=====================
"Tetapi berkatalah Musa kepada bangsa itu: "Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya."
Sebuah film yang baru saya tonton menunjukkan adegan dimana tokoh utamanya berlari dari kejaran musuh dan kemudian berhadapan dengan tembok tebal dan tinggi. Ia terjebak di sana, tidak lagi bisa meneruskan pelariannya karena terhalang tembok, sementara mundur pun tidak bisa karena musuh tepat ada di belakangnya. Adegan ini tentu tidak asing lagi bagi kita para penggemar film karena sangat sering kita lihat. Saya pun berpikir bahwa kehidupan kita seringkali berhadapan dengan situasi yang sama. Bagi anda yang sudah pernah mengalami situasi dilematis, pasti tahu bagaimana rasanya. Ada kalanya kita menghadapi jalan yang terlihat buntu di depan sehingga kita tidak bisa maju, tetapi mau mundur pun juga tidak bisa. Mari kita ambil sebuah contoh sederhana. Misalnya anda bekerja di sebuah tempat yang rasanya tidak bersahabat buat anda. Pimpinan yang kasar, teman-teman sekerja yang menjengkelkan, atau gaji yang anda rasa tidak sebanding, tetapi mau keluar dan mencari kerja baru pun tidak mudah. Atau misalnya anda baru saja pindah rumah dan mendapati bahwa lingkungan tempat tinggal anda yang baru itu tidak kondusif. Mungkin tidak aman, atau mungkin juga anda mendapati orang-orang yang sulit disekitar anda sebagai tetangga. Situasi yang bisa membuat anda jengkel dan lelah karena kesal berkepanjangan, tetapi untuk pindah lagi pun bukan hal yang gampang. Situasi-situasi yang seperti "maju kena mundur kena" atau terjepit ini tidaklah mudah untuk dihadapi. Tetapi menarik jika melihat bahwa Alkitab pernah mengilustrasikan hal ini secara gamblang sekaligus memberitahukan jalan keluarnya. Bangsa Israel pada suatu ketika berhadapan dengan situasi seperti itu, yaitu dalam kisah Laut Teberau terbelah yang terkenal dalam Keluaran 14. Mereka baru saja keluar dari Mesir, tetapi ternyata Firaun tidak rela membiarkan mereka pergi begitu saja. (ay 5). Ia pun kemudian memimpin sendiri enam ratus kereta yang dikendarai prajurit-prajurinya (ay 7). Dalam pelarian mereka terbentur kondisi dimana laut Teberau terbentang di depan mereka. Sementara di belakang ratusan tentara Firaun siap melahap habis mereka semua. Ketakutan dan kepanikan kemudian membuat mereka menyalahkan Musa bahkan mengatakan bahwa lebih baik menjadi budak ketimbang berada dalam situasi terjepit seperti itu. "..mereka berkata kepada Musa: "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir? Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini." (ay 11-12). Apa jawaban Musa? "Tetapi berkatalah Musa kepada bangsa itu: "Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya.". (ay 13). Seperti apa yang tertulis pada ayat bacaan hari ini, Musa mengingatkan mereka akan 3 hal: Jangan takut, berdiri tetap, dan fokus kepada penyertaan Tuhan. Selanjutnya seperti yang kita ketahui, Laut Teberau terbelah sehingga mereka bisa berjalan di tengah-tengah laut di tempat kering. Air menjadi tembok buat mereka (ay 15 - 22). Selanjutnya ketika bala tentara Firaun mengejar hingga ke tengah laut, air pun kembali berbalik ke posisi semula dan menenggelamkan Firaun dan seluruh pasukannya. (ay 26-28). Mereka pun akhirnya selamat sampai ke seberang (ay 30). Kisah Laut Teberau yang fenomenal ini kemudian bisa kita temukan kembali dalam Mazmur 106:7-12 dan Nehemia 9:9-11.
