(sambungan)
1. Melupakan apa yang ada di belakang
Seringkali
 yang menjadi penghambat utama kita untuk maju adalah beban masa lalu. 
Bisa berupa duka di masa lalu yang tak kunjung terobati, bisa berupa 
kesalahan masa lalu yang terus menerus membuat kita menjadi tertuduh, 
berbagai kegagalan di masa lalu yang menimbulkan trauma dan lain 
sebagainya. 
Untuk bisa berlari ke depan, kita harus 
meninggalkan, atau menanggalkan beban-beban yang bisa memperberat 
langkah kita. Kalaupun masih sulit untuk melupakan, setidaknya kita 
harus mulai berpikir bahwa tidak ada satupun hal yang bisa kita lakukan 
untuk mengubah masa lalu kita. Dan untuk bisa mengarahkan langkah ke 
depan, kita harus bisa melepaskan beban masa lalu tersebut. 
Apakah
 itu artinya kita harus menganggapnya tidak ada? Tidak juga. Ada kalanya
 adalah baik buat kita untuk belajar dari segala kegagalan di masa lalu 
agar kita bisa lebih baik lagi ke depannya. Tapi kalau beban masa lalu 
itu bagaikan beban berat yang membuat kita sulit atau tidak bisa 
melangkah, kita harus mulai berpikir untuk mengelola segala beban itu, 
memaafkan diri kita, memohon ampun pada Tuhan jika itu belum dilakukan, 
dan mulailah mengubah fokus untuk berlari ke depan, bukan berdiri di 
tempat apalagi mundur ke belakang. 
Masalahnya, waktu hidup kita 
terbatas. Kita tidak akan punya waktu selamanya untuk bisa menuntaskan 
hidup kita dengan baik dan keluar jadi pemenang. Jangan sampai semua itu
 terlambat, karena tidak satupun dari kita yang tahu sampai kapan masa 
hidup yang ada pada kita masing-masing.
2. Mengarahkan diri ke depan
Mengarahkan
 diri ke depan, atau mengarahkan diri kepada apa yang didepan kita, itu 
bicara mengenai kemana fokus kita seharusnya mengarah. Saat beban masa 
lalu terasa begitu berat dan kuat menarik kita, ada kalanya kita, baik 
sadar maupun tidak, mengarahkan pandangan atau diri kita justru ke 
belakang dan bukan ke depan. Jika anda seorang atlit pelari cepat, 
jangankan menang, anda bahkan tidak akan mungkin bisa mencapai garis 
finish jika anda terus melihat ke belakang. 
Jadi, terbelenggu 
beban masa lalu adalah satu hal, diri yang terus melihat ke belakang 
adalah hal lain yang harus juga kita cermati. 
Tentu saja ada 
kalanya kita memang harus melihat ke belakang, misalnya saat kita butuh 
penguatan atau peneguhan dengan melihat ulang atau kilas balik tentang 
semua hal-hal luar biasa yang Tuhan pernah lakukan pada kita di masa 
lalu. Kalau dulu Tuhan bisa, sekarangpun Dia pasti bisa. Itu sisi 
positif dari pengalaman masa lalu. Tapi bukankah itupun kita pakai untuk
 membantu kita mengarahkan diri kita ke depan? Jadi intinya, fokus kita 
hendaknya diarahkan ke depan, dan bukan tersangkut di belakang. Kita 
tidak akan pernah bisa berlari kencang menuju finish jika kita memandang
 ke belakang. Bahkan saat berlomba pun, seorang atlit tidak boleh peduli
 dengan posisi pelari lainnya, karena jika mereka memalingkan kepalanya,
 selain mereka bisa terjatuh, itu akan memperlambat laju kecepatan 
mereka secara signifikan.
The same with us and our lives. If we want to finish our lives good, if we want to reach the finish line, we have to aiming ourselves in the right way, and pressing on forward. Terkadang, move on saja belum cukup, karena bisa jadi sesaat, tapi pressing on, itu lebih intens karena faktor tenaga yang bekerja lebih besar di banding sekedar move on. Maka saya lebih suka memakai kata 'pressing on'.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment