======================
"Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi."
Seorang pendeta pernah memberi kesaksian yang menarik. Ia bercerita bahwa selama belasan tahun, setiap kali membeli ayam untuk istrinya, ia selalu membelikan bagian dada. Selama masa pacaran, ia melihat istrinya selalu makan bagian dada, sehingga ia beranggapan pastilah istrinya menyukai dada ayam. Setelah belasan tahun berjalan, ketika mereka saling membuka diri satu sama lain, barulah ia tahu bahwa sebenarnya istrinya paling suka bagian paha ayam. Lalu mengapa istrinya dulu selalu memilih bagian dada? Ternyata dada ia pilih karena ia tahu suaminya menyenangi bagian paha. Belasan tahun berjalan, tapi masih juga ada hal-hal yang belum diketahui mengenai pasangan hidup. Ini bisa terjadi pada siapa saja, termasuk anda dan saya. Seringkali kita menganggap bahwa apa yang kita sukai pastilah disukai juga oleh pasangan kita, anak kita, keluarga, teman-teman atau orang lain. Ada banyak ayah yang beranggapan bahwa jika mereka mampu mencukupi kebutuhan materi dari anak-anak atau istrinya, ia sudah menjalankan fungsi sebagai ayah teladan. Padahal mungkin pada banyak kesempatan, anak dan istrinya jauh lebih membutuhkan perhatian dan kehadirannya ketimbang pemenuhan kebutuhan materi. Selama saya mengajar dan berinteraksi dengan banyak orang sepanjang hidup saya, saya sampai pada satu kesimpulan: manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. Baik dari sifat, tingkah laku, hobi, kegemaran, dan sebagainya. Artinya, apa yang saya suka, belum tentu orang lain suka. Apa yang terbaik bagi saya, belum tentu terbaik bagi orang lain.
Tuhan Yesus mengajarkan demikian: "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Kemudian di kesempatan lain: "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu." (Yohanes 15:12) dan "Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain."(Yohanes 15:17). Perintah Yesus adalah untuk mengasihi orang lain, seperti Tuhan Yesus sendiri telah mengasihi kita. Bagaimana Yesus mengasihi kita? Tuhan Yesus mengasihi kita secara luar biasa, hingga mengorbankan diriNya untuk mati di atas kayu salib agar kita semua tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Mengasihi sesama seperti bagaimana Yesus mengasihi kita akan membuat kita harus mulai memikirkan untuk mengasihi orang lain sesuai dengan apa yang mereka butuhkan/inginkan, dan kemudian berusaha untuk memberikan tepat seperti itu. Bukan menurut kita, namun menurut mereka. Karena semua orang berbeda kebutuhan/keinginannya.
Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan sebuah pengertian mendalam mengenai "bahasa kasih" agar kita bisa menjangkau hati orang-orang disekitar kita. Yang saya maksudkan dengan bahasa kasih adalah sesuatu yang kita berikan kepada orang lain yang didasarkan sesuai dengan apa yang mereka harapkan, bukan menurut apa yang kita sukai. Ada 5 hal yang biasanya menjadi "bahasa kasih" bagi orang:
1. Kata-kata pujian
Orang yang memiliki bahasa kasih ini biasanya akan bahagia atau merasa dikasihi jika mereka mendapatkan kata-kata positif, seperti dukungan, pujian, pengakuan dan lain-lain. Jika mereka mendapatkan sebaliknya, seperti cacian, kata kasar, melecehkan dan sebagainya, akan menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan.
2. Saat Bersama
Jenis ini akan merasa dikasihi jika orang yang mereka sayangi mau meluangkan waktu untuk mendengarkan mereka, berbincang-bincang dari hati ke hati, jalan-jalan dan sebagainya.
3. Hadiah
Tipe seperti ini akan sangat senang jika mendapat pemberian, meski yang paling sederhana sekalipun.
4. Bantuan
Orang dengan tipe bahasa kasih seperti ini akan sangat bahagia jika orang yang mereka sayangi mau meluangkan waktu untuk membantu mereka, meski sedang sangat sibuk. Itu akan sangat berarti bagi mereka.
