=============================
"Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala. "Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ."
Ada sebuah penggalan dari pidato John F Kennedy disaat ia diangkat menjadi Presiden Amerika Serikat ke 35 pada tahun 1961 yang sangat historis, yaitu: "Ask not what your country can do for you - ask what you can do for your country." Tidak banyak yang mengetahui bahwa quote yang sangat terkenal ini sesungguhnya dikutip dari tulisan Khalil Gibran. Kalimat ini penting untuk diperhatikan karena faktanya sebagian besar penduduk suatu negara hanya menuntut haknya tanpa memperhatikan kewajiban mereka sebagai warga negara. Kita mengeluh melihat banyaknya pengemis, gelandangan, pengamen, kita memprotes tingginya tingkat kejahatan, kesemrawutan jalan raya, kondisi jalan yang buruk dan lain-lain tetapi tidak mau berbuat sesuatu untuk itu. Apa yang bisa kita buat? Apa kita semua harus menjadi polisi atau harus terlebih dahulu diberi kekuasaan mutlak atas negara ini baru kita mau berbuat sesuatu? Tidak, bukan begitu seharusnya. Hal sekecil apapun yang kita lakukan sesuai panggilan kita dengan sungguh-sungguh atas dasar kasih bisa dipakai Tuhan untuk berbuah secara luar biasa.Kemarin kita sudah meilhat panggilan penting bagi setiap orang percaya untuk turut berperan aktif secara nyata dalam mensejahterakan kota dimana kita tinggal. Ayatnya berbunyi: "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu." (Yeremia 29:7). Secara spesifik dan jelas ayat ini menyerukan pentingnya untuk memberi kontribusi nyata dan berdoa demi kesejahteraan kota. Mengapa? Karena jelas, kesejahteraan kita sesungguhnya tergantung dari kesejahteraan kota tempat tinggal kita. Ada banyak orang yang sebenarnya tahu akan hal ini, tetapi tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk itu. Mereka mengira bahwa untuk mengubah nasib sebuah bangsa mereka harus melakukan hal-hal yang besar saja. Padahal itu tidaklah benar. Setiap orang pada dasarnya memiliki panggilannya sendiri-sendiri. Apapun panggilan kita, dimanapun kita bekerja dan tinggal, kita bisa berbuat sesuatu, berkontribusi secara aktif dan nyata demi kesejahteraan bangsa kita. Itu seringkali dimulai dari hal-hal kecil dahulu, yang nantinya akan terus meningkat apabila kita melakukannya dengan sungguh-sungguh. Itu sedikit banyak akan berdampak bagi kesejahteraan kota, bangsa dan negara.
Sebuah kepedulian terhadap bangsa biasanya akan membuat orang merasa gelisah dan ingin berbuat sesuatu untuk memperbaikinya. Sebuah contoh kegelisahan akan panggilan demi kesejahteraan kota bisa kita lihat dari sosok Paulus. Ketika ia sampai di Yunani tepatnya di kota Athena, ia merasa sedih melihat banyaknya patung-patung berhala yang berdiri di sana. "Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala." (Kisah Para Rasul 17:16). Paulus pergi berkeliling dari satu tempat ke tempat lain sebenarnya untuk mewartakan berita keselamatan. Tetapi lihatlah bahwa ia tidak hanya berpuas diri akan hal itu saja, meski apa yang ia lakukan sesungguhnya sudah sangat luar biasa. Mari kita perhatikan apa yang kemudian ia lakukan. "Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ." (ay 17). Paulus tidak berdiam diri. Ia gelisah untuk melakukan sesuatu demi kesejahteraan kota Atena yang disinggahinya. Ia tidak tinggal disana untuk selamanya, tetapi tetap saja ia peduli akan kesejahteraan dan keselamatan kota itu. Ini adalah sebuah contoh yang sangat baik untuk melihat apa yang bisa kita lakukan sesuai kapasitas kita demi kota dimana kita berada saat ini. Paulus tidak meminta dirinya terlebih dahulu untuk menjadi gubernur atau raja disana. Sebagai seorang Paulus yang hanya pendatang pun ia tahu bahwa ia harus peduli, dan ia berbuat sesuai dengan batas kemampuannya.
