========================
"Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga."
Apa yang menjadi alasan anda untuk menjadi pengikut Kristus? Ada banyak orang yang memilih untuk menjadi seorang Kristen agar usahanya diberkati, hidupnya selalu baik, masalah-masalah menjauh dari mereka, sakit disembuhkan, bisnis lancar dan sebagainya. Tuhan memang menyediakan itu semua kepada kita seperti yang sudah Dia janjikan. Dia lebih dari sanggup untuk itu. Tapi kekristenan bukanlah hanya berbicara mengenai berkat-berkat materi dan jasmani saja. Firman Tuhan mengingatkan kita demikian: "Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus." (Roma 14:17). Kerajaan Allah bukan cuma secara sempit berbicara mengenai berkat-berkat melimpah di dunia yang fana ini, tapi lebih luas lagi berbicara mengenai kebenaran yang memerdekakan, damai sejahtera dan sukacita yang telah diberikan oleh Roh Kudus. Terlalu picik jika kita menganggap bahwa menjadi seorang kristen hanya berarti menerima berkat semata tanpa mau menderita apa-apa.Lihatlah apa yang tertulis dalam Ibrani 11. Setelah menuliskan tentang saksi-saksi iman, Penulis Ibrani kemudian menyinggung orang-orang yang menderita aniaya dan siksaan di luar batas perikemanusiaan demi Kristus. "Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan." (Ibrani 11:36-37). Ini tentu bukan gambaran yang baik untuk dialami oleh orang beriman bukan? Tapi lihatlah mereka terus mempertahankan iman mereka meski resikonya begitu mengerikan. Dan itulah yang gambaran para pengikut Kristus mula-mula. Apa yang mereka alami sama sekali tidak mudah. Ketika mereka memutuskan untuk menerima Yesus, itu artinya mereka harus siap untuk sewaktu-waktu ditangkap, dianiaya dan disiksa sampai mati. Bahkan dikatakan demikian di ayat selanjutnya: "Dan mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik." (ay 39). Itu bukanlah sesuatu yang ada di benak kita ketika menerima Yesus bukan? Namun mereka tetap teguh terhadap iman mereka apapun resikonya. Hal itu pula yang tepatnya terjadi pada Paulus. Ketika ia masih bernama Saulus, semua orang takut padanya. Dan ia pun termasuk sosok yang kerap menyiksa umat Kristen. Tetapi setelah ia bertobat, hidupnya bukan semakin baik secara dunia, malah ia kerap mengalami penyiksaan, dirajam, disesah, dipenjara dan harus mati sebagai martir. Tapi itu tidak menyurutkan langkah Paulus dan para saksi iman yang harus rela mengakhiri hidupnya sebagai martir bagi Kristus.
Hari-hari ini kita masih mendengar tentang umat Kristen yang dianiaya bahkan dibunuh karena mempertahankan iman di berbagai belahan dunia. Mungkin diantara kita pun pernah mengalami sendiri bagaimana sulitnya untuk diperlakukan secara adil dan baik sebagai pengikut Kristus, tapi mungkin sebagian besar dari kita belum sampai mengalami aniaya atau penyiksaan di luar batas kemanusiaan hingga mati seperti yang dialami oleh apa yang disebut dalam Ibrani sebagai "mereka" seperti yang kita baca di atas. Saya pun berpikir, seandainya hal tersebut harus kita alami, apa yang akan menjadi keputusan kita? Akankah kita menyerah dan meninggalkan iman kita atau kita terus bertahan seperti para saksi iman di atas hingga akhir? Saya sendiri berharap agar saya bisa bersikap seperti Paulus yang mengatakan "selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah." (Kisah Para Rasul 20:23-24). Dalam bahasa Inggris kata "mencapai garis akhir" itu dikatakan sebagai "finish my course with joy", alias mencapai garis akhir dengan sukacita. Karena bukan apa yang ada di atas bumi ini yang harus kita pikirkan, namun sukacita kekal bersama Allah nanti, itulah yang harus menjadi tujuan kita. Paulus pada akhirnya sanggup berkata: "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman." (2 Timotius 4:7) Dan saya berharap kita pun akan mampu berkata demikian kelak.
