan lantas tidak lagi berbuat hal-hal yang benar di mata Tuhan. Meski karena diprovokasi, kita tetap dituntut untuk tidak melakukan hal yang berpaling dari Tuhan. Tetap berbuat benar artinya tetap mendasarkan segala perbuatan dan perilaku kita untuk tetap sesuai dengan Firman. Dan yang tidak kalah penting, jangan menjauhkan diri dari kasih karunia Allah yang memampukan kita untuk tidak sampai menumbuhkan akar pahit dalam menghadapi apapun. Tetap pandang ke atas, biarkan keadilan Tuhan yang bekerja, seperti yang tertulis dalam Mazmur 18:21-27. Diperlukan kebesaran hati kita untuk bisa mengampuni mereka yang bersalah kepada kita supaya kepahitan bisa kita hindarkan.

Tuhan selalu melimpahkan kasih karuniaNya pada kita. Tapi untuk bisa menikmati dan memanfaatkannya itu tegantung dari kita. Ayat bacaan hari ini mengingatkan kita untuk tetap berjaga. "Jagalah", katanya. Jaga terus diri kita, kuasai pikiran dan kendalikan hati kita supaya jangan sampai tanpa sadar kita menjauh dari kasih karunia Allah lantas mudah terkena berbagai masalah yang tidak saja merugikan kita dalam hidup saat ini tapi juga dalam fase berikutnya yang kekal kelak. Miliki hati yang rela mengampuni, dan bereskan segera kekecewaan atau sakit hati yang anda rasakan sesegera mungkin, karena semakin lama anda biarkan, semakin kuat pula akar kepahitan itu menancap, yang akan berakibat semakin sulit pula bagi anda untuk membereskannya.

Bitterness is a root that ruins the garden of peace. When we hold on to dissapointment, a poisonous root of bitterness begins to grow

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho





Saturday, July 15, 2017

Strategi Menghadapi Godaan (2)

(sambungan)

Paulus meminta jemaat Efesus untuk terus mendoakannya agar tetap teguh melayani meski situasi yang ia hadapi sangat berat. Tapi ia tidak berhenti sampai disitu saja. Ia mengingatkan kita agar tidak keliru menyikapi perselisihan, "karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." (ay 12).

Paulus juga menyampaikan pentingnya mengenakan "seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat iblis." (ay 11). Apa saja perlengkapan senjata Allah itu? "Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh."  (ay 13 - 18).

Anda bayangkan jika anda seorang prajurit, maka anda perlu melengkapi diri dengan senjata dan pelindung lengkap agar anda dapat maksimal dalam berperang. Melawan orang? Bukan, tapi melawan si jahat dalam berbagai bentuk, termasuk godaan yang seringkali meruntuhkan orang percaya yang sudah selama ini bekerja keras untuk membangun imannya dan menjaga diri dari melakukan tindakan-tindakan yang buruk. Perlengkapan senjata Allah akan memungkinkan anda untuk tidak terjatuh saat berjuang memelihara keteguhan iman dan kesetiaan hingga akhir. Perlengkapan senjata Allah akan menguatkan anda dalam menghadapi serangan dan menghasilkan buah selagi kesempatan masih ada. Perlengkapan senjata Allah akan membuat anda mampu terus tumbuh untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus meski ada godaan dan gangguan dari si jahat dalam berbagai cara dan rupa.

Ingatlah bahwa kita sudah ditebus dan hidup sebagai ciptaan baru, dalam kasih karunia. Kalau kita sadar akan hal itu, kita tidak akan mudah membuang anugerah yang sangat besar itu dengan melakukan berbagai bentuk dosa. Jangan lengah, karena godaan bisa muncul dari mana saja, dan seringkali begitu tersamarkan sehingga kalau tidak benar-benar peka kita bisa luput melihatnya. Tetap kenakan senjata perlengkapan Allah dalam menjalani hidup, karena kita tidak pernah tahu kapan godaan dan serangan itu datang. Paulus sudah berhasil mempertahankan kesetiaan imannya sampai akhir. Ia terus berbuah dan buahnya masih bisa kita nikmati sampai sekarang. Marilah menjadi anak-anak Allah yang kuat, tidak gampang goyah apalagi jatuh dan sampai di garis akhir dengan selamat.