Jangan takut, berdiri tetap dan fokus pada penyertaan Tuhan. Itu menjadi kunci utama agar kita bisa melepaskan diri dari situasi terjepit. Rasa takut tidak akan menolong, bahkan akan semakin melemahkan dan mempersulit keadaan. Berulang kali Firman Tuhan menyatakan "jangan takut" dalam sepanjang Alkitab, itu menunjukkan keperihatinan Tuhan akan sifat manusia yang gampang merasa takut, sekaligus menunjukkan kepedulianNya. Bersama Tuhan yang sangat mengasihi kita, begitu peduli dan berkuasa di atas segalanya, mengapa kita harus takut? Membiarkan rasa takut yang berkepanjangan cepat atau lambat akan membuat iman kita terkikis. Dengan iman yang terkikis kita bisa ambruk, tidak lagi kuat untuk berdiri. Dan lewat jawaban Musa hari ini kepada bangsa Israel yang tengah panik, kita pun mengetahui bahwa dalam menghadapi segala hal sulit, adalah penting bagi kita untuk bisa tetap berdiri dalam iman. Dan kemudian Musa pun mengingatkan agar berhenti fokus terhadap masalah dan mengarahkannya kepada kasih dan penyertaan Tuhan. Pada kisah Laut Teberau diatas kita melihat penyertaan Tuhan yang luar biasa untuk mengeluarkan bangsa Israel dari situasi terjepit. Tuhan kita adalah Allah yang penuh dengan kasih setia dan tidak akan pernah ingkar janji. "Haleluya! Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." (Mazmur 106:1).
Karena itu kita tidak perlu ragu. Tetaplah berdiri teguh dalam iman dalam situasi sesulit apapun. Mari kita jalani hidup walau seberat apapun dengan penyerahan diri dan pengharapan. Jangan takut, jagalah agar iman tetap kokoh dan percayalah pada Tuhan yang masih terus membuat mukjizat yang menyatakan kemuliaanNya hingga hari ini. Jika ada di antara teman-teman yang sedang mengalami situasi dilematis atau terjepit, serahkanlah semuanya ke tangan Tuhan. Sebagaimana Dia menyelamatkan bangsa Israel, demikian pula Dia mampu menyelamatkan kita dari situasi terjepit.
Situasi-situasi sulit adalah lahan subur bagi Tuhan untuk menyatakan kuasaNya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Anak yang berbakti kepada orang tua, jauh dari kejahatan, tahu sopan santun, hidup jujur sejak kecil, serius dalam bekerja dan takut akan Tuhan. Siapa yang tidak ingin mempunyai anak dengan karakter seperti ini? Semua orang tua, siapapun mereka tentu mendambakan anak yang bisa menjadi teladan bagi orang lain. Itulah sebabnya meski orang tuanya mungkin hanya lulusan sekolah tingkat rendah, mereka akan berusaha sedaya upaya mereka untuk menyekolahkan anak setinggi mungkin. Kalau perlu harta benda, sawah atau hewan ternak pun dijual demi masa depan anaknya. Ironisnya ada banyak orang tua yang berpikir bahwa sekolah setinggi mungkin adalah satu-satunya jawaban agar anaknya bisa menjadi orang sukses. Kekayaan secara materi seringkali dijadikan satu-satunya tujuan yang dianggap bisa membawa kebahagiaan. Dan yang juga tidak kalah ironis, ada banyak orang tua yang berpikir bahwa mereka tetap bisa berlaku seenaknya dan dalam waktu yang sama berharap anaknya bisa menjadi anak yang baik. Apa sebenarnya yang bisa membuat seorang anak tumbuh menjadi teladan dalam tingkah lakunya yang bersih?