5. Sentuhan
Tapping on the shoulder, atau bagi suami-istri atau orang tua pada anak: pelukan, ciuman atau gandengan tangan, bisa berarti yang sangat besar bagi mereka.
Beda orang, beda bahasa kasih. Sudahkah anda mengetahui bahasa kasih dari pasangan anda,anak-anak anda, teman anda, dan orang tua anda? Dalam menggenapkan perintah Kristus untuk mengasihi orang seperti halnya Dia mengasihi kita, kita harus tahu apa yang paling mereka butuhkan, sama seperti Yesus mengetahui betul apa yang paling kita butuhkan. Meskipun segala sesuatu yang kita berikan dengan tujuan baik didasari kasih yang tulus tetaplah baik adanya, ada kalanya curahan kasih kita tidak akan maksimal jika kita salah memberi. Terkadang tanpa mengetahui bahasa kasih dari orang yang kita sayangi, kita bisa gagal dalam menyatakan kasih kita pada mereka. Malah bisa berujung pada pertengkaran, karena kita merasa pemberian kita tidak dihargai, mereka merasa tidak diperhatikan dan lain-lain. Jika Yesus mengasihi kita dengan memberikan yang terbaik buat kita, karena Dia tahu betul apa yang kita butuhkan, ini saatnya kita memberikan yang terbaik pula buat orang-orang yang kita kasihi, dengan mengenal terlebih dahulu apa yang paling mereka butuhkan sesuai dengan bahasa kasih mereka. Mari kenali bahasa kasih masing-masing, dan nyatakanlah kasih dengan maksimal.
Kenali bahasa kasih dari orang-orang yang kita sayangi
"Waduh cantiknya... tapi sayang sudah ada yang punya.. coba jadi pacar gue.." kata seorang siswa di kampus tempat saya mengajar sambil cengar-cengir. Komentar itu keluar ketika ia melihat seorang gadis yang sedang duduk di kantin bersama pasangannya. Komentar seperti ini atau yang mirip-mirip mungkin biasa kita dengar, atau mungkin kita ucapkan tanpa sadar. Bisa jadi kita melihat mobil mewah, rumah yang indah, baju, sepatu, atau lainnya. Sebuah keinginan tidak harus selalu salah, karena keinginan bisa memotivasi kita untuk berusaha lebih giat. Namun pada titik tertentu, mengingini milik orang lain bisa menjadi sebuah awal yang mengarahkan kita untuk terjerumus jatuh ke dalam berbagai dosa. 
Dosa tampaknya tidak lagi menyeramkan bagi banyak orang. Ada begitu banyak orang hari-hari ini yang terlalu terpaku pada kebutuhan duniawi, sehingga merasa tidak punya masalah jika harus mendapatkan harta dari cara yang tidak benar sekalipun. Menggelapkan uang, mark-up, korupsi, penipuan, penyalah-gunaan jabatan/wewenang dan sebagainya, menjadi sesuatu yang sangat biasa di mana-mana. Jika sudah bisa menutupi kejahatan mereka dari mata aparat, menghilangkan barang bukti atau menyuap aparat yang dianggap "berbahaya" bagi keselamatan mereka, mereka pun bisa dengan tenang hidup dari segala kemewahan yang tidak sah itu. Bahkan mereka berani tampil di depan publik, penuh senyum dan gaya berlebihan. Padahal pengadilan Tuhan, jauh lebih berat ketimbang pengadilan yang ada di dunia ini. Katakanlah di dunia hukumannya 20 tahun jika terbukti korupsi. Di tahta Tuhan nanti, ketika hari penghakiman tiba, dosa itu bisa mendatangkan maut yang kekal sifatnya. Sangat mengerikan. Dan kita tidak akan bisa menyuap Tuhan, meski seluruh uang yang ada di dunia ini adalah milik kita. 
