====================
"Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: "Ia menumpang di rumah orang berdosa."
Menjadi lebih baik lagi dari hari ke hari tentu baik. Semakin hidup kudus, semakin menjauhi dosa, semakin mendekati dan mencerminkan pribadi Kristus, itu keinginan kita semua. Namun jika tidak hati-hati, kita bisa dimasuki dosa kesombongan, menganggap diri kita lebih baik dari orang lain dan akhirnya mulai menghakimi orang lain. Si A berdosa ini, si B berdosa itu, dan selanjutnya mulai mencibir dan menjauhi mereka. Ini bukanlah hasil yang diharapkan dari sebuah pertobatan dan usaha menguduskan diri. Alih-alih menjadi garam dan terang dunia, kita malah bisa terperangkap dalam sikap yang cenderung menjauhi mereka yang sebetulnya sedang butuh pertolongan agar tidak binasa. Hari ini sebelum tidur saya diingatkan dengan kisah Zakheus. Kisah tentang pertemuan Zakheus dan Yesus tentu tidaklah asing lagi. Rasanya kisah ini pun sering dibawakan untuk anak-anak di sekolah Minggu. Gambaran visual Zakheus yang berbadan pendek namun sibuk memanjat pohon agar bisa melihat Yesus, dan kemudian kisah pertobatannya tidaklah sulit untuk dicerna oleh anak-anak. Zakheus yang berbadan pendek ini adalah seorang pemungut cukai yang kaya. Pada masa itu orang Yahudi terutama para ahli Taurat menggolongkan para pemungut cukai ini sebagai orang berdosa. Cap sampah masyarakat, pendosa, digolongkan dalam satu kelas bersama orang lalim, penzinah dan perampok (Lukas 18:11), para pemungut cukai ini biasanya dicemooh dan dipandang hina. Zakheus ada dalam kelompok ini. Tapi sepertinya Zakheus punya kerinduan yang sangat besar untuk dapat bertemu Yesus. Sayang badannya pendek, sehingga sulit baginya untuk bisa melewati orang-orang lain yang berpostur lebih tinggi darinya. Tapi ia tidak menyerah, ia pun berusaha sedemikian rupa dengan memanjat pohon ara. (Lukas 19:4). Usahanya berhasil. "Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu." (ay 5). Wow, tidak saja melihat dirinya, tapi Yesus berkenan untuk mendatangi rumahnya. Tentu saja hal ini disambut Zakheus dengan sukacita. Tapi lihatlah apa yang dikatakan kerumunan orang Yahudi dan orang-orang Farisi. "Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: "Ia menumpang di rumah orang berdosa." (ay 7). Mereka beranggapan bahwa Zakheus itu sangat hina sehingga Yesus seharusnya tidaklah layak untuk mendatangi rumah orang sehina dia. Apa yang terjadi kemudian sungguh mengharukan. Tuhan Yesus menganugerahkan keselamatan kepada Zakheus sebagai buah pertobatannya. Bukan saja kepada diri Zakheus sendiri, namun seluruh anggota keluarganya pun turut diselamatkan. Yesus pun menutup jawaban terhadap protes kerumunan orang-orang yang merasa lebih benar ini dengan "Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang." (ay 10).
Siapa yang ingin kita teladani, Yesus atau para ahli Taurat dan orang-orang Yahudi yang merasa dirinya sudah lebih baik dari orang lain? Adakah hak kita menjatuhkan penghakiman terhadap orang lain dan merasa kita lebih hebat dari mereka? Tanpa sadar manusia sering membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain agar diri mereka terlihat hebat. Itu bukanlah cerminan pribadi Kristus. Membuang muka, mencibir, menghina, menjaga jarak juga merupakan bentuk-bentuk penghakiman yang seharusnya bukan menjadi hak kita. Padahal mungkin Tuhan memberi kesempatan kepada mereka untuk berbalik kembali ke jalan yang benar lewat kita. Dengan sikap yang salah, kita pun menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi berkat bagi mereka yang butuh pertolongan. Kita gagal untuk memenangkan jiwa bagi Kerajaan Allah.