Hidup penuh ujian, lewatilah dan selesaikan sebagai pemenang

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, July 14, 2017

Strategi Menghadapi Godaan (1)

Ayat bacaan: Efesus 6:11
===================
"Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis;"

Masa-masa pacaran biasanya menjadi saat terindah dalam sebuah hubungan. Di fase ini biasanya pasangan bisa lebih mudah saling mengalah, lebih toleransi juga lebih romantis dalam menyatakan cintanya. Namanya juga lagi hangat-hangatnya. Soal antar jemput bukan masalah sama sekali, malah senang karena itu artinya bisa ketemu lebih sering dan lebih lama. Kalau bersentuhan seperti ada aliran listrik yang bikin hati ser-seran. Ini umumnya yang dialami orang yang baru jatuh cinta dan masa-masa awal pacaran. Lantas menikah. Bulan madu akan jadi salah satu fase yang paling dikenang Seiring waktu, saat sudah menikah untuk jangka waktu lama, rasa bosan, jenuh dan sejenisnya membuat toleransi berkurang, ego meningkat dan romansa lenyap. Ada banyak hubungan yang kemudian berubah jadi dingin. Dari dingin menjadi beku, sedemikian beku sehingga sulit dicairkan lagi. Atau, ada juga yang begitu panas, sehingga jangankan mengalami, mendengarnya saja kita sudah keringatan. Rumah jadi bagaikan medan perang penuh tembakan dan ledakan. Tembakan dan ledakan kata-kata, piring terbang, bantingan pintu dan lain-lain. Banyak yang kemudian cerai karena mereka tidak punya rasa lagi terhadap pasangannya, sudah kepahitan atau karena merasa perbedaan yang ada sudah tidak lagi bisa dicari titik tengahnya. Di luar sana disebut irreconcilable differences. Ada yang dengan mudah memakai banyak alasan untuk selingkuh dan mencari kesenangan di luar. Bahkan ada yang pakai alasan ingin punya keturunan. Padahal, belum tentu itu salah pasangannya, dan sebuah pernikahan pada hakekatnya bukanlah peternakan melainkan seperti pertanian yang harus dirawat, dijaga, diolah agar bisa baik kualitasnya.

Alangkah sayangnya apabila sebuah hubungan berubah menjadi seperti ini. Itu jelas bukan sesuatu yang diinginkan Tuhan saat Dia memateraikan langsung pernikahan anak-anakNya. Hari ini saya bukan ingin membahas tentang pernikahan, tetapi tentang kekokohan dan kualitas iman dan cinta kita pada Tuhan. Pada saat sebuah pasangan menikah dan melewati bulan madu, real marriage life begins. Semua kekurangan dan sifat asli akan terlihat semakin jelas. Disitulah diuji kualitas cinta sejati. Pada saat cinta mula-mula lewat dan kita menghadapi godaan dan masalah, disanalah kualitas iman dan cinta kita pada Tuhan diuji kekuatannya.

Kita sudah ditebus oleh Yesus di kayu salib sehingga kita bisa mengalami pemulihan hubungan dengan Tuhan dan dilayakkan untuk selamat dari kebinasaan yang kekal. Itu adalah karunia yang luar biasa besarnya. Akan tetapi ada banyak orang yang meski sudah dikategorikan sebagai anak Tuhan tapi sedang jatuh. Meski sudah berada dalam kasih karunia, berbagai godaan, tipu muslihat si jahat atau tekanan bisa membuat orang terpeleset lantas jatuh. Biasanya, karena sudah berada dalam kasih karunia tapi masih melakukan dosa, itu bisa bikin seseorang tersiksa. Tapi terkadang mereka sulit untuk bisa kembali bangkit apalagi kalau menghadapinya hanya sendirian.

Hari ini mari kita lihat lagi sosok Paulus. Setelah melayani puluhan tahun secara militan hingga menempuh ribuan kilometer, kita tahu bagaimana endingnya. Paulus ada di penjara dan dihukum mati. Apakah Paulus kecewa dan menyesal? Ia punya banyak alasan untuk itu. Tapi terbukti ia tidak merasakan hal tersebut sama sekali. Ia tetap teguh melayani. Ia tahu bahwa kalau ia masih punya kesempatan hidup, itu berarti baginya terus bekerja dan memberi buah. Hal tersebut ia nyatakan dengan jelas dalam Filipi 1:22a. Meski berada dalam keadaan yang sangat tidak kondusif, ia tahu bahwa yang ia tuju bukanlah kenikmatan, kenyamanan atau kemudahan dunia melainkan kehidupan kekal yang hanya bisa ia peroleh jika ia sanggup memelihara imannya sampai kesudahannya.