Pada dasarnya setiap kita didesain dengan cara yang berbeda oleh Tuhan. Kita masing-masing diberi talenta dan panggilan masing-masing, dan semua itu akan sangat bermanfaat bagi kesejahteraan kota. Ambil contoh kecil saja, Tuhan menciptakan binatang sesuai kemampuan dan fungsinya masing-masing. Kuda diciptakan untuk berlari sedang ikan untuk berenang. Burung diciptakan untuk terbang sedang cicak untuk merayap. Agar bisa berlari kencang kuda diberi kaki-kaki yang kuat dan kokoh. Ikan diberi insang dan sirip agar bisa berenang di dalam air, burung memiliki sayap dan cicak memiliki telapak kaki yang bisa merekat di dinding. Masing-masing diciptakan sesuai fungsi dan kegunaannya masing-masing. Dan manusia pun seperti itu. Paulus mengatakan "Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus." (Efesus 4:7) Ayat ini mengatakan dengan jelas bahwa siapapun kita telah diberikan talenta-talenta tersendiri menurut ukuran pemberian Kristus yang semuanya bisa dipakai sebagai karya nyata dalam memenuhi panggilan kita. Masing-masing kita diberi fungsi dan karunia masing-masing, dan kebersatuan kita dalam membangun bangsa ini akan menyatakan kemuliaan Tuhan. "Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, --yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih." (ay 16).
Sebagai manusia kita semua telah dilengkapi Tuhan secara khusus dengan berbagai talenta, bakat dan kemampuan tersendiri yang tentunya bisa kita pakai dalam kehidupan kita, untuk memberkati sesama dan memuliakan Tuhan. Dalam Amsal dikatakan: "Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik." (Amsal 24:3-4). Rumah disini bukan berbicara hanya mengenai masalah rumah biasa yang didirikan dari batu, pasir, kayu, rangka besi, dan berbagai bahan bangunan lainnya tapi berbicara akan sesuatu yang lebih luas, yaitu sebuah kehidupan. Sebuah kehidupan yang baik haruslah didirikan atas hikmat, ditegakkan dengan kepandaian, dan kehidupan itu selanjutnya diisi dengan berbagai hal berharga. Tidak hanya atas satu hal saja, melainkan berbagai hal berharga, berharga buat hidup kita sendiri, berharga buat sesama, berharga buat bangsa dan negara, dan tentunya berharga di mata Tuhan. Inilah sebuah pelajaran penting dari penulis Amsal akan betapa berharganya sebuah kehidupan.
Apapun pekerjaan kita, semua itu bisa dipakai secara nyata untuk kesejahteraan bangsa. Kita memiliki panggilan dan tugas sendiri-sendiri yang akan sangat bermanfaat untuk itu. Tidak peduli sekecil apapun, dimanapun atau apapun pekerjaan yang sedang ditekuni saat ini. Dengan panggilan yang sudah diberikan Tuhan, dimana kita ditempatkan hari ini, dan dengan talenta-talenta yang sudah Dia sediakan, kita bisa berkarya secara nyata untuk melakukan sesuatu demi kesejahteraan bangsa, dan dengan demikian menegakkan KerajaanNya di muka bumi ini. Anda merasa "cuma" pegaawai kantoran? Anda tetap bisa menjadi role model sebagai sosok yang baik dan cakap dalam bekerja. Tidak korupsi, berlaku sopan dan ramah, disiplin waktu dan menghargai atau mengasihi teman sekerja Itupun sudah merupakan sesuatu yang baik untuk dilakukan. Anda bergelut di dunia hiburan? Anda bisa membawa terang disana dan menunjukkan bahwa dunia hiburan tidak harus selalu negatif. Panggilan anda dalam dunia politik, pendidikan atau kesehatan? Sama, anda bisa berperan banyak disana. Let God use us to transform our city and community, and that will surely give some impacts to our beloved nations.
Kepada kita sudah diberikan panggilan dan talenta masing-masing yang akan sangat bermanfaat untuk kesejahteraan kota, bangsa dan negara kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saya masih ingin melanjutkan peran dari umat Tuhan, orang-orang percaya terhadap kemakmuran kota, bangsa dan negara. Benar, negara ini masih jauh dari kestabilan apalagi kemakmuran. Hampir di setiap lini kita melihat orang tidak malu-malu melakukan korupsi, seakan-akan itu merupakan hal yang wajib dilakukan ketika mendapat kesempatan dengan memangku sebuah jabatan. Kondisi carut marut berlanjut dengan kondisi keamanan yang tidak kondusif di berbagai tempat. Orang-orang bersikap anarkis bisa melenggang bebas dengan mengatasnamakan agama dan pemerintah sepertinya membiarkan saja hal seperti itu terjadi. Lantas apa yang bisa kita buat untuk memperbaiki itu semua? Secara individual mungkin sulit atau bahkan mustahil, tetapi seperti yang sudah saya sampaikan dalam beberapa renungan terdahulu, kita bisa menjadi pendoa-pendoa syafaat bagi bangsa. Itu peran kita yang sangat vital sebagai anak-anakNya. Tapi perhatikan, itu bukan satu-satunya cara bagi kita untuk berperan aktif secara nyata demi kesejahteraan bangsa. Ayat bacaan hari ini menyatakan hal tersebut dengan jelas.
