===================
"Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini. Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali."
Hidup sendiri jauh lebih mudah ketimbang setelah berkeluarga. Itu kesimpulan banyak teman yang sudah merasakan sulitnya mengatur keuangan setelah menikah. "Ketika masih lajang, yang dicukupkan cuma diri sendiri, sekarang ada keluarga yang harus saya tanggung.. saya tidak bisa lagi seenaknya beli ini itu dan memutuskan ini itu, karena dampaknya bisa mengenai keluarga saya.." begitu kata seorang teman pada suatu ketika. "Cash flow" dalam rumah tangga haruslah dijaga agar tetap sehat, jangan sampai kolom "kredit" jauh melebihi kolom "debet", dan akhirnya ada banyak lubang menganga yang siap membuat kita terjerat dalam masalah. Ada yang menjadi korban hutang, gali lubang tutup lubang, membuka hutang baru untuk menutupi hutang yang lain terus menerus. Ada yang tergoda untuk melakukan korupsi, mulai dari yang kelas teri hingga kelas kakap dengan mengemplang uang milyaran sekalipun. Ada yang memilih jalan okultisme. Ada yang jadi kecanduan judi. Ada yang akhirnya merampok, mencuri, bahkan membunuh demi harta. Ada yang jatuh dalam dosa perzinahan karena hal ini. Masalahnya seperti yang sudah pernah saya ulas sebelumnya. How much enough is enough? Manusia punya kecenderungan untuk sulit puas. Apakah anda pernah berpikir, jika saja anda bisa mendapatkan gaji dua kali lipat dibanding saat ini, tentulah hidup akan lebih nyaman? Misalnya anda mendapatkan 1 juta saat ini, anda akan berpikir bahwa 2 juta mungkin akan cukup.. begitu anda mendapatkan 2 juta, anda akan berpikir bahwa 4 juta akan membuat hidup jauh lebih mudah.. anda mendapatkan 4 juta, anda pun akan berkata 8 juta tentu akan membuat hidup lebih nyaman, dan seterusnya. Tidak akan ada angka final yang bisa membuat kita mencapai kepuasan jika kita terus memandang hidup dari sisi kebutuhan duniawi. Tidak heran jika dikatakan akar dari segala kejahatan adalah cinta akan uang. (1 Timotius 6:10). Bermula dari mengejar harta, orang bisa terjerumus ke dalam berbagai dosa yang semakin lama akan semakin parah. Apakah kekristenan melarang untuk kaya? Tidak. Apakah kekristenan mengharamkan bekerja keras untuk mencari pendapatan? Sama sekali tidak. Yang dipermasalahkan bukanlah uangnya, tetapi motivasinya. Pengkotbah menulis panjang lebar mengenai kesia-siaan kekayaan jika motivasinya salah. "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya? Enak tidurnya orang yang bekerja, baik ia makan sedikit maupun banyak; tetapi kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak membiarkan dia tidur." (Pengkotbah 5:11). Kekayaan tidak membuat kita bisa tidur nyenyak. Kemiskinan juga tidak membuat kita tidur nyenyak, itu benar. Yang bisa membuat kita tidur nyenyak adalah mensyukuri apa yang kita peroleh sebagai hasil kerja keras kita. "There is a serious and severe evil which I have seen under the sun.." kata Pengkotbah, "riches were kept by their owner to his hurt". (ay 12). Mati-matian mengejar harta dengan motivasi yang salah adalah seperti orang yang berlelah-lelah menjaring angin, alias sia-sia. Semua itu bisa habis seketika, karena setiap saat ngengat dan karat bisa merusakkannya, pencuri pun bisa membongkar dan mencurinya.(Matius 6:19). Maka penulis Amsal mengingatkan demikian: "Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini. Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali." (Amsal 23:4) Mencari jalan pintas untuk menjadi kaya dalam sekejap mata tidak akan pernah membawa kebaikan. "Harta yang cepat diperoleh akan berkurang, tetapi siapa mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya." (Amsal 13:11).