Yesus mengatakan "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." (Matius 5:9-11). Apapun yang menghadang di depan kita, jangan sampai kita meninggalkan iman kita. Terus memelihara iman ketika kita memperoleh berkat tentu mudah, namun mampukah kita memiliki sikap yang sama ketika menghadapi ancaman dan penderitaan? Apakah kita sudah menjalani hidup dengan iman yang teguh seperti mereka? Ada mahkota kehidupan menanti di depan sana. Semoga kita semua mampu terus berlari hingga mencapai garis akhir yang penuh kemenangan dan berkata seperti Paulus: "aku telah mencapai garis akhir dan telah memelihara iman."
"Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 5:10)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Memberi sumbangan untuk yang membutuhkan tentu baik. Tapi ada banyak orang yang memberi bukan karena merasa terpanggil untuk menolong, melainkan untuk mencari popularitas atau menarik simpati orang lain. Kita melihat para kandidat atau calon pemimpin di berbagai tingkat tiba-tiba gemar memberi ketika sedang berlomba memenangkan pemilihan, namun kemudian lupa setelah sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kita pernah melihat selebritis yang sengaja memanggil wartawan ketika mereka hendak menyambangi rumah yatim piatu atau memberi sedekah. Di sisi lain kita terus menemukan perdebatan antara keharusan memberi tepat 10% dari penghasilan atau memberi persembahan secara sukarela di gereja. "Pendapatan saya tidak banyak, jadi saya tidak bisa memberi saat ini. Setelah saya kaya nanti saja deh.." kata seseorang pada suatu kali. Ini semua menjadi gambaran yang umum kita lihat hari-hari ini. Memberi tanpa mengharapkan balasan, memberi dengan ikhlas, memberi dengan sukacita, memberi karena mengasihi semakin lama semakin langka. Seperti apa sebenarnya pandangan Tuhan tentang memberi?
Seringnya mudah untuk melihat kesalahan orang lain, tapi sulit bagi kita untuk melihat kesalahan sendiri. Kita sering merasa diri kitalah yang benar dan segala yang berjalan tidak sesuai dengan kemauan kita dapat dijadikan sumber kecaman atau setidaknya gunjingan. Tidak peduli siapa orangnya, jika apa yang mereka lakukan atau putuskan seperti keinginan kita, maka kita akan mempersalahkan mereka. Di pekerjaan, dalam bertetangga, atau bermasyarakat dan bernegara kita berlaku seperti itu, dalam lingkungan gereja atau persekutuan pun sama saja. Ketika kita merasa sudah rajin beribadah, rajin berdoa dan sebagainya, berhati-hatilah agar tidak terlena dan merasa bahwa kita sudah menjadi yang paling sempurna. Bukan berarti kita tidak boleh bersyukur, itu tentu baik. Namun jangan kemudian menjadi sombong dan menganggap orang lain berada di bawah tingkat kerohanian atau kepatuhan kita. Orang-orang Farisi di jaman Yesus ada di muka bumi ini menjadi contoh nyata mengenai apa yang saya sebutkan di atas.
"Seorang entertainer sejati tidak takut terlihat jelek, karena memang kadang kita harus terlihat jelek untuk alasan-alasan tertentu. Yang penting, kita bisa menghibur penonton yang mungkin datang dengan hati yang sedih. Semoga mereka bisa kembali ceria dengan suguhan kita.." itu kata seorang entertainer senior pada suatu kali kepada saya ketika berbincang-bincang. Itu benar adanya. Terlalu sering kita mengarahkan seluruh fokus kita kepada apa yang dipercaya dunia sebagai sesuatu yang indah, yang sempurna, dan karena itu kita sering menyesali diri, menganggap bahwa kita adalah mahluk yang penuh dengan segala yang kurang, tidak ada apa-apanya dibanding orang lain dan tidak berharga sama sekali. "Mau dijual berapa, orang dikasih gratis aja nggak bakalan ada yang mau kok.." canda seorang teman tentang dirinya pada suatu kali sambil tertawa.