Beberapa hari terakhir saya mengajak teman-teman semua untuk merenungkan apa yang sebenarnya bisa dilakukan oleh orang percaya dalam memulihkan kondisi bangsa yang sudah carut marut, retak bahkan hancur di sana-sini. Kita cenderung membandingkan kemampuan kita secara perorangan terhadap kondisi yang sudah terlanjur berantakan sedemikian rupa, sehingga rasanya tidak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya. Doa orang benar dikatakan sangat besar kuasanya (Yakobus 5:16b), sehingga doa-doa syafaat yang dipanjatkan oleh umat Tuhan yang benar akan membawa dampak yang besar bagi terjadinya pemulihan sebuah bangsa. Dalam 2 Tawarikh 7:14 Tuhan sudah mengingatkan: "dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka." Karena itulah Paulus pun mengingatkan akan pentingnya doa syafaat dari para orang percaya dalam 1 Timotius 2:1-2. Kita juga bisa belajar dari kehancuran Sodom yang terjadi karena pada masa itu semua orang sudah begitu jahat sehingga bahkan 10 orang benar pun tidak ada lagi di dalam kota itu. (Bacalah Kejadian 18). Kita sudah melihat dalam renungan terdahulu bagaimana Daniel berdoa bagi bangsanya dengan melibatkan dirinya yang sebenarnya tidak ikut-ikutan hidup buruk sebagai bagian terintegrasi dari bangsanya sendiri. Ini adalah sebuah contoh yang sangat baik tentang bagaimana seharusnya sikap umat Tuhan dalam menyikapi kehancuran bangsanya. Hari ini mari kita lihat contoh lain di masa Mikha yang ada di dalam Alkitab.
Dalam renungan kemarin kita sudah melihat bahwa berpangku tangan jelas bukan pilihan dalam menyikapi kerusakan yang melanda bangsa dan negara kita. Ada banyak orang yang merasa tidak aman dalam melihat bangsanya memutuskan untuk melarikan diri ke luar negeri. Mereka lebih memilih untuk menyelamatkan diri sendiri ketimbang turut memikirkan nasib bangsanya. Itu bukanlah solusi menurut Firman Tuhan, apalagi kalau ditambah dengan keluh kesah, protes atau mengutuki pemimpin dan bangsa sendiri. Bukan itu hal yang harus dilakukan oleh orang percaya. Ada tugas bagi kita semua karena bukanlah kebetulan kita ditempatkan menjadi bagian dari sebuah bangsa yang masih terus bergulat menghadapi begitu banyak masalah. Turun ke jalan dan membuat keonaran? Memukuli orang yang tidak sepaham atau kita anggap salah? Itu kejahatan berat di mata Tuhan. Salah satu yang bisa dan WAJIB kita lakukan adalah terus memanjatkan doa untuk bangsa ini. Berdoa dan terus mendoakan bangsa. Bukan hanya berdoa untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi terlebih untuk bangsa ini. Karena selain itu menjadi panggilan wajib bagi kita, tetapi sadar atau tidak sesungguhnya kesejahteraan kita akan sangat tergantung dari kondisi bangsa dimana kita berdiam.
Betapa sulitnya membersihkan negara ini dari tikus-tikus koruptor yang tanpa tedeng aling-aling terus mengeruk uang negara tanpa memikirkan nasib bangsa yang semakin carut marut seperti sekarang ini. Ketika kemiskinan melanda, maka tingkat kriminalitas pun menjadi meningkat pula. Kondisi rawan terjadi dimana-mana. Orang bisa membunuh di tempat umum tanpa rasa takut, pencurian disertai kekerasan terus menjadi berita di berbagai media. Lembaga dimana kita mencari keadilan justru menjadi salah satu sarang bercokolnya tikus-tikus ini, yang membuat tidak adanya jaminan keadilan atau keamanan yang cukup bagi warga negara sendiri. "Saya angkat tangan saja...apa yang bisa saya buat? Kondisinya sudah terlalu parah, apalah artinya satu orang dibanding kerusakan yang sudah begitu luas merusak negara ini.." kata seorang teman dengan pasrah. Seperti itulah pemikiran banyak orang yang merasa bahwa tidak ada satupun lagi yang bisa dibuat untuk memperbaiki kerusakan yang sudah sedemikian parah. Tapi benarkah kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi? Apakah kita hanya tinggal pasrah melihat bangsa ini terus meluncur cepat ke dalam jurang kehancuran?