Sebuah pepatah mengatakan, "Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna". Sebuah pepatah yang mengingatkan kita untuk selalu memikirkan segala sesuatunya dengan cermat, hati-hati dan baik, agar kita tidak menyesal di kemudian hari. Rasanya setiap orang pernah mengalami sesuatu yang menimbulkan rasa menyesal. Mulai dari rasa menyesal yang biasa sampai yang bahkan bisa menimbulkan kepahitan, membuat orang menjadi sulit untuk maju dan sebagainya, semua itu bisa hadir dalam hidup kita jika kita tidak hati-hati melangkah. Pernah menyesal karena salah beli barang? Saya pernah mengalaminya berkali-kali. Karena terburu-buru membeli, saya seringkali menyesal karena ternyata harganya kemahalan dibanding di tempat lain. Atau saya pernah pula salah membeli jenis perangkat dalam komputer, sehingga tidak bisa dipergunakan. Mau dikembalikan, barang sudah terlanjur dibeli. Masih untung penyesalan-penyesalan seperti ini bukanlah sebuah kesalahan yang fatal, karena masih ada yang bisa dilakukan untuk itu. Setidaknya barang  yang terlalu mahal itu masih bisa dipakai, setidaknya yang tipenya salah masih bisa dijual lagi. Tapi kesalahan fatal bisa berujung pada siksa kekal di alam maut, ketika kita salah melangkah di dunia semasa hidup kita. Sebuah perikop mengenai Lazarus dan orang kaya menggambarkan sebuah penyesalan yang hadir di alam maut ketika semuanya sudah terlambat.
Masihkah Malaikat hadir ditengah-tengah kita? Kira-kira setahun lalu, teman saya seorang musisi jazz pemain saxophone mengalami sebuah kesaksian yang luar biasa. Dia seorang musisi yang berasal dari Amerika yang selalu menjaga kekudusannya dengan baik. Ketika ia hadir di Java Jazz tahun 2008 lalu, ia bercerita meskipun sempat mengalami kekecewaan ketika teman baiknya meninggal saat mendaki gunung bersama-sama, namun ia tetap mengambil komitmen untuk setia pada Tuhan. Kira-kira 2 bulan setelah ia kembali ke Amerika, ia mengalami sebuah musibah. Sepulangnya dari sebuah show, mobil yang ia kendarai menabrak sebuah truk besar. Tabrakan itu cukup mengerikan. Mobilnya remuk tak berbentuk. Dalam kondisi seperti itu, rasanya sulit membayangkan ada orang yang bisa selamat. Setidaknya mungkin mengalami luka berat. "I should have died at that time, because the crash was terrible" katanya.Saat itu ketika musibah tabrakan terjadi, ia mengaku melihat sebuah sosok yang mengulurkan tangan dan menariknya keluar dari mobil. Luar biasa, meskipun sempat diopname selama seminggu, ia tidak mengalami masalah berarti. Dua minggu setelah kejadian itu, ia sudah tampil lagi di panggung.  "He sent His Angel to save me. I'm very thankful, and I'm gonna praise him forever.." katanya dalam email. 
Beberapa hari yang lalu saya dikejutkan dengan berita meninggalnya teman baik saya. Ia memang sudah beberapa bulan terakhir sakit, tapi saya tidak menyangka bahwa sakitnya itu ternyata mematikan. Siapa yang menyangka, jika teman saya yang umurnya masih muda, baru 26 tahun, ternyata meninggal akibat penyakit lever. Saya mengira ia cuma kecapaian dan butuh beristirahat, karena sebelumnya ia terlihat sehat-sehat saja. Rasa kehilangan bagi orang-orang yang ia tinggalkan sungguh terasa, karena ia adalah orang baik yang selalu setia kawan. Termasuk saya, yang merupakan satu dari sedikit teman terdekatnya. Ditengah rasa kehilangan itu, saya seperti diingatkan bahwa umur manusia ini memang singkat adanya. Ada orang yang bisa mencapai usia lanjut, ada yang mencapai sekitar setengah abad, tapi ada pula yang harus berakhir di usia yang masih sangat muda seperti halnya teman saya. Tidak ada diantara kita yang tahu berapa lama lagi kita punya kesempatan untuk hidup di dunia ini. Yang saya tahu, satu saat nanti semua orang akan mencapai akhir perjalanannya, dimana semuanya harus siap mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan ucapannya selama hidup. Tuhan memang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi kita untuk berbalik kembali kepada jalanNya. Tuhan tidak pernah menutup pintu pertobatan. Tapi itu semua hanyalah berlaku selama kita masih hidup di dunia ini, karena pada suatu saat nanti, semua akan berakhir. Ada saatnya dimana kita akan sampai di penghujung kehidupan dunia untuk masuk kepada sebuah kekekalan. Apakah itu kekekalan yang penuh damai sukacita, atau penuh kegelapan dan kertak gigi.