Kalau kemarin kita sudah melihat apa yang ia sampaikan mengenai memelihara keteguhan iman disertai beberapa pesan penting buat jemaat Filipi, Titus dan Timotius, hari ini mari kita lihat apa yang ia katakan kepada jemaat Efesus dalam penutup suratnya. Perhatikan, ia masih menghasilkan buah di saat-saat terakhirnya. "Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya." katanya dalam ayat pertama dalam perikop terakhir (Efesus 6:10).

(bersambung)


Thursday, July 13, 2017

Mindset dalam Menghadapi Pencobaan (2)

(sambungan)

Jika anda ingat masa-masa anda masih sekolah, anda tentu tahu bahwa untuk naik kelas anda terlebih dahulu harus melalui ujian. Anda belajar, lalu hasil belajar anda akan terlihat dari hasil ujian. Tidak ada orang yang naik kelas tanpa ujian. Jika gagal, maka anda pun gagal naik alias tinggal kelas. Untuk bisa melihat apakah kita sudah berakar kuat atau belum, apakah iman kita kokoh atau masih mudah terguncang maka kita pun harus melewati ujian lewat pencobaan. Jadi, pandanglah masalah sebagai sebuah ujian terhadap iman.

Tidak mudah menghadapi ujian, namun kita tentu senang saat naik kelas. Itu juga yang seharusnya ada dalam pola pikir kita ketika menghadapi ujian iman. Apabila buah dari iman kita baik, maka setelah kita melaluinya kita pun akan menjadi pribadi-pribadi dengan iman yang lebih matang. Dan itu tentu sangat diperlukan supaya kita bisa tetap menjaga atau memelihara iman hingga akhir. Itulah yang diingatkan oleh Yakobus.

Sebuah ujian seperti apapun bisa menghasilkan buah matang yang bisa menyempurnakan kita. Oleh sebab itulah penting bagi kita untuk menyikapi dengan benar situasi-situasi sulit yang hadir dalam hidup kita menjadikannya sebagai ajang ujian. Kita bisa memakainya untuk mengetahui apakah iman kita sudah berakar kuat atau belum, apakah iman kita kokoh/teguh atau masih lemah. Lalu hadapilah dengan benar agar bisa lulus ujian. Kesempatan untuk naik kelas lewat ujian tentu seharusnya disikapi dengan bahagia kalau kita memiliki cara pandang yang benar akan hal itu.

Berat? Tentu. Kabar baiknya, jangan lupa bahwa dalam keadaan seperti apapun Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dia terus dengan setia berada bersama kita, bahkan dalam keadaan tergelap sekalipun, seperti apa yang bisa kita baca dalam Mazmur. "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:4). Seberat apapun masalah yang kita hadapi, penghiburan, kelegaan dan pertolongan selalu disediakan Tuhan bagi kita.

Dari pengalaman saya, apabila masalah yang datang itu merupakan cobaan, maka Tuhan akan terlebih dahulu mempersiapkan anda sebelum memberi ujian. Masalahnya, seringkali kita tidak menyadari masa-masa diajar atau dilatih Tuhan. Seperti anak sekolah yang tidak serius saat belajar, kita pun akan kelabakan pada saat ujian tiba. Membangun hubungan yang intim dengan Tuhan dan melibatkannya terus dalam hidup akan membuat kita peka terhadap ajaran dan didikan Tuhan. Nantinya pada saat masa ujian tiba, kita bisa bertekun menghadapinya sampai kemudian lulus dan naik kelas.

Jika masalah datang karena kekeliruan atau keteledoran kita, perbaikilah. Tapi saat hal tersebut datang sebagai sebuah ujian, hadapilah dengan tenang. Tekunlah saat melaluinya, jangan panik, jangan kuatir, jangan takut dan jangan kehilangan sukacita. Tetap lakukan hal yang benar, pastikan iman kita kuat dan tidak goyah, lakukan yang terbaik dengan mengacu pada kebenaran Firman. Disanalah kita akan menghasilkan buah-buah matang, yang akan menyempurnakan kita, membuat kita utuh tak kurang suatu apapun.

