====================
"Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya."
Peraturan di sebuah travel biasanya mengharuskan calon penumpangnya untuk sudah tiba di pangkalan paling lambat 15 menit sebelum keberangkatan. Saya tahu itu, tetapi ternyata nikmatnya kasur membuat saya keterusan tidur. Ketika terbangun, ternyata waktu yang tersisa tinggal setengah jam sementara rumah saya jauh dari tempat keberangkatan. Saya pun buru-buru mandi dan langsung berangkat kesana. Ketika saya tiba, ternyata saya terlambat 5 menit, dan mobil travel sudah keburu berangkat. Gara-gara 5 menit itu saya kemudian harus menunggu 2 jam kemudian. Karena travel yang satu ini menuju area kota Jakarta lain, saya pun harus menyambung lagi dengan taksi di Jakarta dan harus mengeluarkan biaya hampir seratus lima puluh ribu. Gara-gara 5 menit telat saya harus membayar harga yang cukup lumayan. Kata terlambat memang bisa menimbulkan banyak masalah. Apa yang terjadi jika anda terlambat ke sekolah atau kampus, apalagi di saat ujian? Apa yang terjadi jika reaksi anda terlambat sedetik saja ketika mobil di depan anda tiba-tiba mengerem? Ada banyak hal yang akhirnya kita sesali hanya karena sebuah kata: terlambat. Dalam contoh keterlambatan saya di atas, masih untung itu bukanlah sebuah keterlambatan yang fatal akibatnya. Artinya saya masih punya kesempatan untuk mengambil jadwal keberangkatan lainnya. Ada keterlambatan-keterlambatan yang berakibat fatal dimana penyesalan tidak ada gunanya lagi, yang bisa menimpa diri kita jika kita terus membuang-buang atau menyia-nyiakan waktu. Ingatkah anda tentang kisah "Orang kaya dan Lazarus yang miskin" dalam Lukas 16:19-31? Mari kita lihat kisah ini untuk melanjutkan apa yang sudah kita baca kemarin mengenai pentingnya menghargai waktu yang masih dipercayakan Tuhan kepada kita. Tersebutlah seorang pengemis bernama Lazarus, penuh borok dan sangat menderita. Ia menetap tepat di depan pintu rumah seorang kaya yang setiap hari bersukaria dalam kemewahan. Apakah Lazarus diperhatikan? Tampaknya tidak. Si orang kaya mungkin berpikir, "Masih syukur kamu tidak diusir. Aku mencari uang dengan keringatku sendiri, mengapa aku harus memberi kepadamu?" Dan Lazarus pun diabaikan begitu saja. Ia bahkan harus makan dari remah-remah yang jatuh dari atas meja si orang kaya, sambil membiarkan boroknya dijilati anjing-anjing. Benar-benar sebuah pemandangan yang kontras dan ironis. Lalu kemudian Lazarus mati. Demikian pula si orang kaya tersebut. Pemandangan kontras kembali tersaji di atas sana, tetapi keadaan kini berbalik! "..Dan sementara ia (orang kaya itu) menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya." (ay 23). Melihat hal itu, si orang kaya pun meratap. "Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini." (ay 24). "Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang." (ay 25-26). Betapa menyesalnya si orang kaya itu, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang untuk mengubah keadaan. Semua sudah berakhir.
Terlambat. Itulah satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan kenyataan yang dihadapi si orang kaya. Ia terlambat untuk berbuat baik, terlambat untuk mengasihi sesamanya. Ia terlena hidup dalam kemewahan dan lupa untuk memanfaatkan waktu yang tersedia. Apakah ia punya kesempatan? Tentu saja. Bahkan ia tidak perlu repot-repot atau jauh-jauh pergi untuk menunjukkan kasih dalam perbuatan nyata karena Lazarus berbaring tepat di depan pintunya. Ia punya kesempatan, ia punya sesuatu yang bisa ia berikan, tetapi ia tidak melakukannya. Dan pada akhirnya ketika semua sudah terlambat ia pun menyesal. Sebuah penyesalan yang sayangnya tidak bisa lagi diperbaiki.