Ingatkah anda kepada sebuah lagu anak-anak yang sebagian liriknya berbunyi: "Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya"? Penggalan lagu berjudul Sayonara ini rasanya sering kita nyanyikan ketika kecil. Dan apa yang diajarkan dalam lagu ini sebetulnya baik, agar kita tidak tenggelam dalam kesusahan yang tidak membawa manfaat apa-apa. Namun lagu tinggal lagu, karena ternyata dalam perjalanan hidup kita seringkali kita menyerah kepada himpitan masalah. Kita terus kuatir akan hari depan, takut tidak menemukan jodoh, takut tidak lulus ujian, takut tidak mampu membayar berbagai rekening dan lain-lain. Kita berharap ada orang lain yang mampu menolong kita, namun sebenarnya bukan itu yang kita butuhkan, karena meski ada orang yang menolong dalam satu masalah, kita akan membuka kekuatiran baru pada masalah-masalah selanjutnya. Artinya, faktor penyebab kekuatiran seringkali berasal dari diri kita sendiri.
Masa orientasi kampus saat ini tidaklah seseram di waktu dulu. Ketika saya diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri sekian tahun yang lalu, masa orientasi masih dikenal dengan nama ospek, dan pada saat itu perlakuan terhadap mahasiswa/i baru masih sangat tidak terpuji. Saya ingat betul pada saat itu kami harus merangkak melewati selangkangan para senior, atau merangkak di bawah kolong meja, bahkan kami para pria harus pula masuk menceburkan diri ke dalam parit besar dan tidak boleh mandi selama masa orientasi itu berlangsung. Itu belum termasuk tindakan-tindakan yang memalukan lainnya, apalagi bagi orang-orang yang tidak satu suku dengan kaum mayoritas penghuni kampus itu. Saya termasuk korban yang lumayan sering dikerjai, karena kulit saya waktu itu terbilang putih. Beberapa teman lain yang berbeda ras juga mendapat perlakuan yang keterlaluan. Dihina dari sisi ras, diejek dan dijadikan bahan tertawaan. Bentuk seperti ini ironisnya bukan saja menjadi makanan di kampus setiap kali ada penerimaan mahasiswa baru, tetapi hampir di setiap jenjang pendidikan perlakuan tidak terpuji terhadap anak baru seperti mewabah di mana-mana. Istilah yang seringkali disebut dengan "bully" atau penindasan/pelecehan sampai penganiayaan bagi pelakunya mungkin hanyalah sebagai permainan belaka, namun efeknya seringkali berbekas lama bagi para korban. Tidak jarang di antara mereka akan terluka percaya dirinya hingga waktu yang lama, bahkan ada pula yang sampai bunuh diri karena tidak tahan mendapat hinaan.
Di depan saya hari ini ada sekumpulan anak yang sedang bermain. Mereka mengambil setumpuk tanah dan mulai menghembuskannya ke muka teman-temannya. Mereka terus tertawa dan berlari-lari sambil sesekali terbatuk karena debu tanah yang menerpa muka mereka. Itulah yang terjadi ketika kita menghembuskan nafas ke arah debu tanah. Debu akan segera berterbangan dan mengotori muka orang yang kearahnya kita hembuskan bahkan mungkin sekali juga mengotori muka kita sendiri. Tapi apa yang terjadi ketika Tuhan menghembuskan nafasNya kepada debu tanah? Yang terjadi adalah seorang manusia! Manusia yang begitu rumit, kompleks, lengkap dengan kemampuan berpikir, akal budi, memiliki perasaan, bisa mengasihi, bisa berkembang biak dan bahkan dijanjikan sebuah kehidupan kekal kelak di sisi Allah sendiri.
