========================
"TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia, dan apabila engkau tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari segala perintah yang kuberikan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya."
Semua orang ingin mengalami peningkatan-peningkatan dalam hidup. Berhasil dalam pekerjaan, karir meningkat, kesejahteraan semakin baik merupakan dambaan semua orang. Tidak ada orang yang mau mengalami stagnasi dalam karirnya, apalagi jika merosot. Tentu menyenangkan jika pekerjaan kita berhasil dan kita terus mendapat promosi untuk naik lebih tinggi lagi. Dalam berusaha apapun kita selalu ingin berhasil. Kita ingin berhasil membangun keluarga yang berbahagia, kita ingin jadi anak yang berhasil di mata orang tua, kita ingin berhasil mendidik anak-anak dan sebagainya. Tidak ada orang yang memimpikan kegagalan. Namun ada banyak orang yang masih bergumul dengan itu. Usaha terus gagal. Bangkrut lagi, lagi-lagi terlilit hutang, keluarga berantakan dan sebagainya. Bukannya mendapatkan promosi, bukannya jalan ditempat tapi malah melorot ke dalam keadaan yang lebih rendah. Tidak apa-apa jika itu merupakan bagian dari proses karena kita tidak bisa selamanya berharap semuanya akan baik-baik saja, tetapi itu seharusnya tidak berlaku selamanya. Apa yang diinginkan Tuhan adalah menempatkan setiap kita menjadi kepala, bukan ekor. Tetap naik dan bukan turun. Jika masih naik turun atau tetap berada di bawah posisi seperti yang dikehendaki Tuhan, itu bisa jadi pertanda bahwa masih ada yang harus kita benahi dari diri kita. Kepala dan bukan ekor? Ya, seperti itu. Mari kita lihat ayatnya. "TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun.." (Ulangan 28:13). Kita bisa melihat bahwa itulah yang dikehendaki Tuhan untuk terjadi kepada kita. Dalam proses mungkin kita dibentuk melalui fase-fase yang tidak nyaman, bahkan mungkin menyakitkan. Tapi dalam proses itupun sebenarnya kita bisa merasakan perbedaan nyata jika kita berjalan dalam tuntunan Tuhan. Penyertaan Tuhan sudah dinyatakan akan terus bersama kita sampai selama-lamanya (Matius 28:20). Artinya Tuhan berada bersama kita bukan hanya ketika kita dalam keadaan aman tanpa masalah saja , tapi dalam keadaan yang tidak kondusif, bahkan kekelaman yang tergelap sekalipun Tuhan tetap ada bersama kita. Prosesnya mungkin pahit, namun Tuhan ternyata tetap ada bersama kita, membantu kita dalam melangkah hingga pada akhirnya kita bisa menuai janjiNya. Daud merasakan hal itu. Ia mengatakan demikian: "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:4).
Saya ingin melanjutkan renungan kemarin dari sisi bagaimana kita menyikapi sebuah proses kehidupan untuk akhirnya bisa menjadikan janji Tuhan tersebut sebagai sebuah kenyataan. Jalan hidup Yusuf menjadi sebuah bukti nyata bagaimana penyertaan Tuhan itu berlaku dalam setiap keadaan, dan itu membuat keberadaan dalam situasi sulit sekalipun tetap memiliki perbedaan jika kita menghadapinya bersama Tuhan.
Sejak kecil Yusuf diperlakukan berbeda oleh orang tuanya. Ia dikatakan lebih dikasihi dari anak-anak yang lain. (Kejadian 37:3). Melihat hal ini, cemburulah saudara-saudaranya, dan kehidupan Yusuf pun mulai dipenuhi penderitaan. Ia sempat hampir dibunuh karena menceritakan mimpinya. Selamat dari pembunuhan bukan berarti masalah selesai, karena kemudian ia dilemparkan ke dalam sumur yang gelap gulita. Itu situasi yang mengancam nyawa, karena ia bisa saja mati secara perlahan di sana. Untunglah ia tidak jadi dibiarkan mati disana. Tapi ternyata itupun bukan sebuah kebebasan, karena ia selanjutnya dijual kepada para saudagar Midian dan dibawa ke Mesir dalam status sebagai budak. Budak, ini bukan posisi kepala, tapi posisi ekor, posisi terendah pada masa itu. Apa yang terjadi selanjutnya? Ternyata Yusuf dibeli oleh Potifar, seorang kepala pengawal istana.