Ketika waktu masih dipercayakan Tuhan kepada kita saat ini, hendaklah kita memakai hikmat untuk mempergunakan waktu-waktu yang ada sebaik mungkin. Paulus berkata "Dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." (Efesus 5:16). Jangan sia-siakan waktu yang ada, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian. Kita tidak bisa melihat masa depan, kita tidak tahu kapan kesempatan bagi kita untuk bertobat akan berakhir. Kita harus benar-benar belajar menghargai waktu, mengisinya dengan segala perbuatan baik berdasarkan kasih dan terus memakainya untuk belajar untuk lebih dekat dan lebih taat lagi kepada Tuhan. Kita harus senantiasa berjaga-jaga sebab kita tidak akan pernah tahu kapan hari maupun saatnya akan tiba. (Matius 25:13). Ada begitu banyak yang ditawarkan dunia hari ini yang akan dengan mudah membuat kita terlena dan lupa melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai anak-anak Terang, sebagai ahli waris Tuhan di muka bumi ini. Sungguh kita hidup di hari-hari yang jahat, penuh dengan penyesatan. Ada keterlambatan yang masih bisa ditebus dengan sejumlah harga, tetapi ada pula keterlambatan yang benar-benar tidak bisa lagi kita tebus walau dengan harga sebesar apapun. Oleh karena itu kita harus benar-benar mewaspadai setiap langkah hidup kita dan berhenti menyia-nyiakan waktu. Pergunakanlah waktu yang tersisa ini untuk mengambil langkah nyata dalam ketaatan, dan lakukanlah segala sesuatu seperti apa yang dikehendaki Tuhan. Hendaklah kita dipenuhi kebijaksanaan dan kearifan dalam hikmat agar mampu menghitung hari-hari kita menghargai setiap detik yang Tuhan masih berikan kepada kita. Orang kaya itu tidak lagi punya kesempatan, tetapi kita masih punya. Jangan tunda lagi, mulailah hari ini juga agar kita tidak sampai berakhir di tempat yang sama dengan si kaya.
Hargai waktu sebaik mungkin karena ada keterlambatan tidak bisa lagi diperbaiki
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Adik saya baru saja mendapatkan musibah kecelakaan ketika sedang mengendarai sepeda motor bersama temannya. Puji Tuhan ia masih selamat, meskipun mendapatkan tujuh jahitan di ubun-ubun kepalanya. Musibah sebenarnya bisa dihindari apabila ia tidak mengebut dan memakai helm. Akibat menghindari sebuah becak ia terpelanting ke jalan dan sebuah mobil mengerem tepat di depan kepalanya. Putaran ban ternyata masih kencang, dan ubun-ubun kepalanya pun terkikis oleh ban sehingga sobek cukup panjang. Bayangkan seandainya pengemudi mobil itu telat menginjak rem sepersekian detik saja, atau kurang dalam sedikit saja, kepalanya bisa remuk tergiling mobil itu. Saya bersyukur Tuhan masih memberi kesempatan baginya untuk hidup. Saat ini ia masih beristirahat untuk memulihkan luka-luka dan bengkak yang ia alami di sekujur tubuh.
Pemilihan jurusan di SMU tentu punya alasan tersendiri. Ada yang memang menggemari ilmu pengetahuan alam, bercita-cita ingin menjadi insinyur atau dokter, maka jurusan IPA pun dipilih. Berminat kepada ilmu sosial, atau merasa tidak sanggup untuk mempelajari ilmu alam, jurusan IPS pun dipilih. Dahulu saya memilih jurusan IPA, tapi mungkin alasan saya memilih itu cukup aneh kalau didengar. Saya memilih IPA justru karena tidak menyukai matematika, fisika dan kimia. Lalu mengapa saya memilih jurusan itu? Karena justru karena tidak suka saya ingin menantang diri saya untuk mendalami lebih jauh lagi. Jika karena saya tidak suka, lalu saya tinggalkan, bagaimana saya bisa belajar untuk menyukainya? Sebuah alasan yang aneh bagi orang, tapi tidak bagi saya, yang selalu tidak suka menyerah sejak kecil. 
Tidak sedikit orang tua yang mengajarkan anaknya untuk tidak membuang-buang atau menyisakan makanan di piring mereka. Dan istri saya termasuk orang yang pernah mendapat didikan seperti itu dengan cukup keras. Ketika ia kecil, ia pernah mengambil makanan sangat banyak dalam satu piring, dan ibunya membiarkan hal itu. Ketika ia hanya menghabiskan sedikit, sang ibu kemudian memarahinya dan memaksanya untuk menghabiskan semuanya, meski kenyang atau apapun alasannya. Hal ini membuatnya kemudian belajar untuk mengambil secukupnya, tidak menumpuk makanan di piring lagi untuk kemudian dibuang ke tempat sampah. 