Sedianya renungan yang saya rencanakan untuk ditulis hari ini adalah mengambil tema yang lain. Saya sudah memikirkannya sejak pagi, namun pada siang hari hingga sore, Tuhan menuntun saya melihat banyak hal seragam. Seragam? Ya, seragam, seperti judul renungan hari ini. Saya melihat shiny, happy, people all around. Agak aneh, karena sepanjang siang hingga sore sebenarnya hari sangat panas. Matahari bersinar sangat terik, tapi itulah yang saya lihat. Sehingga saya pun sampai pada ayat bacaan hari ini, and here I am, writing for you a really pleasuring experience for me today. 
Hari ini saya melihat sebuah proses video editing di kampus tempat saya mengajar. Beberapa siswa tengah membuat sebuah animasi lucu, dimana orang bergerak maju dan mundur terus menerus, sehingga tidak akan pernah sampai ke garis finish. Saya pun berpikir, betapa seringnya kita mengalami keraguan untuk melangkah. Ingin maju, semangat, lalu pudar, mundur lagi, lalu semangat dan maju lagi selangkah, tapi kemudian mundur lagi, demikian seterusnya. Pernah mengalami hal ini? Saya pernah, bahkan sering. Saya akhirnya hanya berjalan di tempat dan tidak ada kemajuan apa-apa. Kemarin begitu, sekarang pun begitu. Masih untung tidak malah lebih jelek dari kemarin. Tapi itu dulu. Saya ingin membagikan sesuatu. Sebulan yang lalu, hanya beberapa hari menjelang Java Jazz Festival, saya sedianya harus berangkat untuk meliput. Istri saya ingin ikut serta, kita berdua sudah siap berangkat, namun saya sempat pusing memikirkan dari mana biaya untuk berangkat dan menetap di Jakarta selama 4 hari bersama istri saya. Belum lagi tiket dan sebagainya. Ya, saya sempat pusing, tapi saya tidak mundur. Saya yakin, jika keberangkatan kesana sesuai kehendak Tuhan, Dia pasti tahu apa yang kami butuhkan. Saya tidak perlu merengek-rengek, berkeluh kesah. Yang saya lakukan hanyalah menyerahkan semuanya ke dalam tanganNya. Biar Tuhan yang memutuskan apa yang terbaik. Lihatlah, ternyata Tuhan secara ajaib menurunkan berkatnya di saat-saat terakhir. Lewat pendapatan dari iklan buat situs, biaya untuk berangkat Dia sediakan buat kami. That's our God. Dia sungguh luar biasa dan tahu apa yang kita butuhkan. 
Dalam budaya tradisional Jepang kita mengenal istilah harakiri. Harakiri adalah sebentuk pertanggung jawaban atas kegagalan dengan cara mengakhiri hidup alias bunuh diri. Ketika seorang pejuang samurai jatuh ke tangan lawan, ketimbang mereka harus menderita malu akibat kegagalan mereka, maka menurut budaya tradisional Jepang, mereka lebih baik melakukan harakiri. Cara yang dilakukan lumayan mengerikan jika dideskripsikan. Mereka akan menusuk perut mereka dengan samurai, dan mengirisnya kesamping. Meskipun harakiri dikenal dalam budaya tradisional Jepang, bukan berarti bunuh diri hanya terjadi di sana saja. Di seluruh dunia, bahkan Indonesia, hampir setiap hari kita mendengar kasus bunuh diri. Baik karena tidak tahan lagi menanggung aib, tidak kuat lagi menahan sakit, tidak sanggup lagi menderita, diputus pacar dan sebagainya. Caranya pun berbeda-beda. Minum racun serangga, menggantung diri, melompat dari gedung tinggi dan banyak lagi. 
