========================
"Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum."
Seorang teman di sebuah situs jejaring maya menulis di statusnya: "Katanya, wanita mengeluarkan kata-kata 16000-21000 per hari secara rata-rata, sedangkan laki2 hanya 5000-9000. Waduh, kebayang deh nanti setiap kata yang kita ucapkan akan diminta pertanggung jawabannya. Tiap hari, mana yang kira-kira yang mendominasi perkataan kita, kebaikan/keburukan?" Dia benar. Jika ada sebanyak itu kata-kata yang diucapkan setiap hari secara rata-rata, maka besar kemungkinan ada beberapa atau bahkan mungkin banyak dari jumlah itu yang berisikan hal-hal buruk. Gosip, hujatan, hinaan, cercaan, makian, kata-kata negatif, kebohongan, semua itu bagaikan kebiasaan yang mengisi perkataan kita setiap hari. Sebagai pria, mungkin saya bisa beranggapan bahwa saya relatif lebih tenang, karena jumlah kata-kata yang keluar dari pria "hanya" sepertiga dari wanita. Tapi bukankah jumlah itu pun sudah sangat banyak? Dalam sehari saja sudah begitu, bagaimana jika dikalikan jumlah hari dalam hidup kita? Perkataan yang keluar dari mulut kita seringkali tidak kita perhatikan. Kita sibuk menjaga perilaku kita, tidak korupsi, tidak curang dalam bekerja atau berdagang, tidak menyakiti orang lain secara fisik, tetapi lupa bahwa ucapan-ucapan yang keluar dari mulut kita pun tidak terlepas dari pertanggungjawaban kita nanti.Yesus sudah mengingatkan kita akan hal ini. "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum." (Matius 12:36-37). Itu artinya, segala kata yang keluar dari mulut kita, baik yang kita sadari maupun tidak haruslah kita pertanggungjawabkan kelak pada hari penghakiman. Ini jelas merupakan sesuatu yang serius yang harus kita sikapi dengan baik sejak dini. Yakobus sudah menggambarkan betapa buas dan liarnya lidah kita. Ia bahkan menggambarkannya sebagai sesuatu "yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan". (Yakobus 3:8). Mengapa Yakobus menggambarkannya dengan begitu ekstrim? Sebab ini merupakan hal yang serius. Bagaimana tidak, "Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi." (ay 9-10).
Jauh sebelumnya kitab Amsal telah banyak memberikan peringatan akan pentingnya menjaga perkataan ini. Salah satunya berbunyi demikian:"Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi." (Amsal 10:19). Semakin banyak kita berbicara, semakin banyak pula peluang untuk mengeluarkan kata-kata yang sia-sia, yang mendatangkan pelanggaran. Jika kita tidak punya kendali sama sekali terhadap perkataan kita, maka berbagai ucapan yang mengarah pada dosa akan sangat mudah keluar dari mulut kita. Dan itu semua kelak biar bagaimanapun tetap harus kita pertanggungjawabkan.
Agur bin Yake pernah memberikan tips menarik. "Bila engkau menyombongkan diri tanpa atau dengan berpikir, tekapkanlah tangan pada mulut!" (Amsal 30:32). Ini mengingatkan kita agar tetap waspada, baik dalam keadaan sadar atau tidak untuk menjaga perkataan kita. Sulit memang, tapi kita harus selalu berusaha untuk menjaga agar jangan sampai perkataan yang sia-sia, negatif dan sebagainya yang mengarah pada dosa keluar dari mulut kita. Untuk itu kita harus selalu menjaga hati kita, "karena yang diucapkan mulut meluap dari hati." (Matius 12:34b).
Dari ribuan kata yang kita keluarkan perhari, apakah kita sudah mewaspadai bahwa semua itu tidak berisi hal-hal yang bisa mengancam keselamatan kita? Tidak saja untuk hari penghakiman kelak, tetapi dalam kehidupan kita sehari-hari pun kita bisa dijauhkan dari resiko mendapat masalah karena ucapan-ucapan yang keluar dari mulut kita. Pepatah mengatakan "mulutmu adalah harimaumu", itu sungguh benar. Jika tidak hati-hati, kita bisa binasa diterkam oleh apa yang keluar dari mulut kita. Sekali lagi, memang tidak mudah. Namun kita bisa mulai belajar untuk mengendalikan omongan kita dan mengawasi segala sesuatu yang kita ucapkan hari ini juga. Ingatlah bahwa kelak semua harus kita pertanggungjawabkan. Oleh karena itu, isilah hati kita dengan firman Tuhan dan pikiran-pikiran kita dengan segala sesuatu yang positif. Hiduplah terus bersama tuntunan Roh Kudus yang akan memampukan kita untuk menjaga mulut kita.
