Ayat bacaan: Titus 2:7
=================
"dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu"
Dalam sebuah kotbah, ada pendeta yang bercerita bahwa pada suatu kali ia kekurangan uang dan berdoa kepada Tuhan. Tidak lama setelah itu, ia melihat ada lembaran 100 ribu tergeletak di jalan, tepat di depan sebuah toko. Dan ia langsung menyimpulkan bahwa itu adalah pemberian Tuhan. Halleluya, masuk kantong.
Saya tidak mengabaikan bahwa Tuhan kerap mendatangkan mukjizat lewat begitu banyak cara yang ajaib dan kreatif. Di sepanjang Alkitab kita akan bisa menemukan begitu banyak contoh tentang hal ini, di jaman sekarang pun bentuk-bentuk mukjizat itu masih terus terjadi. Saya yakin teman-teman pasti punya satu dua kesaksian tentang mukjizat Tuhan yang pernah anda alami secara nyata. Tapi kembali kepada kotbah si pendeta di atas, hati kecil saya kok rasanya tidak setuju dengan apa yang ia lakukan. Kenapa ia tidak ke toko di dekat uang itu dulu untuk bertanya apakah ada yang kehilangan uang sebelum buru-buru memasukkan uang ke dalam kantongnya? Oh, mungkin ia curiga bahwa nanti ada yang cuma ngaku-ngaku padahal itu bukan uangnya. Atau, kenapa tidak di titip saja ke karyawan toko itu siapa tahu nanti ada yang kembali karena mencari uang itu? Uang lembar 100 ribu itu bukan jumlah yang sedikit. Bagaimana kalau uang itu hanya lembaran satu-satunya dari yang kehilangan? Apakah ada hak kita untuk menyimpan uang yang tergeletak tanpa pemilik, padahal sebenarnya bukan hak kita? There are so many what ifs, dan biasanya kalau sudah begitu, seandainya saya yang ada di posisi si pendeta, saya tidak akan ambil uang itu. Kalau ada yang ngaku-ngaku, atau nanti karyawan toko yang mengambil, ya terserah. Itu pertanggungjawaban dia dengan Tuhan, dan saya harus menjaga setiap langkah dan perbuatan karena semua itu pun nantinya harus saya pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Alangkah menarik jika saya membandingkan kotbah diatas dengan pengalaman nyata seorang pendeta yang pernah saya baca. Begini ceritanya.
Ada seorang pendeta yang baru saja pindah ke negara bagian lain di Amerika Serikat. Pada suatu hari ia naik ke sebuah bus untuk menuju suatu tempat. Ketika ia duduk, ia menyadari bahwa ternyata uang kembalian yang diberikan supir berlebih 25 sen. Dalam hati kecilnya ia berkata, "saya harus mengembalikan uang 25 sen ini." Tetapi kemudian pikirannya berkata, "ah sudahlah, kan cuma 25 sen saja.. itu nilai yang sangat kecil, mau beli apapun tidak akan cukup. Kenapa harus repot dengan jumlah sekecil itu?" Uang pecahan sekecil 25 sen jelas tidak akan merugikan supir dan pengusaha pemilik bus.
Pikiran lainnya sempat hinggap di benaknya. "Mungkin saya sebaiknya menerima saja sebagai sebuah "hadiah kecil dari Tuhan" dan mendiamkan saja pura-pura tidak tahu, toh bukan salah saya." Ada banyak orang percaya yang bereaksi sama seperti ini saat menerima salah kembalian yang menguntungkan, atau saat menemukan uang terjatuh di jalan seperti si pendeta tadi. Selama bukan kita yang minta, mau alasan apapun ya berarti itu rejeki kita. Tidak mengambil, berarti menolak rejeki.
Kembali kepada cerita di atas. Saat ia sampai di tempat tujuan, ia pun berdiri sejenak di pintu, dan akhirnya memutuskan untuk mengembalikan uang pecahan itu kepada supir sambil berkata, "pak, tadi kembaliannya kelebihan 25 sen."
Reaksi si supir? Ia tersenyum dan berkata: "anda kan pendeta baru di kota ini?" Si pendeta pun terkejut seraya mengiyakan. Lalu supir itu melanjutkan: "saya sedang mencari tempat yang tepat untuk menyembah Tuhan. Saya tadi sengaja mengembalikan lebih karena ingin mencoba anda, apa yang akan anda lakukan jika mendapat kembalian lebih dari yang seharusnya. Baiklah kalau begitu, sampai ketemu hari Minggu." ucap sang supir sambil tersenyum.
Pendeta itu pun kemudian tertegun dan berkata, "Ya Tuhan, saya hampir saja menjual AnakMu hanya untuk 25 sen." Betapa bersyukurnya dia karena sudah mengambil keputusan yang tepat.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment