====================
"Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku."
Pernahkah anda tersesat di sebuah jalan gelap di malam hari? Saya pernah mengalaminya di sebuah tempat yang sama sekali masih asing bagi saya. Tidak ada penerangan apapun, karena di kiri kanan saya hanyalah pohon-pohon tinggi seperti sebuah hutan. Jalan yang bisa dilalui mobil pun begitu sempit, sehingga keadaan cukup menyeramkan untuk dilewati pada saat itu. Apa yang bisa diandalkan hanyalah penerangan dari lampu mobil yang tidak cukup jauh untuk bisa menyinari jalan keluar. Artinya, pada saat itu saya belum melihat kemana akhir dari jalan itu, apakah saya akan kembali ke jalan utama untuk menuju ke tempat tujuan atau sebaliknya semakin jauh tersesat. Pada waktu itu belum ada teknologi GPS (Global Positioning System) yang bisa menjadi penunjuk arah, sehingga suasananya membuat saya sempat takut. Satu-satunya andalan, sekali lagi, hanyalah lampu mobil yang sinarnya terbatas. Minimal saya masih bisa melihat jalan dan tidak menabrak pohon atau lainnya. Daripada berhenti, saya lebih baik terus melaju dan percaya kepada penerangan lampu mobil yang terbatas itu. Setidaknya lampu mobil itu bisa menerangi saya untuk terus maju. Pada akhirnya saya kembali ke jalan utama dan selamat sampai ke tujuan tanpa kurang suatu apapun. Hari ini saya mengingat kembali pengalaman menegangkan itu, dan berpikir bahwa hidup pun seringkali penuh ketidakpastian, bahkan ada kalanya situasi terlihat begitu gelap sehingga kita bisa merasa khawatir atau takut menatap kemungkinan yang akan terjadi esok hari. Kemampuan kita yang sangat terbatas membuat kita tidak bisa melihat apa yang terjadi di masa depan. Kita hanya bisa memilih untuk terus berjalan atau sebaliknya berhenti bahkan mundur. Betapa seringnya ketidakpastian membuat kita hidup dalam ketakutan dan berpikir bahwa itulah akhir dari segala-galanya, apalagi jika apa yang kita hadapi terlihat begitu gelap tanpa seberkas cahaya sedikitpun di ujung sana. Tetapi lihatlah apa yang dikatakan Pemazmur. "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105). Your word is a lamp to my feet and a light to my path, demikian bunyi dalam bahasa Inggrisnya. Pemazmur tahu bagaimana kegelapan akan masa depan itu sanggup membuat kita hidup penuh kekhawatiran. Ia tahu bahwa kemampuan kita dalam membaca masa depan sungguh sangat terbatas. Oleh karena itulah, seperti halnya pengalaman saya mengemudi dalam kegelapan malam di tengah hutan dengan pertolongan lampu mobil saja, Tuhan pun menjanjikan pelita dan terang agar kita mampu terus melangkah setahap demi setahap dalam kegelapan itu untuk bisa mencapai tujuan. FirmanNya, itulah yang akan mampu membimbing setiap langkah kita, bertindak bagai pelita bercahaya untuk menerangi setiap langkah agar kita bisa tiba pada sebuah kemenangan seperti yang dikehendaki Tuhan bagi kita. Jika demikian, bayangkan apabila kita mengabaikan untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan setiap hari. Bayangkan jika kita tidak mengetahui apa-apa tentang janji Tuhan dan peringatan-peringatanNya, maka tidak akan ada pelita apapun yang menuntun kita dalam melalui kegelapan yang panjang.
