(sambungan)
25 sen memang sangat kecil nilainya dan bagi dunia
 tidaklah berarti, tapi bukankah Tuhan menuntut kita untuk setia/jujur 
terhadap perkara tak peduli sekecil apapun, no matter how small it is?
Saya
 percaya bahwa Tuhan menganggap penting bagi kita untuk terus bersikap 
jujur dalam kondisi, situasi apapun dan atas jumlah berapapun. 
Godaan-godaan seperti itu akan terus datang dalam hidup kita. Manusia 
cenderung mengabaikan untuk bersikap jujur ketika ada keadaan yang 
menguntungkan dirinya seperti mendapat kembalian lebih ketika berbelanja
 misalnya. Kita berpikir, "Ah biar saja, siapa suruh salah ngasih 
kembalian? Jelas bukan salah saya, itu resiko dia." Pemikiran seperti 
itu akan cenderung muncul dipikiran kita sebagai alasan pembenaran tapi 
kita tidak sadar bahwa kita sudah terjebak melakukan hal yang salah.
 Atau
 mungkin bisa jadi kita sepemikiran dengan kotbah di awal renungan ini, 
kita langsung bereaksi senang saat melihat ada uang terjatuh di sebuah 
tempat. Bukannya berusaha mencari tahu siapa yang punya atau memberikan 
kepada petugas atau pegawai, kita langsung buru-buru mengambil sebelum 
keburu diambil orang lain, dan sebagai pembenaran, kita bilang puji 
Tuhan atau halleluya dan langsung mutlak menganggap itu dari Tuhan. 
Ada
 pula orang yang menganggap mark-up atau menaikkan harga saat diminta 
membeli sesuatu oleh perusahaan atau badan dimana kita bekerja itu 
wajar. Uang rokok, uang kopi, uang lelah, uang jalan, dan entah apa lagi
 nama yang diberikan supaya kelihatan tidak masalah. 
Apa yang 
membuat hati kecil saya menolak, adalah bahwa saya percaya, Tuhan tidak 
akan pernah memberi hadiah yang merugikan orang lain. Sebagai pemiliki 
segalanya, Dia tidak perlu merugikan orang lain demi menguntungkan kita.
 Dan kita sebagai orang percaya pun tidak boleh mencari keuntungan 
sendiri dengan merugikan orang lain, meski jumlahnya cuma seribu-dua 
ribu saja. Kecurangan tetap tidak dibenarkan. Ingatlah bahwa sekecil 
apapun,sebuah dosa tetaplah dosa. No matter how small it is.
Masalah
 kepercayaan sesungguhnya merupakan hal yang krusial. Coba kita pikir, 
apakah ada perusahaan yang mau mempekerjakan pegawai yang hobi nyuri 
meski kecil-kecilan? Atau, adakah diantara kita yang mau punya teman 
yang seperti itu? Saya yakin tidak. Kalau bagi manusia kepercayaan itu 
penting, apalagi di mata Tuhan. Tuhan tentu tidak menciptakan 
maling-maling kecil apalagi besar. Itu bertentangan dengan buah 
pikiranNya saat menciptakan manusia secara istimewa dengan mengambil 
rupaNya sendiri. Dia memberi hati, pikiran, nalar dan akal budi, Dia 
bahkan membekali kita dengan hati nurani yang bisa menjadi saranaNya 
untuk mengingatkan kita, juga memberi Roh Kudus agar kita bisa selamat 
dalam perjalanan hidup sampai akhir. Atas semua yang sudah dia sediakan 
agar kita bisa hidup dengan lurus, seharusnya bukan saja kita bisa 
menjadi orang-orang yang setia pada perkara kecil, tapi seharusnya kita 
orang percaya pun bisa menjadi teladan akan hal itu. 
Selanjutnya
 mari kita lihat perumpamaan tentang talenta yang disampaikan Yesus 
dalam Matius 25:14-30 dan juga Lukas 19:12-27. Dalam perumpamaan 
tersebut, ada tiga hamba yang dipanggil tuannya yang hendak pergi ke 
luar negeri. Yang satu diberi 5 talenta, yang satu diberi 2, sedang yang
 satunya diberi 1. Kenapa beda-beda? Dengan jelas disebutkan bahwa 
pemberian itu didasarkan 'menurut kesanggupannya.' (Matius 25:15). 
Setelah
 tuannya pergi, ketiga hamba ini pun melakukan tugasnya masing-masing. 
Hamba yang dapat 2 dan 5 talenta kemudian memperoleh laba yang sama 
dengan modal awal. Tapi hamba dengan satu talenta memilih untuk menggali
 lubang dan menanam uangnya. Mungkin ia mengira bahwa satu talenta itu 
terlalu sedikit untuk diputar, jadi disimpan saja supaya tidak habis ia 
pakai belanja. 
Lalu pulanglah sang tuan. Kedua hamba yang 
beroleh laba sebesar modal awal mendapat pujian yang sama dari tuannya. "
 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai 
hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku
 akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. 
Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (ay 21, 23). Tapi hamba
 terakhir datang dengan sebuah pembelaan diri atas keputusannya tidak 
melakukan apa-apa dengan talenta yang dipercayakan kepadanya. Ia bahkan 
berani berkata buruk kepada tuannya. "Kini datanglah juga hamba yang 
menerima satu talenta itu dan berkata: Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah 
manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan 
yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku 
takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, 
terimalah kepunyaan tuan!" (ay 24-25). 
(bersambung)
No comments:
Post a Comment