Trials test and make our character better

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, July 12, 2017

Mindset dalam Menghadapi Pencobaan (1)

Ayat bacaan: Yakobus 1:2-4
==================
"Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun."

Sehat tidaknya sebuah pohon tergantung dari kuat tidaknya akar. Akar yang kuat dan menancap jauh ke dalam tanah hingga mencapai air akan sangat menentukan kelangsungan hidup sebuah pohon. Tanpa adanya air, daun tidak akan bisa berfotosintesis untuk menghasilkan makanannya meski mungkin mereka bisa mendapatkan CO2 dari udara dan cahaya matahari. Pohon yang punya akar kuat tidak akan mudah tumbang meski digoncang angin badai. Dan bagi pohon buah, ada tidaknya buah bisa menjadi penanda apakah pohon itu sehat atau tidak.

Beberapa waktu lalu saya sudah membahas panjang bahwa kita seharusnya berakar di dalam Kristus dan kemudian dibangun, tumbuh di atasNya agar bisa memiliki iman yang kokoh, sehat sehingga mampu mengalami kepenuhan Ilahi dalam hidup kita (Kolose 2:7). Kuat tidaknya kita berakar akan bisa dilihat dari seperti apa buah yang kita hasilkan, termasuk atau terutama saat kita menghadapi masalah. Seperti apa reaksi kita saat dalam mengarungi arus kehidupan kita harus berhadapan dengan badai? Pada kenyataannya, ada banyak orang percaya yang sama saja, atau bahkan lebih buruk reaksinya ketimbang orang dunia. Malah diantara pelayan Tuhan pun hal ini terjadi. Kecewa, marah, menuduh Tuhan kejam, tidak peduli, tidak adil hingga mempertanyakan eksistensiNya. "Saya kan sudah melayani, masa masih harus mengalami masalah?" Banyak yang berpikiran seperti itu. Mereka mengira bahwa apabila sudah melayani Tuhan itu artinya tidak ada lagi masalah yang bisa menghampiri mereka. Padahal tidak satupun ayat yang mengatakan bahwa orang percaya dijamin tidak akan pernah lagi mengalami cobaan. Mindset seperti apa yang harusnya dimiliki apabila kita berhadapan dengan masalah? Jika kita sudah hidup dengan benar, tetapi kita diijinkan untuk memasuki angin kencang, bagaimana seharusnya kita memandangnya?

Sebuah ayat berkata: "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun." (Yakobus 1:2-4).

Apakah Yakobus sedang berada dalam keadaan baik ketika menulis ini? Tidak. Saat itu ia sudah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa mengerikannya penganiayaan dan siksaan kejam hingga mati yang dijatuhkan kepada orang-orang yang mempertahankan imannya pada Kristus, termasuk pula dirinya sendiri. Bahkan Yakobus lalu membuktikan ketaatannya sampai mati. Dalam Kisah Para Rasul 12:2 kita melihat dirinya dibunuh berdasarkan perintah Herodes dengan sebilah pedang. Dia sudah melihat semuanya. Ia bisa saja melarikan diri agar lolos, tetapi justru dari dirinyalah kita bisa melihat bagaimana kita harus menyikapi berbagai pencobaan itu.

Yakobus mengajak semua orang percaya untuk memandang semua pencobaan sebagai sebuah ujian iman dan menghadapinya dengan tidak kehilangan rasa bahagia. Yakobus sama seperti kita, tidak pernah mengharapkan terjadinya masa-masa sukar. Tidak ada satupun yang mau mengalaminya, itu pasti. Tetapi  ia mengingatkan kita agar tidak kehilangan pegangan dan tetap menyikapi kondisi sesulit apapun dengan sikap hati bersukacita. Mengapa? Karena masa-masa sulit itu, apakah itu berhubungan dengan kesulitan finansial, masalah kesehatan fisik dan psikis, hubungan atau relasi, karir atau pekerjaan, pendidikan dan lain-lain, apabila kita menyikapi itu semua dengan iman maka itu menjadi sebuah kesempatan besar bagi kita untuk menghasilkan ketekunan sampai menghasilkan buah yang matang, yang akan membuat kita menjadi semakin dewasa rohaninya.