Di tahun 1624 seorang penyair bernama John Donne menulis sebait syairnya "no man is an island" yang sampai sekarang masih sangat familiar di telinga kita. Kalimat ini mengacu kepada jati diri manusia yang memang diciptakan bukan untuk hidup sendirian, terisolir dari lingkungannya dan menjadi orang-orang bersifat individualis melainkan untuk hidup dalam hubungan kekerabatan dengan orang lain, berkelompok atau dalam komunitas. Sudah menjadi sifat dasar manusia untuk hidup sebagai mahluk sosial yang harus membangun hubungan dengan orang lain agar bisa maju dan hidup lebih baik. Sulit sekali membayangkan jika harus menjalani hidup sendirian tanpa teman. Keterbatasan-keterbatasan kita sebagai manusia jelas membutuhkan pertolongan orang lain. Tidak ada satupun orang yang bisa bertahan hidup dengan baik jika hanya sendirian. Contoh kecil saja, apabila kita hidup tanpa adanya teman, saudara atau keluarga, tentu sangatlah sulit bagi kita untuk menjalani hidup. Tidak ada yang menegur, tidak ada tempat curhat atau sharing, tidak ada yang mengingatkan, tidak ada yang membantu.
Ada beberapa teman saya yang punya kebiasaan melamun ketika tengah berjalan di tengah keramaian, sehingga ia sering tidak melihat orang yang dikenalnya meski orang tersebut berada tepat disampingnya. Bukan matanya yang salah makanya ia tidak melihat, tapi itu terjadi karena matanya tidak terpakai dengan baik sebab tertutupi oleh lamunannya. Ada kalanya mata yang berfungsi normal menjadi berkurang kemampuan melihatnya karena ada sesuatu yang menutupi. Turunnya abu vulkanik akibat kebakaran hutan, kabut tebal yang turun misalnya, itu bisa membuat jarak pandang menurun, bahkan membuat kita tidak bisa melihat apa-apa di dekat kita. Dalam kehidupan rohani, berbagai hal seperti ketakutan dan kekuatiran pun bisa membuat kita tidak lagi bisa melihat janji-janji Tuhan dan kebenaran yang terkandung di dalam FirmanNya. Jika itu yang terjadi, maka kita pun menjadi sulit untuk mengenal Tuhan yang padahal tetap berada bersama dengan kita dalam setiap langkah.
Alangkah ironisnya ketika kita mudah menjatuhkan komentar-komentar miring karena merasa diri sudah hidup baik. Melihat orang yang hidupnya susah atau memiliki cacat tubuh, selintas pikiran bahwa itu akibat dosanya atau dosa orang tuanya, akibat kutuk dan sebagainya bisa muncul dengan mudah kalau hati tidak dijaga kondisinya dengan baik. Tanpa melihat lebih jauh mengenai kebenarannya dulu kita sudah buru-buru menghakimi orang lain. Hal seperti ini bukan saja terjadi di antara orang-orang dunia, tetapi juga di antara orang percaya. "Kasihan, dia hidupnya susah..pasti dia atau orang tuanya punya dosa yang belum dibereskan..." begitulah kata seorang teman pada suatu kali dengan ringannya yang membuat saya kaget. Mungkin ia tidak sadar, tapi ucapan itu sama sekali tidak pantas untuk diucapkan, apalagi ketika ia tidak mengenal betul siapa orang yang ia bicarakan. Dalam kesempatan lain ada seorang teman yang mampir ke sebuah persekutuan sahabatnya, dan ia bercerita bagaimana dalam doa sekalipun mereka bisa-bisanya menghakimi orang lain tanpa rasa bersalah. "Tuhan, ampuni si A, karena dosa-dosanya banyak sehingga ia menjadi seperti itu.. bebaskan si B karena pasti ia kena kutuk turunan.." dan lain-lain. Seperti itulah bentuk doa mereka yang membuat teman saya bingung karena ia merasa aneh mendengar doa menghakimi seperti itu. Mendoakan orang lain itu tentu baik, tapi haruskah disertai dengan perkataan-perkataan menuduh seperti itu? Di dunia saja itu tidak pantas dilakukan apalagi ketika disampaikan dalam doa yang notabene kepada Tuhan. Bayangkan jika di gereja ada pola seperti ini, tidakkah itu ironis? Jika dibiarkan, gereja bukan lagi menjadi tempat dimana orang bisa merasakan hadirat Tuhan dan bertumbuh bersama-sama saudara/saudari seiman, tapi akan menjadi sekumpulan orang eksklusif yang merasa diri paling benar dan merasa punya hak untuk menghakimi orang lain seenak hati mereka.