Jadi bagaimana yang baik? Yang baik adalah menetapkan skala prioritas yang tepat. "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33). Yang baik adalah melakukan pekerjaan kita dengan serius dan sungguh-sungguh seperti melakukannya untuk Tuhan. (Kolose 3:23). Ingatlah bahwa Tuhan sanggup memberkati anda, mencukupi segala kebutuhan anda. Berkat datangnya dari Tuhan, dan bukan dari segala harta kekayaan yang kita kumpulkan. Karena itu tidak perlu cemas akan hari depan, jangan sampai motivasi bergeser menjadi hamba uang, namun lakukanlah pekerjaan dengan sebaik-baiknya disertai rasa syukur akan Tuhan. Jangan lupa memberkati orang lain melalui apa yang telah kita terima, dan jangan lupa memuji dan menyembahNya. Betapa indahnya jika apa yang kita miliki berasal dari berkat Tuhan yang turun atas kita, berapa pun itu, karena apa yang berasal dari Tuhan pasti memberkati hidup kita dan tidak membawa kita ke dalam kesia-siaan. Carilah dahulu kerajaanNya dan kebenarannya, maka ketika semua ditambahkan kepada kita, kita tidak menjadi sesat dan lupa diri sehingga jatuh dalam berbagai jerat dosa. Apapun pekerjaan anda saat ini, selama tidak menyimpang dari firman Tuhan, lakukanlah dengan sungguh-sungguh, walaupun mungkin apa yang anda peroleh belum cukup untuk memenuhi kebutuhan anda sekeluarga. Percayalah Tuhan mampu memberkati anda lewat pekerjaan anda, dan mencukupi kebutuhan anda sehingga anda tidak berkekurangan!
Tuhan mampu memberkati pekerjaan yang kecil sekalipun secara luar biasa
Kemarin ketika sedang kebaktian di Gereja, seorang anak muda yang kebetulan duduk di sebelah saya tertidur lelap ketika kotbah baru saja dimulai. Mungkin dia terlalu capai malam sebelumnya, mungkin dia merasa bosan, mungkin dia sudah mengetahui isi kotbah, saya tidak tahu pasti. Namun dia begitu dalam tertidur. Saking lelapnya, kepalanya beberapa kali hampir menyentuh pundak saya. Dalam hati, saya berpikir, waduh.. sayang banget kotbah yang begitu penting seperti ini dilewatkan karena tertidur.. lalu saya pun sempat merasa geli karena membayangkan kisah Eutikhus dalam Kisah Para Rasul 20:9. Disana diceritakan akibat lamanya Paulus kotbah di lantai tiga sebuah gedung, ada seorang muda bernama Eutikhus yang jadi mengantuk, kemudian tertidur lelap. Sayang sepertinya dia duduk di tepi jendela, dan akibatnya dia pun terjatuh dari lantai tiga ke bawah. Saya tertawa dalam hati, untung saya yang disebelahnya, bukan jendela, kalau tidak mungkin dia sudah senasib seperti Eutikhus. Di saat itulah saya mendapat sebuah teguran dalam hati. "kenapa kamu menertawakan dia? Bukankah karena terlalu sibuk memperhatikannya kamu sendiri juga hilang fokus pada kotbah?" Saya terkesiap. Dan itu benar. Tanpa sadar dan tanpa maksud, saya sudah menghakimi saudara yang duduk di samping saya. Oh no... forgive me Lord for I have sinned..
Nilai tukar, balas jasa, upah, gaji, imbalan, itu semua merupakan hal yang tidak lagi asing bagi kita. Ketika kita bekerja tentu kita mengharapkan sebuah imbalan. Sebuah konsep "take and give" dalam arti seluas-luasnya merupakan sebuah proses mata rantai yang lumrah dalam hidup, baik dalam lingkungan keluarga, pertemanan, dunia usaha dan sebagainya. Kecenderungan manusia adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan imbalan, mendapatkan sebentuk balas jasa. Sejak jaman sebelum uang dipakai sebagai sebuah alat tukar, orang sudah menerapkan hal ini melalui barter atau pertukaran. Seekor kambing ditukar dengan alat pertanian misalnya. Hal tersebut hingga saat ini pun masih berlangsung. Ada orang yang masih menggadaikan benda kesayangannya sebagai alat tukar untuk mendapatkan sesuatu.