Ketika meliput Java Jazz kemarin, saya ditemani oleh dua orang rekan fotografer yang dengan tangkas meliput sekian banyak pentas pertunjukan selama 3 hari. Betapa beda hasil tangkapan kamera mereka dengan orang awam di dunia fotografi seperti saya. Dengan kamera yang sama sekalipun, hasil jepretan mereka ternyata jauh berbeda. Mereka bisa menangkap ekspresi-ekspresi musisi dari sudut pandang yang tepat, mereka tahu benar dari sisi mana mereka harus menangkap si objek sehingga hasilnya jauh lebih menarik. Maka gemerlap Java Jazz bisa didokumentasikan dengan baik. Foto-foto yang dihasilkan berbicara sangat banyak mengenai kemeriahan dan gemerlap sebuah pesta musik tahunan terbesar di dunia saat ini. Ketika mereka mengambil foto-foto candid dari penonton pun demikian. Orang yang menggendong anak misalnya, mungkin itu hal biasa yang kita jumpai di tengah keramaian. Tapi di tangan mereka, foto orang yang menggendong anak tersebut bisa terlihat begitu luar biasa. Sementara jika saya yang memotret, hasil fotonya tidak kabur saja sudah syukur. Itu sebuah analogi dari bagaimana sudut pandang yang berbeda bisa menghadirkan hasil yang berbeda. 
Seringkali permasalahan yang paling mendasar bagi kita bukanlah bisa atau tidak, tapi mau atau tidak. Ada banyak orang yang tidak berani mengambil langkah bukan karena mereka tidak bisa, tapi karena mereka tidak mau repot-repot. Maka ada perbedaan yang mendasar dari "mau tapi tidak sanggup", dengan "sanggup tapi tidak mau". Kenyataan di lapangan, banyak orang yang sebenarnya sanggup, namun tidak banyak yang mau menggunakan kapasitas dan kemampuannya secara penuh untuk menolong sesamanya. Ketika anda melihat ada orang yang tergeletak di tengah jalan akibat tertabrak mobil, apa yang anda lakukan? Puji Tuhan jika anda memilih untuk menolongnya. Tapi saya rasa akan jauh lebih banyak orang yang memilih untuk menghindar dari tempat kejadian perkara dengan berbagai alasan. Takut darah si korban mengotori kendaraan, takut terlibat masalah, takut jadi terseret-seret berurusan dengan polisi, atau malah berpikir jangan-jangan itu hanyalah pura-pura. Maka kita kembali pada sebuah pertanyaan mendasar. Bukan bisa atau tidak, tapi mau atau tidak. That's the question.
Menipu tidak apa-apa, asal jangan ketahuan. Ini sebuah ungkapan yang mungkin valid bagi begitu banyak orang akhir-akhir ini. Dalam melakukan korupsi misalnya, agar tidak ketahuan, maka para koruptor ini akan menyisakan sebagian dari hasil korupsinya untuk menutup mulut orang-orang yang mungkin berpotensi sebagai ancaman. Ada begitu banyak orang jujur yang akhirnya terpinggirkan, karena ia dianggap tidak berjalan dalam rel yang sama dengan teman-temannya yang curang. Soal tipu menipu bukan hanya berbicara mengenai mengemplang uang yang bukan menjadi haknya, namun berbicara lebih jauh mengenai bentuk-bentuk penipuan lainnya. Menjual barang bekas atau malah rusak tapi dikatakan bagus dan baru, berpura-pura baik namun menusuk dari belakang, dan sebagainya. Ada begitu banyak, mungkin ratusan bahkan ribuan bentuk penipuan yang kita alami sehari-hari, baik sebagai korban, maupun mungkin sebagai pelaku. Alkitab berbicara banyak mengenai tipu menipu, yang jika tidak kita sikapi dengan baik, bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang kesesatan yang mengarah pada siksa kekal.
