Ayat bacaan: Kejadian 2:18
==================
"TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."
"Ah dasar laki-laki.." Betapa seringnya kita mendengar kata-kata ini keluar baik dari wanita atau bahkan dari seorang istri yang ditujukan kepada suaminya sendiri. Saya hanya berpikir satu hal: sulit memang menjadi pria. Di satu sisi pria lah yang dibebankan tanggungjawab untuk memimpin keluarga, menjadi imam dan tentu saja mencari nafkah mencukupi kebutuhan keluarga. Serangkaian tugas yang disematkan ke pundak setiap pria ini sungguh tidak ringan. Tetapi saya sadar pula bahwa itu bukanlah alasan bagi pria untuk bisa berlaku seenaknya terhadap istri, anak dan keluarganya. Saya tidak menutup mata pula bahwa ada banyak pria yang menunjukkan perilaku yang tidak terpuji seperti kasar terhadap istri dan anak-anak, selingkuh, jarang pulang atau perilaku-perilaku buruk lainnya. Tidak semua pria seperti itu, namun apa boleh buat, gara-gara sebagian yang berbuat buruk itu tampaknya para pria secara umum terkena getahnya. Tetapi beberapa hari ini saya mendapatkan beberapa pria yang saya kenal betul menyampaikan hal yang sama. Di satu sisi mereka dituntut oleh istrinya untuk sukses dalam bekerja, tetapi mereka mendapat halangan justru dari istrinya sendiri. "Dia mau saya sukses, tapi ia seolah berdiri di tengah menghalangi langkah saya untuk mencapai terobosan. Kamu tahu, terkadang ada "golden moment" yang jarang-jarang muncul, dan sekali itu hilang maka akan sulit untuk ditemukan kembali.. dan dia merintangi langkah saya.." demikian isi email yang baru saja saya terima dari seorang teman. Gambaran mirip seperti itu saya dengar pula dari beberapa orang lainnya dalam beberapa minggu terakhir ini. Ada istri yang merasa punya kuasa penuh untuk mengatur suaminya sesuai dengan apa yang mereka anggap benar. Mempercayai suami saja sudah susah, apalagi mendengar pandangan suaminya. Mereka biasanya tidak tertarik untuk berdiskusi dan hanya mau keputusannya dituruti. Jika tidak? Maka tuduhan atau kecurigaan dengan mudah mereka lemparkan tanpa mau mendengar terlebih dahulu. Dalam kehidupan keluarga seperti ini, demokrasi menjadi sebuah utopia yang sering didengar namun sulit sekali terjadi.
Ketika membaca email dari teman saya itu, pikiran saya melayang hingga ke bagian awal penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian. Adam, itulah manusia pertama yang diciptakan. Ia awalnya masih hidup sendiri. Lalu Tuhan memutuskan untuk menciptakan wanita pendamping Adam. Apa yang menjadi dasar pemikiran Tuhan tertulis jelas di dalam Alkitab. "TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kejadian 2:18). Wanita diciptakan bukan sebagai pemanis saja, bukan sebagai pelengkap penderita, tetapi jelas sebagai pelaku utama pula dengan tugas dan status yang sangat deskriptif. Tugasnya dikatakan sebagai PENOLONG, dan wanita bukan dibuat lebih rendah, melainkan SEPADAN dengan pria. Garis bawahilah kedua kata yang dicetak tebal karena ini sangat penting. Ini Firman Tuhan yang menyatakan isi hatinya dalam memutuskan untuk menciptakan wanita. Bagaimana jika para istri menghambat gerak suaminya dalam menapak naik? Itu artinya sang istri gagal memenuhi apa yang digariskan Tuhan sebagai tugasnya.
Saya tidak berusaha memenangkan satu pihak pun dalam hal ini. Ada kalanya kita para pria terlalu bernafsu untuk mencapai sesuatu sehingga tidak melihat banyak faktor disekitar kita. Para istri dengan perasaannya yang tajam memang seringkali lebih jeli melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Tetapi sebagai seorang pria, saya menyadari pula terkadang ada insting, intuisi atau apapun namanya yang terkadang bisa membuat kita gelisah ingin bergerak dan mencapai sesuatu. Lalu bagaimana? Hubungan yang saling bangun sebagai satu kesatuan dalam berumah tangga antara suami dan istri seharusnya bisa jadi penengah sekaligus menjadi solusi. Tidakkah indah apabila ada komunikasi yang sehat antara suami dan istri dalam menyikapi, mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu? Suami diberi kesempatan untuk menjelaskan apa yang ingin mereka lakukan dan mengapa mereka mengambil sebuah langkah, sedang istri diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya pula. Itu yang ideal, sehingga istri bisa berfungsi sebagai penolong yang beriringan secara sinergis mendukung karir suaminya, bukan meragukan pertimbangan suami, menunjukkan sikap tidak percaya atau malah bertindak konfrontatif.
Gambaran hubungan yang seharusnya antara suami dan istri sesungguhnya sudah diberikan sebagai pegangan dalam Alkitab, yaitu dalam Efesus 5. Ini selalu saya pegang sebagai kunci rahasia kesuksesan hubungan suami istri. Seperti apa itu?
(bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belajar dari Rehabeam (2)
(sambungan) Mengharap berkat itu satu hal, tapi ingat bahwa menyikapi berkat itu hal lain. Dan salah menyikapi berkat bukannya baik tapi ma...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...
No comments:
Post a Comment