Punya sepasang mata yang berfungsi baik tidak serta merta membuat kita bisa melihat segalanya dengan baik. Ketidak-awasan karena meleng bahkan bisa berakibat fatal. Belum lama saya membaca berita mengenai supir sebuah bus meleng saat menyalakan rokok mengakibatkan busnya jatuh masuk jurang. Berapa lama sih waktu yang dibutuhkan untuk menyalakan rokok? Namun meleng beberapa detik itu ternyata bisa sangat membahayakan. Dalam banyak hal kita pun bisa meleng meski mempunyai sepasang mata yang sempurna. Terpeleset karena tidak melihat lantai yang licin, tersandung batu, bertubrukan dengan orang lain merupakan contoh-contoh lainnya yang mungkin tidak separah supir bus di atas. Saya pernah pula melihat orang yang sibuk melihat wanita berjalan di sisi jalan ketika sedang mengendarai motornya lalu menubruk mobil yang berhenti tepat didepannya. Bukan mata yang salah, tetapi ketika kita tidak mempergunakan mata dengan baik untuk melihat, itu bisa membawa masalah. Dalam hidup sehari-hari seperti itu, dalam kerohanian ketidakmampuan untuk melihat dengan baik pun bisa pula mendatangkan masalah.
Ada begitu banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya diciptakan dengan teramat sangat istimewa. Entah akibat tekanan hidup, kesulitan ekonomi, tinggal di pelosok terpencil dan sebagainya mereka pun kemudian menganggap bahwa mereka cuma orang yang tidak berharga. Hari ini saya bertemu dengan seseorang yang berasal dari desa. Ia terus menunduk tak berani menatap wajah lawan bicaranya, bahkan lebih parah lagi ia tidak mau duduk di kursi melainkan hanya di lantai. Ketika diminta untuk pindah ke kursi ia berujar, "Saya cuma orang rendahan pak, tidak pantas duduk di atas kursi seperti majikan." Aduh, betapa tidak teganya melihat orang yang berpikir seperti ini terhadap dirinya sendiri. Dalam kesempatan lain saya pun sudah bertemu dengan banyak orang yang mengira bahwa masa lalu yang kelam membuat dirinya sangatlah rendah dan hina. Saya pernah kaget ketika ada seseorang yang berkata bahwa dirinya lebih rendah dari hewan sekalipun. Ini bukan saja tidak sehat bagi hidupnya sendiri, tetapi sebenarnya juga merupakan sebuah pengingkaran terhadap gambaran manusia dalam benak Tuhan ketika Dia menciptakan kita.
Dalam banyak hal bukan saja memaafkan yang sulit, tapi mengakui kesalahan dan meminta maaf ketika kita bersalah pun seringkali sama sulitnya. Apakah itu dalam hubungan antara orang tua dengan anak, sesama saudara, atasan dan bawahan, antar pasangan suami istri, antar teman dan lain-lain, ada banyak orang yang sulit untuk tetap dengan kerendahan hati meminta maaf jika melakukan kesalahan karena takut wibawanya hilang, malu, gengsi atau alasan-alasan lainnya. Padahal seringkali rasa bersalah itu terasa begitu menyiksa. Kita terus tertuduh, hidup tidak nyaman, tapi demi alasan-alasan tadi kita ternyata lebih suka hidup dengan berbagai perasaan yang tidak nyaman itu ketimbang segera minta maaf dan memperbaiki hubungan dengan orang yang telah kita sakiti. Sehebat-hebatnya kita melawan perasaan bersalah itu, hati kecil kita akan selalu menegur kita yang jika kita abaikan akan membuat kita menjadi gelisah. Belum lagi iblis akan dengan senang hati memanfaatkan itu sebagai celah untuk menyiksa kita. Jika dengan membereskan masalah dan berdamai dengan orang akan membuat hidup kembali damai, jika mengakui kesalahan dengan jujur bisa membuat hubungan yang terluka kembali pulih, mengapa kita harus malu dan gengsi untuk mengambil langkah itu? Bahkan Tuhan pun tidak pernah menganjurkan kita menjadi pribadi-pribadi yang tinggi hati, angkuh dan keras hati. Justru kita diminta untuk menjadi orang-orang yang penuh kasih, memiliki hati yang lembut, jujur dan berani mengakui kesalahan secara jantan.