Terus bergonta-ganti pekerjaan dilakukan oleh banyak orang, termasuk salah seorang yang tinggal tidak jauh dari rumah saya. Ketika sebagian orang kesulitan mencari satu pekerjaan saja, ia terus keluar masuk dari perusahaan yang satu ke yang lain. Ia juga mencoba membuka usaha, mulai dari fotokopi, berjualan pakaian, sepatu dan sebagainya, tetapi lucunya lagi tidak satupun yang bisa membuatnya betah. Seorang teman lainnya juga sama. Ia sudah mempunyai satu anak, sudah menjadi dosen yang mapan, lalu menjadi wartawan juga, tetapi kemudian ia meninggalkan semua itu untuk kembali bersekolah di negara yang rasanya jarang menjadi destinasi banyak pelajar, meninggalkan anak dan karirnya, justru di usianya yang sudah paruh baya. Mengapa mereka demikian? Jawaban keduanya sama: mereka tidak merasa bahagia dengan pekerjaannya. Sementara pengukur bahagia berbeda-beda bagi setiap orang, merekapun memiliki alasan beragam atas ketidak-bahagiaannya. Pendapatannya tidak cukup seperti harapan, bosan, merasa tidak berkembang dan lain-lain, itu bisa menjadi alasan bagi orang untuk tidak bahagia terhadap karir atau usahanya. Sebagian lagi mungkin beranggapan bahwa pekerjaannya terlalu rendah, kurang bonafit atau malah merasa salah profesi. Saya tersenyum melihat seorang tukang bangunan yang bekerja hanya beberapa langkah dari rumah saya. Ia terus tersenyum dalam bekerja, ia sangat ramah dan bersahabat, dan sangat ringan tangan dalam membantu. Apa yang ia katakan pada suatu kali menunjukkan perbedaan pola pikir dan pandangan dari kedua teman saya tadi. "Saya memang cuma tukang bangunan pak, tetapi saya menikmati pekerjaan saya. Badan kotor, tangan kotor, tetapi rumah yang berdiri ini akan menjadi sebuah hasil karya saya yang tetap akan bisa saya banggakan kelak." katanya sambil terus tersenyum. Bagi saya itu mengagumkan, terutama ketika hari-hari ini semakin banyak orang yang sulit untuk bersyukur dan senang terhadap pekerjaannya.
Semakin lama orang semakin sulit untuk tertawa. "Mau bagaimana bisa tertawa, kalau hidup sulitnya minta ampun begini?" keluh tetangga saya pada suatu kali sambil menarik nafas. "Jangankan tertawa, bernafas saja sudah berat.." lanjutnya lagi. Tertawa bisa keluar jika kita gembira. Tidak ada orang yang tertawa riand dikala bersedih atau murung bukan? Berbagai penelitian medis sejak lama menyatakan bahwa tertawa itu sehat. Tertawa bisa menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Sebaliknya orang sehat pun lama-lama bisa jatuh sakit jika tidak lagi ada kebahagiaan dan kegembiraan dalam hidupnya. Ada pula penelitian yang menyimpulkan bahwa tertawa bisa memperpanjang usia. Tidak satupun penelitian yang menyimpulkan sebaliknya bahwa tertawa itu berbahaya bagi kesehatan. Kita paham itu, akan tetapi kita seringkali tidak mampu untuk mengatasi berbagai perasaan negatif yang bercokol di dalam kita. It seems impossible for us to overcome it. Ketakutan, kekhawatiran, kekecewaan, kesedihan, penderitaan dan sebagainya, itu akan setiap saat sanggup merampas sukacita dari hidup kita dan dengan sendirinya menahan senyum atau tawa untuk terlukis di wajah kita. Ujung-ujung bibir kita bagaikan digantung benda berat sehingga melengkung ke bawah, tidak bisa lagi ditarik ke atas untuk memunculkan senyum.
