Wednesday, August 1, 2018

Kalau Janji, Tepati (1)

Ayat bacaan: Matius 5:37
==================
"Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat."

Baru saja saya menonton biografi seorang atlit terkenal yang sempat mengalami masa-masa gelap dalam hidupnya. Sekitar dua dekade silam saat ia mencapai masa keemasannya, ia sempat jatuh pada obat-obatan dan minuman keras. Menurutnya, tekanan untuk tetap tampil dengan performa puncak dan keinginan untuk menjadi yang terbaik begitu besar sehingga ia membutuhkan sesuatu untuk menenangkannya. Ia mulai memakai obat-obat penenang dan minum. Seperti halnya zat-zat yang mendatangkan kecanduan, dosisnya terus bertambah. Pernah pada suatu kali ia hampir saja menelan 25 butir sekaligus karena merasa dirinya sangat butuh itu. Ia punya keluarga, seorang istri dan tiga orang anak. Berkali-kali ia berjanji kepada istrinya untuk berhenti melakukan semua itu dan berubah agar fungsinya dalam keluarga bisa kembali ia lakukan, tapi sebanyak janjinya,  sebanyak itu pula ia melanggar. Istrinya bercerita bahwa seringkali ia melihat suaminya keluar dari kamar di tengah malam hanya untuk minum obat penenang dan bir lalu tergeletak tak sadar di sofa.

Suatu kali istrinya sudah tidak tahan lagi. Ia berkata kepada suaminya bahwa ia sudah tidak bisa lagi mentolerir kelakuan seperti itu. Berulang kali berjanji tapi terus dilanggar. Sang istri berkata, "aku mencintaimu. Tapi kalau kamu tidak berubah, saya harus meninggalkan kamu dan membawa anak-anak, karena saya tidak mau anak-anak melihat ayahnya merusak diri seperti ini." Atlit terkenal ini pun seolah tersentak. Ia tersadar bahwa akibat perbuatannya ia bisa kehilangan istri dan anak, bahkan nyawanya. Ia kemudian masuk pusat rehabilitasi dan karena motivasinya kuat, ia dengan cepat pulih. Hari ini ia sudah terlepas dari pengaruh kecanduan. Ia menjadi suami dan ayah yang sangat diandalkan, dibanggakan dan dicintai. Apakah godaan untuk kembali mabuk dan minum obat penenang tidak pernah mencoba masuk kembali? Ia berkata bahwa godaan sangat sering timbul. Tapi ia komitmen untuk memegang janjinya. "Ada ribuan janji saya pada istri dan anak-anak saya yang sudah saya langgar. Gara-gara itu saya hampir kehilangan mereka. Saya juga sempat kehilangan rasa bahagia bahkan hampir kehilangan nyawa. Enough is enough. Kali ini saya benar-benar mau pegang janji saya." katanya.

Semakin lama orang semakin menganggap ringan sebuah janji. Banyak orang yang mengkategorikan janji menurut tingkatan-tingkatannya sendiri. Ada yang tidak boleh dibatalkan seperti janji pada orang yang dianggap penting atau perjanjian yang diikat oleh hukum alias ada hitam di atas putihnya, ada yang sifatnya diusahakan, ada pula yang dianggap boleh dinomor duakan atau bahkan janji yang sambil lalu saja atau tidak serius. Ada juga yang suka bahkan terbiasa mengobral janji. Mereka dengan mudahnya menjanjikan ini dan itu, tapi sebentar lagi sudah lupa dengan janjinya. Atau mudah memberi janji semanis madu agar keinginannya terpenuhi. Ada pasangan yang kemudian bubar jalan karena salah satunya hobi ingkar janji, terutama untuk hal-hal kecil. Janji menjemput tapi tidak datang, janji tepat waktu tapi terus terlambat, janji mau menemani atau keluar nonton tapi dibatalkan tanpa alasan jelas.

Seorang teman memilih untuk putus dengan pasangannya karena sifat seperti ini. "Sederhana saja, kalau waktu pacaran saja ia sudah menunjukkan bahwa saya kurang penting dibanding urusan lainnya, yang bahkan cuma dijawab karena malas, bagaimana nanti kalau sudah menikah?" kata teman saya ini menghela nafas. Tapi itu menjadi gambaran bahwa ada orang yang memang tidak bisa dipegang kata-katanya atau sulit berkomitmen pada janji, dan ada pula yang mengkategorikan janji menurut apa yang mereka anggap benar. Ada teman saya lainnya yang di awal sempat mengesalkan saya karena sangat sulit menepati janji. Semudah berjanji semudah itu pula mengingkari atau membatalkan. Belakangan saya belajar mengenal sifatnya dan tidak lagi menganggap serius apapun yang ia janjikan. Dan itu mengurangi rasa kesal saya terhadapnya. Tapi biar bagaimanapun, sikap seperti itu tidaklah baik. Mungkin saya bisa menerima sifatnya, tapi bagaimana dengan orang lain? Dan benar saja, di usia lebih dari 40 tahun dengan satu anak, ia masih terus tidak jelas kerjanya. Saya kira sulit bagi perusahaan manapun untuk mempekerjakan karyawan yang sulit dipegang janjinya.

Dalam renungan terdahulu saya sudah menyampaikan ayat dari kitab Mazmur 12 yang ditulis oleh Daud. Perikop ini menunjukkan perbedaan nyata antara janji manusia dengan janji Tuhan yang murni dan teruji, bagai perak yang tujuh kali dimurnikan dalam dapur peleburan di tanah (ay 7). Perikop ini menunjukkan the sincerity of God against the insencerity of men. Kalau janji manusia itu sulit dipegang apalagi untuk masa waktu yang lama, janji Tuhan itu murni dan teruji. Murni sehingga pasti akan Dia penuhi, dan teruji sejak ribuan tahun dan akan berlaku hingga akhir masa. Selama kita melakukan bagian kita dengan taat dan benar, Tuhan tidak akan mengingkari janjiNya, karena Dia yang menjanjikannya, setia (Ibrani 10:23).

(bersambung)


No comments:

Belajar dari Rehabeam (2)

 (sambungan) Mengharap berkat itu satu hal, tapi ingat bahwa menyikapi berkat itu hal lain. Dan salah menyikapi berkat bukannya baik tapi ma...