Dalam posisi budak, apakah ada yang bisa menjadi prestasi? Dari pengalaman Yusuf ternyata ada. Dikatakan disana Yusuf selalu berprestasi dan ia pun mendapat promosi untuk dapat tinggal di rumah mewah tuannya Potifar. Bagaimana bisa demikian? Alkitab mencatat demikian: "Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu." (39:2). Kelihatannya Yusuf tidak memiliki mental yang bersungut-sungut. Ia menjalani "profesi"nya sebagai budak tetap dengan melakukan yang terbaik dari dirinya. Buahnya? Apapun yang ia buat berhasil, sehingga dalam posisi ekor sekalipun ia bisa menjadi kepala. Mengapa bisa demikian? Sebab Tuhan menyertai Yusuf.
Apakah setelah itu perjalanan Yusuf menjadi lebih ringan? Ternyata tidak. Masalah berikutnya datang. Ia lalu digoda oleh istri Potifar. Yusuf dengan tegas menolak. Dia tidak tergoda oleh kenikmatan sesaat karena ia mau hidup taat. Kedagingannya mungkin bisa tergoda, tapi rohnya ternyata lebih kuat. Yusuf pun berkata "Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?" (ay 9). Terus menerus ditolak, lama-lama beranglah istri Potifar. Ia pun memfitnah Yusuf yang mengakibatkan Yusuf dilemparkan ke penjara. Posisi makin anjlok. Yusuf bukan lagi berstatus bukan lagi budak, tapi narapidana, orang tahanan. Putus asa kan Yusuf? Ternyata tidak. Mentalnya tetap sama. Ia tidak mengeluh atau menghujat siapapun termasuk Tuhan, tapi kelihatannya ia tetap menunjukkan sikap luar biasa, sikap yang lagi-lagi berkenan di hadapan Tuhan. Kembali kita menjumpai ayat yang mirip dengan ayat 39:2 di atas, hanya saja kali ini terjadi di dalam penjara. "Tetapi TUHAN menyertai Yusuf dan melimpahkan kasih setia-Nya kepadanya, dan membuat Yusuf kesayangan bagi kepala penjara itu. Sebab itu kepala penjara mempercayakan semua tahanan dalam penjara itu kepada Yusuf, dan segala pekerjaan yang harus dilakukan di situ, dialah yang mengurusnya. Dan kepala penjara tidak mencampuri segala yang dipercayakannya kepada Yusuf, karena TUHAN menyertai dia dan apa yang dikerjakannya dibuat TUHAN berhasil." (ay 21-23). Kesulitan boleh bertambah, tapi kenyataannya Daud tetap menjalaninya dengan sebaik yang ia sanggup. Kembali kita lihat bahwa dalam keadaan di bawah (ekor), yang lebih bawah dari budak, ternyata Yusuf tetap bisa menjadi kepala. Mengapa? "Karena Tuhan menyertai dia, dan apa yang dikerjakannya dibuat TUHAN berhasil."
(bersambung)
Segala daya upaya dilakukan orang untuk bisa naik pangkat atau naik jabatan. Menyuap atau memberi uang pelicin, bingkisan-bingkisan, menjilat atasan dan berbagai upaya lain sudah biasa dilakukan agar promosi bisa mengalir lancar pada karir seseorang. Menjegal atau menjelekkan teman sendiri pun jika terpaksa apa boleh buat, yang penting kenaikan jabatan bisa diperoleh. Semua itu sudah dianggap sebagai hal yang lumrah untuk dilakukan di jaman sekarang, apalagi di negara kita yang tingkat korupsinya lumayan 'mantap'. Ada banyak orang berdalih bahwa itu terpaksa dilakukan, karena itu memang sudah menjadi kebiasaan di mana-mana. "Kalau tidak ikut korupsi rugi dong, atau malah kita justru bakal terkena masalah di kantor.." demikian ujar salah seorang pegawai negeri sambil cengengesan kepada saya pada suatu kali. Kita seringkali terpaku pada kebiasaan dunia dan cenderung menyerah mengikutinya, meski tahu bahwa itu salah di mata Tuhan. Kita melupakan sebuah fakta bahwa masalah mengalami peningkatan atau tidak itu sesungguhnya bukanlah tergantung dari dunia, atau dari manusia, tapi sesungguhnya berasal dari Tuhan. Tanpa berlaku curang dan berkompromi dengan hal buruk yang sudah dianggap lumrah di dunia ini, kita tetap bisa mengalami peningkatan karir, dan saya bisa katakan itu akan terasa luar biasa indahnya jika itu berasal dari Tuhan.
