Friday, May 29, 2015

Hiasan Emas bagi Telinga yang Mendengar (1)

Ayat bacaan: Amsal 25:12
===================
"Teguran orang yang bijak adalah seperti cincin emas dan hiasan kencana untuk telinga yang mendengar."

Dalam bukunya yang berjudul The 7 Habits of Highly Effective People: Powerful Lessons in Personal Change, Stephen R. Covey menuliskan: "Most people do not listen with the intend to understand; they listen with the intent to reply." Stephen bukanlah penulis buku rohani. Ia adalah pebisnis yang suka menulis buku dan menjadi pembicara di seminar yang terkait dengan masalah bisnis. Berdasarkan pengamatannya, ia mendapati bahwa kebanyakan orang bukan mendengar dengan tujuan untuk mengerti, tapi mendengar dengan keinginan untuk menjawab atau berbantah. Bentuk sifat mau menang sendiri membuat orang bersikap seperti itu. Mereka tetap berbantah dan merasa paling tahu/benar meski mereka tidak mengerti betul bidang yang diperdebatkan. Masing-masing mengeluarkan opininya sendiri tanpa didasari pengetahuan tentang suatu hal tersebut. Soal benar atau salah soal nanti, yang penting ngomong dulu. Bukankah manusia memang cenderung seperti itu hari-hari ini?  Apa yang dikatakan Stephen dalam bukunya yang pertama kali terbit tahun 1989 itu berlaku tidak saja di dunia bisnis melainkan di berbagai aspek kehidupan lainnya termasuk dalam hal rohani.

Kalau kepada manusia mereka merasa berhak begitu, mereka pun mulai membantah Tuhan dan merasa lebih tahu. Berbagai ketetapan Tuhan dilanggar lantas Tuhan dijadikan tertuduh atas segala yang buruk. Tuhan disingkirkan, tapi tetap mau terima berkat. Telinga diberikan sepasang dan diletakkan di kiri dan kanan, itu seharusnya membuat kita sadar akan pentingnya telinga sampai harus ada dua.

Seorang filosofis yang hidup 300 tahun sebelum Masehi bernama Zeno dari Citium, Siprus sudah sadar akan hal itu. Ia berkata: “We have two ears and one mouth, so we should listen more than we say.” Kita punya dua telinga dan satu mulut, itu artinya kita harus mendengar lebih banyak ketimbang bicara. Perhatikan, ada berapa banyak hubungan yang hancur karena lebih suka lempar kata ketimbang mendengar? Berapa banyak kerugian bahkan kehancuran yang terjadi hanya karena orang lebih tertarik untuk ribut tanpa ujung daripada mempergunakan sepasang telinganya baik-baik untuk mendengar terlebih dahulu sebelum mulai berkomentar? Berbagai stasiun televisi sekarang malah suka menampilkan perdebatan yang seringkali sudah tidak lagi dilandasi tata krama, nilai-nilai kesopanan dan akal sehat untuk meningkatkan ratingnya. Maka tidak heran kalau kita semakin lupa akan fungsi telinga ini untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Saya masih ingin melanjutkan mengenai pentingnya mendengar. Sebuah ayat dalam Yakobus 1:19 mengatakan: "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." Ayat ini tidak asing lagi, tapi jarang sekali yang mau menurutinya. Yang kerap terjadi justru sebaliknya, lambat untuk mendengar dan cepat berkata-kata, lebih cepat lagi untuk marah. Sulit sekali bagi kita untuk mau melembutkan hati untuk mendengar. Secepat orang mengingatkan, kita harus lebih cepat lagi kita membantah tanpa mendengar apalagi mencerna. Lambat marah diartikan lemah dan pengecut, lambat berkata dianggap tidak punya sikap. Kita pun lupa bahwa Tuhan menghadiahkan sepasang telinga dan satu mulut dan bukan sebaliknya, lalu lupa bahwa kalau Tuhan memutuskan demikian, tentu ada tujuannya.

Mari kita ambil contoh lewat kisah Musa. Kita bisa melihat dengan jelas betapa sulitnya Musa menghadapi orang-orang Israel yang keras kepala dan sangat ahli dalam hal melemparkan omelan. Mereka suka ribut dan menghamburkan kata-kata yang pasti mengecewakan Tuhan. Musa harus menghadapi itu setiap hari, padahal untuk membawa mereka keluar dari Mesir setiap hari selama puluhan tahun. Entah bagaimana Musa bisa terus bersabar menerima omelan atau komentar-komentar pedas dari bangsa yang terkenal bebal dan tegar tengkuk ini. Coba pikirkan. Adalah merupakan perintah Tuhan untuk membawa mereka ke tanah terjanji, keluar dari perbudakan di Mesir. Tuhan mau memerdekakan umatNya yang terpilih dan memberi mereka masuk ke sebuah tanah yang subur dan kaya. Itu seharusnya membuat mereka bersyukur. Tapi balasan yang mereka beri justru sebaliknya.

(bersambung)

No comments:

Dua Ibu Janda dan Kemurahan Hatinya (8)

 (sambungan) Dua janda yang saya angkat menjadi contoh hari ini hendaknya mampu memberikan keteladanan nyata dalam hal memberi. Adakah yang ...