Hari ini saya bertemu dengan seseorang yang bertanya apakah masih ada kesempatan bagi dirinya untuk selamat mengingat serangkaian dosa yang pernah ia perbuat rasanya sudah terlalu besar untuk diampuni. Masa lalunya memang cukup kelam dengan serangkaian catatan buruk, yang rasanya tidak etis apabila saya bagikan disini. "Dosa-dosaku sudah terlalu banyak, saya tidak akan pernah layak untuk diselamatkan... sepertinya semua sudah terlambat" katanya. Ia terus merasa sebagai terdakwa dan membayangkan pintu gerbang surga sudah tertutup rapat bagi dirinya tak peduli meski ia sudah menyesal dan ingin bertobat. Begitulah terkadang manusia sulit menangkap konsep pengampunan yang disediakan Tuhan pada manusia. Maka pertanyaan yang muncul dalam renungan hari ini mungkin menjadi pertanyaan banyak orang. Seberapa besar batas maksimal pengampunan dari Tuhan? Sampai titik mana Tuhan tidak lagi sanggup atau bersedia mengampuni? Jawaban untuk itu sebenarnya sudah berulang kali disebutkan di dalam Alkitab, dan salah satunya adalah lewat ayat bacaan yang saya ambil dari sebuah perikop dalam Lukas pasal 7.
Kekesalan terhadap seseorang adalah hal yang biasa kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali kekesalan yang awalnya sedikit lama-lama bisa menjadi semakin parah apabila terus dibiarkan berada dalam hidup kita. Sadar atau tidak, kekesalan yang berlarut-larut terhadap seseorang membuat bisa mengakibatkan kasih yang ada di dalam diri kita semakin compang camping. Hampir setiap hari kita berhadapan dengan orang-orang yang seakan sengaja ingin membuat kita marah. Jika itu terjadi, maka reaksi mengumpat, memaki bahkan mengutuk pun keluar dari diri kita. Bahkan dendam pun bisa timbul apabila kerugian yang kita alami terasa besar sekali. Berhadapan dengan situasi sulit, dengan orang-orang sulit akan membuat kita semakin sulit pula mengampuni. Ada yang dengan sadar tidak kita maafkan, ada pula yang secara tidak sengaja. Kita lupa bahwa mereka belum kita ampuni. Itu bisa saja terjadi. Jika kita tidak mempertebal kasih dalam diri kita dan tidak menyadari betapa besarnya kasih Tuhan kepada kita, maka akan semakin banyak orang-orang yang tidak kita ampuni, dan akibatnya bisa fatal, karena hal itu akan menghambat pengampunan Tuhan untuk turun atas diri kita.
Seseorang yang saya kenal sangat dekat baru saja bercerita tentang bagaimana akhirnya ia bisa melepaskan pengampunan. Sesuatu yang ia alami terhadap salah satu keluarga dekatnya membuat hatinya terluka hingga menyimpan dendam. Ia sadar bahwa kebencian itu bisa menimbulkan masalah dalam membangun hubungan dengan Tuhan, tetapi ia merasa tidak mampu menghilangkan rasa itu. Apa yang ia lakukan adalah menyampaikan perasaan apa adanya kepada Tuhan. "Tuhan, saya tahu bahwa rasa ini membuat doa-doa saya terhalang, tapi saya belum mampu melepaskan pengampunan..bantu saya untuk bisa mengampuninya.." demikian kira-kira bunyi doanya. Ternyata hanya dalam hitungan jam ia menjadi sanggup mengampuni orang tersebut dengan ikhlas. Ia merasa bebannya terangkat, hatinya menjadi lapang. Disaat kita tidak sanggup, Roh Kudus selalu bisa memampukan kita dalam melepaskan pengampunan. Apa yang penting adalah kerelaan kita dalam melakukan itu, karena ada banyak orang yang memilih untuk menyimpan dendam terhadap seseorang meski mereka tahu bahwa itu tidak baik bagi dirinya sendiri.