=====================
"Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!"
Kemarin saya kaget ketika istri saya menelepon saat saya sedang berada di luar. Ternyata ia mengabarkan bahwa saat untuk melahirkan bagi anjing chihuahua betina kami sudah tiba. Bagi kami yang belum punya pengalaman, tentu ada perasaan khawatir dan bingung. Maka saya pun segera bergegas pulang agar istri saya tidak sendirian menghadapinya. Satu jam lebih berjuang, anak pertama pun lahir. Disusul sejam berikutnya anak kedua, yang bermasalah dengan pernafasan. Saya pun segera memberikan nafas bantuan langsung ke mulutnya, dan menyedot cairan yang masuk ke dalam hidungnya sesegera mungkin. Ia pun selamat. Masih ada satu lagi, menurut hasil rontgen, tetapi anak berikutnya itu tidak kunjung keluar. Semalaman kami tidak tidur dan terus menunggu, tapi Jazzel, anjing betina kami tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan lagi. Agaknya ia kecapaian setelah melahirkan dua anak, dan ia pun terkulai lemas. Tidak ada satupun dokter hewan yang bersedia datang, dan tidak ada satupun klinik hewan yang buka pada tengah malam seperti itu. Kami pun berdoa dan terus berdoa, menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan. Setelah memutuskan untuk tidur satu jam, sekitar jam 7 pagi istri saya melihat bahwa di dalam kotak kardus tempatnya bersalin ada genangan air yang berwarna kehijauan. Itu tandanya air ketuban sudah pecah. Namun Jazzel tidak juga melakukan apa-apa. Praktek dokter hewan paling cepat buka pukul 9, dan kamipun harus menanti sampai waktunya. Secara normal, anjing yang masih tinggal di dalam perut tanpa air ketuban hanya akan mampu bertahan sekitar 15 menit, paling lama setengah jam. Lebih dari itu? Secara medis anjing akan mati. Jazzel mendapat giliran ditangani kurang lebih pukul sepuluh lebih. Artinya, anak anjing di dalam perutnya sudah tanpa air ketuban kurang lebih empat jam. Dokter pun sudah berkata bahwa anak dalam perutnya tidak ada harapan lagi. Setelah disuntik perangsang untuk kontraksi, dokter pun segera membantu untuk menarik anaknya keluar dari dalam perut. Kami terus berdoa sambil menenangkan Jazzel. Ternyata mukjizat ajaib Tuhan terjadi! Anaknya masih hidup, meski ia sudah tanpa air ketuban selama empat setengah hingga lima jam! Tidak saja masih hidup, malah masih sangat sehat. Dokter pun tercengang, kaget, bahkan sempat berkata, "it's a miracle!" Dan keajaiban berikutnya, ternyata ada "bonus" dengan kelahiran anak keempat yang juga sehat. Tuhan itu baik, kuasaNya tak terbatas, dan puji Tuhan, kami kembali menyaksikan sebuah keajaiban Tuhan sebagai sebuah kesaksian yang hari ini saya bagikan kepada teman-teman pembaca RHO.
Berbagai kondisi kesehatan, gejala penyakit dan lamanya orang bisa bertahan terhadap sakit yang dideritanya memang bisa diprediksi oleh para ahli secara medis. Kondisi-kondisi dalam melahirkan, ketahanan janin dalam kandungan setelah air ketuban pecah, itupun bisa diperkirakan secara ilmiah. Tetapi kita tidak boleh lupa, bahwa secanggih apapun manusia meneliti, Tuhan berkuasa lebih dari itu semua. Mukjizat Tuhan sudah, masih dan akan terus terjadi sebagai hadiah yang indah bagi anak-anakNya yang percaya dan berpegang kepadaNya. Yesus sudah menyatakan hal itu dengan jelas. "Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" (Markus 9:23b). Mengapa bisa demikian? "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil." (Lukas 1:37). Apa yang kita perlukan adalah iman, walau sekecil biji sesawi sekalipun. Sesungguhnya kekurang percayaan dan lemahnya iman kitalah yang sering menjadi penghambat kita mengalami mukjizat-mukjizat Tuhan dalam hidup kita. Untuk hal ini Yesus juga sudah menegaskannya. "Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (Matius 17:20).