Pakailah mulut untuk memperkatakan firman Tuhan, bersyukur dan memberkati orang lain
"Dunia ini panggung sandiwara.." itu cuplikan awal dari satu lagu lawas berjudul Panggung Sandiwara yang pernah populer lewat Nicky Astria. Semakin lama hal seperti itu memang terlihat semakin jelas. Hampir setiap hari kita melihat di televisi bagaimana orang begitu mudahnya mempermainkan fakta. Mengatasnamakan rakyat, tapi sesungguhnya untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat hanyalah boneka di panggung sandiwara mereka. Mereka tampil seolah-olah membela kepentingan orang banyak, tapi sebenarnya kepentingan diri sendiri dan golongan lah yang mereka perjuangkan. Tidaklah heran jika mereka bisa menjadi musuh hari ini, tapi bersekutu esok hari, karena apa yang mereka cari hanyalah segala sesuatu yang bisa menguntungkan diri mereka. Sungguh sulit mencari orang yang benar-benar tulus hari ini, karena hampir di setiap lini kehidupan kita akan berhadapan dengan orang-orang yang berlaku licik, penuh sandiwara, lain di muka dan lain di belakang. Ada banyak agenda tersembunyi di balik segala kebaikan mereka. Ironisnya, sikap seperti ini pun seperti wabah yang juga bisa menimpa anak-anak Tuhan.
Gaji sudah dua bulan tidak dibayar. Selalu saja ada alasan dari pengelola keuangan di kampus sehingga saya tidak kunjung mendapat hak saya hingga detik ini. "Ya sudah, kalau mereka seperti itu, kamu tidak perlu serius mengajar, bolos saja sampai gaji dibayarkan.." kata seorang teman ketika mengetahui apa yang sedang saya alami. Cara pikir yang paling pintas memang demikian. Jika kita tidak dibayar, buat apa kerja? Capai badan, capai pikiran, tapi tidak mendapatkan penghasilan? Siapa yang mau? Tapi saya tidak mau demikian. Murid-murid saya tidak bersalah sama sekali sehingga mereka tidak layak diperlakukan asal-asalan. Saya tetap harus serius, karena saya ingin mereka sukses. Lebih dari itu, ada bentuk tanggungjawab saya kepada Tuhan dalam setiap pekerjaan yang saya lakukan, termasuk di dalamnya mengajar, dan tanggungjawab itu sudah seharusnya lebih utama ketimbang gaji. Saya membutuhkan gaji itu untuk hidup, tapi itu bukanlah yang terpenting. Ada tanggungjawab kepada Tuhan di atas itu, oleh karenanya saya tetap memutuskan untuk mengajar dengan sepenuh hati. Bagi orang dunia mungkin saya dianggap bodoh, tapi biarlah. Karena bagi saya, tanggungjawab di hadapan Tuhan jauh lebih tinggi dibanding hal lain apapun.
Mengunjungi gedung bersejarah Indonesia Menggugat di Bandung benar-benar membawa kesan mendalam bagi saya. Ini adalah sebuah gedung dimana Bung Karno ketika masih muda pernah menyampaikan pledoi pembelaannya saat diadili dengan tuduhan makar terhadap pemerintahan penjajah Belanda ketika mendekati akhir tahun 20an. Ada banyak memorabilia disana. Headline harian pada waktu itu, cover majalah dan sebagainya, bahkan ruang sidang pun masih tertata persis seperti pada saat itu, dengan perabotan dan ubin lantai serta kipas angin di langit-langit ruangan yang masih sama. Melihat tempat-tempat bersejarah, atau museum-museum dengan temanya masing-masing memang sungguh menyenangkan. Kita bisa belajar bagaimana sebuah sejarah terbentuk, melihat langsung benda-benda bersejarah dan momen-momen istimewa serta rangkaian peristiwa di masa lalu. Koleksi-koleksi ini akan berbicara banyak mengenai pengalaman masa lalu dan kita selalu bisa belajar banyak dari museum apapun yang kita kunjungi. Karena itulah kemanapun saya pergi saya akan menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa museum.
