Ayat bacaan: Amsal 17:22
=====================
"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang."
Ada seorang teman yang belakangan mukanya murung terus. Biasanya ia banyak tersenyum dan suka tertawa lepas, tapi kini mukanya bak mendung di musim hujan. Suatu kali saya tanyakan kenapa ia seperti itu. Ia pun bercerita bahwa bisnisnya lagi susah. Banyak pembeli yang tidak kunjung bayar meski sudah jatuh tempo katanya. Ia juga pusing melihat naiknya harga bahan-bahan pokok. Saya sebenarnya agak heran karena ia bukanlah orang yang susah-susah banget. Tapi ia tetap merasa terganggu dengan kenaikan harga itu.
Hal lainnya, ia sedang merasa sakit hati terhadap salah satu temannya. Semua unek-uneknya tertumpah bebas begitu saya tanyakan. Saat saya mengingatkan bahwa ia tidak boleh menyimpan rasa sakit hati dan harus bisa mengampuni, ia dengan cepat menjawab: "Ya tergantung dia dong.. dia saja tidak minta maaf, bagaimana saya bisa memaafkan? Kalau dia mendatangi saya dan minta maaf, mungkin seiring waktu saya bisa memaafkan. Wah, sudah orang harus minta maaf, ia masih saja butuh waktu untuk bisa memaafkan. Parahkah masalahnya? Mungkin relatif, tapi menurut saya masalahnya sebenarnya cuma miss-communication saja. Setidaknya ada banyak konflik lebih berat yang dialami orang lain yang mungkin bisa lebih cepat diselesaikan.
Teman saya ini adalah orang percaya. Ia bahkan melayani sebagai pemain gitar di gereja. Tapi ternyata ia belum memahami betul prinsip sukacita atau gembira menurut prinsip Kekristenan. Ia masih menggantungkan letak kebahagiaan dan kegembiraannya pada tempat-tempat yang salah. Pada orang lain, pada masalah pekerjaan, pada keadaan, situasi ekonomi dan sebagainya, everything but God. Padahal, menggantungkan sukacita pada tempat yang salah tidak akan pernah membawa kebaikan pada kita tetapi malah akan menambah masalah.
Sekiranya harga bahan pokok kembali normal, bukankah anda masih bisa mengeluhkan harga lainnya? "Aduh, harga iPhone 6s kok masih tinggi ya.. saya jadi tidak bisa beli. Bete deh.." Untuk barang yang tidak perlu-perlu benar saja kita bisa kehilangan sukacita. Atau, saat orang yang menyinggung menyadari kesalahan mereka dan minta maaf, bukankah kita masih tetap bisa menyimpan sakit hati atau bahkan dendam? Betapa beratnya kalau kita memilih hidup seperti itu. Bukan saja kita akan kehilangan sukacita, tapi ada ancaman berbagai penyakit pula yang cepat atau lambat akan merugikan hidup kita.
Tidak lama setelahnya saya bertemu dengan seorang tukang parkir yang cerah ceria. Ia bersemangat, tersenyum, bercanda dan ramah menyapa orang-orang yang parkir. Apa hidupnya lebih makmur dari teman saya? Saya yakin ia lebih susah, namun ia jelas lebih gembira. Pertanyaannya, kok bisa? Jelas, sukacita ternyata tidak bergantung pada ada tidaknya masalah. Sukacita adalah masalah sikap hati, dan itu tergantung pilihan kita.
Kita bisa bersukacita, kita bisa murung dan bersungut-sungut. Kita bisa tetap bergembira di tengah kesesakan, sebaliknya kita pun bisa terus merasa tidak puas atau gelisah ketika hidup sebenarnya baik-baik saja. Sukacita merupakan sebuah pilihan dan itu tergantung dari bagaimana sikap hati kita dalam menyikapi dan menikmati hidup. Terkadang kita lupa bahwa berkat yang relatif "lebih kecil" dibandingkan orang-orang yang hidupnya kita lihat makmur yang kita punyai pun sebenarnya merupakan berkat Tuhan juga yang patut kita syukuri.
Pemuda tukang parkir itu tentu menyadari bahwa setidaknya ia memiliki pekerjaan dan itu jauh lebih baik dari menganggur. Pendapatannya tentu tidak seberapa dibandingkan pengusaha kaya atau direktur perusahaan, bahkan sepertinya jauh dari teman saya yang berprofesi pengusaha dengan aset besar. Tapi ternyata itu tidak membuatnya bersedih. Ia menikmati pekerjaannya, ia menikmati hidupnya.
Dan itulah gambaran bagaimana kita, anak-anak Tuhan seharusnya bersikap. Ironisnya banyak dari kita yang justru bersikap eksklusif dan tidak mau peduli kepada orang yang tidak dikenal. Jangankan peduli dan berbagi kebahagiaan dengan orang lain, menemukan kebahagiaan sendiri saja susahnya minta ampun. Ada banyak pula yang memilih untuk terus hidup tanpa sukacita. Sekali lagi, semua itu tergantung dari sikap hati dalam memandang hidup, dan itu adalah pilihan.
Hari ini mari kita lihat salah satu ayat yang sangat saya suka, yang rasanya tidak lagi asing bagi teman-teman sekalian, tertulis dalam kitab Amsal. "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang." (Amsal 17:22). Dengan jelas ayat ini mengatakan bahwa kegembiraan yang berasal dari hati itu sangatlah bermanfaat, saking bermanfaatnya bahkan mampu berfungsi sebagai obat yang manjur.
Dalam pasal lain kita bisa pada kitab Amsal kita bisa menemukan ayat lainnya mengenai ini. "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat." (Amsal 15:13). Hati yang gembira akan mendatangkan senyum ceria, wajah kita akan terlihat ceria dan membuatnya berseri-seri. Hati yang gembira ini pun bisa mendatangkan kebahagiaan dan meningkatkan harapan hidup disamping bermanfaat bagai obat yang manjur, sebaliknya kepedihan atau kepahitan hati bisa menjadi racun yang berbahaya bagi hidup kita.
(bersambung)
Wednesday, May 3, 2017
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kacang Lupa Kulit (5)
(sambungan) Kapok kah mereka? Ternyata tidak. Bukan sekali dua kali bangsa ini melupakan Tuhannya. Kita melihat dalam banyak kesempatan mer...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...
No comments:
Post a Comment