Pada suatu kali saya pernah membuang sebuah program yang rasanya tidak lagi saya perlukan dari komputer. Ternyata dalam proses uninstall itu ada sebuah driver penting di dalam komputer saya yang ikut lenyap terbuang bersama program itu. Akibatnya komputer saya pun tidak lagi berfungsi secara normal. Untunglah ada fasilitas restore dalam Windows yang memungkinkan saya untuk mengembalikan settingan komputer seperti keadaan terakhir yang sudah dibackup. Beberapa data terbaru hilang, tetapi setidaknya komputer kembali berjalan dengan lancar. Tidak pernah ada kata aman dalam berselancar di dunia maya dan menggunakan perangkat komputer. Setiap saat ada saja kejadian dimana kita berharap kita bisa kembali ke waktu lampau ketika komputer kita masih berjalan normal. Entah itu virus, spyware atau kesalahan-kesalahan teknis yang mengakibatkan terjadinya system crash pada software kita. Fasilitas restore terbukti sungguh membantu dalam mengatasi situasi-situasi seperti itu. Saya berpikir, alangkah baiknya apabila dalam hidup kita pun tersedia sistem restore seperti ini. Jika kita membuat kesalahan, maka kita cukup kembali kepada masa lalu sebelum kesalahan itu terjadi, turn back the clock and go back to the state when everything was still fine. Seperti halnya perangkat komputer, dalam menjalani kehidupan pun ada kalanya kita mengalami "System crash" akibat satu dan lain hal. Kita tidak bisa mengulang waktu. Sesuatu yang sudah terjadi tidak bisa diulang lagi dengan memundurkan waktu. Dalam hidup ini, kita bisa saja sekali waktu terus menerus dihajar berbagai problema kehidupan. Terkadang begitu intens, silih berganti bahkan diserang kiri kanan sekaligus, sehingga kita pun memerlukan restore sebelum terlanjur ambruk berantakan. Tetapi benarkah kita tidak bisa mengalami restore? Ternyata Alkitab berkata bisa. Tuhan pun ternyata memberikan sebuah restorasi atau pemulihan yang menunjukkan bahwa Dia mengerti benar betapa tidak sempurnanya kita sebagai manusia.
Seberapa penting faktor keberuntungan dalam hidup kita? Dalam banyak hal, faktor keberuntungan memang bisa membawa perbedaan nyata. Keberuntungan itu datang pada saat yang tidak disangka-sangka dan tidak terduga. Tidak terprediksi dan tidak direcanakan. Menang undian, door prize, lucky draw, misalnya, itu kita sebut dengan keberuntungan. Bisa masuk ke perguruan tinggi padahal waktu ujian rasanya kurang yakin, itu kita sebut juga dengan keberuntungan. Seorang teman bahkan pernah berkata bahwa mendapatkan pasangan yang cantik itu sebagai sebuah keberuntungan, karena ia merasa dirinya seharusnya tidak mungkin bisa mendapatkan jodoh yang cantik seperti itu. Seorang striker bisa menjebol gawang setelah melewati beberapa pemain bertahan dari tengah lapangan dalam pertandingan sepak bola. Orang capai-capai menabung untuk membeli sesuatu, tahu-tahu kita bisa memperolehnya lebih dahulu. Itu pun kita sebut keberuntungan. The luck factor atau faktor keberuntungan setiap orang pun seringkali kita anggap berbeda-beda. Ada yang selalu, ada yang sering, ada yang jarang malah ada yang merasa bahwa ia justru sebaliknya, sial melulu. Orang biasa menganggap bahwa keberuntungan itu adalah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, tetapi ternyata Alkitab mengatakan bahwa keberuntungan pun datangnya dari Tuhan. Bagi kita sebuah keberuntungan bisa jadi mengejutkan, tapi itu tetap saja tidak akan pernah terjadi tanpa sepengetahuan Tuhan.