Begitu banyak acara pencarian bakat yang menjamur di televisi. Berbagai bentuk idol dari anak kecil hingga dewasa terus bermunculan. Ketika dulu kita hanya menjumpainya dalam bidang seni suara alias menyanyi, saat ini hal-hal lain pun dijadikan ajang kompetisi mencari bakat. Dan ini sejalan dengan keinginan pasar dan gambaran dari impian kebanyakan orang. Siapa yang tidak ingin terkenal, dikagumi, atau diidolakan banyak orang? Sekali muncul di televisi, jutaan orang menyaksikan dan dengan sendirinya kita pun akan terkenal. Belum lagi berbagai tabloid atau majalah yang memuatnya. Tapi kebanyakan dari para idol ini hanya mendapatkan ketenaran dalam waktu singkat. Secepat mereka meroket, secepat itu pula mereka dilupakan. Berulang-ulang kita menyaksikan orang menjadi tenar dan dalam waktu singkat kemudian dilupakan, tetapi itu tidak menyurutkan niat manusia untuk berlomba-lomba mencapai ketenaran di mata manusia lainnya. Tidak jarang kita harus ikut-ikutan melakukan sesuatu yang, meskipun salah di mata Tuhan, namun kita merasa harus melakukannya agar bisa diterima di sebuah lingkungan atau kelompok tertentu. Semua hanya demi popularitas.
Adalah lebih mudah untuk menjadi pengajar namun tidak gampang untuk menjadi pendidik. Maksud saya begini. Ketika kita menjalani profesi sebagai pengajar, yang diperlukan adalah kemampuan kita untuk mentransfer ilmu kepada anak didik kita. Jika proses itu berhasil menambah ilmu mereka, maka proses mengajar itu pun dikatakan sukses. Namun sebagai pendidik ada banyak lagi proses yang harus kita cermati. Kita harus tahu betul karakter dan sifat masing-masing anak, mengetahui kelemahan-kelemahan mereka dan berusaha menambalnya. Selama pengalaman saya menjadi dosen saya melihat bahwa seringkali proses mendidik ini lebih ditekankan kepada faktor diluar kurikulum pelajaran. Ada banyak anak yang sebenarnya tidak bermasalah dengan kemampuan menyerap ilmu, tetapi mereka bermasalah dari segi mental dan keberanian. Tidak jarang yang harus dibenahi justru di sektor ini karena kemampuan mereka sering terhambat oleh faktor non teknis. Satu lagi yang sangat penting untuk diperhatikan sebagai pendidik adalah bagaimana agar apa yang kita katakan dan ajarkan itu selalu selaras atau sejalan dengan sikap, perilaku atau perbuatan kita sendiri. Bagaimana mungkin orang mau mendengarkan nasihat kita jika kita sendiri tidak melakukannya? Kesesuaian antara perkataan dan perbuatan adalah sangat penting untuk dimiliki oleh seorang pendidik. Menjadi teladan itu wajib bagi pendidik.
Setiap orang memiliki sifat atau karakter masing-masing yang dibawa sejak lahir, tidak terkecuali anak-anak. Ada yang memang terlahir kalem, ada pula yang sangat aktif dan bandel. Seorang teman memiliki dua anak yang sudah tumbuh remaja, dan puji Tuhan keduanya tumbuh menjadi anak-anak baik yang takut akan Tuhan. Apakah keduanya punya sifat yang sama? Tidak juga. Tapi sepertinya cara teman saya mendidik merekalah yang mampu membentuk keduanya memiliki sikap baik seperti itu. Ia bercerita bahwa ketika anak-anaknya masih kecil ia sudah mulai membimbing mereka dengan tegas. Tegas dalam artian, ketika harus dihukum ya dihukum. Tergantung dari tingkat kesalahan. Jika masih bisa cukup dengan diingatkan tentu tidak harus dihukum. Tapi ketika kesalahan yang dilakukan si anak cukup berat, maka mau tidak mau hukuman harus diberikan. Yang harus diingat adalah bahwa tujuan memberikan hukuman adalah agar si anak menyadari kesalahannya, untuk tujuan mendidik, dan bukan untuk menyiksa mereka. Karena ada banyak orang yang menjadikan anaknya sebagai sasaran luapan kekesalan atau kemarahan mereka. Ini bukanlah bentuk hukuman yang membangun, karena yang terjadi mungkin sebaliknya. Anak akan semakin bandel dan punya karakter kasar setelah mereka besar nanti.
