=====================
"O, taste and see that Lord is good!"
'
Pernahkah anda mampir ke sebuah rumah makan karena tertarik akan bau harum masakan yang keluar dari sana? Hari ini saya mengalaminya. Wangi masakan di tengah saya sedang lapar membuat saya tertarik untuk masuk ke sebuah rumah makan. Ketika dihidangkan makanan itu pun terlihat begitu menarik. Sajiannya ditata sedemikian rupa sehingga bisa menggoda selera makan siapapun yang melihatnya. Tapi seharum atau seindah apapun sajian itu terlihat, semua itu tidak akan sempurna apabila anda belum mencobanya, merasakan langsung dengan lidah anda apakah makanan itu benar enak atau tidak. Bisa saja makanan itu harum dan ditata dengan menarik, tetapi rasanya hambar karena kurang garam misalnya, atau terlalu banyak bumbu sehingga rasanya menjadi terlalu tajam. Sebaliknya, mungkin juga rasanya enak, tetapi sajiannya tidak terlihat menarik sehingga orang tidak tergoda untuk mencobanya. Sebuah restoran yang baik akan memperhatikan kualitas rasa dan sajian. Meski masakan itu memang untuk dimakan, tetapi ternyata untuk menikmati sebuah masakan secara maksimal kita harus melibatkan beberapa indra. Lidah untuk merasa, hidung untuk mencium dan tentu saja mata untuk melihat. Orang lain boleh saja mengatakan bahwa masakan di sebuah restoran itu enak, tetapi kita tidak akan pernah mengetahuinya dengan pasti apabila kita belum mencobanya sendiri.Semua ini membawa saya kedalam sebuah perenungan hari ini akan kebaikan Tuhan. Anda mungkin sudah sering mendengar Pendeta mengatakan bahwa Tuhan itu baik. Lewat renungan-renungan yang saya tulis pun tentu anda sudah sering membacanya. Tetapi kebaikan Tuhan itu tidak akan pernah anda ketahui dengan pasti apabila anda sendiri belum mengalami atau merasakan sendiri secara nyata dalam kehidupan anda. Kabar baiknya, Tuhan tidak menyatakan bahwa Dia hanya berbuat baik kepada sebagian orang tertentu saja, tetapi Tuhan mengundang siapapun untuk mengalami sendiri kebaikanNya yang begitu luar biasa.
Mari kita lihat apa kata Daud berikut ini: "Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!" (Mazmur 34:9). Dalam versi bahasa Inggrisnya dikatakan: "O taste and see that the Lord is good!" Oh, rasakan dan lihatlah betapa baiknya Tuhan! Seruan seperti ini tentu keluar dari orang yang bukan saja sudah banyak menyaksikan kebaikan Tuhan tetapi juga telah mengalami sendiri hal itu berulang-ulang. Dari apa kata Daud ini, saya menangkap rasa gemas yang berasal dari sebuah kerinduan besar agar orang lain pun bisa merasakan dan melihat langsung kebaikan Tuhan itu. Perhatikan bahwa Daud mengatakan kecaplah dan lihatlah, taste and see. Ini melibatkan lebih dari satu indera sekaligus. Dan seperti ilustrasi masakan di atas, untuk bisa menikmati masakan itu kita membutuhkan lebih dari satu indera saja dan harus mencoba atau merasakannya sendiri, bukan hanya dari kata orang saja. Seperti itu pula kebaikan Tuhan bisa kita rasakan. Bukan hanya dari kata Pendeta, bukan hanya dari tulisan-tulisan atau bahkan dari Alkitab saja, tetapi kita pun diundang untuk merasakan langsung kebaikan Tuhan secara nyata.
Perhatikanlah ayat berikut ini:"TUHAN itu baik; Ia adalah tempat pengungsian pada waktu kesusahan; Ia mengenal orang-orang yang berlindung kepada-Nya" (Nahum 1:7). Lihatlah besarnya kuasa Tuhan yang mampu melebihi akal mengatasi segala kemustahilan akan selalu membuat kita aman ketika berlindung di dalamnya. Ayat dalam Nahum ini paralel dengan seruan Daud lainnya. "TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya." (Mazmur 145:9). Sepanjang pasal 145 kita bisa menemukan banyak hal akan kemurahan dan kebaikan Tuhan yang ditulis oleh Daud. Lihatlah beberapa poin tentang kebaikan Tuhan yang ia nyatakan.
