(sambungan)
Sebuah pernikahan adalah sebuah hubungan dimana
Tuhan sendiri yang menjadi saksi. Karena itulah dalam kekristenan sebuah
pernikahan itu sakral dan kudus. Kalau materai yang kita beli di kantor
pos atau toko saja sudah bisa punya kekuatan hukum yang mengikat kedua
belah pihak, apalagi jika Tuhan yang memateraikan langsung, menjadi
saksi langsung atasnya. Itulah sebabnya dalam kekistenan tidak dikenal
istilah cerai. Bagaimana mungkin manusia merasa berhak menceraikan apa
yang dipersatukan Tuhan? Ini adalah sebuah dasar penting dalam
pernikahan bagi kita.
Lihatlah apa yang dikatakan Yesus berikut
ini: "Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia" (Matius 19:6). Tidak boleh, atas dasar apapun. Karena itu bagi
yang belum menikah, pikirkan dan pertimbangkan dahulu baik baik saat
menentukan pasangan, jangan hanya pakai nafsu dan perasaan saja. Tapi
saat sudah memutuskan untuk menikah, maka ada komitmen yang harus
dipegang, sebuah komitmen, bahkan ikatan itu berlaku bukan antar manusia
saja tetapi melibatkan Tuhan.
Lalu lihatlah kembali ayat dalam
Maleakhi 2:14 tadi. Selain Tuhan menjadi saksi atas sebuah pernikahan,
disana juga dikatakan bahwa istri itu merupakan teman sekutu dan
seperjanjian. Saat ada dua negara atau lebih bersekutu, mereka pasti
harus berjalan beriringan meski mungkin mereka tidak selalu setuju dalam
semua hal. Kalau dalam menghadapi perang, sekutu tentu bekerjasama
melawan musuhnya, kalau tidak ya berarti bukan sekutu namanya. Dan
seperjanjian, itu pun sama bahwa orang yang sudah berjanji tentu harus
menepati janjinya. Istri bukan berada di bawah suami, melainkan rekan
sekutu, rekan seperjanjian, rekan sekerja yang sama levelnya.
Kalau
istri ditutut menghormati suami, kita sebagai suami pun harus
menghormati mereka sebagai istri. Bentuknya bisa berupa mengasihi, sabar
menghadapi mereka, memberi waktu bagi mereka dan sebagainya. Kalaupun
ada yang rasanya kurang pas dan perlu disampaikan, pilih waktu yang baik
untuk itu dan sampaikan dengan lembut. Kalau kitanya masih emosi,
jangan buru-buru menyerang istri. Tenangkan diri terlebih dahulu, ambil
waktu, dan kalau emosi sudah turun, baru kita cari waktu untuk bicara.
Dan bicaralah dengan memandang mereka sebagai teman sekutu dan
seperjanjian, sesuatu yang bukan manusia, bukan cuma pendeta tetapi
Tuhan sendiri yang memateraikan.
Ada kalanya pernikahan jadi
berantakan karena disebabkan oleh ekspektasi yang ternyata tidak sama
antara sebelum dan sesudah menikah. Ekspektasi atau persepsi salah itu
cenderung disebabkan oleh pola pikir keliru dalam memandang pernikahan
yang bisa saja anggapannya sudah turun temurun. Beberapa hal tentang
pengharapan yang salah alias false hope yang saya dapati dari pengalaman
saya adalah pemahaman-pemahaman seperti ini:
1. Pernikahan akan melengkapi saya
Wah
kok salah? Pernikahan kan memang harusnya membuat keduanya saling
melengkapi? Betul banget. Tapi itu bukan datang instan atau langsung
melainkan butuh usaha dari kedua belah pihak. Itu adalah sesuatu yang
harus terus diusahakan, dikerjakan, dikejar, dan untuk bisa
mengusahakannya seringkali butuh pengorbanan, seperti mengorbankan ego,
keinginan pribadi, harapan dan sebagainya. Jadi, apakah pernikahan itu
akan melengkapi kita? Ya. Tapi apakah itu otomatis datang hanya dengan
menikah di depan altar? Tidak. Begitu kira-kira. Jadi apabila kita
berpikir bahwa pernikahan serta merta akan membuat kita langsung lebih
lengkap, maka kita akan kecewa karena kenyataannya tidak akan pernah
seperti itu.
(bersambung)
No comments :
Post a Comment