Sebutir nasi itu tentu sangat kecil bagi kita, yang biasanya bisa memakan puluhan atau bahkan ratusan butir itu dalam sekali suap. Tapi ketika anda melihat seekor semut mengangkut sebutir nasi, butiran itu terlihat sangat besar bagi semut. Contoh berikutnya, besar atau kecilkah bola tenis menurut anda? Jawabannya pun bisa beragam. Bola tenis akan terlihat kecil jika dibandingkan dengan bola sepak atau bola bowling, tetapi akan terlihat besar dibanding bola pingpong atau gundu. Sebuah jeruk bisa terlihat besar kalau dibandingkan dengan anggur, tapi kecil kalau berada di dekat buah semangka. Dalam satuan ukur setiap benda punya ukurannya masing-masing, tapi untuk memutuskan besar atau tidaknya benda itu tentu akan sangat relatif. Nilai mata uang pun demikian. Dua puluh tahun yang lalu lima ribu rupiah sudah sangat besar, tapi hari ini kita hanya bisa makan pas-pasan di warung dengan jumlah itu. Seperti itulah gambaran relativitas nilai atau ukuran sebuah benda.
Kemarin kita melihat bagaimana kesetiaan Daniel kepada Tuhan membawa turunnya terang ke dalam bangsa dimana ia tinggal. Kesetiaan sayangnya semakin lama menjadi semakin langka untuk ditemukan di muka bumi ini. Alangkah sulitnya mencari orang yang bisa benar-benar setia untuk waktu yang panjang. Apakah itu dalam sebuah hubungan cinta, pekerjaan dan sebagainya, hampir setiap hari kita menyaksikan orang-orang yang tidak menganggap kesetiaan sebagai sesuatu hal yang penting lagi untuk dipertahankan dan dipegang teguh. Berita pasangan bercerai, kedapatan selingkuh terjadi dimana-mana. Orang yang berpindah-pindah pekerjaan karena mendapat tawaran yang lebih baik atau sedikit saja tersinggung, itu pun dengan mudah kita dengar. Tidak jarang mereka bahkan tega menghianati tempat mereka bekerja untuk satu dan lain hal. Kesetiaan merupakan sebuah unsur di dalam integritas. Jika kesetiaan saja sudah semakin langka, tidak heran jika integritas pun menjadi hal yang semakin langka pula.
Sebagai orang percaya kita diminta untuk bangkit dan menjadi terang, sebab terang Tuhan sudah terbit atas kita. Ini dikatakan dalam Yesaya 60:1. Dimana kita bisa menjadi terang ketika terang kemuliaan Tuhan itu terbit atas kita? Tentu saja kita bisa memulainya dari lingkungan sekitar kita, dan itu termasuk pula dalam dunia pekerjaan dimana kita ditempatkan. Kita harus paham bahwa ditempat kita bekerja, berusaha dan menjalankan profesi kita, ada banyak jiwa yang membutuhkan terang Tuhan. Ini yang sering kita lupakan. Kita berpikir bahwa menjadi terang itu hanya bisa dilakukan lewat pelayanan-pelayanan di gereja atau persekutuan, tetapi kita lupa bahwa di tempat kita bekerja (market place) pun kita harus pula bisa menjadi terang yang memberkati banyak orang.