Apa yang direncanakan Tuhan kepada kita semua sesungguhnya jelas. Tuhan mengatakan "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Apa yang disediakan Tuhan di depan sana adalah rancangan damai sejahtera dan bukan kecelakaan, dan Dia sudah mencanangkan hari depan yang penuh harapan sejak semula bagi kita. Artinya, segelap apapun situasi yang kita hadapi hari ini, ada sesuatu yang bersinar terang di depan sana, sebuah hari depan yang sangat menjanjikan. Tuhan juga sudah menegaskan "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b). Pemazmur juga pernah merasakan bagaimana berjalan dalam gelap, namun ia merasakan kehadiran Tuhan dalam membimbing langkahnya setapak demi setapak untuk keluar dari situasi itu. "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:4). Jika Pemazmur tahu akan hal itu dan bisa berjalan dalam langkah imannya dengan keberanian dan keyakinan, kita pun harus bisa seperti itu. Sebab Tuhan tidak pernah berubah, Dia tetap sama dahulu, sekarang dan sampai selamanya. Janjinya teguh, Dia adalah Allah yang setia yang tidak akan pernah ingkar janji.
Alkitab juga mengingatkan kita agar tidak putus asa ketika terjatuh dalam situasi yang sukar. Yakobus mengatakan: "sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun." (Yakobus 1:3-4). Perhatikan bahwa Tuhan sudah menjanjikan bahwa meski kita jatuh dalam berbagai-bagai pencobaan seperti yang disebutkan dalam ayat 2, pencobaan-pencobaan itu bukanlah untuk membuat kita hancur melainkan malah akan memberi manfaat positif bagi diri kita. They are all there to make us even better, not bitter.
Jika ada diantara teman-teman yang sedang merasakan seperti mengemudi dalam kegelapan, ingatlah bahwa Tuhan sudah menyediakan pelita agar anda bisa terus berjalan selangkah demi selangkah untuk menggenapi rencanaNya. Firman Tuhan akan selalu menerangi setiap langkah yang anda ambil agar bisa terus berjalan mencapai tujuan. Meski anda belum melihat titik akhirnya dan masih merasa segala sesuatunya gelap, jangan khawatir dan jangan pernah kehilangan harapan. Anda tidak akan pernah terjerembab jika anda terus berjalan dengan pelita yang berasal dari Firman Tuhan.
Tuhan menyediakan pelita lewat FirmanNya untuk terus menuntun kita setahap demi setahap
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sebuah email forward-an saya terima hari ini berisikan sebuah kisah yang menarik. Ceritanya mengenai pengalaman seorang pendeta yang baru saja pindah ke negara bagian lain di Amerika. Beberapa minggu setelah ia tiba disana, pada suatu hari ia naik ke sebuah bus untuk menuju suatu tempat agak ke luar kota. Ketika ia duduk, ia menyadari bahwa ternyata uang kembalian yang diberikan supir berlebih 25 sen. Ia kemudian mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan. Hatinya berkata, "saya harus mengembalikan uang 25 sen ini." Tetapi kemudian pikirannya berkata, "ah lupakan saja, kan cuma 25 sen saja..mengapa harus repot dengan jumlah sekecil itu?" Uang pecahan sekecil itu toh tidak akan merugikan supir dan pengusaha pemilik bus. Ia terus berpikir sepanjang perjalanan. "Mungkin saya sebaiknya menerima saja sebagai sebuah "hadiah kecil dari Tuhan" dan mendiamkan saja pura-pura tidak tahu. Ketika ia sampai di tempat tujuan ia pun berdiri sejenak di pintu, lalu mengembalikan uang pecahan itu kepada supir sambil berkata, "anda tadi kelebihan memberi kembalian." Dan si supir kemudian tersenyum dan berkata: "anda kan pendeta baru di kota ini?" Si pendeta pun terkejut seraya mengiyakan. Lalu supir itu melanjutkan, "saya sedang mencari tempat yang tepat untuk menyembah Tuhan. Saya tadi ingin mencoba anda, apa yang akan anda lakukan jika mendapat kembalian lebih dari yang seharusnya. Baiklah kalau begitu, sampai ketemu hari Minggu." ucap sang supir sambil tersenyum. Pendeta itu pun kemudian tertegun dan berkata, "Ya Tuhan, saya hampir saja menjual AnakMu hanya untuk 25 sen." Ia bersyukur sudah mengambil keputusan yang tepat, meski uang itu sangatlah kecil nilainya dan tidak akan merugikan siapapun. 