- "TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk."(ay 14)
- "..Engkaupun memberi mereka makanan pada waktunya" (ay 15)
- "Engkau yang membuka tangan-Mu dan yang berkenan mengenyangkan segala yang hidup." (ay 16)
- "TUHAN itu adil dalam segala jalan-Nya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya." (ay 17)
- "TUHAN dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya, pada setiap orang yang berseru kepada-Nya dalam kesetiaan." (ay 18)
- "Ia melakukan kehendak orang-orang yang takut akan Dia, mendengarkan teriak mereka minta tolong dan menyelamatkan mereka." (ay 19)
Ini baru beberapa contoh saja, karena sesungguhnya Alkitab berbicara sangat banyak mengenai kebaikan Tuhan disetiap lembarnya.
(bersambung)
Ada sebuah pepatah asing yang mengatakan "Rome wasn't built in a day". Ini menggambarkan pentingnya sebuah proses belajar dalam kehidupan kita. Sebuah lukisan berasal sebuah kanvas kosong yang nantinya akan terus berisi dengan coretan-coretan sehingga menghasilkan karya seni yang indah. Seperti itu pula kita manusia yang pada akhirnya akan terbentuk sesuai dengan "coretan-coretan" apa yang menghiasi kanvas hidup kita. Yang jelas hidup butuh proses belajar yang tidak ada habisnya. Jika kita berhenti belajar maka kita pun berhenti bertumbuh. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ketika kita berhenti belajar maka kehidupan pun berhenti sampai disitu. Tidak peduli orang sepintar apapun, ia tidak akan bertambah baik apabila berhenti untuk belajar. Selalu ada hal-hal baru untuk kita pelajari, berbagai karya-karya inovatif terus berkembang lewat orang-orang yang selalu mau belajar. Tuhan memberikan kita kemampuan berpikir, Tuhan memberikan otak untuk diisi terus dengan hal-hal yang baik, otak yang kapasitasnya begitu luar biasa yang mampu menampung jauh di atas komputer yang kita gunakan sehari-hari, dan alangkah sayangnya jika semua itu tidak pernah atau jarang dipakai. Yang pasti, hidup adalah sebuah proses dimana belajar merupakan hal mutlak yang harus terus kita kembangkan selama kita masih berkesempatan untuk berjalan didalamnya.
Dari semua lomba lari, bagi saya yang paling menegangkan adalah lomba lari 100 meter. Jarak seperti itu terbilang sangat pendek bagi para jago lari, sehingga perbedaan ketika finish bisa begitu tipis, hingga nol koma nol sekian detik. Ketepatan saat start, rentang kaki dalam berlari bahkan posisi tubuh akan sangat menentukan dalam mencapai kemenangan. Jika lomba lari 100 meter itu singkat, kebalikannya adalah marathon. Jarak yang ditempuh luar biasa panjangnya, mencapai 42,195 km. Waktu yang ditempuh bisa sekitar dua jam setengah bagi para pelari maraton kelas dunia, dan itu bukanlah waktu yang singkat. Bayangkan betapa melelahkannya berlari dan terus berlari selama dua hingga tiga jam untuk menempuh jarak puluhan kilometer seperti itu. Stamina jelas merupakan faktor penting disini, juga pengaturan ritme berlari dengan tidak memforsir tenaga sejak awal. Maraton pun merupakan salah satu olah raga yang sudah sangat tua umurnya. Para ahli sejarah menelusuri dan menemukan bahwa olah raga ini sudah ada sejak ratusan tahun Sebelum Masehi. Apapun bentuk lomba larinya, berapa pun pesertanya, pemenang pertama yang menyentuh garis finish hanya satu orang. Skill, stamina, daya tahan, tenaga, semua itu penting, tetapi jangan lupa bahwa seringkali mental juara punya peran yang sangat menentukan dalam menjadi pemenang.