Kemarin saya berkunjung ke rumah seorang teman baru. Ia memelihara dua anjing berukuran besar, satu golden retriever dan satu boxer. Ketika saya datang, saya melihat suaminya sedang kewalahan menahan laju kedua anjing itu dengan tali. Ia terseret oleh kedua anjing berukuran besar itu yang tampaknya ingin lepas bermain sepuasnya di jalan. Ketika kedua anjing itu masuk ke rumah dan tali dilepaskan, si boxer tiba-tiba menghambur dan menerjang saya. Maka teman saya pun segera menahan tubuh si boxer itu dengan sekuat tenaga. Ia meronta dan berusaha lepas, sehingga akhirnya harus diikat di luar. Sementara anjing satunya ternyata mampu duduk manis meski tanpa tali sekalipun. Dua anjing yang sama-sama berukuran besar, tetapi tampil beda. Yang satu bisa dipercaya tanpa perlu tali sedang yang satu harus diikat agar tidak membuat masalah.
Menegakkan keadilan demi hukum. Betapa seringnya kita mendengar kalimat ini. Seharusnya kalimat ini bisa menjadi pegangan setiap warga negara untuk hidup dalam situasi yang berkeadilan dilindungi undang-undang. Tetapi nyatanya ada banyak celah di mana hukum dunia ini bisa diputarbalikkan. Orang yang salah bisa mendapat kebebasan, sebaliknya orang-orang yang benar bisa menjadi kambing hitam, bahkan mendapat hukuman penjara dengan tuduhan atas sesuatu yang tidak mereka lakukan. Kasus-kasus seperti ini terjadi di mana saja, tidak hanya di negara kita. Hukum memang bisa diputarbalikkan, keadilan di dunia memang semu sifatnya. Tidak jarang pula berbagai pemutarbalikkan fakta seperti ini bisa menyulitkan bahkan menghancurkan hidup seseorang. Ditangkap karena berbuat baik, itu terjadi di negara kita dan berbagai tempat lainnya. Mau mengungkap korupsi malah dipecat, atau bahkan diperkarakan ke pengadilan. Hal-hal seperti ini membuktikan bahwa sistem hukum dan keadilan dunia belum sempurna, bahkan mungkin tidak akan pernah bisa sempurna.
Sungguh sulit mencari orang yang benar-benar bisa dipecaya saat ini. Betapa sering kita mendengar keluhan seperti itu. Di rumah kita mungkin mendengarnya dari orang tua kita, di kantor juga demikian. Atau jangan-jangan kita sendiripun sulit dipercaya. Lembaga-lembaga pengawas terus berdiri di mana-mana, tapi lembaga-lembaga seperti ini pun tidak 100% bersih. Ketika diawasi mungkin pencurian atau korupsi bisa ditekan, tetapi seperti tikus, mereka yang sudah kotor pikirannya akan selalu mampu mencari lubang atau celah baru. Begitu menemukan jalan baru, atau ketika tidak diawasi, maka penipuan akan kembali terjadi. Hari-hari ini orang memang lebih takut terhadap manusia ketimbang Tuhan. Mereka lebih takut hukuman di dunia ketimbang hukuman yang kekal kelak menimpa mereka yang berlaku curang. Segala bentuk penipuan atau kejahatan rasanya akan aman apabila tidak ada orang yang melihat. Itulah sebabnya saya menyimpulkan bahwa ujian yang sebenarnya dari siapa diri kita akan tampak ketika kita sedang sendirian.
Blue, itu adalah sebutan untuk warna biru dalam bahasa Inggris. Tapi selain warna, kata blue juga dipakai sebagai kata yang mengekspresikan kesedihan. Kita mengenal sebuah genre musik bernama blues, yang nyatanya berasal dari curahan kepedihan para budak berkulit hitam yang dahulu dijadikan budak. Hidup yang penuh penderitaan, kerap mendapat siksaan dan sebagainya membuat mereka kemudian mencurahkan perasaan mereka ke dalam sebuah bentuk musik yang tadinya "asal", dan inilah kemudian yang menjelma sebagai musik blues. Musik sebagai sebuah medium ekspresi ternyata mampu menjadi tempat curahan hati dan perasaan kita. Kerap kali lewat lagu kita bisa bergembira, tertawa bahkan menangis mengeluarkan kesedihan yang ada dalam hati kita. 