Semakin tinggi teknologi, semakin canggih pula robot yang berhasil dibuat. Ada robot yang saat ini bisa membuat pancake, ada yang bisa menari dengan luwes, bahkan menyanyi bersama manusia. Di Jepang ada robot yang tidak lagi berbentuk seperti rangkaian besi bermesin, tetapi sudah bisa tampil seperti android feminin. Robot Actroid F namanya, bukanlah robot yang dibuat untuk berjalan seperti kebanyakan robot sebelumnya. Tetapi kelebihannya ada pada mimik muka yang sangat realistis dan sepintas akan terlihat seperti manusia sungguhan. Secanggih apapun sebuah robot, hingga hari ini robot hanyalah berfungsi sesuai program sebagaimana ia dibuat. Robot tidak memiliki keinginan sendiri, apalagi harapan atau impian. Itu perbedaan besar antara manusia dengan robot. Tetapi ada banyak manusia yang lupa terhadap hal ini dan hidup seperti robot. Bekerja, bekerja dan bekerja, seperti terprogram tanpa harapan apa-apa. Mereka hanya melakukan rutinitas seperti halnya sebuah robot. Ada beberapa orang yang saya kenal hidup seperti ini, dan rata-rata kehilangan gairah hidup. Air mukanya tidak lagi cerah, tidak ada kegembiraan. Mereka bukan lagi orang yang saya kenal sebelumnya. Jika ini yang terjadi, maka itu tanda bahwa ia kehilangan jatidirinya sebagai manusia, dan hidup selayaknya robot terprogram.
Ada sebuah petuah penting yang selalu diajarkan oleh ayah saya berulang-ulang sejak saya kecil bahkan sampai saat ini. Dia selalu berkata, apa pun keadaannya, jalani dan lakukan semua dengan hati lapang. Waktu kecil saya tidak begitu memahami apa yang ia katakan. Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai menemukan bahwa yang ia katakan ternyata begitu tinggi nilainya. Ada kalanya dalam bekerja kita tidak selalu memperoleh hasil sesuai dengan yang kita inginkan. Rasanya tidak sebanding dengan usaha, tenaga, pikiran yang kita keluarkan. Disaat demikian kita bisa cepat menjadi lelah, putus asa, kehilangan semangat dan itu akan berakibat pada hasil pekerjaan atau performa kita yang menurun. Semua orang ingin sukses, semua orang ingin berhasil. Apa yang anda anggap penting untuk mencapai sukses? Kenyataannya ada banyak orang mengantungkan dirinya pada hal-hal material untuk mencapai sebuah kesuksesan. Mereka akan langsung menyerah karena merasa bahwa apa yang mereka miliki belumlah cukup untuk bisa menghasilkan sesuatu. Mau buka usaha butuh modal, mau melamar butuh uang dan butuh "backing" dari orang dalam dan sebagainya. Saya tahu bahwa fakta nyata di dunia memang seperti itu, dan ada kalanya kita tidak bisa menghindarinya. Namun jangan lupa bahwa di atas segalanya ada Tuhan yang bisa memakai hal yang paling kecil sekalipun untuk menjadikan sesuatu yang luar biasa. Kita tidak akan pernah bisa mengukur kemampuan Tuhan yang sanggup mengatasi segalanya. Dan sayangnya, jarang sekali hati kita di set untuk menyadari hal itu. Kita terus bergantung pada keadaan dan keterbatasan kita, segala yang kita miliki di dunia ini, dan menganggap hal itu sebagai satu-satunya yang bisa membuat kita sukses. 