Diberkati untuk memberkati, diberi untuk memberi. Itu yang saya bagikan dalam renungan kemarin untuk kembali sama-sama mengingatkan kita akan tujuan Tuhan dalam memberi berkatNya turun atas kita. Lantas pertanyaannya, bagaimana jika kita merasa belum cukup "diberkati", apakah kita tetap harus memberi? Sesungguhnya kalau mau jujur, sangatlah sulit bagi kita untuk bisa merasa cukup. Manusia cenderung merasa kurang dan terus kurang sehingga merasa tidak kunjung sanggup untuk memberi. Semakin banyak yang kita punya, maka semakin banyak saja rasanya yang kita tidak punya. Oleh karenanya kita pun terus meminta ketimbang berpikir untuk memberi. "Ah nanti saja kalau sudah kaya, saya sekarang belum sanggup.." kata seorang teman dengan ringannya setelah menolak memberi sedekah di sebuah lampu merah. Baiklah jika uang rasanya kurang, bagaimana dengan tenaga, pikiran atau waktu? Ada banyak orang pula yang merasa tidak punya kemampuan untuk berbuat sesuatu bagi orang lain. Mereka menganggap bahwa memberkati orang lain artinya harus berkotbah atau menjadi full timer di gereja, dan itu buang waktu saja. Padahal Tuhan tidak pernah menuntut kita hanya dalam perkara-perkara besar saja. Hal-hal kecil seperti senyuman yang gratis sekalipun bisa sangat bermakna bagi yang membutuhkan, dan itu dihargai besar pula oleh Tuhan. Yang diminta adalah "menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan." Mengapa? "Sebab Tuhan mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." Ini bisa kita baca dalam 2 Korintus 9:7. Artinya, besar kecilnya pemberian kita, dalam bentuk apapun, selama dilakukan dengan kerelaan dan sukacita, maka Tuhan akan menghargai itu dengan sangat besar.
Betapa lucunya berbincang-bincang dengan anak teman saya yang masih berusia di bawah 10 tahun. Ia tengah sibuk mendesak ibunya untuk memberinya les gitar di sebuah sekolah musik. Saya pun bertanya kepadanya, mengapa ia tertarik untuk belajar musik, dan mengapa harus gitar. Dengan polos ia menjawab bahwa ia ingin terkenal di dunia suatu hari nanti sehingga ia bisa membantu orang miskin. Dan menurutnya, itu bisa ia capai jika ia menjadi seorang pemusik yang baik. Mengapa gitar? "Karena gitar tidak terlalu mahal, kasihan mama kalau harus beli alat musik yang mahal-mahal, om.." katanya. Saya pun tertawa mendengarnya. "Lagian kenapa tidak? Gitar itu hebat.. saya pengen jadi pemain blues, yang nadanya tinggi-tinggi itu om.." katanya lagi. Saya tertawa bukan hanya karena merasa lucu melihat kepolosan cara bepikirnya, tetapi juga karena kagum, bahwa anak sekecil dia ternyata sudah tahu bahwa ia harus mulai melakukan sesuatu sejak di usia dini agar bisa sukses kelak di kemudian hari. Kenyataannya banyak dari kita yang jauh lebih dewasa tidak kunjung juga menyadari hal itu. Kita malah tidak tahu untuk apa kita diberkati. Banyak dari kita cenderung terus menumpuk, menyimpan harta untuk diri sendiri. Semakin diberkati malah semakin pelit. Semakin banyak yang dimiliki, semakin banyak yang dirasa belum punya. Berkat yang diperoleh hanya dipakai untuk memperkaya diri sendiri, membeli benda-benda yang seharusnya tidak terlalu diperlukan. Bukannya semakin terpanggil untuk memberkati orang lain, tetapi justru semakin pelit dalam memberi. Saya memperoleh banyak karena kerja keras saya, jadi tidak ada orang lain yang harus mendapat apa-apa dari itu. Pola pemikiran seperti itu menjadi milik banyak orang. Ya, kita memang bekerja keras untuk memperoleh hasil. Dan memang kita harus bekerja keras, tidak boleh bermalas-malasan. Tetapi bukankah rejeki atau berkat itu datangnya dari Tuhan? Jika datangnya dari Tuhan, tahukah kita mengapa Tuhan memberikan berkat itu turun atas kita? Apakah cukup karena kita kerja keras maka semua itu mutlak menjadi hak milik kita dan kita tidak perlu tahu apa yang menjadi keinginan Tuhan kemana berkat itu harus kita pergunakan?