(bersambung)


Tuesday, July 11, 2017

Belajar Menjadi Teladan dari Paulus (3)

(sambungan)

Dalam surat untuk Titus kembali Paulus berpesan: "Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu" (Titus 2:7) Seperti halnya pada Titus, Paulus mengingatkan pada kita semua bahwa kita semua dituntut untuk bisa menjadi teladan di muka bumi ini. Sesungguhnya itu jauh lebih bermakna ketimbang hanya menyampaikan ajaran-ajaran lewat perkataan kosong.

Baik sebagai orang tua, guru, abang, kakak, teman, rekan sekerja, saudara sepelayanan dan sebagainya, kita harus terus meningkatkan kualitas kita hingga sampai kepada sebuah tingkatan untuk bisa menjadi contoh atau teladan. Banyak orang yang mengira bahwa itu hanyalah tugas orang-orang dewasa saja, tetapi Firman Tuhan berkata jelas bahwa tugas menjadi teladan pun merupakan sesuatu yang harus dilakukan sejak di usia muda. Sangat dianjurkan untuk bisa menjadi teladan di tengah lingkungan masyarakat sekitar, di tengah keluarga dan lain-lain, bahkan bagi orang-orang yang lebih tua sekalipun. Ayat berikut menunjukkan dengan jelas akan hal ini. "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12).

Tuhan ingin melihat kita tampil menjadi orang-orang yang mampu bercahaya di dunia yang gelap ini. "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Matius 5:16) Dan itu tidak akan pernah bisa kita lakukan apabila kita tidak memiliki sikap yang pantas sebagai seorang teladan. Menjaga kehidupan, perbuatan, tingkah laku dan sikap kita sesuai dengan Firman Tuhan merupakan jalan satu-satunya agar kita bisa menjadi terang yang bercahaya bagi orang lain dan bukan menjadi batu sandungan. Jelas tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Kemauan dan keseriusan kita akan sangat menentukan. Ingatlah juga bahwa ada Roh Kudus, Sang Penolong Sejati yang akan selalu memampukan kita untuk berkarakter penuh integritas dan kuat.

Seperti apa karakter yang kita tunjukkan hari ini? Apakah sudah menyerupai karakter Kristus yang penuh kasih terhadap semua orang tanpa terkecuali atau kita masih hidup egois, eksklusif, pilih kasih, kasar, membeda-bedakan orang bahkan masih melakukan banyak hal yang jahat? Apakah kita sudah sejalan dengan apa yang kita ajarkan atau katakan atau masih bertolak belakang? Apakah kita sudah menjadi teladan atau malah masih dinilai munafik? Sadarilah bahwa cara hidup kita akan selalu diperhatikan oleh orang lain. Anak-anak kita akan melihat sejauh mana kita melakukan hal-hal yang kita nasihati kepada mereka, teman-teman dan orang lain pun akan mampu melihat apakah kita layak menjadi teladan atau tidak. Menjadi teladan adalah sebuah keharusan. Itu adalah sebuah panggilan yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang percaya. Seperti halnya Paulus, marilah kita terus melatih dan meningkatkan diri kita untuk menjadi teladan di muka bumi ini.

"Example is not the main thing in influencing other, it's the only thing" - Albert Schweitzer (teolog, filsuf asal Jerman pemenang Nobel)

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, July 10, 2017

Belajar Menjadi Teladan dari Paulus (2)

(sambungan)

Bisa kita bayangkan bagaimana beratnya perjuangan Paulus. Cobalah letakkan diri kita pada posisinya, mungkin kita akan mudah stres, depresi dan labil diterpa kelelahan dan tekanan setiap harinya. Jika itu belum cukup, kita bisa tahu pula bahwa Paulus masih harus bekerja. Ia bekerja sebagai pembuat kemah (Kisah Para Rasul 18:2-3), dan penghasilannya ia gunakan untuk "membiayai keperluan dan kebutuhannya beserta teman-teman sekerja dalam melayani" (ay 20:34) dan juga untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Karena itulah Paulus kemudian bisa mengingatkan: "Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (ay 35).