Berdoa disertai rasa percaya penuh pada Tuhan, itu juga merupakan kunci dari turunnya berkat-berkat Tuhan, termasuk mukjizatNya yang ajaib. Ingatlah bahwa Tuhan Yesus sudah berkata "Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (Markus 11:24). Ada kuasa di dalam doa, dan agar itu tidak terhambat, kita harus terus berusaha sebaik-baiknya untuk hidup sebagai orang benar. Sebab firman Tuhan berkata: "Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." (Yakobus 5:16b). Jangan lupa pula, bahwa apa yang kita minta dalam doa haruslah sesuatu yang benar-benar berguna, bukan untuk sekedar memuaskan hawa nafsu atau keinginan akan kemewahan saja. "Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." (Yakobus 4:3). Ingat juga bahwa kita tidak boleh statis, hanya berada di "tepi" saja, tetapi kita harus terus berusaha lebih dalam lagi dalam berhubungan dengan Tuhan, lebih mengenalNya dan mengetahui firman-firmanNya. Kepada Simon Petrus yang pada suatu hari tidak mendapatkan ikan tangkapan sama sekali, Yesus berkata: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." (Lukas 5:4). Masuklah lebih dalam lagi, dan alamilah berbagai mukjizat Tuhan, sebab hanya di tempat dalam itulah berbagai keajaiban kuasa Tuhan terdapat.
Semua ini adalah kunci-kunci yang akan mampu membawa kita untuk mengalami banyak keajaiban Tuhan. Secara logika manusia, secara medis, secara teknis, manusia bisa memprediksi sesuatu, namun semua itu tidak berlaku ketika kita berbicara dalam konteks kuasa Tuhan yang tidak terbatas. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, dan semua itu disediakan Tuhan kepada orang-orang percaya yang selalu hidup benar. 5 jam dalam kandungan tanpa air ketuban, itu sama sekali mustahil secara medis, tetapi itu hanyalah satu dari milyaran keajaiban Tuhan yang siap Dia limpahkan kepada kita semua.
Tidak ada yang mustahil bagi orang percaya yang mengandalkan kuasa Tuhan yang tidak terbatas
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Gara-gara sejumlah kecil uang orang bisa berkelahi bahkan bisa saling bunuh. Ini sering kita baca di berbagai surat kabar. Ada anak yang membunuh orang tuanya karena tidak diberikan uang rokok, tidak jarang pula orang berkelahi hanya karena selisih uang yang sungguh tidak sebanding dengan akibat yang akan timbul. Hanya berbeda 500 atau 1000 rupiah orang bisa ribut. Padahal perbedaan itu tidak akan membuat kita jatuh miskin mendadak bukan? Tapi itulah yang sering kita alami. Perasaan ditipu, ditekan dan sebagainya akan membuat kita kesal. Terlebih lagi jika orang yang merugikan kita itu tidak merasa bersalah sama sekali. "Bukan soal uangnya, tetapi caranya itu lho.." kata teman saya pada suatu kali ketika ia marah dimintai uang parkir lebih dari biasanya. Mungkin benar, kita dirugikan dengan hal itu. Benar pula bahwa tukang parkir itu memang bersalah jika ia meminta lebih dari yang seharusnya. Ketika saya berkata, "sudahlah, buat apa kesal gara-gara uang 1000 rupiah? Maafkan saja.." Seketika teman saya pun berkata "Enak saja! Minta maaf pun dia tidak, untuk apa saya memaafkannya?"