Pola, gaya dan tingkah manusia begitu banyak ragamnya. Ada yang langsung "nyetel" dengan kita, yang "chemistry" nya pas, ada pula yang sulit untuk dekat dengan kita karena berbagai hal. Bisa jadi sifatnya berbeda, atau hobinya, kebiasaan, cara bicara, dan sebagainya. Kita pun bersinggungan dengan begitu banyak orang yang berbeda-beda ini setiap hari. Ada yang kita suka, ada yang kurang cocok, ada pula yang sebisa mungkin dihindari. Seorang Pendeta pernah berkata "tidak ada orang yang sulit. Semua itu tergantung kemampuan dan kerelaan kita untuk mengenal atau mengerti mereka lebih jauh." katanya. Ia mengatakan itu bukan hanya sebatas omongan saja, melainkan berdasarkan pengalamannya melayani selama puluhan tahun sejak masa mudanya. Apa yang ia katakan mungkin benar, apalagi itu memang menjadi kesimpulan dari pengalaman hidupnya sendiri. Tetapi tidak bisa kita pungkiri bahwa untuk bisa berpikir atau bertindak seperti Bapak Pendeta itu bukan main sulitnya. Hati hamba, katanya, itulah yang harus kita miliki. Sebuah hati yang tidak mementingkan diri sendiri, berorientasi untuk melayani dan melakukannya atas dasar kasih. 
"Maaf, bapak sedang sibuk." Kalimat ini sering terdengar dari sekretaris orang-orang penting. Entah memang mereka sedang sibuk atau hanya tidak ingin diganggu, tapi sang sekretaris akan selalu siap dengan kalimat ini untuk membangun tembok tebal antara orang yang menghubungi dan atasan mereka. Tidak usah orang penting, kita pun sering berkata hal yang sama. Ada kalanya disaat kita sedang lelah dan tidak ingin diganggu siapapun kita pun mengeluarkan kata-kata mirip seperti itu. Ada yang memang benar-benar sedang sibuk, ada pula yang hanya memakainya sebagai alasan. Kita bisa memilih dan memilah kepada siapa kita berkenan untuk bertemu, berbicara atau menanggapi dan sebaliknya menolak orang-orang yang tidak kita kehendaki untuk berhubungan dengan kita. 
Perpecahan di kalangan keluarga bisa bermacam-macam penyebabnya, tetapi yang biasanya menjadi sumber sengketa terbesar adalah masalah harta. Ada begitu banyak pertikaian antar saudara kandung sendiri hanya karena ribut soal pembagian warisan. Belum lama ini saudara-saudara ayah saya sendiri ribut karena ada yang merasa pembagian untuknya tidak adil. Ada yang tiba-tiba merasa masih dihutangi, sementara pihak lainnya merasa tidak punya hutang apa-apa. Maka keributan pun tidak bisa dihindari. Ini punyaku, bukan punyamu. Itulah sepertinya yang ada di benak orang-orang yang terus menghamba kepada harta. Sedikit saja melihat kesempatan mata mereka pun menjadi silau dan ingin meraup semuanya tanpa peduli soal saudaranya sendiri. Sebuah keluarga ternama di sebuah kota di Sumatra pun pernah sampai saling bunuh-bunuhan hanya karena pembagian harta warisan ini. Harta seringkali menjadi penyebab retak atau pecahnya sebuah keluarga besar. Betapa ironis ketika sebuah warisan yang ditinggalkan seharusnya bermanfaat dan menjadi perekat keluarga untuk mengenang orang tua yang meninggal dunia tetapi malah menjadi sumber pertikaian yang tidak jarang sampai berujung maut.
Sudah capai-capai kerja tetapi tidak ada yang menghargai. Bahkan mungkin malah kritik yang didapat. Ada kalanya kita mengalami hal seperti itu yang tentu saja tidak mengenakkan sama sekali. Manusia biasanya membutuhkan apresiasi dari orang lain sebagai hasil dari kerja kerasnya. Dari sana mereka bisa merasa dihargai sehingga tidak merasa sia-sia dalam mengerjakan sesuatu, ada pula yang menjadikannya tolok ukur untuk mengetahui sampai sejauh mana usaha mereka menghasilkan sesuatu. Tidaklah heran apabila ketika semua itu tidak diperoleh, banyak orang menjadi bersungut-sungut, merasa kecewa atau bisa saja merasa kapok dan tidak lagi mau melanjutkan usahanya. "Buat apa, toh tidak ada yang melihat dan menghargai.." itu bisa menjadi jawaban sebagai ungkapan kekecewaan dari orang yang merasa tidak mendapat imbalan atau apresiasi atas usaha mereka. 