Seperti yang saya bagikan kemarin, beberapa surat ia tuliskan saat ia berada di dalam penjara bukan berisi kesedihan, kekecewaan atau kepahitan pada Tuhan, tetapi justru nasihat dan pesan agar jemaat mula-mula yang ia bangun terus bertekun dalam iman, selalu bersyukur dan tidak kehilangan sukacita. Ada begitu banyak tatanan fundamental kehidupan Kekristenan yang kita pelajari lewat Paulus, bukan cuma lewat pengajaran tetapi juga keteladanan. Hingga akhir ia memelihara iman dan terus bekerja menghasilkan buah. Ia punya seribu satu alasan untuk kecewa, tapi ia tidak merasakan itu. Di saat-saat akhir dalam penjara ia masih menulis tujuan mendasar hidup "Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." (Filipi 1:22a) dan mengatakan "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman." (2 Timotius 4:7). Paulus mengajarkan sesuatu yang telah ia lakukan sendiri, sebagai contoh atau teladan yang sejalan dengan pengajarannya. Karenanya ia berhak berkata "Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (1 Korintus 4:16)

Menjadi ciptaan baru di dalam Kristus seperti yang dikatakan dalam surat 2 Korintus 5:17 memang merupakan anugerah tak terhingga besarnya dari Tuhan. Tetapi biar bagaimanapun keputusan ada di tangan kita. Apakah kita mau benar-benar menghayati transformasi yang telah diberikan kepada kita atau tetap hidup dalam sifat-sifat buruk di masa lalu merupakan pilihan atau keputusan yang tergantung dari kita sendiri. Hidup akan selalu penuh dengan pilihan, kita harus terus mengambil keputusan demi keputusan. Paulus bisa saja tetap berlaku seperti sebelumnya, terus menyiksa dan membunuh meski ia sudah mengalami sendiri perjumpaan dengan Yesus, tetapi untungnya ia tidak mengambil pilihan yang salah. Ia benar-benar menghayati kemerdekaan yang diperolehnya dengan penuh rasa syukur dan mengabdikan seluruh sisa hidupnya secara penuh untuk Tuhan.

Dalam menjalankan misinya Paulus mengalami banyak hal yang mungkin akan mudah membuat kita kecewa atau patah apabila berada di posisinya. Ada banyak orang yang akan patah semangat bahkan kemudian meragukan Tuhan apabila harus mengalami seperti Paulus. Lihatlah apa yang ia katakan: "Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah." (1 Korintus 4:11-13a). Kita bisa melihat sendiri bagaimana karakter Paulus dalam hidupnya setelah bertobat. Bukannya menjadi lebih mudah, tapi setelah bertobat ia justru harus melewati begitu banyak penderitaan. Tapi dibalik itu, ia menghasilkan buah-buah luar biasa yang masih kita nikmati hingga hari ini hingga generasi-generasi mendatang. Hidupnya bermanfaat sangat tinggi sepanjang jaman. Apa yang ia ajarkan semuanya telah dan terus ia lakukan sendiri dalam kehidupannya. Oleh sebab itu pantaslah Paulus menjadi seorang teladan dan ia pun berhak mengingatkan orang agar menjadikannya teladan dengan lantang.

Adalah jauh lebih mudah untuk menegur dan menasihati orang ketimbang menjadi teladan. Menjadi teladan berarti sikap kita haruslah sesuai dengan perkataan yang kita ajarkan. Ini adalah sebuah gambaran dari kehidupan yang berintegritas, sesuatu yang sudah semakin langka untuk ditemukan hari ini. Menasihati, mengajar atau menegur itu tentu baik. Tetapi Tuhan menghendaki kita semua agar tidak berhenti hanya sampai disini, melainkan melanjutkan langkah kita ke jenjang berikutnya yaitu dengan menjadi teladan dengan memiliki karakter, gaya hidup, sikap, tingkahlaku dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang kita ajarkan, terutama hal-hal yang kita ketahui menjadi suara hati Tuhan sesuai apa yang tertulis di dalam Alkitab.

(bersambung)


Kacang Lupa Kulit (5)

 (sambungan) Kapok kah mereka? Ternyata tidak. Bukan sekali dua kali bangsa ini melupakan Tuhannya. Kita melihat dalam banyak kesempatan mer...