Ketika Yesus mengulangi pertanyaanNya tiga kali kepada Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" dan ketika Petrus selalu menjawab "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau", tiga kali pula Yesus mengakhiri pertanyaanNya dengan "Gembalakanlah domba-domba-Ku." (Yohanes 21:15-19). Inilah yang seharusnya kita lakukan setelah kita memasuki fase kehidupan baru yang mengejar kekudusan dan ketaatan. Ada pesan penting bagi kita semua untuk menggembalakan domba-dombaNya, dan itu semua haruslah didasarkan atas kasih kita kepada Kristus, bukan hal lainnya. Selama masih bersikap sombong dan merasa diri lebih benar, niscaya kita tidak akan mampu menjangkau dan memenangkan jiwa-jiwa untuk diselamatkan. Bagaimanapun juga kita diingatkan "Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu." (Efesus 4:2), "Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan." (ay 31) dan "Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." (ay 32). Ingatlah bahwa perkara menghakimi adalah mutlak milik Tuhan. "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (Matius 7:1-2). Yesus datang justru untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang, dan kepada kita pesan untuk menggembalakan domba-dombaNya dan mewartakan kabar gembira telah Dia wariskan. Oleh karena itu, jauhilah perilaku seperti para ahli Taurat dan orang-orang Yahudi yang merasa diri mereka begitu benar sehingga layak untuk menghakimi dan menjauhi orang lain. Kasihilah mereka, karena mereka pun layak beroleh kesempatan untuk selamat! Dan siapa tahu, mungkin lewat diri kita Tuhan mau menjangkau mereka untuk bertobat. Mungkin kita yang diutus Tuhan untuk memimpin mereka hingga mengenal kebenaran dan lepas dari jerat iblis. (2 Timotius 2:25-26). Hari ini marilah kita mengasihi saudara-saudara kita dan menjadi teladan yang baik, sesuai dengan keteladanan yang telah diberikan Kristus.
Teladani Yesus, bukan orang Farisi / ahil Taurat
Sejak pagi saya berusaha menghubungi seorang teman yang tinggal di Jakarta. Tapi berulang-ulang jawaban yang saya terima hanyalah "the number you're calling is busy, please try again in a few more minutes." Kesal rasanya karena ada sesuatu yang penting yang ingin saya bicarakan. Di saat saya masih berulang kali mencoba, saya tergerak untuk fokus kepada penggalan "please try again" yang terdengar dari answering machine. Jika melihat kita yang terus menerus melakukan pelanggaran, mungkin Tuhan pun kesal. Tapi ternyata Tuhan itu begitu panjang sabar dan besar kuasaNya, sehingga kata "please try again" itu masih diberlakukan kepada kita hingga hari ini untuk memberi kesempatan kepada kita agar kita mau berubah memperbaiki diri.
Saya kagum melihat pertumbuhan anak-anak muda di gereja dimana saya berjemaat dan melayani. Di usia muda, rata-rata masih duduk di bangku SMA mereka sudah aktif dalam berbagai kegiatan. Kebaktian anak muda (youth) nya hidup, mereka juga banyak berperan dalam menyiapkan slide-slide atau video-video untuk kebaktian umum. Persekutuannya kuat dan mereka terlihat sangat akrab satu sama lain. Pemandangan ini begitu kontras ketika saya melihat anak-anak seusia mereka di luaran yang berperilaku sangat berbeda. Sekelompok anak-anak muda bahkan terkadang masih menggunakan seragam SMAnya sudah berani mengganggu orang lewat, memalak orang lain dan berbagai tindak kejahatan lainnya. Ada banyak anak-anak muda yang merasa masih butuh waktu untuk bersenang-senang menikmati hidupnya sesuka mereka. Mereka beranggapan bahwa untuk urusan hidup benar, itu adalah porsi untuk orang dewasa saja. Padahal Tuhan tidak pernah mengatakan demikian. Hidup benar adalah kewajiban semua orang tanpa memandang usia yang bersangkutan. Sejak muda sekalipun kita sudah dituntut untuk hidup lurus sesuai jalanNya dan siap untuk menjadi teladan bagi sesama.
