(sambungan)
Mari saya ambil satu contoh nyata. Ada teman saya yang bekerja di sebuah showroom yang pemiliknya adalah orang yang aktif dalam sebuah gereja. Ia menyandang gelar Pdm, tidak jarang pula ia tampil di mimbar. Teman saya ini bukanlah orang asing melainkan merupakan sepupu dari istrinya, artinya mereka tentu sudah lama saling kenal sebagai saudara. Tapi kelakuannya di kantor, astaga. Kasar, memaki, mengintimidasi sampai bentuk-bentuk penghinaan pun hadir dari dirinya. Bukan hanya teman saya, tapi seluruh karyawan pun sama. "Hei, elo mau pilih huruf "B" atau "T"? Cepat jawab!" Ini contohnya, yang akan ia ucapkan apabila teman saya yang ada di divisi marketing belum berhasil menjual dalam hitungan hari. "B" itu adalah bodoh, "T" adalah tolol. Bayangkan seorang Pdm berperilaku seperti ini. Tak heran kalau teman saya kemudian mengalami kepahitan bukan saja kepada bosnya yang notabene masih hubungan saudara, tapi juga pada gereja. Kenapa bisa begitu? Karena mereka berjemaat di gereja yang sama pula. Bagaimana orang dengan perilaku seperti ini bisa lolos 'screening' di gereja? Faktor politik atau nepotisme bisa jadi penyebabnya. Kalau melihat sosial medianya, wah dia orang paling bijaksana, sempurna dan paling taat di dunia. Pencitraan pun terjadi di dunia ini.
Yang bikin semakin lucu, setiap minggu ia seolah mengadakan 'fellowship' dengan karyawannya yang ia sebut sebagai waktu untuk sharing. Nanti di foto, dipajang di sosial medianya. Di saat seperti itu ia bagaikan pribadi yang berbeda. Ramah, peduli, pintar menasehati. Tapi begitu selesai, ia kembali lagi menjadi bos besar yang sangar dan kasar. Ini adalah kenyataan, karena teman saya ini bukan tipe orang yang suka bohong atau melebih-lebihkan. Ia lebih bertipe cuma mau cerita kepada orang yang ia kenal dekat dan percaya, dan nyaman. Ia saat ini ada dipersimpangan jalan. Kalau diteruskan depresinya bisa semakin parah, sedang kalau ia keluar, betapa sulitnya mencari pekerjaan di masa seperti ini apalagi usianya sudah melewati batas usia yang biasanya dibutuhkan dalam melamar pekerjaan.
Dan biasanya, orang-orang yang merasa sudah sangat rohani ini pun kerap merasa diri paling benar bahkan merasa berhak menghakimi orang lain. Betapa kecewanya Tuhan jika terus mendapati orang-orang yang seharusnya menjadi garam dan terang tapi malah jadi batu sandungan di manapun mereka berada.
Menariknya, hal seperti ini bukan cuma jadi penyakit di jaman sekarang. Tapi di jaman Yesus datang ke dunia pun hal seperti itu sudah terjadi. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat seharusnya merupakan tokoh-tokoh agama yang jadi panutan di masa itu. Mereka mendalami betul isi kitab Taurat dan kitab-kitab nabi, hafal isinya dan seluk beluknya. Tetapi lihatlah bagaimana mereka terjebak kepada kepentingan duniawi.
(Bersambung)
Saturday, September 30, 2023
Pencitraan (2)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belajar dari Rehabeam (2)
(sambungan) Mengharap berkat itu satu hal, tapi ingat bahwa menyikapi berkat itu hal lain. Dan salah menyikapi berkat bukannya baik tapi ma...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...
No comments:
Post a Comment