Tuesday, August 18, 2015

Sekali Berarti, Sudah itu Mati (1)

Ayat bacaan: 2 Tawarikh 9:31
=====================
"Kemudian Salomo mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangnya, dan ia dikuburkan di kota Daud, ayahnya. Maka Rehabeam, anaknya, menjadi raja menggantikan dia."

72 tahun yang lalu seorang anak muda bernama Chairil Anwar mencoba untuk membangkitkan semangat perang melawan penjajah bukan dengan mengangkat senjata melainkan dengan lirik-lirik syair puisi lewat goresan penanya pada kertas. Ia menderita banyak penyakit sejak usia masa mudanya lalu meninggal pada usia sangat muda sebelum ia mencapai usia 30 tahun. Dalam puisinya yang berjudul Diponegoro ia mengobarkan semangat untuk berjuang merebut kemerdekaan, dan puisi ini sampai hari ini masih diperbincangkan orang terutama mereka yang mendalami bidang sastra. Kalau anda tidak begitu familiar dengan puisinya yang satu ini, ada penggalan syairnya yang sangat terkenal: "Sekali berarti, sudah itu mati."  Entah ia sadari atau tidak, meski ia tidak mengangkat senjata dan ada begitu banyak masalah dalam hidupnya, ia merupakan seseorang yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Namanya masih dikenang orang hingga hari ini. Ia bahkan layak disebut pahlawan meski perjuangannya bukan secara langsung berhadapan dengan musuh. Ia berarti. Tapi sudah itu mati.

Dalam perjalanan sejarah dunia ada begitu banyak orang yang tercatat dengan tinta emas karena melakukan sumbangsih, karya atau perbuatan yang menginspirasi dan sangat menentukan generasi selanjutnya sampai hari ini. Itu bisa muncul dalam segala bidang, baik teknologi, politik, seni dan budaya dan sebagainya. Tapi satu hal yang pasti, sehebat-hebatnya seseorang dalam menelurkan karyanya, sepintar-pintarnya orang, sekuat-kuatnya mereka, semuanya punya masa bakti dalam hidup yang terbatas. Hari ini mereka berarti, tapi saat ajal tiba tidak satupun yang sanggup menentang keputusan Yang Kuasa dan harus siap untuk dipanggil kembali menghadap Penciptanya. Bahkan ada tokoh-tokoh tertentu yang masih berusaha melakukan panggilannya di bidang masing-masing meski mereka tahu bahwa umur mereka tidak lama lagi dan melakukannya sambil berjuang mengatasi rasa sakit dan kondisi kesehatan yang seharusnya tidak lagi memungkinkan mereka untuk bekerja/mengerjakan sesuatu. Mereka tetap maju melakukan sesuatu yang berarti, lantas kemudian mati.

Di industri musik dimana saya berkecimpung, ada banyak penyanyi atau musisi yang bersinar pada masanya di setiap era. Ada yang beruntung bisa melewati beberapa dekade dengan sukses, ada yang muncul bak komet, hari ini melejit, tapi kemudian lenyap ditelan bumi. Ada banyak diantara pelaku seni yang sudah melewati masa keemasannya merasa sedih tapi harus rela saat ia tenggelam digantikan oleh sosok-sosok yang lebih muda. Saya bertemu dengan banyak dari mereka, baik dari dalam dan luar negeri. Sepanjang-panjangnya kesuksesan karir, sehebat-hebatnya karya yang mereka torehkan dalam dunia musik, tetap saja pada suatu ketika masa itu berakhir dan usianya berakhir.

Apa yang saya sampaikan di atas menjadi pembuktian kebenaran penggalan syair Chairil Anwar, "sekali berarti, sudah itu mati." Kalau dalam bahasa Inggris ada kata-kata mutiara yang mirip seperti itu, yaitu here today, gone tomorrow. Tidak peduli seberapa hebatnya kita, siapapun kita, pada suatu saat nanti semua itu akan berakhir. Mau punya jabatan setinggi langit, mau punya kekayaan melimpah bagai air bah, semua itu adalah fana. Pada suatu hari semua akan berakhir, dan tidak ada yang bisa kita lakukan dengan itu. Karena itu alangkah sia-sia kalau kita sibuk mencari hal-hal yang kata dunia dianggap penting lalu melupakan panggilan kita, mengejar yang fana lantas melupakan yang kekal, atau malah membuang-buang waktu dengan melakukan hal yang tak penting ketimbang mencari tahu apa yang berarti yang bisa kita lakukan selagi kesempatan itu masih ada. Dan Alkitab secara menarik menggambarkan hal ini dalam banyak kesempatan, diantaranya ayat yang saya pakai sebagai bahan perenungan hari ini.

Ayat bacaan hari ini merupakan gambaran akhir dari kehidupan orang paling kaya dan paling berhikmat sepanjang masa yang pernah ada di muka bumi ini. Kita tentu tahu bagaimana kekayaan Salomo dan betapa luasnya pengetahuannya dalam hikmat. Tapi pada saatnya, bahkan Salomo sekalipun tidak mampu mencegah akhir perjalanan hidupnya. "Kemudian Salomo mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangnya, dan ia dikuburkan di kota Daud, ayahnya. Maka Rehabeam, anaknya, menjadi raja menggantikan dia." (2 Tawarikh 9:31).

Ayat ini mungkin sepintas lalu tidak terlihat penting atau menarik, tapi kalau anda mundur sedikit saja kebelakang, ayat ini menjadi sangat unik dalam sebuah rangkaian yang sangat unik pula. Perhatikan bahwa perikop mengenai mangkatnya Salomo ini hadir tepat setelah perikop yang memaparkan masa-masa kejayaannya lengkap dengan kekayaannya. Mari kita lihat sejenak sedikit saja dari pemaparan itu. "Adapun berat emas, yang dibawa kepada Salomo dalam satu tahun ialah seberat enam ratus enam puluh enam talenta." (ay 14). 666 talenta itu setara dengan 23.000 kg emas. Itu per tahun. Berapa harga 1 kg emas hari ini? Dan berapa nilainya jika dikalikan 23.000? Dan itu dikatakan belum termasuk yang dibawa oleh para saudagar dan pedagang juga raja-raja Arab dan bupati-bupati di negeri itu. Rangkaian ayat selanjutnya merinci lebih jauh lagi tentang kekayaan Salomo. Tapi di perikop selanjutnya kita kemudian menemukan ayat yang menyatakan dengan sederhana bahwa Salomo kemudian meninggal dan dikuburkan di kota Daud, ayahnya. Sangatlah menarik bagi saya melihat urutan kedua perikop ini. Karenanya saya merasa seolah penulis 2 Tawarikh ingin menyatakan bahwa betapapun hebatnya seorang manusia, ia tetaplah sosok yang fana. Sehebat dan seluar biasa apapun manusia, pada satu saat semua itu akan ditinggalkan, dan apa yang tinggal hanyalah kenangan.

(bersambung)


No comments:

Kacang Lupa Kulit (5)

 (sambungan) Kapok kah mereka? Ternyata tidak. Bukan sekali dua kali bangsa ini melupakan Tuhannya. Kita melihat dalam banyak kesempatan mer...