Pada suatu kali saya bertanya kepada seorang teman yang memasang tulisan "Dimohon jangan parkir di depan pagar" di gerbang pagarnya. Apa yang saya tanyakan bukanlah mengapa ia harus menulis itu, karena jelas itu artinya ia sering terhambat keluar masuk akibat ada kendaraan yang parkir menutupi gerbangnya. Tetapi saya menanyakan mengapa ia memilih untuk memakai kata "dimohon" ketimbang "dilarang" yang terdengar lebih tegas. Sambil tertawa ia berkata bahwa kebanyakan dari kita sangat sensitif dan gampang tersinggung meski kesalahan ada dipihak kita sendiri. Orang jauh lebih menuruti sesuatu yang terdengar sebagai permohonan ketimbang yang bersifat teguran atau aturan. "Bukankah peraturan dibuat untuk dilanggar bagi banyak orang?" katanya sambil tersenyum. Apa yang ia katakan memang menggambarkan sifat kebanyakan manusia. Semakin lama kita semakin mudah tersinggung bahkan terhadap teguran-teguran kecil. Kalaupun kita salah, kita tetap tidak terima ditegur dan tetap akan marah dan merasa terhina. People tend to be more sensitive. Tidak saja dalam menghadapi teguran sesama manusia seperti pimpinan kita, abang/kakak atau orang tua, tetapi termasuk pula dalam menghadapi teguran Tuhan. Inginnya kita bisa bebas berbuat apapun tanpa teguran, dan kita terbiasa untuk menganggap teguran sebagai sesuatu yang membatasi kesenangan kita, menyinggung harga diri kita tanpa melihat dahulu alasannya. Sudah salah, malah semakin bandel ketika ditegur.
Semakin tinggi teknologi bukan membuat orang semakin sabar, tetapi malah semakin sibuk bekejar-kejaran dengan waktu. Segala sesuatu yang dibuat serba instan bisa menjadi bukti nyata bagaimana fenomena ini semakin bertambah subur di dalam kehidupan manusia modern. Kopi instan, mi instan, makanan-makanan cepat saji dan sebagainya, itu membuktikan bahwa manusia semakin tidak peduli terhadap proses dalam menghasilkan sesuatu melainkan hanya ingin hasil akhirnya. Semuanya ingin serba instan, dalam hal kerohanian pun sama. Memang dalam beberapa hal itu akan sangat membantu kita. Misalnya dengan kemudahan mengakses Alkitab lewat telepon genggam atau secara online di laptop atau netbook, tentu hal seperti itu bisa mempermudah kita dalam membaca Firman Tuhan. Tetapi tidak selamanya sesuatu yang instan itu baik. Tuhan berbicara mengenai proses dalam begitu banyak ayat baik dalam Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, itu menunjukkan betapa pentingnya sebuah proses dalam pertumbuhan dan pendewasaan diri di mata Tuhan. Kita pun mengalami hal seperti itu bukan? Tidak ada bayi instan yang langsung menjadi dewasa secara instan pula. Bayi bertumbuh dari janin di dalam kandungan selama 9 bulan, lalu masa pertumbuhan pun berjalan tahunan. Balita, remaja, dewasa, itu makan waktu yang sangat lama. Begitu pula kedewasaan spiritual atau rohani kita. Meski Tuhan mengatakan bahwa dengan menerima Kristus kita menjadi ciptaan baru, tetapi kita tetap harus berproses setiap hari untuk bisa menjadi orang-orang dengan tingkat kerohanian dewasa. Ibrani 5:11-14 menggambarkan proses pertumbuhan secara spiritual ini, yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang percaya termasuk saya dan anda. Tetapi keenganan manusia untuk berproses dan lebih mementingkan hasil akhir bisa merusak segalanya.