Berada dalam situasi sulit, penuh penderitaan, kesengsaraan, tentu tidak enak. Tidak ada seorang pun manusia yang ingin hidupnya dipenuhi masalah. Tapi namanya hidup, ada saat-saat dimana kita tidak bisa menghindari hadirnya problema dalam kehidupan. Terkadang masalah yang datang tidak hanya satu, tapi beruntun atau bertumpuk-tumpuk, sehingga kita menderita karenanya. Ada kalanya jalan keluar tidak kunjung kelihatan, bagaikan berjalan dalam sebuah lorong gelap dimana tidak terlihat setitik cahaya pun di ujung sana. Disaat tekanan begitu besar menerpa kita, manusia yang terbatas ini, ada saat-saat kita menjadi lemah dan tenggelam dalam penderitaan. Kita bisa lupa kepada keagungan Tuhan, kuasa dan kemampuanNya yang tidak terbatas, dan tentu saja kebaikan serta kasih setiaNya. Himpitan masalah penuh penderitaan berkepanjangan akan mulai mengaburkan pandangan kita tentang kebaikan Tuhan, dan mulai menganggap bahwa Tuhan mungkin sudah tidak lagi peduli dengan hidup kita, atau bahkan mulai mempertanyakan keberadaanNya. Di saat-saat seperti itu kita perlu diingatkan kembali akan keajaiban kuasa Tuhan yang tidak terbatas. Seperti apa yang terjadi pada Ayub.
Swing adalah salah satu genre besar dalam jazz yang sangat saya gemari. Lewat jenis musik ini saya kerap kali seolah-olah diajak untuk kembali ke sebuah masa dimana musik jazz mulai tumbuh dan berkembang, terutama di kisaran tahun 20-40 an ketika swing merajai pentas musik dunia. Saya sering merasa penasaran, seperti apa sih hidup di era itu, bagaimana rasanya hidup di sebuah jaman dimana panggung kerap berisi ensembel musik dalam jumlah besar, mencapai puluhan, orkestrasi indah dari begitu banyak instrumen menghasilkan melodi-melodi yang kedengaran megah dan indah. Saya tidak akan pernah tahu pastinya seperti apa, karena saya lahir beberapa dekade setelahnya di generasi yang berbeda. Saya hanya bisa menelusuri sejarahnya, mencoba merasakan lewat lagu-lagu yang berasal dari masa itu. Pertanyaan pun muncul di pikiran saya, kenapa saya lahir di masa yang berbeda? Kenapa bukan dulu, kenapa bukan nanti? Orang tua kita lahir di generasi berbeda, kakek dan nenek kita di generasi sebelumnya, kelak anak-anak kita akan merasakan jaman yang berbeda pula di depan. Mengapa Tuhan menciptakan kita pada jaman ini, bukan dulu atau nanti? Adakah itu semua hanya kebetulan belaka? Ketika memikirkan mengenai hal ini, saya diingatkan pada kisah Ester.
Beberapa bulan yang lalu saya bertemu dengan seorang sepupu saya yang juga sama-sama mengajar, walaupun dalam bidang yang berbeda. Ia bercerita mengenai rekan-rekan sesama dosennya yang hanya memberikan sedikit dari apa yang mereka ketahui untuk diajarkan kepada para siswa. Singkatnya mereka-mereka ini termasuk dosen yang pelit ilmu. Mereka tidak rela jika siswa-siswi yang mereka bimbing nantinya bisa lebih baik dari mereka. "Mengajar itu cukup 50% saja.. jangan semuanya, rugi.." kata salah satu rekan dosen sepupu saya itu. Ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bercerita kepada saya. Bagaimana bangsa ini bisa maju kalau setiap generasi kualitasnya terus menurun dengan kehadiran pengajar-pengajar seperti ini, katanya. Sama seperti saya, dia pun tipe orang yang memberikan segalanya dalam mengajar. Apapun yang ia tahu akan ia sampaikan kepada para siswa. Bagi kami berdua, ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat anak-anak yang dibimbing bisa mencapai kesuksesan. Itu bentuk kebahagiaan yang tidak bisa dinilai dengan uang sebesar apapun. Toh pelit ilmu tidak memberikan manfaat apa-apa. Berkat bukan berasal dari kehebatan ilmu kita, bukan berasal dari keahlian kita, tapi dari Tuhan. Tuhanlah yang memberkati pekerjaan kita sehingga kita bisa berhasil. Jika demikian, buat apa pelit ilmu? 