Pada suatu kali saya membaca seorang artis di Inggris merasa tersinggung ketika ditolak masuk ke dalam sebuah pusat perbelanjaan. Alasannya cukup lucu, karena si artis dianggap memakai piyama alias baju tidur. Padahal menurut si artis, itu adalah sebuah kreasi desain yang hanya menyerupai piyama. Pada sebuah pelabuhan di negara tetangga pun saya pernah melihat hal yang kurang lebih mirip. Para pendatang yang kebetulan berbaju lusuh disuruh tetap tinggal di kapal dan akan dilayani terakhir karena mereka dianggap tenaga kerja atau buruh rendahan yang mencari nafkah di negara mereka. Ini potret kecil dari apa yang menjadi kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan orang berdasarkan apa yang terlihat dari luar. Virus seperti ini ironisnya sudah menyebar hingga ke gereja. Saya terkejut ketika seorang teman saya bercerita bahwa ia disuruh pindah duduk ke belakang karena baris-baris di depan hanyalah untuk jemaat tertentu saja. Padahal saat itu bangku-bangku di depan sedang kosong. Pelayanan berbeda terhadap orang pun sering kita jumpai. Sebuah penghormatan akan diberikan kepada tamu/konsumen yang terlihat kaya, bermobil mewah, berdasi atau glamor, sebaliknya pandangan curiga, sinis dan meremehkan atau bahkan merendahkan akan diberikan kepada mereka yang terlihat biasa-biasa saja.
Kata sentosa sudah semakin jarang kita dengar. Sentosa diartikan sebagai keadaan yang bebas dari segala kesukaran, masalah, atau bencana. Sentosa berarti suatu situasi yang aman, damai dan tenteram serta sejahtera. Inilah kondisi yang akan selalu kita idam-idamkan. Bebas dari masalah, hidup tenang tak berkekurangan. Pertanyaannya adalah, apakah ketika kita sedang berada dalam keadaan sentosa kita masih mengingat Tuhan? Kecenderungan sebagian orang adalah tidak. Terlena dalam kenyamanan pun menjadi sebuah pilihan. Gaji sudah tinggi, keluarga baik-baik saja, anak-anak sukses dalam studi, karir dan kehidupannya, semua sehat, lalu apa lagi yang harus ditakutkan? Tuhan? Nanti saja, ketika saya butuh pertolongan. Toh semua sedang berjalan dengan baik. Itu menjadi pikiran banyak orang ketika mereka sedang dalam keadaan tenang. Posisi Tuhan tidaklah lebih dari penolong, tempat meminta atau bahkan bodyguard. Tuhan hanya dicari ketika sedang berada dalam pergumulan, kesulitan, bisnis merugi, usaha bangkrut, gagal dalam studi atau karir dan hal-hal buruk lainnya. Ketika hidup menjadi baik kembali, Tuhan pun lalu dilupakan.
Sejarah perjuangan bangsa kita sungguh penuh dengan gejolak. Sejak merdeka hingga hari ini kita masih saja melihat pemberontakan yang dilakukan baik oleh individu maupun sekelompok orang agar mereka bisa memisahkan diri dari negara yang menaunginya. Sikap memberontak ini biasanya timbul dari ketidakpuasan akan sesuatu, atau bisa juga akibat adanya konflik dengan keinginan atau kepentingan pribadi. Tidak hanya dalam skala besar mengenai bernegara, tapi di dalam pekerjaan bentuk seperti ini pun bisa terjadi. Demonstrasi hingga yang bersifat anarki dengan kekerasan masih kerap kita saksikan bergejolak di berbagai tempat. Saya pun terkejut ketika ada seorang teman dosen yang mengajak saya memboikot kampus di tempat saya mengajar, karena hingga hari ini para dosen memang belum menerima haknya. Gaji saya belum juga dibayar dan saat ini sudah hampir memasuki bulan ke 3. Menuntut sesuatu yang memang hak kita, itu satu hal. Tapi haruskah demi itu kita mengorbankan orang lain, dalam kasus saya, para siswa yang tidak bersalah? Haruskah konflik akibat mismanajemen yang terjadi di kampus menghancurkan pula kesempatan siswa-siswi untuk memperoleh pendidikan? Adilkah itu buat mereka? Atau satu pertanyaan lain yang muncul di benak saya, bagaimana seharusnya sikap kita sebagai orang Kristen ketika menghadapi ketidakadilan seperti ini?