Seorang teman saya bercerita bahwa anaknya baru saja teriris pisau. Untung saja cuma sedikit sehingga tidak ada masalah serius yang terjadi. Ia sudah berkali-kali mengingatkan anaknya agar tidak menyentuh benda-benda tajam tanpa pengawasannya, tetapi si anak ternyata bandel. Ia bermain-main dengan pisau di dapur, dan akibatnya kecelakaan pun terjadi. Seraya merawat jari anaknya yang teriris, ia pun menasihati anaknya kembali agar tidak membangkang dari peringatan yang sudah berulang kali diberikan. Anak-anak memang sepertinya biasa bandel, dan tidak jarang kebandelan mereka ini mendatangkan masalah mulai dari yang biasa hingga yang serius. Tetapi ada banyak pula orang dewasa yang masih saja berlaku seperti anak-anak dalam hal ketaatan. Dan akibatnya pun sama. Kebandelan atau pembangkangan tidak akan pernah membawa manfaat positif, malah sebaliknya bisa menjerumuskan, mencelakakan bahkan membinasakan.
Tadi saya berkunjung ke rumah seorang teman yang lokasinya ada di dalam sebuah jalan yang lumayan sempit. Setelah selesai berkunjung karena repot untuk memutar mobil saya mencoba lurus saja, siapa tahu ada jalan keluar lagi di ujung sana. Ternyata perkiraan saya salah. Di ujung jalan ternyata buntu, sehingga mau tidak mau saya harus memutar balik untuk pulang. Di jalan saya pun berpikir betapa dalam hidup ini kita sekali waktu bisa bertemu dengan dead end atau jalan buntu yang terlihat seperti akhir dari segala-galanya. Vonis dokter terhadap penyakit, sebuah pilihan salah yang sepertinya sudah terlambat untuk diperbaiki, keputusan-keputusan yang membawa konsekuensi fatal dan sebagainya. Semua itu bisa terlihat bagaikan jalan buntu yang tidak lagi punya jawaban atau solusi. Situasi seperti itu bisa terlihat sebagai akhir dari segalanya, the end of the line. Tapi seberapa besar kita sadar bahwa kita masih punya Tuhan yang mampu menjungkir balikkan logika manusia dengan mukjizatNya yang ajaib?
Seperti apa figur ayah yang sayang kepada anaknya? Ada banyak anak yang menganggap bahwa ayah yang baik adalah ayah yang selalu menuruti kemauan mereka, tidak pernah memarahi apalagi menghukum. Ini adalah persepsi yang keliru, karena ada saat-saat ketika si anak bersalah dan ia harus dihukum agar bisa belajar dari kesalahannya. Menuruti segala-galanya secara buta sama sekali tidak mendidik dan hanya akan merusak masa depan si anak dalam banyak hal. Baik kepribadiannya, pola pikirnya, kemandirian bahkan kesehatannya. Ambil contoh jika seorang anak sangat suka permen yang manis rasanya. Anak-anak tidak tahu bahwa permen yang dikonsumsi terlalu banyak bisa merusak gigi dan kesehatan mereka. Bayangkan jika orang tuanya menuruti terus setiap mereka minta permen, apa yang akan terjadi? Tugas orang tua selain mencukupi kebutuhan anak-anaknya juga untuk mendidik, menasihati dan memberitahukan atau menjelaskan apa yang baik dan mana yang buruk. Ada kalanya pula orang tua harus memberi hukuman, dan itupun wajar sepanjang dilakukan dengan batas tertentu, tidak menyakiti anak secara fisik apalagi meninggalkan bekas luka, dan didasari oleh kasih.