Bagaimana perasaan hati kita ketika melihat orang yang tidak kita sukai jatuh? Kebanyakan orang akan senang melihatnya. Apalagi jika orang itu pernah menyakiti hati kita. Kata-kata yang keluar pun biasanya bernada puas. Rasakan, biar tahu rasa, biar kapok, bahkan kata-kata yang lebih kasarpun akan keluar dari mulut kita. Ketika saya mengingatkan seorang teman yang merasa puas melihat seterunya jatuh, ia pun berkata "mengapa tidak? Dia sudah menyakitiku kan? Wajar dong kalau aku senang melihatnya.." Secara manusiawi mungkin ya, tetapi tidak ada alasan bagi kita orang percaya untuk melakukan hal seperti itu. Mengapa? Karena kita seharusnya memiliki kasih Kristus di dalam diri kita yang sama sekali tidak menyediakan tempat buat beria-ria terhadap kejatuhan orang lain, bahkan yang telah berbuat jahat terhadap kita sekalipun.
Lari dari panggilan. Kita sering melakukan hal ini dalam berbagai kesempatan. Mungkin kita merasa kurang mampu, mungkin kita kurang percaya diri, mungkin kita merasa beban itu terlalu berat atau segudang alasan lainnya. Untuk menjawab panggilan memang tidak mudah. Seringkali kita harus meninggalkan zona kenyamanan kita bahkan mengorbankan sesuatu dan masuk ke dalam situasi sulit ketika kita memilih untuk patuh terhadap panggilan. Tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa sebuah panggilan bisa menjadi sebuah titik balik yang bisa mengubahkan hidup kita untuk menapak ke arah yang lebih baik. Ketika saya mendapat panggilan untuk menulis renungan setiap hari, saya merasa itu adalah hal yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin saya yang sangat jarang membuka Alkitab, malah jarang berdoa, disuruh untuk melakukan sesuatu yang seperti ini? Apa yang bisa saya tulis jika saya tidak mengetahui sebagian besar dari isi Alkitab? Tapi saya memilih untuk taat. Setiap hari saya meluangkan waktu di tengah kesibukan untuk memastikan renungan hadir bagi anda tanpa putus, dan tidak terasa sudah lebih dua tahun saya melakukannya. Bukan karena diri saya sendiri, tapi Tuhan yang memampukan. Selalu saja ada hal yang Dia bukakan untuk ditulis, seperti janjiNya. Dan tidak hanya itu, selama saya aktif menulis, saya mengalami dan menyaksikan begitu banyak mukjizat yang tidak akan mampu terselami akal manusia. Saya pun melihat langsung bahwa ketika Tuhan memberi penugasan, bukan kehebatan kita yang Dia butuhkan, melainkan kesediaan kita. And He, Himself will do the work, through us. All He need is our willingness, obedience and faith.