Pernahkah anda berhadapan dengan orang yang butuh pertolongan di saat sedang sibuk-sibuknya? Pekerjaan tengah menumpuk, pikiran sedang dipenuhi berbagai urusan, di saat itu pula ada yang membutuhkan pertolongan datang pada kita. Saya pernah beberapa kali mengalami hal ini. Mungkin mudah untuk langsung mengatakan, "maaf saya sedang sangat sibuk.." Mungkin kita memang sedang membutuhkan waktu untuk berkonsentrasi dan fokus terhadap sesuatu. Tapi bagaimana jika orang tersebut benar-benar terdesak dalam situasi yang mereka hadapi, dan memerlukan pertolongan dengan segera? Terkadang kita berhadapan dengan orang yang membutuhkan bantuan dengan segera justru di saat yang kurang tepat. Situasi-situasi mendadak ini membutuhkan perhatian segera pula, dan sering membuat rencana yang telah kita susun terpaksa berubah di tengah jalan. Mungkin kita berkata, urusan kita pun sangat penting, tapi bagaimana jika apa yang mereka hadapi ternyata jauh lebih mendesak? Dan penolakan, atau penundaan kita ternyata bisa mengakibatkan sesuatu yang fatal di kemudian hari? Melayani memang tidak mudah, namun jika kita melakukannya dengan komitmen benar karena mengasihi Kristus, Tuhan tidak akan pernah menutup mata dari hal itu. Ada sukacita disana, ada kebahagiaan yang sulit dilakukan dengan kata-kata ketika melihat secara langsung banyak orang dipulihkan, dimana kuasa dan kasih Tuhan dinyatakan dalam diri mereka.
Melayani tidaklah mudah. Ada kalanya kita menghadapi banyak kendala dan kesulitan dalam pelayanan. Ada saat-saat dimana kesabaran kita diuji, kita harus siap mengorbankan waktu-waktu luang yang bisa dipakai untuk beristirahat, siap mendengar dan menjawab setiap permasalahan mereka dan sebagainya. Terkadang kita bisa berhadapan dengan situasi dimana orang yang dilayani masih naik turun seperti roller coaster. Hari ini berjanji untuk berubah, tapi besoknya kambuh lagi. Kalau satu orang mungkin tidak masalah, tapi bagaimana jika yang dilayani banyak orang, dengan masalah masing-masing, gaya dan sifat masing-masing? Apalagi jika bukan pelayan Tuhan penuh waktu. Kesibukan-kesibukan dalam pekerjaan cukup menyita waktu. Dan yang harus diingat juga, jangan sampai keluarga dibiarkan terbengkalai karena terlalu sibuk dalam bekerja dan melayani. Tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Namun itu semua harus dijalani dengan penuh sukacita. Sebab, mungkin melalui kita, Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan memimpin mereka sehingga mereka mengenal kebenaran, dan dengan demikian mereka menjadi sadar kembali, karena terlepas dari jerat Iblis yang telah mengikat mereka pada kehendaknya. And let me tell you this, when someone repent and receive God in front of you, the feeling is really unbelievable. 
Beberapa waktu yang lalu saya melihat sebuah tayangan mengenai kehidupan nelayan tradisional di televisi. Menggunakan jaring yang berukuran cukup besar, mereka mendapatkan banyak ikan dan udang dalam satu kali tarik. Ikan-ikan yang tertangkap kelihatan dari jenis dan ukuran yang berbeda-beda. Satu hal yang sama, semua ikan dari jenis dan ukuran yang berbeda itu berada dalam satu jaring, sama-sama tertangkap. Ikan-ikan itu menggelepar-gelepar ingin lepas, namun tidak ada jalan lagi bagi mereka untuk kembali ke alam bebas, karena sebentar lagi mereka akan hadir di pasar-pasar atau supermarket. Adegan ini sebenarnya biasa saja, karena demikianlah kehidupan nelayan sehari-hari, tapi saya mendapatkan sesuatu yang penting dari adegan penangkapan ikan ini. Sadarkah kita betapa jerat iblis setiap hari mengintai dan mencoba menjaring kita? Sama seperti ikan-ikan ini, kita bisa setiap saat masuk ke dalam jerat iblis. Dan jika kita sudah terjerat, akan sulit bagi kita untuk melepaskan diri.
Beberapa waktu yang lalu ada kebakaran menimpa sebuah rumah tidak jauh dari rumah saya. Tidak saja membakar habis seluruh rumah hingga menjadi puing, namun musibah itu juga menghilangkan nyawa sang ibu. Berita mengenai kebakaran itu diberitahukan oleh seorang pemuda yang sedang dalam perjalanan menuju ke lokasi. Ia berkata, "syukurlah bukan rumah saya yang kena.." Saya sempat tertegun sejenak. Memang bukan rumahnya yang kena, tapi bagaimana kita bisa mensyukuri keuntungan sendiri di atas kesusahan orang lain? Tanpa sadar kita seringkali mengeluarkan kalimat yang secara tidak langsung mengarah kepada hal yang demikian. Ketika melihat seseorang kecopetan, kita mungkin berkata, "aduh syukur bukan saya yang kena..." Apalagi jika melihat musuh atau saingan jatuh. Kata-kata seperti "syukurin, rasakan.." atau yang kasar-kasar sering keluar dengan spontan. 