Kita semua ingin sukses. Memiliki karir yang menanjak naik, bisnis maju, pendapatan meningkat dan sebagainya. Tidak ada satupun orang yang ingin jalan di tempat atau malah merosot turun. Dan inipun sejalan dengan apa yang dikehendaki Tuhan. Dia tidak pernah menginginkan kita merosot turun, hidup menderita, berkekurangan, karena apa yang direncanakan Tuhan adalah "mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia" (Ulangan 28:13). Tapi ketika orang berhasil, kehidupan menanjak naik, seketika itu pula kecongkakan mengancam. Tidakkah kita sering melihat orang yang berubah drastis ketika mereka mencapai keberhasilan? Kepada Tuhan saja lupa, apalagi kepada sesama. Keadaan nyaman memang bisa membuat orang lemah. Keberhasilan tidak lagi dipandang sebagai berkat dari Tuhan, tapi karena kekuatan diri sendiri. Akibatnya tidaklah main-main. Sehebat-hebatnya manusia, sekaya-kayanya orang, dalam sekejap mata semua itu bisa musnah tak berbekas.
Dagelan politik sudah terlalu sering dipertontonkan di televisi. Kita bisa melihat orang-orang yang begitu mudah menyudutkan orang lain seolah-olah diri mereka sangat bersih. Menuduh orang lain memang sungguh mudah. Menunjuk orang lain dengan tudingan dan prasangka macam-macam itu gampang. Namun saya kira Tuhan tidak sembarangan mendesain bentuk jari. Coba perhatikan ketika kita menunjuk orang lain, tidakkah ada 3 jari yang justru mengarah kepada diri kita sendiri? Menilai keburukan orang lain tidaklah sulit. Yang sulit justru menilai diri sendiri. Ketika kita menilai keburukan orang lain, sudahkah kita memeriksa diri kita sendiri?
Sebuah stiker bertuliskan "The way, the truth, the life..Jesus" tertempel di kaca belakang sebuah mobil yang tepat berada di depan saya. Sepanjang kemacetan pun mata saya tertumpu pada stiker yang berukuran cukup untuk bisa dibaca oleh pengendara di belakangnya. Betapa simpelnya, pikir saya, untuk mewartakan Injil seperti ini. Si pemilik hanya menempel sebuah stiker yang menyampaikan firman Tuhan seperti yang tertulis dalam Yohanes 14:6, dan stiker itu akan berbicara banyak kepada siapapun yang melihatnya tanpa memerlukan si pemilik untuk repot-repot menginjili orang secara langsung. Seringkali kita punya ribuan alasan untuk menolak memberitakan kabar gembira kepada orang. Segala keterbatasan pun akan mudah kita berikan. Takut, tidak tahu caranya, tidak mengerti terlalu banyak, tidak pintar ngomong, sudah terlalu sibuk dan lain-lain. Padahal sebuah cara yang sangat sederhana seperti apa yang dibuat pemilik mobil di depan saya pun sebenarnya bisa menjadi sebuah cara untuk menyampaikan firman Tuhan.
Anda pernah jatuh cinta? Jika pernah, tentu anda tahu bagaimana rasanya. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, begitu kata orang. Kita gelisah ketika jauh, rasa rindu akan segera menyerang begitu kita berpisah meski hanya untuk waktu yang singkat. Setiap saat kita ingin bertemu, mendengar suaranya, melihat wajahnya dan menghabiskan waktu bersama dengan orang yang kita cintai. Rasa cinta bisa begitu dalam hingga kita rela mengorbankan apapun untuk itu. Bagaikan magnet yang akan selalu berusaha menarik satu sama lain, seperti itu pula rasanya ketika cinta tengah melanda diri kita dan orang yang kita kasihi.