Jika anda penggemar sepakbola, anda tentu memiliki tandem-tandem favorit yang perpaduannya bisa mendatangkan maut bagi lawan di lapangan hijau. Striker bisa banyak, tetapi ketika seorang striker dipadu dengan pasangan "sehati" nya dalam bermain, maka mereka bisa menjadi momok yang sangat menakutkan. Kehebatan pasangan sejati di lapangan sepak bola ini biasanya terlihat dari bagaimana mereka bisa mengetahui bola-bola yang disukai pasangannya sehingga mereka tahu bagaimana harus mengumpan, atau mereka bisa mengetahui pergerakan pasangannya dan dengan demikian tahu kemana mereka harus mengarahkan bola. Tandem seperti ini seringkali bisa membuat perbedaan dalam bermain, dan mereka akan terlihat timpang apabila tampil tidak dengan pasangannya. Tidak hanya striker, tapi pemain tengah atau bertahan pun akan tampil beda ketika mereka bermain dengan tandemnya. Mereka akan lebih tangguh dan kokoh sehingga tidak mudah untuk ditembus. Dalam level kompetisi liga atau pertandingan membawa nama negara tandem-tandem legendaris selalu datang dan pergi, dan kita mengenal mereka bukan hanya dari skill bermain tetapi juga chemistry yang solid dengan pasangan masing-masing.
Ada orang yang senang tampil di depan dan diperhatikan banyak orang, ada yang lebih suka berada di belakang layar tidak ingin terekspos. Dalam kadar yang normal keduanya tidaklah buruk. Ada kalanya kita butuh orang-orang yang bisa membuat suasana menjadi lebih ceria dengan keberadaan mereka, ada kalanya pula kita butuh pekerja-pekerja keras yang lebih menikmati pekerjaannya tanpa harus terlihat di permukaan. Dalam kadar yang lebih dari normal, keduanya bisa menjadi negatif. Orang yang ingin eksis secara berlebihan bisa tampil over, menyombongkan diri atau bahkan merasa harus menjelekkan orang lain agar mereka terlihat hebat. Sebaliknya orang yang menutup diri secara berlebihan sulit dalam bergaul dan cenderung gagal melihat potensi diri mereka sebenarnya.Saya mengenal beberapa orang yang punya potensi luar biasa untuk sukses namun mereka bagaikan tertutupi kabut tebal, atau mungkin lebih tepat jika saya katakan diikat oleh kabut tebal akibat rasa rendah diri berlebihan ini sehingga tidak kunjung tampil "bersinar" seperti seharusnya. Burukkah untuk bersinar? Sampai batas tertentu itu tidak buruk, karena Tuhan sendiri tidak menginginkan kita menjadi orang-orang yang tidak berbuah apapun selama hidup di dunia ini. Tetapi ketika kita mempergunakan "sinar cemerlang" yang terpancar dari diri kita untuk kepentingan atau kepuasan diri sendiri, maka hal itu menjadi tidak lagi baik.
Salah satu film seri tv yang saya gemari adalah CSI (Crime Scene Investigator). Film seri yang terdiri dari beberapa versi seperti Las Vegas, New York atau Miami ini menceritakan bagaimana para ahli forensik mengungkap kasus-kasus pembunuhan atau kejahatan lainnya. Mereka terus mengumpulkan kepingan-kepingan bukti untuk mengetahui bagaimana kejahatan itu terjadi dan siapa pelakunya. Berbagai kebohongan dari para pelaku kerap mereka dapati, dan dengan fakta-fakta yang mereka temukan baik dari korban maupun tempat kejadian perkara mereka akhirnya mampu menemukan siapa pelakunya dan bagaimana sebuah kejahatan dan pembunuhan itu terjadi. Betapa hebatnya melihat kegigihan para ahli forensik ini dalam mencari fakta dan keadilan. Sayangnya kisah seperti ini tampaknya hanya terjadi dalam film saja, karena kenyataannya kita hampir selalu mendengar ketidakadilan justru terjadi di tempat dimana kita seharusnya bisa mencari keadilan. Apalagi di negara kita yang tingkat korupsinya merupakan salah satu yang terparah di muka bumi ini. Kita melihat para pelaku bagai tidak punya malu, berani tampil di publik dan bebas dari hukum karena mereka mampu menyetorkan sejumlah uang kepada penyidik atau lewat orang-orang berpengaruh yang mampu melindungi mereka dari jerat hukum. Kebiasaan suap menyuap ini memang sangat sulit untuk dihilangkan. Lembaga keadilan bagaikan pasar, ada pembeli dan ada penjual. Betapa memprihatinkan ketika lembaga peradilan yang seharusnya menjadi tempat dimana keadilan bisa ditegakkan sebenar-benarnya malah menjadi tempat yang paling sulit untuk mendapatkannya.
