Tuesday, August 26, 2014

Paulus dan Keteladanan

Ayat bacaan: 1 Korintus 4:16
====================
"Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!"

Seperti apakah orang yang bisa dijadikan teladan? Kata teladan biasanya mengacu kepada sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh seperti dalam sifat, sikap, perbuatan, perilaku dan sebagainya. Benar, ada banyak orang yang keliru mengambil figur panutan dan 'meneladani' perilaku-perilaku buruk dari figur yang diidolakan. Misalnya musisi yang hidupnya penuh dengan obat-obat terlarang, hubungan bebas dan sebagainya, atau malah tokoh dunia yang terkenal kejam dan sudah membantai begitu banyak jiwa yang mereka anggap akan membuat mereka keren di mata orang lain. Ada saja memang orang yang seperti itu, tetapi itu bukanlah sebuah keteladanan menurut pengertian sebenarnya. Seorang yang bisa dijadikan panutan atau teladan adalah orang yang terus menanamkan nilai-nilai kebenaran, budi pekerti dan berbagai kebaikan lainnya yang bukan hanya sebatas ajaran lewat kata-kata saja tetapi tercermin langsung dalam keseharian hidup mereka. Artinya, orang-orang yang menjadi teladan adalah orang berintegritas yang punya kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Itu sebabnya untuk menjadi teladan bukanlah perkara mudah. Bila dalam mengajar kita hanya perlu membagikan ilmu dan pengetahuan lewat perkataan, tetapi dalam menerapkan keteladanan kita harus mengadopsi langsung seluruh nilai-nilai  yang kita ajarkan untuk tampil secara langsung dalam perbuatan kita. Ada orang-orang yang mampu menunjukkan nilai-nilai kebenaran dalam hidupnya sehingga mampu memberi pengajaran tersendiri meski tanpa mengucapkan kata-kata sekalipun. Sebaliknya ada orang yang terus berbicara tapi hasilnya tidak maksimal karena tidak disertai dengan contoh nyata dari cara atau sikap hidupnya.

Ada banyak orang tua yang kecapaian akibat terlalu sibuk bekerja hanya akan memarahi anak-anaknya tanpa memeriksa terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Di satu sisi mereka melarang ini dan itu, tapi di sisi lain mereka melanggar sendiri peraturan yang mereka buat. Saya orang tua, terserah saya. Kamu masih anak kecil, harus menurut. Titik. Ini bukanlah sikap orang yang bisa dijadikan teladan karena hanya memerintah tanpa mencontohkan. Anak pun akan sulit belajar tentang kebenaran jika berada dalam bentuk keluarga otoriter yang mementingkan posisi atau status seperti itu. Agar bisa menjadi teladan itu berat dan seringkali butuh pengorbanan. Kalau anda mengajarkan bahwa tidak baik untuk cepat marah, anda harus terlebih dahulu menunjukkan kesabaran, bukan malah menunjukkan betapa pendeknya sumbu kesabaran anda. Kalau anda mengajarkan harus hidup jujur dan bersih, anda harus terlebih dahulu melakukannya tanpa syarat, bukan mencari alasan karena terpaksa dan sebagainya. Kalau anda mengajarkan harus rajin membangun hubungan dengan Tuhan, anda harus mencontohkannya dan bukan hanya menyuruh tapi sendirinya malas karena merasa tidak lagi punya cukup waktu untuk itu. Ada seorang pengusaha yang saya kenal pernah berkata bahwa urusan doa adalah urusan istri, sementara dia tugasnya memenuhi kebutuhan akan materi. Ketika saya tanyakan apakah anak laki-lakinya yang masih kecil ia ajarkan untuk rajin berdoa sejak di usia kecil, ia berkata dengan bangga: "tentu saja." Disini bisa kita lihat contoh orang yang meski mengajarkan anaknya tentang hal benar tapi ia sendiri tidak memberi keteladanan. Atau ada pula yang rajin berdoa tapi dalam hidup sehari-hari perilakunya buruk dan secara transparan dilihat oleh anak-anaknya. Ini tidak akan baik bagi pertumbuhan spiritual dari si anak.

Pada suatu kali Paulus berkata dengan tegas kepada jemaat Korintus: "Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (1 Korintus 4:16). Hanya sebuah kalimat singkat dan sederhana, tapi kalau kita renungkan tidaklah ringan. Paulus tidak mungkin berani berkata seperti itu apabila ia tidak atau belum mencontohkan apapun yang ia sampaikan mengenai kebenaran firman Tuhan. Tapi kita tahu seperti apa cara hidup Paulus. Ia mengalami perubahan hidup 180 derajat dalam waktu relatif singkat. Dari seorang penyiksa orang percaya, ia berubah menjadi orang yang sangat radikal dan berani dalam menyebarkan Injil keselamatan. Ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk pergi ke berbagai pelosok dalam menjalankan misinya bahkan sampai menjejaki Asia kecil. Tidak ada pesawat waktu itu yang mampu mengantar orang dalam waktu singkat, tidak ada pula sarana internet yang memungkinkan orang bisa berhubungan tatap muka secara langsung meski berada jauh satu sama lain seperti chatting, teleconference dan sebagainya. Di saat seperti itu ia justru masih harus bekerja demi membiayai keperluan pelayanannya. Bisa kita bayangkan bagaimana beratnya perjuangan Paulus. Cobalah letakkan diri kita pada posisinya, rasanya kita bisa stres, depresi dan sebagainya diterpa kelelahan dan tekanan dalam menghadapi hari demi hari. Atau mungkin saja kita merasa kecewa dan tawar hati karena apa yang dialami berbeda dengan yang diharapkan.