Ada sebuah penggalan kisah menarik dari sejarah kehidupan Napoleon. Pada suatu ada seorang ibu yang mendatangi Napoleon dan meminta pengampunan bagi putranya. Saat itu putranya akan dihukum mati.Napoleon pun mengingatkan bahwa kejahatan anaknya sudah keterlaluan, dan keadilan yang paling tepat bagi tindakan kriminal yang dilakukan anaknya adalah hukuman mati. Begini jawaban si ibu,"sir, not justice, but mercy.." "Tetapi yang aku mohon bukanlah keadilan, namun belas kasihan". Demikian katanya. Napoleon kemudian menjawab: "tapi anakmu tidak layak menerima belas kasihan!" Dan si ibu kembali berkata sambil menangis: "tuan, bukanlah belas kasihan namanya jika ia layak menerimanya.." Napoleon tertegun sejenak, kemudian berkata: "benar juga..ibu benar.. aku mau memberikan belas kasihan." Dan anaknya pun dibebaskan.
Bulan lalu saya meliput di sebuah acara yang diadakan oleh anak-anak SMA. Sebagai wartawan jazz, saya diundang untuk meliput karena ada satu band jazz yang akan tampil mengisi acara tersebut. Saya membawa seorang teman yang bertindak sebagai fotografer. Kami memperkirakan acaranya bakal ramai. Tapi ketika kami sampai disana, yang menonton ternyata hanyalah 20 an anak, itupun yang serius menyimak cuma sedikit. Sound systemnya parah. Bayangkan band harus dua kali terhenti ditengah permainan karena ada masalah pada sound system. Teman saya pun berkata, "garing ah... apa yang mau diulas kalau seperti ini?" Memang acaranya tanpa greget, tapi bagi saya segala sesuatu itu punya dua sisi, seperti halnya mata uang. Artinya, dari acara yang tanpa greget itupun pasti ada sisi baik yang bisa diambil sebagai sebuah ulasan yang baik. Dan malamnya pun saya menulis. Saya mengambil sisi positif. Apa misalnya? Band itu masih tetap bersemangat main dan tidak menggerutu walaupun sound systemnya jelek. Benar cuma ada 20an anak, tapi mereka yang menonton dengan sungguh-sungguh terlihat begitu menikmati pertunjukan. Anak SMA bisa mengerti komposisi jazz yang lumayan rumit dan menikmatinya, itu pun bagi saya merupakan perkembangan yang menggembirakan. Bukankah semua itu hal positif? Dari sana saya mengembangkan artikel ulasan saya. Dan ketika selesai, teman saya pun berkata "pinter banget nulisnya.. great, great,great!" Band jazz dan kordinatornya pun senang. All ended well. Saya yakin tidak ada penyelenggara yang mau acaranya sepi penonton. Bayangkan jika sudah sepi, mereka malah dihakimi oleh pers dan dibaca oleh begitu banyak orang. Kasihan kan? Padahal mereka sudah mati-matian berusaha. Puji Tuhan, saya sudah sekian lama berlatih untuk mendasari hidup dengan sikap positif, seperti yang ditulis dalam ayat bacaan hari ini, dan itu membuat saya mampu mengambil sisi positif dari sebuah situasi. Betapa bergunanya sikap demikian dalam salah satu pekerjaan saya sebagai wartawan.
