Sunday, January 29, 2017

Dibalik Kesedihan (1)

webmaster | 11:00:00 PM |
Ayat bacaan: Pengkotbah 7:3
=====================
"Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega."

Ada beberapa teman saya yang sifatnya melankolis. Mereka mudah terharu dan mudah sedih. Mereka punya perasaan sensitif sehingga hatinya gampang tersentuh. Saya pernah menanyakan pada beberapa dari mereka, ternyata mereka mengatakan kalau boleh memilih, mereka lebih suka bergembira ketimbang bersedih. Bagaimana dengan para pria? Bukankah sejak kecil pria dianjurkan, dididik atau bahkan bagi sebagian orang diharuskan untuk tabu terhadap yang namanya sedih? Banyak juga orang yang percaya bahwa bersedih apalagi kalau sampai menangis itu mengekspos kelemahan. Atau, orang yang menangis dianggap seperti anak-anak. Padahal, sebaik-baiknya hidup, akan ada saat dimana kita harus bersedih dan mengeluarkan air mata. Bagaimana hal ini disampaikan di Alkitab?

Di satu sisi Tuhan tidak menginginkan kita menjadi orang-orang yang dipenuhi kesedihan melainkan ingin anak-anakNya menjadi pribadi yang penuh sukacita dengan merasakan kasih dan penyertaanNya. Tapi sekali waktu, mau tidak mau memang kita harus masuk ke dalam masa-masa bersedih. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh siapapun. Ada banyak ayat dalam Alkitab yang mampu menguatkan kita untuk kembali merasakan sukacita saat berada dalam kondisi sulit, dalam tekanan maupun saat tertindas, tapi juga mengingatkan bahwa segala sesuatu di kolong langit, dalam kehidupan kita di dunia, ada masanya. Termasuk masa bersedih.

Ada sebuah ayat yang terdengar sangan kontroversial yang isinya seolah berlawanan dengan ayat-ayat yang menguatkan. Dibuka dengan judul perikop "Hikmat yang benar", Pengkotbah mengatakan "Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega." (Pengkotbah 7:3). Bersedih lebih baik dari tertawa, dan itu dirangkum dalam bagian yang disebut 'hikmat yang benar'. Ditulis oleh orang paling berhikmat yang pernah ada di bumi yaitu Salomo. Aneh bukan? Ayat ini seolah menganjurkan kita untuk bersedih, karena itu dikatakan lebih baik ketimbang bergembira. Benarkah demikian? Apakah Tuhan sebenarnya ingin kita menjadi pribadi-pribadi yang kerap diliputi kesedihan, bermuka muram dan tidak ceria? Lalu, adakah keuntungan yang bisa kita peroleh dari kesedihan yang diijinkan Tuhan untuk kita rasakan? Kalau ada, apa saja?

Seperti yang saya sampaikan diatas, Tuhan tidak ingin kita berada dalam kesedihan berlarut-larut. Dia memberi begitu banyak tips dan janji yang bisa meneguhkan, menguatkan dan mengembalikan kita ke dalam rasa bahagia, penuh damai sejahtera dan sukacita. Tapi ada saat dimana kita harus bersedih, dan itu tidak salah sepanjang tidak dibiarkan berlarut-larut dan membuat hubungan kita menjadi renggang dengan Tuhan. Disaat seperti itu, ternyata masih ada hal positif yang bisa kita petik agar hidup kita menjadi lebih kuat, lebih bijaksana dan lebih baik dari sebelumnya.

Mari kita lihat ersi bahasa Inggrisnya. Ayat bacaan kita hari ini berbunyi: "Sorrow is better than laughter, for by the sadness of the countenance the heart is made better and gains gladness." Ayat ini sebenarnya mengatakan, bahwa bersedih ternyata tidaklah selalu harus buruk. Itu bisa lebih baik daripada tertawa, karena kesedihan yang membuat muka muram mampu membuat hati tarasa lebih baik, lega dan kemudian mendatangkan kesenangan hati. Ayat ini mendobrak paradigma yang selama ini kita anggap benar, yaitu bahwa kita sama sekali tidak boleh bersedih apapun situasinya, apapun kondisinya. Artinya, meski kita harus hidup dengan penuh sukacita, kalau memang harus bersedih, bersedihlah karena itupun bisa mendatangkan kebaikan bagi kita.