Kita harus extra hati-hati ketika mengendarai mobil di malam hari. Ada banyak orang yang seenaknya melanggar peraturan di jalan raya pada malam hari, karena jalan dianggap tidak lagi padat, dan terutama karena polisi biasanya tidak lagi ada di jalan. Pengendara motor yang tidak pakai helm masih termasuk biasa. Karena yang lebih parah bisa kita jumpai di jalan. Melanggar lampu merah, melawan arah, menyelonong tanpa lihat kiri kanan, semua itu seperti menjadi kebiasaan ketika hari sudah gelap. Seolah-olah peraturan bagi mereka hanya berlaku hingga sore hari. Matahari terbenam, terbenam pula peraturan bagi mereka. Ironis, karena peraturan ditaati bukan untuk keselamatan mereka di jalan raya, tapi semata-mata hanya karena takut ditangkap polisi. Dan seperti itulah kebanyakan orang berpikir. Orang lebih takut terhadap manusia ketika melanggar peraturan ketimbang kepada Tuhan, yang pasti melihat semuanya. Tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan. Jika kita bangga bisa melanggar peraturan tanpa ketahuan orang, kita lupa bahwa Tuhan mengetahui dan melihat segalanya.
Selalu menarik membahas tentang status kita dalam bernegara. Dalam sebuah obrolan santai dengan teman-teman, salah seorang berkata bahwa meski kita secara de facto sudah merdeka semenjak 1945, tapi sesungguhnya kita belumlah merdeka. Kenyataannya kita masih saja terjajah oleh banyak hal. Dalam aspek politik kita seringkali ditekan oleh bangsa-bangsa lain, dalam aspek perekonomian pun sama. Secara fisik mungkin kita tidak lagi terjajah secara langsung, seperti halnya di masa lalu ketika bangsa kita mengalami berbagai bentuk kerja paksa oleh negara-negara yang menjajah kita. Kerja paksa di jaman penjajahan Belanda, romusha pada jaman Jepang, tapi penjajahan dalam bentuk lain pun memang masih kita alami hingga hari ini.
Jelas-jelas berbuat salah, tapi gengsi untuk meminta maaf. Itu hal yang sering dilakukan banyak orang. Antara orang tua dengan anak, sesama saudara, atasan dan bawahan, suami kepada istri, antar teman dan lain-lain, ada banyak orang yang bermasalah dengan kerendahan hati untuk meminta maaf jika melakukan kesalahan karena takut wibawanya hilang. Padahal seringkali rasa bersalah itu terasa begitu menyiksa. Kita terus tertuduh, hidup tidak nyaman, tapi demi gengsi, wibawa atau apapun itu, kita rela hidup dengan cara seperti itu ketimbang segera minta maaf dan memperbaiki hubungan dengan orang yang telah kita sakiti. Saya tahu bagaimana rasanya didakwa perasaan bersalah seperti itu. Dua belas tahun yang lalu saya melakukan kesalahan besar terhadap seseorang, dan akibatnya ia mendendam hingga lima tahun lamanya. Saya tahu saya bersalah, tapi saya tidak kunjung mencoba untuk menjumpainya dan minta maaf. Selama 5 tahun pula saya didera perasaan bersalah yang membuat hidup saya sama sekali tidak nyaman. Dan ketika saya lahir baru, saya menyelesaikan masalah itu dengan menjumpainya langsung untuk minta maaf, dan sejak itu pula saya bebas dari perasaan bersalah terhadapnya. Betapa ringan rasanya saat itu, dan itu adalah rasa yang sangat kontras dengan rasa bersalah yang saya tanggung selama 5 tahun sebelumnya.
Menonton orang bertanding catur terkadang memang asyik. Sebuah papan catur yang terletak di kampus selalu secara berebutan dipakai para pegawai di sana untuk mengisi waktu luang. Saya pun sering melihat mereka bertanding setiap kali hendak atau selesai mengajar. Masing-masing bidak punya gerakan tertentu yang berbeda satu sama lain. Pemain catur handal akan tahu dalam berapa langkah mereka mampu memenangkan pertandingan. Catur adalah permainan yang menguras otak, tetapi juga memerlukan langkah. Bayangkan seandainya bidak-bidak itu tidak ada yang menggerakkan, tidak akan ada pertandingan apalagi yang menang.