Tapi Paulus bukanlah orang yang punya mental seperti itu. Ia tahu diatas segalanya anugerah keselamatan yang ia terima merupakan sebuah anugerah yang luar biasa besar sehingga ia ingin melihat banyak orang lagi bisa mengikuti jejaknya. Ia memang berkeliling menyampaikan berita keselamatan, tetapi yang jauh lebih penting adalah ia mencontohkan sendiri aplikasi kebenaran dalam hidup lewat cara hidupnya. Ia benar-benar menghayati keselamatan yang diperolehnya dengan penuh rasa syukur dan mempergunakan seluruh sisa hidupnya secara penuh hanya untuk Tuhan. Dalam menjalankan misinya Paulus mengalami banyak hal yang mungkin akan mudah membuat kita kecewa apabila berada di posisinya. Tetapi tidak demikian dengan Paulus. Lihatlah apa yang ia katakan: "Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah." (1 Korintus 4:11-13a). Wow, lihatlah bagaimana contoh yang ia berikan dalam menghadapi tekanan dan siksaan. Ia tetap memberkati walau dimaki, ia tetap sabar walau dianiaya, ia tetap ramah meski difitnah. Itu bukan hanya sebatas pengajaran lewat perkataan saja melainkan ia tunjukkan langsung dengan perbuatan nyata. Kita bisa melihat sendiri bagaimana karakter dan sikap Paulus dalam menghadapi berbagai hambatan dalam pelayanannya. Apa yang ia ajarkan semuanya telah dan terus ia lakukan sendiri dalam kehidupannya. Oleh sebab itu pantaslah jika Paulus berani menjadikan dirinya sebagai teladan seperti yang tertulis pada ayat bacaan hari ini.

Dalam masa hidupNya yang singkat di muka bumi ini, Yesus pun menunjukkan hal yang sama. Segala yang Dia ajarkan telah Dia contohkan secara langsung pula. Lihatlah sebuah contoh dari perkataan Yesus sendiri ketika ia mengingatkan kita untuk merendahkan diri kita menjadi pelayan dan hamba dalam Matius 20:26-27. Yesus berkata: "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (ay 28). Apa yang diajarkan Yesus telah Dia contohkan pula secara nyata. Ketika Yesus berkata "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu." (Yohanes 15:12), kita pun lalu bisa melihat sebesar apa kasihNya kepada kita. Yesus mengasihi kita sebegitu rupa sehingga Dia rela memberikan nyawaNya untuk menebus kita semua. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (ay 13). Yesus membuktikannya secara langsung lewat karya penebusanNya.

Jauh lebih mudah untuk menegur dan menasihati orang ketimbang menjadi teladan, karena sebagai teladan sikap kita haruslah sesuai dengan perkataan yang kita ajarkan.  Sikap hidup yang sesuai dengan pengajaran seperti itu sudah semakin sulit saja ditemukan hari ini. Tuhan menghendaki kita semua agar tidak berhenti hanya dengan memberi nasihat, teguran atau pengajaran saja, melainkan menjadi teladan dengan memiliki karakter, gaya hidup, sikap, tingkahlaku dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang kita katakan. Alkitab mengatakan : "Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu" (Titus 2:7) Kita dituntut untuk bisa menjadi teladan di muka bumi ini. Sesungguhnya itu jauh lebih bermakna ketimbang hanya menyampaikan ajaran-ajaran lewat perkataan kosong. Sebagai orang tua, abang, kakak, dan teman kita harus sampai kepada sebuah tingkatan untuk menjadi contoh teladan. Tetapi tugas menjadi teladan pun bukan hanya menjadi keharusan untuk orang-orang tua saja. Sejak muda pun kita sudah bisa, dan sangat dianjurkan untuk bisa menjadi teladan bahkan bagi orang-orang yang lebih tua sekalipun. Firman Tuhan berkata: "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12).

Kalau Paulus bisa dengan berani meminta jemaat di Korintus untuk meneladani cara hidup dan perbuatannya, mengapa kita tidak? Sebuah kehidupan yang mengaplikasikan firman secara nyata akan mampu berbicara banyak. Hal keteladanan sangatlah penting karena orang cenderung lebih mudah percaya dan menerima sebuah kebenaran yang dipraktekkan secara langsung ketimbang hanya lewat kata-kata atau teoritis saja. Orang yang hidup sesuai kebenaran akan memiliki banyak kesaksian untuk dibagikan yang sanggup mengenalkan kebenaran kepada orang-orang yang belum mengetahuinya. Tidak perlu muluk-muluk, hal-hal sederhana saja bisa menjadi sebuah bukti penyertaan Tuhan yang luar biasa yang mampu menjadi berkat bagi orang lain. Seperti apa karakter yang kita tunjukkan hari ini? Apakah kita sudah atau setidaknya tengah berusaha untuk menjadi teladan dalam berbuat baik atau kita masih hidup egois, eksklusif, pilih kasih, kasar, membeda-bedakan orang bahkan masih melakukan banyak hal yang jahat meski kerap mengajarkan kebaikan? Sadarilah bahwa cara hidup kita akan selalu diperhatikan oleh orang lain. Anak-anak kita akan melihat sejauh mana kita melakukan hal-hal yang kita nasihati kepada mereka, begitu juga dengan teman-teman dan orang-orang di sekitar kita. Menjadi teladan adalah sebuah keharusan, marilah kita terus melatih diri kita untuk menjadi teladan seperti yang dikehendaki Tuhan atas anak-anakNya.

"Example is not the main thing in influencing others. It's the only thing" - Albert Schweitzer, ahli teologia/filsuf asal Jerman, misionaris di Afrika

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

No comments:

Belajar dari Rehabeam (2)

 (sambungan) Mengharap berkat itu satu hal, tapi ingat bahwa menyikapi berkat itu hal lain. Dan salah menyikapi berkat bukannya baik tapi ma...