Friday, September 9, 2022

Pelari Cepat (2)

 

(sambungan)

1. Melupakan apa yang ada di belakang

Seringkali yang menjadi penghambat utama kita untuk maju adalah beban masa lalu. Bisa berupa duka di masa lalu yang tak kunjung terobati, bisa berupa kesalahan masa lalu yang terus menerus membuat kita menjadi tertuduh, berbagai kegagalan di masa lalu yang menimbulkan trauma dan lain sebagainya.

Untuk bisa berlari ke depan, kita harus meninggalkan, atau menanggalkan beban-beban yang bisa memperberat langkah kita. Kalaupun masih sulit untuk melupakan, setidaknya kita harus mulai berpikir bahwa tidak ada satupun hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah masa lalu kita. Dan untuk bisa mengarahkan langkah ke depan, kita harus bisa melepaskan beban masa lalu tersebut.

Apakah itu artinya kita harus menganggapnya tidak ada? Tidak juga. Ada kalanya adalah baik buat kita untuk belajar dari segala kegagalan di masa lalu agar kita bisa lebih baik lagi ke depannya. Tapi kalau beban masa lalu itu bagaikan beban berat yang membuat kita sulit atau tidak bisa melangkah, kita harus mulai berpikir untuk mengelola segala beban itu, memaafkan diri kita, memohon ampun pada Tuhan jika itu belum dilakukan, dan mulailah mengubah fokus untuk berlari ke depan, bukan berdiri di tempat apalagi mundur ke belakang.

Masalahnya, waktu hidup kita terbatas. Kita tidak akan punya waktu selamanya untuk bisa menuntaskan hidup kita dengan baik dan keluar jadi pemenang. Jangan sampai semua itu terlambat, karena tidak satupun dari kita yang tahu sampai kapan masa hidup yang ada pada kita masing-masing.

2. Mengarahkan diri ke depan

Mengarahkan diri ke depan, atau mengarahkan diri kepada apa yang didepan kita, itu bicara mengenai kemana fokus kita seharusnya mengarah. Saat beban masa lalu terasa begitu berat dan kuat menarik kita, ada kalanya kita, baik sadar maupun tidak, mengarahkan pandangan atau diri kita justru ke belakang dan bukan ke depan. Jika anda seorang atlit pelari cepat, jangankan menang, anda bahkan tidak akan mungkin bisa mencapai garis finish jika anda terus melihat ke belakang.

Jadi, terbelenggu beban masa lalu adalah satu hal, diri yang terus melihat ke belakang adalah hal lain yang harus juga kita cermati.

Tentu saja ada kalanya kita memang harus melihat ke belakang, misalnya saat kita butuh penguatan atau peneguhan dengan melihat ulang atau kilas balik tentang semua hal-hal luar biasa yang Tuhan pernah lakukan pada kita di masa lalu. Kalau dulu Tuhan bisa, sekarangpun Dia pasti bisa. Itu sisi positif dari pengalaman masa lalu. Tapi bukankah itupun kita pakai untuk membantu kita mengarahkan diri kita ke depan? Jadi intinya, fokus kita hendaknya diarahkan ke depan, dan bukan tersangkut di belakang. Kita tidak akan pernah bisa berlari kencang menuju finish jika kita memandang ke belakang. Bahkan saat berlomba pun, seorang atlit tidak boleh peduli dengan posisi pelari lainnya, karena jika mereka memalingkan kepalanya, selain mereka bisa terjatuh, itu akan memperlambat laju kecepatan mereka secara signifikan.

 The same with us and our lives. If we want to finish our lives good, if we want to reach the finish line, we have to aiming ourselves in the right way, and pressing on forward. Terkadang, move on saja belum cukup, karena bisa jadi sesaat, tapi pressing on, itu lebih intens karena faktor tenaga yang bekerja lebih besar di banding sekedar move on. Maka saya lebih suka memakai kata 'pressing on'. 

(bersambung)


No comments:

Belajar dari Rehabeam (2)

 (sambungan) Mengharap berkat itu satu hal, tapi ingat bahwa menyikapi berkat itu hal lain. Dan salah menyikapi berkat bukannya baik tapi ma...