An eye for an eye, mata ganti mata, itu merupakan sebuah hukum yang berlaku di masa Perjanjian Lama sesuai dengan hukum Taurat. Kita bisa menjumpai perihal mata ganti mata ini dalam beberapa bagian kitab Perjanjian Lama, diantaranya dalam Imamat 24:19-20, Ulangan 19:21 dan Keluaran 21:24. Ini adalah hukum yang diberlakukan untuk mencegah semangat balas dendam yang berlebihan di masa itu. Hukum yang sudah berusia sangat tua ini ternyata masih dianggap relevan oleh banyak orang bahkan hingga hari ini. Prinsip balas dendam ini berlaku bukan saja untuk perorangan, tapi seringkali sudah menyangkut lintas bangsa. Berbagai peperangan pun acap kali disebabkan oleh prinsip mata ganti mata seperti ini. Bukan saja dilakukan oleh orang-orang dunia, tetapi ironisnya di kalangan anak Tuhan sekalipun prinsip balas dendam ini masih saja terjadi. Ketika kita disakiti, kita pun tidak akan tinggal diam untuk membalas, malah kalau bisa lebih sakit lagi. "Saya bisa lebih baik 100x lipat jika orang baik pada saya, tapi sebaliknya jika saya disakiti orang, saya bisa menyakitinya 1000x lipat dari itu." kata seorang teman menyatakan prinsipnya.
"Anak siapa sih ini, kok bandel banget!" ujar seorang teman yang sedang kesal ketika ia terganggu saat ditontoni saat sedang bekerja. Bukan si anak yang disalahkan, tapi kata-katanya langsung menuju kepada orang tua si anak. Kita pun mungkin sering mengeluarkan kata demikian, karena kita merasa bahwa anak kecil tidaklah tahu apa-apa. Memang tugas orang tua untuk mendidik anaknya agar tahu tata krama dan sopan santun. Tapi satu hal yang bisa saya lihat dari kejadian ini adalah seperti apa tingkah laku si anak akan memberi gambaran orang tuanya di mata orang lain. Jika anaknya baik, maka orang tuanya pun dipuji. Sebaliknya jika anaknya bermasalah, serta merta orang tua akan menjadi sasaran tembak orang lain.
Bagaimana kehidupan yang kita jalani setelah memasuki bulan ke 4 di tahun 2010 ini? Bagi sebagian orang hidup di tahun ini mungkin lebih berat dibanding tahun sebelumnya. Setiap tahun hidup semakin sulit, dan pada kenyataannya memang dunia tidak pernah dikatakan akan menjadi semakin mudah. Seribu satu tekanan terus membebani kita, seribu satu masalah datang silih berganti bahkan menyerbu beriringan, dan kekhawatiran pun biasanya menjadi bagian hidup kita yang sulit terpisahkan. Sekali lagi, hidup tidaklah mudah. Kita selalu harus berjuang untuk mampu bertahan hidup di dunia yang sulit ini, apalagi bertahan menghadapi berbagai hal yang siap menghancurkan iman kita. Tapi haruskah kita terus hidup dibawah tekanan kekhawatiran? Tuhan tidak menginginkan satupun dari kita untuk merasakan itu. Tuhan tidak menginginkan kita untuk masuk ke dalam pola kehidupan dunia yang penuh dengan kecemasan. Apa yang diinginkan Tuhan adalah agar kita tidak takut, tidak khawatir, tidak perlu cemas, karena Allah siap menjadi tempat kita berlindung. Dia siap mendengar dan menjawab doa-doa kita. Tapi ada satu kunci yang seringkali kita lupakan, yaitu mengisi doa-doa kita dengan ucapan syukur.
Adalah mudah untuk membaca firman Tuhan, tapi seringkali sulit untuk mempercayai bahwa firman itu bisa berlaku bagi kita. Menyetujuinya mungkin mudah, tapi mudahkah bagi kita untuk percaya baha pernyataan Tuhan itu akan berhasil bagi kita? Setiap kita akan pernah berhadapan dengan masa-masa dimana kita akan berhadapan dengan situasi dimana kita begitu terpukul dengan keadaan yang sangat buruk sehingga sulit bagi kita untuk percaya akan janji Tuhan. Ketika Paulus berkata "Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita." (Roma 8:37), bagaimana mungkin hal itu bisa kita terima ketika masalah sedang berat-beratnya menimpa kita? Tidak mudah memang, tapi bukan tidak mungkin. Setidaknya Abraham pernah mengalami dan membuktikan sendiri.