Sunday, November 15, 2015

Overheat

 Ayat bacaan: Pengktobah 7:9
=======================
"Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh."

Komputer yang bermasalah dengan suhu panas atau dikenal dengan istilah overheat akan penuh dengan masalah. Kalau kinerjanya menurun, komputer terasa berat dan lambat diakses, itu biasa. Tapi masalah akan merembet makin parah yang pada akhirnya membuat nge-hang dan kemudian mati total. Masalahnya muncul biasanya tidaklah terlalu sulit untuk diatasi. Misalnya kipas yang penuh debu dan tidak bisa berputar baik, memberikan rongga di bawahnya agar panasnya tidak bertumpuk didalam, atau dengan menambahkan dudukan berkipas. Yang pasti, kita tentu tidak ingin komputer kita panas berlama-lama sampai mendatangkan banyak masalah. Biaya perbaikan bisa mahal dan data-data yang tersimpan bisa lenyap.

Panasnya processor yang mengakibatkan komputer kita menjadi berat merupakan analogi yang sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana panasnya amarah atau emosi dalam diri kita. Ada banyak orang yang tidak menyadari akibat yang bisa ditimbulkan oleh kebiasaan membiarkan amarah menguasai diri kita. Sebagian menganggap bahwa sikap emosional bisa memberi rasa aman bagi mereka, ada yang berpikir bahwa mereka bisa terlihat hebat dan berkuasa dengan sering marah, ada pula yang membiarkan saja diri mereka gampang tersulut emosi meski atas hal yang sebenarnya sepele saja. Dan banyak orang yang suka membiarkan kemarahan terus membakar hati mereka.

Api kemarahan biasanya tidak langsung menyala dengan besar. Seringkali amarah mulai dari setitik api kecil saja. Namun jika tidak kita padamkan dengan segera, api itu akan bertambah besar dan pada suatu ketika kita tidak lagi bisa memadamkannya. Disaat seperti itulah berbagai dosa mengintip dan iblis pun siap menerkam kita hingga tidak berkutik lagi. Penyesalan di kemudian hari bisa jadi sudah menjadi terlambat jika kita terlanjur melakukan sesuatu yang bodoh karena tidak bisa berpikir jernih akibat dikuasai emosi. Berbagai penyakit pun bisa menyerang kita dimana beberapa diantaranya berpotensi mengakhiri hidup kita. Selain itu, coba bayangkan jika anda hidup dengan kemarahan, sakit hati, dendam, kesal atau kebencian kepada banyak orang, tidakkah itu akan membuat diri anda seolah ditumpuki beban yang semakin lama semakin berat? Seperti halnya processor yang panas, hati yang terus menerus panas oleh kobaran amarah pun akan membuat diri kita menjadi semakin berat dan lambat dalam melangkah. Dan salah-salah, kita pun bisa seperti komputer yang tamat riwayatnya.

Firman Tuhan mengatakan: "Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh." (Pengkotbah 7:9). Lihatlah Alkitab berkata hanya orang bodohlah yang membiarkan hidupnya terus dikuasai amarah. Orang yang bijak akan tahu resiko-resiko dari kemarahan, mulai dari yang sederhana hingga yang fatal sehingga tidak akan membiarkan dirinya terus menerus dibakar api emosi. Kita bersinggungan dengan begitu banyak orang setiap hari, dan kita memang tidak bisa menghindari pertemuan dengan orang-orang yang sulit, provokatif atau sengaja membuat ulah, itu benar. Tetapi itu bukanlah alasan untuk membiarkan diri kita terus menerus dikuasai amarah. Kita bisa terus memastikan hati dan kepala kita tetap dingin sehingga biar bagaimanapun kita ditekan, kita bisa meresponnya dengan tenang karena hati dan otak kita tetap sejuk. Firman Tuhan mengatakan "janganlah lekas-lekas marah dalam hati." Janganlah mudah terpancing emosi. Jangan sedikit-sedikit sudah marah. Itu bunyi Firman Tuhan yang saya ambil sebagai ayat bacaan hari ini. Kalimat ini menunjukkan satu hal, bahwa marah itu adalah pilihan, dan bukan keharusan, bukan pula keterpaksaan. Artinya, marah atau tidak itu tergantung dari keputusan kita. Memastikan hati tetap dingin akan membuat emosi tidak bisa bertumbuh dalam hati kita, dan itu akan mencegah kita dari melakukan perbuatan-perbuatan bodoh yang pada suatu saat akan kita sesali.

Terus mendendam, menyimpan kemarahan, membiarkan rasa sakit hati bercokol dalam diri kita dan lain-lain bukanlah sesuatu yang sesuai dengan prinsip Kerajaan.Sebaliknya, kita justru diminta untuk memberi pengampunan seluas-luasnya kepada siapapun. Lihatlah ketika Petrus mendatangi Yesus untuk menanyakan seberapa banyak ia bisa mengampuni,  "Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." (Matius 18:22). Ini artinya kita diminta untuk bisa memberi pengampunan tanpa batas, seperti halnya Tuhan mengampuni kita. Ada keterkaitan antara mengampuni dan diampuni, seperti apa yang dikatakan Yesus: "..ampunilah dan kamu akan diampuni." (Lukas 6:37). Atau lihatlah ayat berikut: "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.)" (Markus 11:25-26). Mengampuni itu pun merupakan pilihan, walaupun memang tidak pernah segampang mengucapkannya. Tapi perhatikanlah bahwa membiarkan sakit hati, kebencian dan kemarahan untuk berkuasa atas kita akan membuat kita terus ditambahi beban berat di atas punggung kita, hingga pada suatu ketika kita tidak akan bisa lagi berdiri dan hanya akan terjatuh terhimpit beban-beban berat. Sebaliknya mengampuni itu sama dengan melepaskan beban. Apakah ada yang bisa tetap merasa ringan ketika sedang benci atau marah kepada seseorang? tentu tidak. Rasa ringan akan terasa jika kita mulai sungguh-sungguh melepaskan pengampunan dan tidak terjebak pada kemarahan.

Yakobus mengingatkan: "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." (Yakobus 1:19). Mengapa? Ini alasannya: "sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah." (ay 20). Kita harus ingat pula bahwa apa yang kita tabur itu akan kita tuai. (Galatia 6:7). "Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (ay 8). Jika kita terus menabur kebaikan dalam Roh, meski dalam situasi atau kondisi apapun yang kita hadapi, maka kita pun akan menghasilkan tuaian yang baik atasnya.

Tidaklah gampang untuk mengampuni atau menahan amarah jika kita terus ditekan. Tetapi ingatlah bahwa marah atau tidak adalah pilihan dan bukan keterpaksaan. Tuhan mengingatkan kita agar tidak cepat marah, dan apabila marah pun jangan membiarkan marah itu menetap di dalam diri kita. Itu akan membuat hati kita tetap sejuk dan karenanya kita pun bisa jauh lebih ringan dan nyaman dalam menjalani hidup.

Kemarahan akan memperlambat dan memperberat hidup kita bahkan bisa menggagalkan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

No comments:

Sukacita Kedua (7)

 (sambungan) Menempatkan diri dari sisi sang pemilik rumah, saya merasa ia sadar bahwa itu adalah bagian atau resiko dari pelayanan. Saat ki...