Adakah sesuatu yang mustahil bagi Tuhan? Kita mungkin akan serentak menjawab tidak. Tapi sejauh mana hal itu bisa kita imani dan aplikasikan dalam hidup, itu soal lain. Kenyataannya ada banyak dari anak-anak Tuhan yang cepat putus asa ketika berhadapan dengan kesulitan, apalagi jika logika mengatakan sesuatu itu tidak lagi mungkin. Vonis dokter, usaha yang merosot drastis, kebangkrutan yang ada di depan mata, keluarga yang berantakan dan lain-lain, ada banyak situasi yang kita alami setiap harinya yang bisa setiap saat membuat kita kehilangan arah, gairah hidup maupun harapan. Dalam keadaan demikian seringkali kita melupakan Tuhan dengan kuasaNya yang berada di atas segala-galanya. Saya sudah bertemu dengan begitu banyak orang yang tidak lagi mau bangkit karena merasa masa depan mereka sudah habis. Alkitab telah berulang kali mengingatkan agar kita jangan pernah kehilangan harapan, mengingatkan bagaimana Tuhan melakukan berbagai mukjizat yang bagi logika manusia tidak bisa terukur, dan itu ada banyak sekali dicatat disana, baik lewat Firman Tuhan secara langsung maupun contoh-contoh dari pengalaman para tokoh di dalamnya. Bahkan hingga hari ini, masih ada begitu banyak orang yang mengalami langsung jamahan Tuhan dan menerima mukjizat-mukjizatNya yang bagi kita terasa mustahil. Saya sendiri berulang kali sudah mengalaminya seperti beberapa kesaksian yang pernah saya tulis sebelumnya. Yang pasti Tuhan bisa melakukan apapun, yang paling mustahil sekalipun, lewat banyak cara yang ajaib. 
Ada satu pengalaman saya dalam meliput sebuah event yang terasa sangat mengesalkan tetapi sekaligus lucu untuk diingat. Pada waktu itu panitia ternyata tidak menyediakan ruang pers dimana saya dan rekan-rekan kerja bisa duduk menulis liputan. Bahkan mencari colokan kabel untuk laptop pun susahnya bukan main. Setelah berkeliling di seputaran lokasi yang sangat luas, akhirnya kami pun menemukan sebuah pos satpam yang masih ditutupi seng. Disana ada colokan yang ada aliran listriknya. Maka disanalah kami kemudian bermarkas sepanjang acara, dengan kondisi tidak bisa melihat apa-apa karena sekelilingnya tertutup seng. Lebih dari 12 jam kami berada disana tanpa melihat apapun selain selembar seng tepat di depan mata kami. Beberapa kali saya dan rekan-rekan tertawa jika mengingat kejadian itu. Acara tepat ada di depan mata, suara jelas terdengar, tetapi kami tidak bisa melihat apapun karena pandangan kami terhalang oleh selembar seng tipis saja.
Manusia semakin lama semakin melupakan keramahan, toleransi dan kepedulian. Seorang kakek lanjut usia pernah bercerita kepada saya bagaimana ia menyaksikan sendiri degradasi moral semakin parah dari masa ke masa. Dahulu orang saling sapa ketika berpapasan meski tidak saling kenal, sekarang orang menjadi egois dan tidak peduli lagi terhadap orang lain. Jalan raya mungkin bisa menjadi saksi bisu dari hal ini, dimana orang berkendara tanpa peduli sekelilingnya. Mereka terus menyalip, memotong seenaknya, saling serobot tanpa mempedulikan sesama pengguna jalan. Biar saja, terserah saya, yang penting saya cepat sampai di tujuan. Itulah yang terjadi hari ini. Semakin sulitnya dunia membuat manusia bertambah sibuk pula. Kerja, kerja dan kerja. Berkejar-kejaran dengan waktu hingga lupa kepada hal-hal lainnya. Keluarga diabaikan, teman-teman tidak lagi penting, dan yang paling mengenaskan, waktu-waktu bersama Tuhan pun dilupakan, atau setidaknya dinomor duakan. Tuhan hanya dijumpai jika ada waktu, kalau lagi sibuk nanti saja kapan-kapan. Tuhan bukan lagi yang utama melainkan melorot ke posisi kesekian dalam daftar prioritas manusia. Beribadah ke gereja? Itu dianggap membuang-buang waktu yang seharusnya bisa dipergunakan untuk mengejar pekerjaan. Ironisnya, ketika masalah melanda, Tuhan pula yang kemudian dipersalahkan. Kita terus berusaha meningkatkan taraf hidup kita tanpa melibatkan Tuhan lagi.