Salah seorang siswi saya begitu takut gemuk, maka ia pun melakukan diet. Jika dilakukan dengan pengawasan dokter atau ahli nutrisi mungkin baik, tetapi sayangnya ia melakukannya serampangan. Ia secara drastis menghindari makan siang atau makan di waktu-waktu lain, dan akibatnya ia pun jatuh sakit. Biar bagaimanapun manusia butuh makan untuk bisa bertahan hidup. Makanan akan membawa asupan nutrisi dan gizi serta vitamin yang akan memampukan kita menjaga stamina dan kesehatan untuk menghadapi aktivitas sehari-hari yang seringkali memerlukan energi yang tidak sedikit. 

Diasuh dengan kasih sayang yang sama, tapi sifat kedua anjing yang kami miliki berbeda. Yang satu sangat penurut dan patuh. Meski tanpa tali sekalipun ia akan datang jika dipanggil, dan tidak akan pernah lari jauh dari kami. Meski ada ayam atau kucing di dekatnya sekalipun, ia tidak akan mengejar apalagi menyerang. Yang satu lagi benar-benar bertolak belakang. Setiap ada kesempatan ia akan memanfaatkannya dengan sesegera mungkin. Lari sejauh-jauhnya, semakin menjauh ketika dipanggil dan jika sudah demikian akan sangat repot untuk menangkapnya. Karena itulah kami harus selalu memastikan agar tidak lengah. Kalaupun dibawa keluar maka jelas harus disertai tali. Itupun belum berarti aman karena ia akan selalu berusaha menarik tali itu agar terlepas. Seandainya ia bisa berpikir, saya yakin ia akan merasa heran, mengapa ia harus selalu disertai tali sedangkan anjing satu lagi bisa bebas bergerak kesana kemari. Mungkin, ia akan merasa diperlakukan tidak adil. Padahal itu dilakukan demi kebaikan dirinya sendiri juga, karena ia akan menghadapi banyak bahaya apabila ia dibiarkan lepas kemana-mana sendirian.
Betapa bersemangatnya tetangga saya menonton tinju di televisi pada suatu Minggu pagi. Bagi penggemar acara olah raga tinju, tentu momen jual beli pukul dalam sekian ronde tersebut akan sangat menarik. Apalagi jika ada yang sampai terjatuh, atau setidaknya jual beli pukulan itu dilakukan dalam intensitas tinggi. Ada berbagai kelas yang terdapat dalam tinju, mulai dari kelas bulu hingga kelas berat. Dan masing-masing petinju akan masuk ke dalam kelasnya masing-masing untuk bertanding memperebutkan juara agar pertandingannya seimbang. Artinya, tidaklah mungkin seorang petinju kelas bulu dilaga dengan petinju kelas berat. Ketika salah seorang petinju terpojok, tetangga saya pun berkata: "Lihat itu, menghadapi yang seukuran saja sulitnya bukan main, apalagi kalau menghadapi raksasa yang jauh lebih besar." "Masalah yang kita hadapi kadang jauh lebih besar dari kemampuan kita, kan?" katanya. Ia benar. Dalam hidup kita sering menghadapi raksasa-raksasa, yang jauh lebih besar dari diri kita. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari, tapi bukan berarti tidak bisa kita hadapi, dan tidak mungkin kita atasi.
Tinggal di daerah yang jauh dari keramaian kota membuat saya mulai akrab dengan katak-katak kecil. Setiap hari katak-katak ini berlompatan di halaman rumah, bahkan tidak jarang ada yang masuk ke dalam rumah. Hampir setiap hari saya harus berkejar-kejaran dengan katak dan mengusirnya keluar. Hari ini pun sama, baru saja saya mengeluarkan dua ekor katak yang masuk dari dapur. Dan saya pun teringat dengan sebuah kisah mengenai Firaun dan katak-katak sebagai bentuk tulah kedua yang dijatuhkan Tuhan kepada Firaun dan bangsa yang dipimpinnya.