"Everyday you grow even lovelier, yes, you do, my darling, you do. I love you every day of your life, cause love looks so well on you." Ini penggalan sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Frank Sinatra, yang tadi malam tiba-tiba terngiang di telinga saya. Iseng-iseng saya memakainya sebagai status di sebuah situs jejearing. Ternyata dalam waktu singkat, ternyata status saya itu mendapat tanggapan dari banyak orang. Di antara mereka bahkan ada yang langsung mengatakan minta dicarikan orang yang mau mengatakan demikian secara khusus kepadanya. Kebutuhan akan dicintai adalah kebutuhan semua orang tanpa terkecuali. Dalam menghadapi sulitnya hidup dan berbagai kesibukan yang menyita waktu, tampaknya ada banyak orang yang tidak lagi memiliki cukup waktu untuk menyatakan cintanya secara romantis. Memang ada banyak bentuk yang bisa kita pergunakan untuk mengapresiasikan sebentuk cinta dan kasih kepada orang lain. Ada banyak orang yang menganggap bahwa cinta cukup ditujukan lewat perbuatan dan bukti nyata, tapi kelihatannya sebuah ungkapan perasaan, romansa lewat kata-kata indah pun menjadi kerinduan banyak orang. Gombal? Mungkin, jika tidak disertai bukti nyata. Namun bukti nyata tanpa disertai kata-kata yang membahagiakan hati dari orang yang kita cintaipun bisa membuat semua itu terasa kering. 
Dalam perjalanan hidup saya sebelum bertobat, saya mengalami banyak hal dimana saya mengandalkan kekuatan manusia. Mengandalkan kemampuan sendiri, dan memakai jalur-jalur lainnya untuk menggapai sukses. Yang pasti bukan Tuhan, karena pada waktu itu saya tidak mengenal Tuhan. Pekerjaan, jodoh, hidup, semuanya dengan mengandalkan manusia dan harta, bahkan terkadang kegelapan pun ikut berperan di dalamnya. Saya bisa mencapai kesuksesan, namun kemudian semuanya ludes, hilang musnah. Meskipun pada waktu jaya itu saya hidup makmur, namun hidup saya "kering" rasanya. Tidak ada rasa sukacita seperti yang saya rasakan saat ini. Saya tidak peduli teman, yang penting menguntungkan. Jika dibandingkan dengan sekarang, pendapatan saya tidak sebanding dengan saat itu, namun saat ini damai sukacita memenuhi hati saya setiap saat. Saya selalu dicukupkan, saya selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam keluarga, pekerjaan dan pelayanan. Dalam keadaan sulit sekalipun, berkali-kali Tuhan sudah membuktikan kuasaNya yang ajaib turun atas saya dan keluarga. Ini semua hadir ketika saya merubah pola hidup saya 180 derajat, bukan lagi mengandalkan manusia, melainkan mengandalkan Tuhan, percaya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, dan hanya pada Tuhan. Seorang istri yang luar biasa pun Dia sediakan, betapa saya merasakan kebahagiaan sebenarnya lewat segala sesuatu yang  Tuhan sediakan bagi hidup saya hari ini.
Belum lama ini Adidas meluncurkan kampanye terbaru mereka yang memfokuskan pada kisah-kisah perjuangan pemain bola mengatasi segala keterbatasan mereka dan mencapai sukses dari kemustahilan. Kampanye itu bertema "Impossible is Nothing". Salah satu kisah yang diangkat adalah mengenai Lionel Messi. Messi terbilang pendek untuk menjadi seorang pemain sepakbola. Ia memiliki kelainan hormon yang membuatnya tidak bisa tumbuh normal. Messi menggambarkan dirinya bagaikan liliput di tengah raksasa seperti gambar di sebelah kiri. Secara logika, Messi tidak mungkin bisa sukses sebagai seorang pemain sepak bola. Tapi Messi terus berjuang, dia belajar mengolah bola di atas rumput. Sebagai orang yang lebih pendek dari rata-rata, ia punya gerakan yang lebih lincah dan liat. Kini Messi dikenal sebagai seorang pemain sepak bola paling top di dunia dengan gocekan maut. Gerakannya meliuk-liuk sulit dihentikan oleh pemain lawan. "Now I realize, sometimes bad things can turn out good. Impossible is nothing", demikian Messi mengakhiri kisahnya. 