Bagaimana kita mengekspresikan kasih? Ada banyak cara tentunya. Dengan menunjukkan perhatian sepenuhnya, dengan memberi sekuntum bunga, cokelat atau hadiah-hadiah lain, dengan ucapan, pelukan, dan banyak lagi bentuk-bentuk espresi kasih yang bisa kita lakukan. Sulit bagi kita untuk bisa mentransfer perasaan secara langsung kepada orang lain, dan karenanya kita perlu berbagai bentuk ekspresi seperti di atas sebagai perantara untuk menyampaikan perasaan kasih sayang kita kepada seseorang. Manusia pada umumnya membutuhkan kasih untuk bisa hidup. To love and to be loved, mengasihi dan dikasihi, mencintai dan dicintai. Itu seringkali membuat kita lebih kuat dan tegar apabila kita miliki. Semua itu tentu baik. Tetapi kita seharusnya bisa meningkatkan satu langkah lagi lebih tinggi dengan adanya bentuk kasih yang sudah dicurahkan Tuhan ke dalam hati setiap kita lewat Roh Kudus, seperti yang disebutkan dalam Roma 5:5. Mengasihi orang baik itu mudah. Tapi mampukah kita mengasihi seorang musuh? Mampukah kita untuk masih peduli bukan saja kepada dirinya, tetapi kepada keluarganya? 
Apa yang kita lakukan ketika melihat musuh kita jatuh? Sebagian besar orang akan bersorak riang. Mengapa tidak, bukankah dia sudah menyakiti kita? Sebagian orang malah akan terus mengutuki atau mendoakan yang jelek-jelek terhadap musuhnya. Ini sebuah perilaku yang sudah menjadi hal yang umum di mata dunia, di mana anak-anak Tuhan sekalipun sering terjebak pada masalah yang sama. Rasa sakit hati akan sangat mudah mengarahkan kita kepada dendam, sehingga kita akan merasa sangat senang apabila musuh kita jatuh tanpa kita harus bersusah payah melakukan sesuatu.
Semakin lama berjalan dalam hidup semakin sadar pula saya bahwa rasa rendah diri atau minder berlebihan kerap menggagalkan rencana-rencana besar dalam hidup kita. Saya pernah mengalaminya dahulu, dan sekarang sering bertemu dengan orang-orang seperti ini. Betapa seringnya kita mendengar kalimat-kalimat seperti "ah, saya cuma tamatan SD, bisa apa?", "Saya cuma orang kecil, bagaimana mungkin saya bisa sukses?", "I'm a loser.." dan sebagainya. Padahal Tuhan tidak merancang manusia asal-asalan tanpa rencana yang indah. Itu sering dilupakan orang dan mereka lebih memilih untuk tenggelam ke dalam kekurangan-kekurangan mereka ketimbang memaksimalkan potensi-potensi mereka miliki. Apa yang membuat mereka gagal sebenarnya bukanlah kekurangan mereka, tetapi justru rasa rendah diri yang berlebihan itu. Ada banyak orang cacat yang kemudian tampil mencengangkan kita lewat buah karya mereka. Rendah diri bukannya membantu, tetapi malah akan merugikan diri kita sendiri.
"Open the Eyes of My Heart" adalah sebuah lagu rohani yang sudah sangat terkenal. Ada banyak penyanyi yang sudah membawakan lagu ini diantaranya Hillsong United dan Michael W Smith. LAgu ini ditulis oleh Paul Baloche yang terinspirasi dari doa rasul Paulus buat jemaat Efesus agar mata hati mereka dibuat Tuhan menjadi terang. "Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus.." (Efesus 1:8). "Sesungguhnya ini kerinduan hati kita semua.." kata Paul pada suatu kali. "Saya sudah lama mengikut Tuhan tapi itu tidak pernah cukup. Saya ingin mengenalNya. saya ingin melihat Tuhan. Saya ingin bangun setiap pagi dengan merasakan kehadiranNya dalam hidup saya. Saya ingin melihat KerajaanNya hadir di dunia, hingga saya bisa menjadi bagian dari KerajaanNya dan bisa melakukan sesuatu untukNya." Itulah kerinduan Paul, dan berasal dari ayat Efesus 1:8 itu kemudian lagu "Open the Eyes of My Heart" ia tulis dan menjadi terkenal di seluruh dunia. 