Bagaimana perasaan anda di rumah hari ini? Apakah anda betah dan nyaman atau justru malas untuk pulang? Apakah rumah terasa hangat dan nyaman atau malah begitu panas sehingga anda tidak tahan berada di dalamnya?
Rasanya semua orang tentu menginginkan kehidupan dunia yang damai. Tidak ada peperangan, tidak ada kerusuhan, tidak ada kekerasan, kejahatan dan tidak ada perselisihan. Bayangkan betapa indahnya jika semua manusia hidup berdampingan secara harmonis. Tidak ada yang mengedepankan perbedaan tapi mencari persatuan di atas keragaman. Itu bentuk dunia yang diimpikan oleh banyak orang. Sayangnya itu hanyalah utopia saja, karena ada banyak sekali orang yang berhenti hanya pada bermimpi dan berharap. Dalam menjalani kehidupannya mereka masih menerapkan begitu banyak sekat-sekat pembatas. Mereka terus fokus pada perbedaan dan akibatnya hidup dikuasai permusuhan. Ada pula yang bahkan bertindak lebih jauh dengan menghalalkan kekerasan terhadap orang-orang yang berbeda pandangan dengan mereka. Apakah itu didasari oleh perbedaan keyakinan, perbedaan ideologi, perbedaan suku, bangsa, budaya, perbedaan pendapat, dan lain-lain, semua itu akan semakin mempersulit terciptanya kedamaian. Make love not war, slogan yang kencang dikumandangkan di akhir tahun 60 an sampai awal 70an ketika Amerika memutuskan perang terhadap Vietnam, lalu ada pula slogan peace on earth, akhirnya berhenti hanya sebatas slogan dan harapan yang tidak akan pernah bisa diwujudkan.
Mana yang lebih parah, mati tenggelam atau terbakar? Ini pertanyaan yang cukup menjebak, karena tentu saja keduanya sama-sama tidak enak dan menyakitkan. Seringkali dalam menghadapi permasalahan hidup kita berhadapan dengan situasi-situasi dimana kita merasa 'tercekik' seperti orang yang tenggelam atau perih bagaikan terbakar api. Yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika kita merasa menghadapinya hanya sendirian saja. itu adalah salah satu ketakutan yang terbesar manusia yang sudah dialami oleh begitu banyak orang. Betapa menyakitkan ketika harus menghadapi masalah sendirian tanpa teman, saudara, keluarga dan lain-lain.Mungkin benar bahwa kita tidak bisa sepenuhnya berharap kepada orang lain untuk menolong kita setiap kali kita menghadapi masalah. Tapi apakah benar kita memang sendirian? Are we really alone when we are in the times of trouble? Alkitab tidak pernah mengatakan demikian. Ada Tuhan yang sudah berjanji tidak akan pernah meninggalkan kita, dan kita tahu bahwa Dia akan selalu setia terhadap janjiNya.
Berjalan dengan dan tanpa Firman Tuhan setiap hari sangatlah berbeda. Ini bisa menjadi kesimpulan saya karena saya telah merasakan keduanya dalam perjalanan hidup saya. Dahulu sebelum saya bertobat saya sama sekali tidak mengetahui apa-apa mengenai kebenaran. Lantas setelah saya bertobat, saya ternyata masih butuh waktu lagi untuk dibentuk hingga akhirnya sampai kepada sebuah kesadaran penuh akan pentingnya hidup bersama Firman Tuhan. Apa yang saya alami selama setidaknya empat atau lima tahun terakhir bersama Firman Tuhan tidaklah sedikit. Ada begitu banyak pengalaman dimana saya bisa melihat betapa besarnya kuasa Tuhan, dan bagaimana Tuhan ternyata masih bekerja dalam begitu banyak hal hingga hari ini. Berbagai mukjizat yang menunjukkan kebesaranNya pun sudah tak terhitung saya alami. Masalah hidup memang tidak serta-merta hilang seluruhnya. Ada saat-saat dimana saya masih berhadapan dengan berbagai pergumulan. Tapi luar biasanya, saya tidak perlu khawatir tentang apapun. Ketika saya menyerahkan hidup saya dan keluarga ke dalam tanganNya, saya tahu bahwa saya tidak akan pernah menghadapi apa-apa sendirian. Tuhan selalu ada berjalan bersama-sama. Luar biasanya lagi, ada begitu banyak rahasia yang disingkapkanNya seiring perjalanan saya menulis renungan buat anda setiap harinya. Ayat yang sama aplikasinya bisa berbeda di waktu lain, dan hebatnya sangat-sangat membantu dalam menghadapi masa-masa sulit. Ada begitu banyak rahasia-rahasia KerajaanNya yang disingkapkan Tuhan lewat ayat demi ayat, yang akan sayang sekali jika terlewatkan begitu saja. Itu akan kita lewatkan apabila kita mengabaikan pentingnya untuk terus membaca, merenungkan dan menghidupi FirmanNya setiap hari secara teratur.