Mata adalah salah satu indra yang punya fungsi sangat penting. Tanpa mata kita tidak akan bisa melihat apapun. Keragaman, keindahan warna-warni dunia, segala ciptaan Tuhan yang semuanya merupakan karya seni tak tertandingi akan luput dari penglihatan kita tanpa adanya sepasang mata. Mata pun merupakan salah satu objek keindahan tersendiri yang sering kita kagumi. Tidakkah anda pernah terpesona melihat mata yang indah milik seseorang? Contact lense dengan warna-warna menarik pun tersedia di mana-mana untuk mempercantik mata. Tidak hanya pada bola mata saja, tetapi wanita pun suka memoles area sekitar mata mereka dengan berbagai warna, baik pada kelopak, bulu mata dan alis. Agar tidak silau orang pun melindungi matanya dengan kaca mata hitam. Kalau anda bekerja sebagai pengelas, anda pun harus melindungi mata anda dari percikan api las dalam bekerja. Ini semua menggambarkan betapa berharga dan pentingnya mata bagi kita.
"Cicak-cicak di dinding..diam-diam merayap..datang seekor nyamuk, hap! lalu ditangkap.." Kenalkah anda dengan lagu ini? Saya yakin teman-teman sudah sangat akrab dengan lagu anak-anak yang sangat singkat ini. Lagunya sederhana saja, menceritakan tentang bagaimana seekor cicak dengan tenang dan sabar merayap perlahan untuk menangkap mangsanya. Saya sendiri sering kagum kepada cicak yang bisa begitu sabar berdiam tanpa bergerak sedikit pun untuk bisa menjebak mangsanya seperti nyamuk, semut atau serangga lainnya. Seringkali cicak hanya menanti hingga mangsa itu mendekat, kalaupun harus bergerak maka cicak akan bergerak mengendap-endap secara perlahan agar mangsanya tidak keburu kabur ketakutan. Bagi sebagian orang mungkin merasa geli melihat sosk cicak, tidak jarang pula yang merasa jijik, terutama para wanita. Padahal cicak hanyalah hewan lemah yang tak berdaya. Cicak bukanlah seperti ular yang bisa mematuk dan mematikan, cicak juga bukan seperti landak atau kumbang pembombardir yang punya sistem pertahanan luar biasa. Apa yang bisa dilakukan cicak hanyalah memutuskan ekornya yang akan terus menggeliat-geliat untuk mengelabuhi musuh sementara ia lari menyelamatkan diri. Untuk menangkap cicak pun bisa dilakukan dengan tangan kosong saja. Anda bahkan bisa membunuh cicak dengan begitu mudahnya. Tetapi lihatlah bahwa meski lemah, ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari seekor cicak, yaitu kesabarannya. Tanpa kesabaran, niscaya semua cicak akan mati kelaparan karena tidak mendapat buruan. Dan perhatikan pula, meski lemah, bukankah cicak ada dimana-mana, bahkan di rumah-rumah mewah atau bahkan istana sekalipun?
Pandangan kita akan sangat berkurang kemampuannya apabila terhalang sesuatu. Tutuplah mata anda dengan tangan atau sapu tangan, maka anda tidak akan bisa melihat apa-apa. Atau ketika kabut turun menutupi jalanan, maka jarak pandang kita pun terbatas, berkurang jauh dari batas normal. Demikian pula kita bisa gagal melihat sesuatu yang benar ketika mata hati kita tertutup oleh banyak hal. Emosi, pikiran negatif, kebencian, ego, sinisme dan sebagainya, itu bisa membuat pandangan kita terhalang. Sebuah film yang baru saja saya tonton berisi sebuah quote yang diucapkan tokoh utamanya yang mengacu kepada sosok kakaknya. "He's a good man, with good and just ideals, but his temper can cloud his judgement." Begitulah kita manusia. Seringkali pengambilan keputusan kita terhalang oleh begitu banyak hal. Kita bisa menjadi buta karena tidak bisa lagi melihat dengan jelas. Dan itu akan berakibat kepada banyak hal, salah satunya adalah kemudian mengeluarkan pernyataan atau penilaian terlalu dini tanpa melihat dengan baik terlebih dahulu. Kita bisa dengan cepat menilai orang hanya dari suku, golongan atau status sebelum kita mengenal mereka dengan baik. Sifatnya sangat subjektif. Itulah yang bisa terjadi jika kita tidak mau melihat sesuatu dengan benar terlebih dahulu, atau ketika pandangan mata kita terhalang (dihalangi) oleh berbagai macam hal.