Ketika menulis renungan kemarin saya ditemani secangkir kopi hangat yang saya letakkan di lantai. Karena keasikan menulis kopi menjadi lupa saya nikmati. Dan ketika saya teringat akan kopi itu, saya pun melihat ternyata cangkir kopi itu sudah dirubungi semut. Saya pun segera memindahkannya ke atas. Satu kali angkut bagi saya, tetapi pasti menjadi sangat merepotkan bagi semut-semut itu untuk kembali mendatangi cangkir. Bayangkan tadinya sudah tepat di depan mata, tapi sekarang berpindah jauh ke atas. Tetapi semut-semut itu ternyata tidak putus asa. Perhatian saya pun kemudian beralih memperhatikan perilaku semut-semut itu. Sebuah perjalanan panjang dari lantai, ke terali pun mereka jalani untuk bisa kembali mencapai gelas. Benar-benar usaha yang luar biasa. Saya pun tertegun.. betapa hebatnya usaha semut-semut ini. Saya berpikir, alangkah baiknya seandainya kita bisa memiliki sedikit saja dari ketekunan dan kegigihan semut ini. Tidak bersungut-sungut, tidak mengeluh dalam menghadapi problema hidup, tetapi terus berjuang dengan semangat yang tidak mudah patah.
Seperti apa sih prajurit yang dikatakan terbaik itu? Itu sebuah pertanyaan yang saya berikan ketika pada suatu ketika saya berbincang-bincang santai dengan seorang perwira. Apakah seperti yang kita lihat di film-film, berani mati, jagoan dan tidak terkalahkan di medan pertempuran, tetap gagah berani bertempur meski terluka parah? Apakah prajurit terbaik itu adalah prajurit yang paling hebat mengetahui strategi perang, yang menguasai senjata paling banyak? Tetapi ternyata bukan itu. Menurut tentara yang menjadi teman ngobrol saya itu, seorang prajurit terbaik dilihat bukan dari heroik atau kehandalannya tetapi dari ketaatan mereka terhadap perintah atau instruksi komandannya. Semua yang saya sebutkan tadi jelas baik, tetapi lebih dari itu semua kepatuhan atau ketaatan mengikuti atasan sesuai garis komando, itulah yang terbaik. Artinya mereka harus patuh ketika disuruh berperang hingga titik darah penghabisan, sebaliknya mereka harus taat untuk mundur dari pertempuran jika itu yang menjadi instruksi komandannya. Ketaatan tanpa banyak tanya, tanpa protes, tanpa berbantah, itu menunjukkan kualitas terbaik dari seorang prajurit. 
Jika saya menyebut nama "The Red Devil" apa yang muncul di benak anda? Bagi penggemar bola mereka akan segera ingat kepada sebuah tim sepak bola dari Inggris yang memiliki fans jutaan orang di seluruh dunia, yaitu Manchester United. Rasanya semua klub sepak bola di seluruh dunia memiliki julukannya tersendiri. Bahkan orang pun sering mendapat julukan tersendiri. Biasanya julukan akan muncul dari sebentuk kasih sayang dari orang lain atau juga bukti kedekatan antara satu dengan lainnya. Disamping itu julukan biasanya juga mengacu kepada pengenalan seseorang akan diri kita, bagaimana orang menilai diri kita atau apa yang menonjol dari kita di mata orang lain. Dari nama julukan ini kita bisa mengetahui sifat seseorang, karakternya, apa yang istimewa dari mereka atau dari mana mereka berasal.
Betapa hausnya manusia akan pendidikan. Kita dilahirkan bagai kertas kosong, dan semua orang akan berusaha untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Para orang tua akan selalu berupaya untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Dan hidup ini pun merupakan sebuah perjalanan yang seharusnya diisi dengan proses pembelajaran. Selama hidup seharusnya kita tidak berhenti belajar. Itu adalah sebuah kata bijak yang tentu sudah sering kita dengar. Dari luar, kita serap ke dalam, sehingga kita terus mengisi diri kita dengan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin. Itulah jenis pengetahuan yang diketahui kebanyakan orang. Tetapi apakah hanya itu? Sesungguhnya tidak. Dalam Kerajaan Allah ada sebuah jenis pengetahuan lain. Bentuknya bukan seperti ilmu pengetahuan yang biasa kita pelajari, yang diperoleh dari luar ke dalam, melainkan dari dalam ke luar. Inilah apa yang disebut dengan pengetahuan singkapan atau revelation knowledge.