Ada banyak orang yang sudah gagal sebelum memulai. Saya sendiri dulu pernah mengalami hal ini, bahkan berkali-kali. Ada banyak ide yang sebenarnya bisa saya realisasikan, namun ketika saya memikirkan faktor-faktor resiko yang mungkin muncul, saya akhirnya mundur, dan semua ide tersebut tidak jadi direalisasikan. Akibatnya saya tidak maju-maju, tetap jalan di tempat. Seringkali ketakutan berlebihan akan faktor resiko menjadi penghalang bagi seseorang untuk maju dan berkembang. Bayangan akan kesulitan yang akan timbul jika melakukan sesuatu, bayangan kesibukan yang pastinya akan menyita waktu dan merampas waktu-waktu bersantai, pikiran yang dihantui ketakutan akan ini dan itu, semuanya bisa membuat orang mengurungkan niat untuk mulai berbuat sesuatu. 
Dari segi pendidikan formal, saya tidak ada apa-apanya. Siapalah saya ini. Saya cuma tamatan SMA. Sempat kuliah, tapi kemudian tidak saya selesaikan. Jadilah saya seorang tanpa gelar, yang dalam dunia modern tidak berarti apa-apa. Tidak ada embel-ember Dr, Ir, SH, SE, ST atau apapun itu di depan dan belakang nama saya. Tapi mari saya bagikan sebuah cerita mengenai kehidupan saya. Saya sejak kecil menyukai musik jazz. Saya tidak pernah mendapat pendidikan formal dalam bahasa Inggris, namun saya sedikit-sedikit bisa berbicara dan setidaknya memahami tanpa masalah berarti. Saya menyukai dunia desain. Siapa sangka, saya yang bagaikan "kartu mati" di dunia lowongan pekerjaan ternyata saat ini bisa menjadi seorang dosen, sekaligus mengelola sebuah situs musik yang sudah menghasilkan pendapatan yang lumayan mencengangkan? Tuhan sanggup memberkati pekerjaan kita, jika kita mengerjakannya sungguh-sungguh. Pekerjaan Tuhan seringkali misterius bagi kita, maksud saya, sulit untuk dicerna secara nalar manusia yang terbatas, diluar kesanggupan logika kita mencerna. Dan satu hal lagi yang penting, yang saya angkat hari ini sebagai tema renungan, adalah bagaimana Tuhan memberikan talenta kepada semua orang tanpa terkecuali. Ada bekal yang diberikan Tuhan bagi setiap kita, bekal yang bisa menjadi modal berharga dalam kehidupan kita.
Sulitkah hidup di tengah-tengah saudara kita yang berlainan kepercayaan? Mungkin ya, mungkin tidak. Bisa sulit, apabila kita ada ditengah sekelompok masyarakat yang punya fanatisme berlebihan dan memaksakan kepercayaan mereka kepada yang minoritas. Bisa sulit jika kita tidak tahu bagaimana menempatkan diri, jika kita tidak sanggup bersosialisasi dengan baik, atau jika kita memandang mereka sebagai orang asing yang tidak perlu dikenal. Sebaliknya bisa juga tidak sulit, jika kita tahu bagaimana menempatkan diri dan berada di tengah kelompok masyarakat dengan toleransi tinggi. Tapi meski jawaban anda ya atau tidak, satu hal yang pasti, siapapun kita, akan selalu ada orang lain yang mengamati seperti apa gaya dan cara hidup kita. Apalagi jika kita berbeda sendiri di tengah lingkungan tempat tinggal kita, maka kita biasanya akan semakin menjadi bahan pengamatan orang. Sekarang pertanyaannya, sudahkah kita mencerminkan gaya hidup Kristiani yang benar? Sudahkah kita hidup dengan mengasihi orang-orang di sekitar kita? Puji Tuhan jika sudah.. karena alangkah ironisnya ketika Yesus meminta kita untuk mewartakan kabar gembira ke seluruh dunia, kita malah menjadi batu sandungan bagi orang lain. Berbeda kepercayaan, berbeda status sosial, berbeda suku, bangsa, budaya atau bahkan bahasa sekalipun, tidaklah pernah bisa dijadikan alasan untuk menjauhi mereka. Apakah pagar rumah kita saat ini sangat tinggi, sehingga kita tidak pernah kenal siapa yang tinggal di sebelah rumah kita? Atau apakah disaat tetangga kita kelaparan, kita malah membuang-buang makanan atau berpesta di rumah? Apapun yang kita lakukan, semua itu ada yang memperhatikan. Terlebih lagi di atas segalanya, Tuhan melihat segala sesuatu yang kita perbuat. 