Seperti yang sudah saya sampaikan dalam renungan kemarin, Daud menyadari bahwa keadaan yang bisa mendatangkan kesedihan sangatlah baik dipakai sebagai waktu untuk belajar ketetapan-ketetapan Tuhan. "Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu." (Mazmur 119:71). Daud tidak mempergunakan masa-masa sulit sebagai alasan untuk menjadi lemah, merasa kecewa kepada Tuhan, merasa putus asa, hilang harapan dan sebagainya. Ia justru merasa bahwa itu membuka kesempatan baginya untuk mendalami ketetapan Tuhan lebih jahu. Disanalah ia bisa belajar lebih banyak dari sebelumnya dan menjadikan itu sebagai momen untuk merasakan luar biasanya jamahan Tuhan.

Bukankah manusia cenderung malas dan manja kalau hidup selalu berjalan baik? Maka keadaan sulit mengingatkan kita untuk mengandalkan Tuhan. Itu adalah kesempatan untuk kembali menata hidup seandainya sudah mulai melenceng dari jalan yang seharusnya, memperbaiki segala kesalahan yang akan kita sadari kalau kita belajar lebih jauh mengenai ketetapan Tuhan. Jadi kalau sekali waktu kita harus mengalami situasi yang tidak baik, jika kita memang harus bersedih, sikapi dengan baik dan pergunakan dengan baik pula. Itu akan mendatangkan kebaikan bagi kita, memberi kelegaan dan membuat kita bisa merasakan sukacita lebih dari waktu-waktu dimana kita sedang bergembira tanpa masalah.

Ternyata ada banyak yang bisa kita pelajari dibalik kesedihan. Kita bisa belajar untuk lebih kuat, lebih tegar, dan terlebih, kita bisa belajar mengandalkan Tuhan lebih dari segalanya, kita bisa belajar lebih sabar dan tabah. Ini adalah hal-hal yang jarang bisa kita peroleh lewat kegembiraan. Kegembiraan seringkali membawa kita terlena dan lupa kepada hal-hal yang esensial atau penting dalam kehidupan yang singkat ini. Bukan kita tidak boleh bergembira, tetapi ada banyak hal di balik sebuah bentuk kesedihan yang akan mampu membuat kita bertumbuh lebih baik, lebih kuat dan lebih dewasa. Karena itu ketika Tuhan menuntun kita untuk masuk ke dalam keadaan sedih, janganlah bersungut-sungut dan menuduh Tuhan sedang berlaku kejam kepada kita. Justru disaat seperti itulah kita sedang dilatih untuk lebih baik lagi, sedang diajar untuk mengalami peningkatan baik dari segi iman maupun sikap dan perilaku kita sebagai pribadi.

Ada juga ayat dalam Pengkotbah 7:3 yang sama kontroversial: "Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega." Kalau kita lanjutkan pada ayat selanjutnya, kita akan mendapati ayat yang juga sama kontroversialnya, yang berbunyi: "Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria." (ay 4). Kalau kita mau jujur, dimana kita lebih senang berada, di rumah duka atau pesta? Tentu kita lebih memilih berada dalam sebuah pesta meriah, penuh dengan sajian makanan lezat, musik dan keceriaan. Tetapi Firman Tuhan berkata justru sebaliknya, bahkan lumayan keras. Hanya orang bodohlah yang lebih memilih tempat bersukaria ketimbang berada di rumah duka. Kalau hanya sepintas ayat ini tentu sulit kita terima. Tetapi marilah kita melihat mengapa berada di rumah duka itu lebih baik bagi orang berhikmat dibanding di pesta.

(bersambung)


No comments :

Search

Bagi Berkat?

Jika anda terbeban untuk turut memberkati pengunjung RHO, anda bisa mengirimkan renungan ataupun kesaksian yang tentunya berasal dari pengalaman anda sendiri, silahkan kirim email ke: rho_blog[at]yahoo[dot]com

Bahan yang dikirim akan diseleksi oleh tim RHO dan yang terpilih akan dimuat. Tuhan Yesus memberkati.

Renungan Archive

Jesus Followers

Stats

eXTReMe Tracker