Tidak terasa RHO sudah melewati setahun. Selama setahun saya menulis renungan tiap malam, membaca Alkitab, merenungkan firman Tuhan tanpa lewat satu kali pun, dan yang paling utama, selama setahun penuh pula Tuhan berbicara sehingga saya bisa menuliskan renungan demi renungan setiap harinya. Jika saya mengingat kembali pada awal dimana saya memutuskan untuk menulis, ada keraguan yang sempat terbersit di hati saya, apakah saya sanggup? Ini mengingat saya bukanlah lulusan teologia, masuk saja tidak pernah. Saya terhitung baru menerima Kristus sebagai Juru Selamat, baru memasuki tahun ke 8. Hidup saya di masa lalu bergelimang dosa dalam berbagai bentuk. Sebelum saya mulai menulis, saya sangat jarang membaca Alkitab, paling di Gereja saja, itu juga tidak setiap minggu saya jalani. Saya jarang berdoa, sangat tidak teratur. Ketika saya mencoba, terkadang saya tertidur di saat berdoa, dan amin-nya baru besok pagi. Tidak heran jika saya bingung dan ragu ketika saya diminta Tuhan untuk melayani lewat internet. Saya berkata, "Tuhan, serius dong... apa mungkin saya bisa? Apa nggak mending pedeta saja atau siswa sekolah teologia?" Dan kata-kata yang terdengar dalam hati saya waktu itu sangat jelas. "Aku tidak bertanya bisa atau tidak, tapi mau atau tidak. Karena bukan kamu yang bekerja, tapi Aku." Dan saya memutuskan untuk taat. Saya merasa begitu banyak hidup saya yang tersia-siakan karena dulu saya hanya bergantung pada kekuatan saya sendiri. It's time for a turning point. This time I'll listen to Him and let Him decide whatever best for me. Itu yang menjadi tekad saya. Saya mau belajar percaya, mau belajar patuh dan mau menyerahkan perjalanan hidup saya ke depan bersama Dia. Dan hari ini saya cuma mau berucap syukur. Tuhan, Engkau luar biasa. Sudah lebih setahun, dan ternyata janjiNya terbukti. Tidak saja Dia berbicara setiap hari untuk bahan yang harus dituliskan, namun penyertaanNya dalam perjalanan hidup saya penuh dengan mukjizat atau keajaiban-keajaiban. I feel so close to Him, closer than I've ever felt, and that has been going for more than a year! Begitu kuatnya keberadaan Tuhan dalam hidup saya, sehingga saya bisa meninggalkan segala kekhawatiran mengenai masa depan, saya tidak perlu takut atau ragu, karena saya tahu ada Tuhan yang bertahta di atas segala pekerjaan yang saya lakukan, dan hidup yang saya jalani bersama keluarga saya. Berbagai keajaiban yang lewat nalar manusia rasanya tidak mungkin, terjadi berkali-kali. Mukjizat kesembuhan, berkat dalam pekerjaan, teguran-teguran, hikmat dan banyak lagi bentuk kemuliaanNya hadir dalam hidup saya. Jika sekarang saya boleh merasakan sukacita dan damai sejahtera, itu karena tidak ada lagi rasa khawatir untuk hari depan, sebab Tuhan dalam hidup saya. Haleluya!
How much enough is enough? Ini pertanyaan yang sederhana namun biasanya cukup sulit untuk dijawab secara jujur. Batasan orang mengenai rasa cukup bisa beragam. Manusia cenderung sulit untuk merasa puas. Berbagai kebutuhan terus bertambah setiap saat. Dulu saya bisa hidup tanpa telepon, sekarang jika telepon selular saya ketinggalan di rumah saya sudah pusing. Dulu tanpa komputer hidup oke-oke saja, sekarang jika internet mati saya kerepotan. Perkembangan jaman membuat kebutuhan manusia pun berubah bertambah banyak di segala sisi kehidupan. Melihat tetangga punya mobil, kita pun ingin punya mobil. Sudah punya mobil? Tetap saja mobil tetangga lebih bagus. Sebagian pria menganggap wanita punya kebutuhan jauh lebih banyak dibanding pria. Banyak suami mengeluh istrinya terus saja belanja. Sepatu baru, tas baru, padahal yang lama belum juga puas dipakai. Tapi jaman sekarang ini pria pun banyak yang jadi pesolek, malah tidak jarang kebutuhan aksesoris sebagian pria justru melebihi kebutuhan wanita. Maka kita kembali pada pertanyaan, kapan kita bisa merasa cukup? Apa jika kita sudah punya mobil lebih dari satu, punya handphone lebih dari satu (satu GSM dan satu CDMA atau malah lebih), bisa makan di restoran, bisa jalan-jalan ke luar negeri, bisa berbelanja tanpa pusing, bisa punya tabungan melewati 8 digit, dan seterusnya, kita akan merasa cukup? Kecenderungan manusia mengarah pada jawaban: belum cukup. Bahkan ketika kita sudah memiliki segalanya, seringkali rasa belum cukup itu malah bertambah. "Semakin banyak yang saya punya, semakin banyak pula yang tidak saya punya.." kata seorang teman pada suatu kali.