Hari ini ketika menunggu jadwal mengajar selanjutnya, saya iseng membuka-buka skripsi beberapa siswa yang baru saja dikumpulkan ke bagian tata usaha. Sepertinya seragam, di setiap kata pengantar selalu saja ada bagian yang kira-kira berbunyi: "Penulis menyadari masih banyak kekurangan... untuk itu penulis mengharapkan masukan, kritik, saran yang bersifat membangun dan sebagainya". Sebagian besar siswa mungkin memasukkannya karena itu merupakan pakem/pola umum penulisan laporan ilmiah, namun di balik itu, saya melihat sebuah pengakuan bahwa di atas bumi ini tidak ada satupun manusia yang sempurna 100% dalam segala hal. Rasanya tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang benar-benar sempurna baik secara fisik, mental, intelektual atau kerohanian. Kita manusia yang punya banyak kelemahan dalam berbagai hal. Kita bisa berusaha untuk lebih baik lagi, untuk lebih sempurna lagi, namun mencapai 100% sempurna dalam segalanya? Tentu sangat sulit, karena kita punya banyak keterbatasan kemampuan dalam segala sesuatu. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kita memandang kelemahan kita. Apakah kita akan tenggelam mengasihani diri kita terus menerus akibat kelemahan-kelemahan itu, apakah kita memilih untuk menonjolkan kelemahan untuk mencari simpati dan empati sesama, atau kita bisa memandang bahwa kita tetap bisa berhasil dalam segala keterbatasan dan kelemahan kita, karena punya Tuhan yang jauh lebih besar dari apapun? Mampukah kita melihat kelemahan kita menjadi tempat dimana Tuhan menyatakan kuasaNya? Percayakah kita akan hal itu? 
Berat benar beban yang harus ditanggung bangsa ini. Setiap kali kita hendak pulih, sepertinya ada saja bencana yang kembali memporakporandakan kita. Secara de facto kita sudah merdeka selama 64 tahun, tapi dalam kenyataan kita masih sulit untuk bisa merasakan kemerdekaan secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan kita. Baru-baru ini kita kembali mengalami kejadian menyesakkan dengan tragedi bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Sebenarnya apa yang bisa diperbuat oleh anak-anak Tuhan? Sebenarnya ada banyak yang bisa kita lakukan bagi negara dan bangsa. Tapi sayangnya ada banyak di antara anak-anak Tuhan yang cenderung apatis, hanya mementingkan diri sendiri dan tidak mau terlibat dalam mensejahterakan negara dan bangsanya. "ah, saya bukan politisi... itu bukan urusan saya.." kata seseorang pada suatu ketika. Memang kita mungkin bukan politisi, tapi sesungguhnya berjuang demi bangsa tidak hanya tugas politisi. Adalah kewajiban seluruh warga negara, tanpa terkecuali untuk berbuat yang terbaik bagi bangsanya. Di samping perbuatan-perbuatan nyata seperti membantu yang susah, turut menciptakan perdamaian minimal di sekeliling kita, seperti apa yang diajarkan Tuhan yaitu menjadi terang dan garam, kita bisa pula berperan penting lewat doa-doa yang kita panjatkan demi bangsa dan negara kita. 
Beberapa bulan yang lalu saya meliput sebuah pentas event jazz yang diadakan sebuah kampus besar. Selain saya sendiri bertindak sebagai reporter, saya membawa seorang dua anggota lain untuk meliput. Satu fotografer dan satu reporter tambahan. Sebelum dan ketika event berlangsung, saya menginstruksikan kedua teman saya mengenai segala sesuatu. Bagi si fotografer, saya memberitahukan Apa yang harus ia foto, angle seperti apa yang saya inginkan, siapa yang harus ia fokuskan dan sebagainya. Bagi reporter tambahan, saya memberitahukan info apa yang harus ia peroleh dan sebagainya. Maka mereka pun bisa melakukan tugasnya dengan mudah. Di sana saya bertemu dengan seorang teman yang menjadi reporter pada media lain. Ternyata ia hadir disana hanya disuruh tanpa diinstruksikan apa-apa. Sepanjang acara ia kebingungan karena tidak tahu harus berbuat apa. Tidak tahu sedikitpun mengenai siapa yang tampil, tidak tahu harus bertanya kemana. Alangkah sulitnya melakukan sesuatu seperti yang diperintahkan tanpa adanya kordinasi dan instruksi jelas dari yang menyuruh.