Bagi saya yang berkecimpung di dunia desain, fungsi mata sebagai alat visual tentu sangatlah penting. Ada bidang keilmuan yang disebut desain komunikasi visual, dimana orang-orang yang mempelajarinya mendalami bagaimana seni menyampaikan sebuah informasi, promosi, pesan atau lain-lain bukan lewat komunikasi verbal melainkan lewat sebuah bahasa visual. Adalah mata yang melihat, kemudian mata akan mengirimkan apa yang dilihat ke dalam hati untuk diolah menjadi sebuah bentuk rasa. Apabila itu terasa rumit, mari kita ambil contoh yang lebih sederhana, yaitu ketika anda tertarik kepada lawan jenis. Ada sebuah istilah 'love at first sight' alias 'cinta pada pandangan pertama' yang menunjukkan bagaimana ketertarikan terhadap seseorang bisa dimulai lewat pandangan mata. Manis parasnya, jalannya yang gemulai, bahasa tubuhnya, senyum atau caranya tertawa, semua itu sering menjadi titik awal bagi kita untuk mulai memperhatikan dan berusaha mengenal mereka secara lebih dalam. Mata secara bebas bergerak leluasa untuk menangkap gambar demi gambar dari apa yang berada disekitar kita. Demikian pentingnya fungsi sebuah mata bagi kita sehingga sulit rasanya membayangkan apa jadinya jika kita tidak memiliki mata.
Kecepatan waktu itu sama dari dahulu sampai sekarang, dan berlaku sama pula bagi semua orang tanpa terkecuali. Tapi perasaan kita dalam merasakan cepatnya waktu berjalan bisa berbeda-beda, tergantung apa yang sedang kita alami atau rasakan. Ketika anda tengah terkantuk-kantuk dalam ibadah raya di gereja atau merasa kotbah yang disampaikan membosankan, waktu rasanya begitu lama berlalu. Tapi ketika anda antusias mendengarkannya, apalagi kalau pendetanya punya cara yang menyenangkan dalam menyampaikan Firman Tuhan, maka anda pun akan merasa waktu berjalan dengan sangat cepat. Ketika sedang menunggu atau mengantri, waktu terasa begitu lambat berjalan. Begitu juga bagi anda yang masih kuliah atau sekolah, pelajaran yang bagi anda membosankan akan membuat waktu terasa berjalan begitu lambat. Tapi sebaliknya waktu terasa begitu cepat ketika kita sedang mengerjakan sesuatu yang menyenangkan. Kita sering lupa waktu ketika sedang bermain, ngobrol dengan sahabat dan sebagainya. Apalagi ketika sedang bersama kekasih, waktu terasa seperti berlari sprint saja. Baru saja bertemu, tiba-tiba sudah harus berpisah. Waktu seakan begitu kencang berjalan. Sebaliknya ketika anda tengah menanti antrian, waktu bisa terasa panjang.