Semakin tua, semakin singkat pula rasanya waktu berjalan. Ini yang saya rasakan. Saya mengingat waktu saya kecil dimana saya kerap kali merasakan waktu berjalan begitu lambat. Begitu lambat sehingga rasanya saya cepat sekali bosan terhadap sesuatu. Tapi sekarang saya merasa waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru bangun, tiba-tiba tanpa terasa waktu untuk tidur sudah tiba. Rasanya baru saja hari senin, tahu-tahu sudah senin lagi. Bulan berlalu dengan cepat, tahun berlalu juga dengan cepat. Tidak terasa kita sudah hampir memasuki bulan ketiga di tahun ini, sementara rasanya baru saja kita merayakan tahun baru. Rasanya waktu seperti komet saja cepatnya. Malam ini saya merenung, sudah seberapa jauh saya memanfaatkan waktu-waktu, hari-hari yang diijinkan Tuhan untuk ada dalam hidup saya. Sudahkah saya memaksimalkan penggunaan waktu dengan seefektif mungkin? Sudahkah saya memakai segala talenta dan berkat dari Tuhan dalam waktu yang disediakan bagi saya untuk kemuliaanNya secara cukup? Begitu banyak pertanyaan, karena saya tahu saya tidak akan selamanya memiliki hari demi hari di dunia ini. Satu saat nanti itu akan berakhir. Dan saya tidak ingin mengakhirinya dengan sia-sia tanpa hasil. Saya ingin berbuah, meninggalkan jejak-jejak yang semoga bisa bermanfaat bagi sesama, dimana nama Tuhan bisa dipermuliakan lewat berbagai penggunaan waktu secara efektif dalam hidup saya. That's what I want.
Seberapa kuat kita mampu menjalani hidup sendirian? Mungkin untuk sementara bisa, tapi untuk jangka waktu lama tentunya akan sangat sulit jika kita harus bertahan sendirian. Tuhan pun sejak awal menyadari itu. "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.." (Kejadian 2:18). Itu artinya manusia memang diciptakan sebagai mahluk sosial yang saling butuh dengan sesamanya. Kita adalah bagian integral dari masyarakat majemuk. Pada satu titik, kita akan tahu bahwa kita butuh orang lain untuk bisa bertahan hidup. Lingkungan yang sulit, dunia yang kejam dan sebagainya setiap saat akan membuat kita semakin lama semakin lemah. Disaat seperti itu kita butuh teman-teman yang sanggup menguatkan, sanggup mengingatkan dan meneguhkan.
Kesalkah anda ketika mendapati bahwa buah yang anda beli ternyata asam? Misalkan saja anda membeli sekilo jeruk. Dari penampilan luar jeruk itu mungkin punya kulit yang mulus tanpa cacat. Namun ketika anda memakannya, ternyata jeruk itu masamnya minta ampun sehingga tidak bisa dimakan. Kalau cuma satu dua buah mungkin tidak apa-apa, tapi bagaimana jika sebagian besar, atau bahkan seluruhnya tidak bisa dinikmati? Yang lebih parah, bagaimana jika bukan hanya masam, tapi juga busuk? Mungkin anda akan mengomel atau mengembalikan kepada si penjual sambil marah-marah. Ada banyak orang yang tertipu fisik luar buah yang terlihat mulus tak bercacat, namun ternyata tidak bisa dinikmati sama sekali.