Ketika kecil ibu saya selalu mengingatkan saya agar tidak menggaruk bekas gigitan nyamuk. Pada waktu itu saya tidak mengerti betul-betul mengapa saya tidak boleh menggaruknya. Bukankah kalau gatal yang paling enak itu digaruk? Maka diam-diam pun saya terus menggaruk tanpa sepengetahuan ibu saya. Yang terjadi adalah bekas-bekas hitam yang ternyata membutuhkan waktu lama untuk hilang. Jika mengikuti keinginan kita, tentu kita ingin menggaruk terus ketika merasa gatal. Bahkan tidak jarang kita kebablasan dalam menggaruk hingga luka. Tapi lihatlah bahwa seandainya tidak luka pun bekas-bekasnya bisa lama hilang, belum lagi jika infeksi karena luka. Setelah itu saya mengerti bahwa apa yang diingatkan ibu saya itu ternyata benar, untuk kebaikan saya. Itu saya ingat terus hingga hari ini, sehingga jika digigit nyamuk saya langsung mengoleskan balsam atau setidaknya mencucinya agar rasa gatalnya mereda.
Bersahabat atau tidakkah dunia ini bagi anda? Tanyakan kepada banyak orang, maka jawaban akan beragam. Ada yang menganggap ya, ada yang kadang-kadang, mungkin, tidak tahu atau akan menjawab sama sekali tidak. Ada banyak pula orang yang akan menyerahkan jawabannya tergantung situasi yang sedang mereka hadapi dari hari ke hari. Kadang bersahabat, kadang bermusuhan. Mereka mengira bahwa baik tidaknya perjalanan hidup ini hanyalah tergantung dari kehidupan yang mereka jalani. Biasanya orang yang berpikir seperti ini akan sangat mudah menyalahkan keadaan atau hal-hal lainnya, seperti orang lain, diri sendiri bahkan Tuhan. Kekecewaan akan timbul, mungkin pula berujung kepada trauma atau kepahitan, dan mereka pun bisa berhenti berjuang. Saya mengenal beberapa orang dengan pola pemikiran seperti ini. Bahkan saya sendiri pun dulu memiliki pandangan yang sama. Tetapi belakangan setelah saya bertobat, saya mulai mempelajari banyak hal mengenai hal ini dari sudut pandang Tuhan seperti yang banyak dicatat dalam Alkitab. Saya akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa semua itu bukanlah tergantung dari keadaan hari per hari yang kita jalani, tetapi tergantung dari pikiran kita. Apakah pikiran kita selaras dan taat kepada Tuhan atau tidak, itu akan menuju pada salah satu kutub, apakah kita berada di kutub positive thinking yang penuh optimisme atau kita terus berada pada sisi negative thinking yang sarat dengan pesimisme.