Anda tentu tidak asing lagi dengan sebuah kartun Walt Disney yang berjudul "The Three Little Pigs". Kartun pendek yang diproduksi tahun 1933 ini menceritakan kisah tentang tiga babi kecil bersaudara yang harus membangun tempat perlindungan paling aman dari ancaman seekor serigala jahat yang ingin memangsa mereka. Ketiganya sama-sama membangun rumah dengan bahan baku dan cara yang berbeda. Kedua babi yang paling kecil menganggap remeh sang serigala dan malah bernyanyi lagu yang mungkin masih anda ingat berjudul "Who's Afraid of the Big Bad Wolf?". Yang satu membangunnya dari jerami. Cepat, ringkas dan murah. yang kedua memilih bahan dasar kayu, yang lebih kokoh tapi memerlukan modal dan waktu yang lebih lama. Anak babi tertua memilih untuk membangun dengan batu bata dan semen. Kedua adiknya yang membangun dengan jerami dan kayu tentu pekerjaannya lebih cepat selesai sehingga mereka sempat menertawakan saudara tertuanya yang masih tekun menumpuk batu bata demi batu bata dan menyatukannya dengan semen secara perlahan. Tapi si abang tertua tetap dengan tekun membangun tanpa mempedulikan cemoohan adik-adiknya. Pada satu hari serigala jahat pun datang. Rumah dari tumpukan jerami dengan mudah diluluh lantakkan dengan sekali hembus, dan kaburlah si adik terkecil dengan ketakutan. Ia lari berlindung di rumah kakaknya yang dibangun dari kayu. Ternyata rumah kayu itu juga masih mudah dirobohkan oleh si serigala jahat. Seketika mereka berdua berhamburan ketakutan, dan akhirnya bersembunyi ke rumah abang tertuanya. Di sana mereka aman dari kejaran serigala jahat karena sang serigala tidak mampu merubuhkan rumah yang kokoh dibangun di atas dasar kuat.
Suka terhadap sebuah lagu belum tentu menjamin kita untuk menangkap makna dibalik lirik dari lagu tersebut. Banyak dari kita yang mungkin hanya menyukai rangkaian melodi yang tersusun dari musiknya saja tanpa mempedulikan lirik atau bahkan judulnya. Seorang teman misalnya, hanya menyukai lagu barat dari melodi dan beatnya karena ia tidak mengerti bahasa Inggris. Ada juga yang memang tidak menganggap penting lirik yang terkandung meski hafal dengan lagu tersebut. Sebagai pendengar atau penikmat lagu, kita pun bisa memilih apakah kita mau memperhatikan lirik-liriknya dan kemudian melakukan apa yang dinyanyikan, atau hanya menyukai musiknya tanpa memperhatikan apa yang dikatakan disana. Bicara soal syair atau lirik lagu, isinya bisa bermacam-macam. Ada yang berisi pesan yang membangun, inspirasional, ada pula yang mengajarkan hal-hal jahat. Apapun bentuknya, kita sendiri yang memutuskan apakah kita memperhatikan isi lagu itu dengan cermat atau tidak. Seyogyanya kita bisa mendapat bahan perenungan, pelajaran dari lagu-lagu yang berisi pesan yang baik atau setidaknya termotivasi untuk hal-hal baik lewat pesan tersebut, sebaliknya menjaga agar tidak terpengaruh pesan-pesan yang buruk. Tetapi sekali lagi semua tergantung dari kita, karena kita pun bisa saja hanya menjadi pendengar pasif yang cuma menikmati melodi atau merdunya suara yang bernyanyi tanpa mempedulikan isinya.
Berteman dengan banyak fotografer membuat saya bisa melihat foto-foto pemandangan yang unik dan sangat menakjubkan hasil jepretan mereka. Itu sangat berbeda jika saya yang memotret. Bukan saja karena gear atau perangkat kamera mereka yang hebat, tapi sebagai fotografer mereka bisa mengambil angle, menangkap momen, mengatur fokus dan sebagainya yang bisa menghasilkan sebuah fotografi yang bisa berbicara banyak mengenai keindahan. Banyak dari mereka yang pergi ke banyak tempat-tempat baru bahkan yang terpencil seperti hutan dan sebagainya untuk memotret alam disana, dan itu semua memang mencengangkan. Beda tempat, beda nuansanya, beda tumbuhannya dan beda indahnya. Sunset di Bali terlihat berbeda dengan sunset di atas gunung Bromo, itu misalnya. Bagi saya, foto-foto ini menjadi seperti sebuah surat cinta tersendiri dari Tuhan untuk kita, anak-anakNya.