Beberapa hari yang lalu istri saya iseng mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan durian di youtube. Kami sama-sama tertawa melihat banyaknya orang asing yang merekam tingkah laku mereka ketika hendak membuka sebuah durian. Ada yang menertawakan temannya yang dipaksa menyicipi durian untuk kali pertama, ada yang mencoba mendeskripsikan betapa "aneh"nya bau dan rasa durian dan sebagainya. Di salah satu video bahkan ada yang menggambarkan durian bagaikan alien dari luar angkasa. Sebagian besar mengatakan bahwa durian memiliki bau seperti bawang putih, saya pun heran entah dari mana mereka bisa mengatakan mirip. Rasanya menjijikkan, ada yang sampai hampir muntah sebelum mencoba dan sebagainya. Lucu sekali rasanya melihat pola dan tingkah laku mereka ketika mencoba durian. Jangankan mencoba, membelahnya saja sudah salah. Anda termasuk penggemar atau pembenci durian? Begitu unik dan kontroversialnya buah durian ini, bagi yang suka akan rela mengeluarkan kocek berapapun untuk bisa mendapatkan durian, sementara bagi sebagian lainnya buah ini dianggap menjijikkan. Bahkan di beberapa negara buah durian dinyatakan sebagai buah terlarang untuk masuk ke negaranya. Durian itu harum dan lezat bagi sebagian orang, tapi busuk dan menjijikkan bagi sebagian lainnya.
Rumah saya terbilang cukup jauh dari kota. Beberapa ruas jalan akan diliputi kemacetan pada jam-jam tertentu, sehingga waktu tempuh pun menjadi semakin panjang. Tapi ada banyak jalan alternatif yang terus saya temukan sejak pindah hingga hari ini, sehingga saya bisa menghindari kemacetan dengan melewati beberapa ruas jalan kecil yang mungkin tidak diketahui banyak orang. Hari ini pun sama, saya melewati jalan-jalan alternatif tersebut agar tidak terjebak kemacetan di jalan utama. Dan ketika itulah saya berpikir, seandainya manusia saja punya banyak alternatif untuk mengatasi sebuah masalah, apalagi Tuhan. Apa yang Dia sanggup sungguh jauh lebih besar dari kemampuan nalar atau logika kita. Dan itu sudah terbukti berabad-abad pada begitu banyak orang yang tidak lagi terhitung jumlahnya. Miracle, atau keajaiban akan sangat mudah ketika berada di tangan Tuhan.
Lihatlah televisi hari-hari ini, dan anda akan dengan mudah melihat bagaimana wajah dari sebuah amarah. The face of rage, seperti itu saya gambarkan, akan dengan jelasnya terlihat dalam beragam acara, mulai dari berita-berita tentang demonstrasi, kericuhan, tawuran, perkelahian, atau perdebatan di parlemen bahkan ada banyak pula acara yang memanfaatkan kemarahan dan emosi untuk menarik rating. Intinya, bagaimana memancing kemarahan seseorang atau sekelompok orang, dan ketika muka mereka memanas dan berubah menjadi ganas, ketika mereka mulai mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak pantas atau mulai mencoba menyerang secara langsung, disanalah acara itu dianggap menarik. Begitu banyak pola kemarahan yang kita tonton sehari-hari, sehingga bisa-bisa lama kelamaan kita akan berpikir bahwa emosi meledak-ledak itu wajar saja. Dan ada banyak orang yang mengira bahwa mereka bisa membuat wibawa mereka meroket lewat gaya penuh emosi, meledak-ledak dalam kemarahan. Dengan terus menerus membentak atau marah, atau setidaknya memasang wajah dingin, mereka mengira bahwa mereka akan terlihat berkuasa. Seharusnya tidaklah demikian. Kekristenan tidak pernah mengajarkan kita untuk memupuk emosi. We are not to have the face of rage. God never created us for that.