Nganggur salah, capai juga salah. Itu dirasakan banyak orang, termasuk saya yang sedang lelah-lelanya harus bolak balik ke ibukota untuk urusan pekerjaan, disamping timbunan deadline yang bagai air bah yang meluap membanjiri saya dalam sebulan terakhir. Itu belum termasuk mengajar yang bisa makan waktu hingga sehari penuh. Di tengah kelelahan terkadang saya tersenyum dan merasa geli sendiri, mengapa saya tiba-tiba merasa rindu terhadap kasur dan bantal yang tiba-tiba menjadi jarang bertemu dengan saya. Haruskah saya mengeluh jika deadline tengah padat-padatnya? Tentu tidak, karena saya masih ingat betul bagaimana rasanya ketika sedang tidak ada kerjaan. Saya harus lebih pintar mengatur waktu, karena tugas saya bukan hanya bekerja, tetapi ada keluarga yang harus diberi waktu yang cukup dan sebagainya. Mudah? Sama sekali tidak. Alangkah sulitnya malah, karena saya sering merasa seolah harus berdiri di atas beberapa dunia sekaligus, yang semuanya menuntut hal terbaik dari diri saya. Exhausted, burn out, extremely tired, but the show must go on. Saya tetap harus berbuat yang terbaik, dan disisi lain harus berhati-hati dengan menjaga kesehatan, karena di saat seperti ini tubuh akan sangat rentan dan lemah untuk diserang penyakit. Jika demikian rasanya kita butuh sesuatu yang bisa menguatkan kita, memberi tambahan tenaga, dorongan dan semangat. Adakah sesuatu yang seperti itu? Tentu saja. Pernahkah anda menyadari bahwa Tuhan telah menciptakan musik bagi kita, yang tidak saja hanya bisa dinikmati tetapi juga bisa dipakai untuk memuji Tuhan,Sang Pencipta segalanya? Musik bagi saya adalah salah satu berkat Tuhan yang terindah. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa hidup ini jika tidak ada musik. Dan bagi saya, musik bisa menjadi penghibur bahkan memberi kekuatan, apalagi lagu-lagu pujian. Karena itulah saya Sambil menulis saya menyanyi kecil, dan nyata benar Tuhan memberikan kekuatan agar saya bisa menyelesaikan tugas demi tugas, dan yang pasti Tuhan pun memberikan rasa sukacita disamping kelegaan dan kekuatan yang hadir lewat lagu-lagu pujian ini. 
Tidak ada orang yang bermimpi untuk hidup miskin. Jika bisa, tentu kita semua ingin hidup tanpa harus menghemat mati-matian. Kita bekerja banting tulang seharian bukan hanya ingin untuk hidup pas-pasan atau malah kekurangan. Semua orang ingin bisa menikmati hidup, dan banyak orang percaya kenikmatan hidup itu berasal dari kekayaan. Uang dipercaya banyak orang bisa mendatangkan kebahagiaan. Karena pola pikir yang sudah mendarah daging di dunia inilah kemudian banyak orang yang rela melakukan apapun agar bisa memperoleh uang lebih dari ala kadarnya. Anak-anak remaja wanita banyak yang rela menjual kehormatannya agar memiliki uang yang banyak untuk bisa hidup dalam kemewahan. Orang melakukan korupsi tanpa memikirkan resiko. Harga diri dan nama baik atau kehormatan keluarga pun tidak lagi dipandang sebagai sebuah hal yang penting kalau sudah bicara soal uang. Betapa ironisnya ketika orang tua bersusah payah membesarkan anak-anaknya agar mampu hidup dengan baik di masyarakat dan berbakti kepada  mereka, tetapi kemudian anak-anaknya malah melukai hati mereka dengan melakukan berbagai tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Seringkali konsekuensi dari perilaku yang tidak benar tidak hanya harus ditanggung si pelaku, tapi lebih luas lagi juga akan mengenai keluarga dan orang tuanya. Tidak hanya dalam keluarga, tapi di dalam pekerjaan pun orang akan dituntut untuk menjaga nama baik dan martabat tempatnya bekerja. Sering kita lihat bahwa satu-dua orang melakukan tindakan keliru, maka instansi/lembaga/perusahaan atau badan di mana ia bekerja akan mendapat cap negatif dari masyarakat. Tapi gemerincing uang membuat banyak orang lupa diri dan tidak lagi mampu berpikir jernih. 