Dahulu seorang teman pernah dengan galau bercerita kepada saya bahwa orang tuanya tidak setuju terhadap kekasih pilihannya. Karena jahat? Ternyata bukan, melainkan karena kekasihnya berasal dari sebuah suku, katakanlah suku A. Hal seperti ini tentu sudah sering kita dengar bukan? Tidak menutup kemungkinan bahwa anda pun pernah mengalami hal ini, baik sebagai korban maupun mungkin juga sebagai pelakunya. Betapa seringnya orang dengan mudah menghakimi orang lain terburu-buru karena berasal dari suku tertentu, atau mungkin juga dari tingkatan sosial keluarganya atau kekayaan. Ada teman lainnya yang pernah mendapat penolakan dari orang tua pasangannya karena ia tidak memiliki mobil, ada pula yang ditolak karena bukan pegawai negeri. Terdengar konyol mungkin bagi kita, tetapi itulah realita yang pernah saya saksikan langsung. Sebuah kesimpulan prematur, yang hanya mendasarkan pada satu-dua alasan yang seringkali berasal dari generalisir secara subyektif tanpa memandang bibit-bobot-bebet seseorang secara objektif. Ketiga teman saya ini akhirnya menikah, dan nyatanya sampai sekarang mereka baik-baik saja dan hidup bahagia.
Mengapa perayaan hari besar harus dirayakan dengan mercon atau petasan? Adakah kepercayaan yang mengajarkan bahwa petasan itu baik? Saya yakin tidak. Saya tidak tahu tradisi itu berawal dari mana, tetapi sepertinya sudah menjadi sebuah kebiasaan apalagi bagi anak-anak kecil bahwa merayakan hari besar itu tidak afdol jika tanpa petasan. Padahal korban sudah banyak berjatuhan. Tidak hanya cacat seumur hidup yang bisa menjadi akibatnya tetapi juga nyawa. Kembang api itu masih lumayan, tetapi petasan, apalagi yang dengan sengaja dilemparkan kepada orang yang sedang lewat atau sengaja ditempatkan di dekat rumah orang, itu tentu saja bukan hal yang baik untuk dilakukan. Kenyataannya kita harus berhadapan dengan hal seperti itu menjelang sebuah perayaan. Meski polisi sudah menyita dan melarang petasan, tetapi faktanya jumlah yang beredar masih saja banyak. Dan lucunya, para orang tua seakan tidak berdaya melarang anaknya, ironisnya membiarkan atau malah ikut-ikutan. Mungkin mereka berpikir, bukankah kita sudah merdeka sehingga kita bebas melakukan apapun? Itu menggambarkan bahwa masih banyak orang yang salah dalam menafsirkan arti sebuah kemerdekaan. Bagi mereka kemerdekaan berarti boleh berbuat seenaknya tanpa batas. Orang dunia boleh saja berpikiran seperti itu, namun bagi orang-orang percaya ada banyak firman Tuhan yang mengingatkan kita akan arti sebuah kemerdekaan dan yang paling penting, bagaimana cara kita menyikapi dan mengisinya.
"Ask not what your country can do for you - ask what you can do for your country." Demikianlah sebuah penggalan dari pidato John F Kennedy pada peresmian pengangkatannya menjadi Presiden Amerika Serikat ke 35 tahun 1961. Tidak banyak yang mengetahui bahwa quote yang sangat terkenal ini sesungguhnya dikutip dari tulisan Khalil Gibran. Demikian pentingnya kalimat ini karena sebagian besar penduduk suatu negara hanya menuntut haknya tanpa memperhatikan kewajiban mereka sebagai warga negara. Begitu juga dengan kita. Kita hanya mengeluh melihat banyaknya pengemis, gelandangan, pengamen dan lain-lain, kita memprotes tingginya tingkat kejahatan, kesemrawutan jalan raya, kondisi jalan yang buruk dan lain-lain tetapi tidak mau berbuat sesuatu untuk itu. Apa yang bisa kita buat? Apa kita semua harus menjadi polisi atau harus terlebih dahulu diberi kekuasaan mutlak atas negara ini baru kita mau berbuat sesuatu? Sesungguhnya tidak. Hal sekecil apapun yang kita lakukan sesuai panggilan kita dengan sungguh-sungguh atas dasar kasih bisa dipakai Tuhan untuk berbuah secara luar biasa.