Saat ini jika sebuah pertanyaan diajukan kepada anda: apakah anda menganggap Tuhan sudah bersikap adil pada anda, apa yang menjadi jawabannya? Puji Tuhan jika anda menjawab ya. Tapi ada banyak orang yang menganggap belum, kurang atau bahkan tidak. Seringkali orang berdoa meminta sesuatu, namun ketika doanya belum dikabulkan, atau tidak dikabulkan, mereka akan merasa sangat kecewa dan menganggap Tuhan ingkar janji, pilih kasih dan tidak adil. Seorang teman pernah dengan kecewa mengatakan bahwa apa yang dijanjikan Yesus dalam Matius 7:7-8 hanyalah sesuatu yang hanya berlaku bagi orang tertentu, pastinya bukan dia. Benarkah demikian? Saya yakin sekali tidak demikian. Perasaan seperti itu bisa muncul apabila kita memandang firman Tuhan hanya secara sepihak dari kacamata manusia semata. Ketidaksabaran dan pengertian yang sangat dangkal akan janji Tuhan bisa membuat kita dengan cepat merasa dikecewakan. 
Sudah menjadi problema umum ketika anak menginjak masa-masa puber, mereka akan menjadi sedikit (atau banyak) berubah sikapnya. Mereka biasanya bersikap memberontak, atau banyak pula yang menjadi berjarak/menjauh dari orang tuanya. Seorang teman yang baru saja ketemu lagi sejak sekian lama berkata, ia sedang menikmati masa-masa dimana anaknya lucu dan dekat dengannya. "Sebentar lagi, ketika ia remaja, saya harus siap kehilangan dia." begitu katanya. Rasanya kita semua mengalami fase-fase seperti ini. Saya sendiri tidak lebih baik dari anda. Saya sempat menjadi pemberontak, melawan orang tua walaupun mungkin dalam hati saya tahu bahwa apa yang mereka putuskan itu adalah yang terbaik buat saya. Namun saya tidak tahu mengapa, di usia baru menginjak remaja itu rasanya semuanya serba salah. Sebagian orang menyebut itu akibat perubahan hormon, yang kemudian menyebabkan adanya perubahan tingkah laku. Saya tidak tahu pasti, karena saya bukan dokter. Tapi memang, di usia-usia memasuki puber, ada perubahan signifikan dari perilaku anak terhadap orang tuanya. Dan terkadang perilaku memberontak itu tinggal menetap dalam perilaku si anak hingga dewasa, bahkan hingga tua. Sebagian berdalih bahwa orang tuanya kuno, tidak tahu perkembangan jaman, atau tidak bisa melihat anaknya senang dan sebagainya. Saya tidak memungkiri bahwa ada banyak orang tua yang gagal memenuhi fungsinya sebagai orang tua yang baik bagi anaknya. Ada banyak orang tua yang terlalu sibuk sehingga tidak sempat membagi waktu ketika anaknya membutuhkan mereka. Namun apakah itu berarti kita memiliki alasan kuat untuk melawan mereka?