Harga buah bisa terlihat cukup mahal bagi kita yang punya pendapatan pas-pasan. Bayangkan apabila dengan harga yang terasa mahal itu kita bukannya mendapatkan buah yang baik tetapi malah yang asam, atau malah busuk di dalamnya. Misalnya ketika anda membeli sekilo jeruk. Dari luar jeruk-jeruk itu mungkin terlihat mulus tanpa adanya cacat. Tetapi ketika dibuka, anda hanya mendapatkan buah jeruk yang tidak termakan saking asamnya. Kalau satu atau dua mungkin masih wajar, tetapi bagaimana jika sebagian besar seperti itu, atau malah semuanya? Mungkin kita akan mengomel atau mendatangi kembali penjualnya untuk memarahi mereka. Bagi kita yang awam, kita bisa tertipu oleh penampilan luar buah. Dari luar mungkin terlihat bagus, tetapi ternyata setelah dibuka tidak bisa dinikmati sama sekali.
Gereja seharusnya menjadi tempat dimana orang bisa mengalami jamahan Tuhan, mengalami pemulihan, mengenalNya lebih dari sebelumnya juga menjadi tempat untuk bertumbuh. Gereja seharusnya menjadi tempat anak-anak Tuhan untuk saling berbagi, saling menguatkan, saling bantu dan bekerja sama untuk membawa terang keluar dari dinding-dinding pembatas untuk menjangkau lingkungan sekitarnya, kota, bangsa maupun dunia. Tetapi betapa memprihatinkannya ketika sebagian dari hamba-hamba Tuhan di dalamnya yang seharusnya menjadi panutan justru sebaliknya berubah menjadi batu sandungan bagi jemaatnya sendiri. Saya mengenal beberapa orang yang menjadi apatis karena kecewa melihat sosok-sosok yang perkataan dan kehidupannya tidak sinkron. Ada gereja yang mendahulukan donatur untuk duduk di depan, sementara jemaat biasa harus dibelakang walaupun di depan masih kosong. Ada juga orang yang setiap hari Minggu terlihat suci tetapi di dalam pekerjaan mereka melakukan banyak kecurangan. Ada yang sepertinya sangat kudus dengan gaya yang selalu menasihati orang lain seolah dirinya tanpa cela, tetapi mereka terus hidup dalam pesta pora, minum-minum dan menghamburkan uang tidak pada tempatnya. Mereka menciptakan peraturan sendiri mengenai mana yang boleh dan tidak sesuai dengan kesukaan mereka, bahkan tidak jarang mereka menciptakan sosok Tuhan menurut versi mereka sendiri. Tidak adil tentu saja jika kesalahan beberapa oknum ini akhirnya ditimpakan kepada gereja dimana mereka melayani. Tetapi hal seperti itu kerap terjadi, dan itu tentu saja menyakiti hati Tuhan. Bukan saja mereka menjadi batu sandungan bagi banyak orang, tetapi juga menjadi penghalang yang bisa menggagalkan pekerjaan Tuhan di muka bumi ini. 
Pindah tempat mengajar membuat saya harus memulai segalanya dari awal lagi. Saya harus melalui tes bertingkat-tingkat sebagai pelamar baru, setelah diterima masih harus mengikuti ujian terlebih dahulu agar bisa mengajar. Berbagai sistem yang berbeda, kurikulum yang berbeda dan berbagai pola lain yang berbeda harus saya hadapi. Jika dulu saya sudah berada dalam zona nyaman selama lebih dari 5 tahun di tempat mengajar yang lama, sekarang saya kembali harus menyesuaikan diri, keluar dari zona nyaman dan mencoba membiasakan diri di tempat baru. Setelah beberapa bulan saya akhirnya mulai terbiasa dengan sistem yang baru itu. Saya mulai menemukan ritme mengajar disana, dan semuanya mulai terasa nyaman kembali. Sebuah perpindahan selalu memberikan suasana baru yang seringkali membuat kita harus keluar dari zona nyaman dan berusaha menyesuaikan diri. Tetapi apapun itu, meski kita harus terlebih dahulu mengalami suasana yang kurang nyaman, Tuhan menjanjikan kita untuk berhasil di dalamnya, bahkan melebihi apa yang kita anggap sebagai batas kemampuan kita.