Manis diluar, tapi penuh kebencian di hati. Ada banyak orang yang bersikap seperti itu. Dan kita memang sulit tahu apa isi hati orang. Tidak ada yang bisa mengetahui dengan tepat apa yang sedang ada di dalam hati seseorang. Sebuah pepatah yang sudah sangat kita kenal pun berbicara mengenai hal ini. "Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa tahu?" Sungguh hati adalah bagian dari diri kita yang memang tersembunyi dan tidak terlihat dari luar. Jangankan mengetahui isi hati orang secara tepat, isi hati kita sendiri pun sering tidak kita ketahui dengan pasti. Kita bisa merasa kesal tanpa sebab, merasa sedih tanpa alasan jelas, kehilangan mood dan sebagainya, dan semua itu berasal dari perasaan dalam hati kita.
Beberapa minggu yang lalu tetangga saya membatalkan secara sepihak perjanjiannya dengan seorang tukang yang seharusnya merenovasi rumahnya. Ia merasa biaya yang dibebankan terlalu mahal, sehingga ia memutuskan untuk memakai tukang yang lain saja. Ternyata tukang itu sudah terlanjur membeli bahan-bahan, dan karenanya ia pun mengalami kerugian yang tidak sedikit. Si tukang yang juga mengenal saya menceritakan itu semua dan menyatakan bahwa ia merasa sangat kesal karena seperti dipermainkan. "Bayangkan, pembatalannya hanya beberapa jam sebelum waktu yang kita sepakati bagi saya untuk datang bekerja kesana." gerutunya. "Setidaknya tanggung dong bahan-bahan yang sudah saya beli, ini sudah tidak jadi, malah saya rugi sebesar ini.." tambah si tukang itu. Dan saking kecewanya, si tukang pun mengaku malas melewati rumah di depan saya karena tidak mau melihat tetangga saya. Perselisihan seperti ini sering terjadi dan biasanya timbul karena kedua pihak merasa benar. Dengan komunikasi baik-baik seharusnya bisa diselesaikan, tapi alangkah sulitnya untuk membuang ego ketika kita sedang berselisih atau beradu argumen dengan seseorang. Sehingga baik sadar atau tidak, kita bisa meninggalkan luka di hati orang lain karenanya.
Salah seorang teman saya suatu hari pernah bercerita bahwa ia merasa lelah berdoa, tetapi merasa belum juga mendapat jawaban. "Sudah lelah rasanya saya berdoa, tapi tidak ada perubahan.." katanya lesu. Sesungguhnya hal seperti ini dialami oleh banyak orang. Mungkin kita pun pernah mengalaminya. Ada banyak hal yang bisa menjadi penyebabnya. Bisa jadi memang waktunya Tuhan belum tiba, karena biar bagaimanapun apa yang menjadi kehendak Tuhan, itulah yang terbaik untuk kita. Tapi disamping itu kita perlu pula memperhatikan beberapa hal dalam diri kita agar doa kita bisa didengar Tuhan. Dan salah satunya adalah kebersihan hati kita, karena tanpa hati yang bersih niscaya Tuhan tidak akan mau mendengar permohonan doa kita.
Memulai itu satu hal, mempertahankan, itu hal lain. Itu yang selalu saya sampaikan kepada setiap siswa saya di setiap angkatan. Tidak mudah untuk memulai sesuatu, lebih sulit lagi untuk mempertahankan. Ada banyak orang yang sudah memulai dengan sukses, tetapi kemudian terjatuh dan gagal untuk mencapai akhir. Alkitab berisikan banyak contoh yang seperti ini. Mengawali dengan baik, sayangnya menutup akhir kisahnya dengan tragis. Kita tahu salah satunya adalah Saul. Daud pernah terpeleset tapi untunglah ia tidak berlama-lama sesat dan segera kembali, meskipun ada serangkaian konsekuensi yang harus ia terima akibat kesalahannya. Hari ini mari kita lihat satu tokoh yang pernah mengalami nasib seperti Saul, memulai dengan manis tapi kemudian jatuh karena kebodohannya sendiri mengambil keputusan yang salah, yaitu seorang raja Yehuda bernama Asa.