Ketika seorang pengembara pada suatu ketika menyadari bahwa ia salah jalan, apa yang sebaiknya ia lakukan? Haruskah ia melanjutkan perjalanannya meski ia tahu bahwa jalan yang ia tempuh akan semakin menyesatkannya dan membuatnya tidak akan sampai pada tujuan? Seorang pengembara yang baik akan cepat menyadari jika jalan yang ia tempuh adalah salah dan akan segera berbalik sebelum dirinya semakin jauh tersesat. Life is also a journey. Kita pun adalah pengembara - pengembara dalam menempuh perjalanan kehidupan. Begitu banyak percabangan jalan yang kita temui sepanjang perjalanan, begitu banyak godaan, dan jika salah jalan, kita pun bisa tersesat, dan dengan demikian gagal mencapai tujuan kita. Sebagai manusia yang lemah, adalah wajar jika pada suatu waktu kita akan salah melangkah. Namun yang penting adalah bertindak seperti sang pengembara yang baik. Ketika kita mengambil belokan yang salah dan menyimpang, cepatlah sadar dan bergegaslah untuk kembali menemukan jalan pulang kepada Bapa.
Batman adalah salah satu tokoh favorit saya sejak kecil. Bagi saya, meskipun Batman tetaplah sebuah fiksi, tokoh superhero rekaan, namun banyak sisi-sisi humanisnya. Tidak seperti Superman yang datang dari planet Krypton dan punya kekuatan super, bisa terbang, kebal peluru dan sebagainya, Batman hanyalah manusia biasa seperti kita yang dilengkapi dengan kemampuan bela diri dan teknologi. Batman tidak bisa terbang, tidak kebal peluru, tidak immortal,bahkan sempat mengalami masa-masa pahit dalam hidupnya pula. Kedua orang tuanya tewas di bunuh penjahat di depan matanya ketika ia masih kecil, akibatnya kehidupannya berubah drastis. Itu sedikit cuplikan kisah Batman yang kemudian menjadi superhero pahlawan penumpas kejahatan di seantero kota rekaan Gotham city. Sebuah lampu sinyal akan menyala ke langit jika Batman dibutuhkan. Lampu sorot yang membentuk logonya akan terlihat di langit, dan itu artinya ada tindak kejahatan serius yang membutuhkan kehadirannya.
Sebuah pertanyaan hadir di hati saya hari ini. Mengapa ada orang yang selalu gagal dalam hidupnya? Ada yang sudah berulang kali didoakan namun tetap saja mereka sulit bangkit. Ada orang yang saya benar-benar saya kenal mengalami hal ini. Hidupnya statis dalam segala keterbatasan, jika tidak disebut kekurangan. Padahal dia hidup baik dan rajin membaca firman Tuhan setiap hari. Apakah Tuhan tidak memberkatinya? Apakah janji Tuhan hanya berlaku bagi sebagian kecil orang yang terpilih? Saya yakin tidak, karena janji Tuhan berlaku bagi semua orang. Lantas apa yang menyebabkan? Ayat bacaan hari ini hadir dalam hati saya. Salah satu penyebabnya ada dalam ayat ini.
Beberapa hari ini pekerjaan rasanya begitu menumpuk. Saya merasa sangat lelah. Tadi sore saja ketika saya mengajar di kelas untuk ketiga kalinya dalam hari ini, nafas saya sudah tersengal-sengal. Mata rasanya perih, sulit konsentrasi dan fokus pada sesuatu. Yang lebih mengesalkan, sesampainya di rumah nanti pun saya masih harus mengerjakan banyak hal. Ada beberapa pekerjaan menanti dan seharusnya diselesaikan malam ini juga. Ketika di jalan pulang pun saya mengendarai mobil ekstra hati-hati, karena saya tahu konsentrasi saya sedang lemah. Di kampus saya sempat berpikir untuk langsung tidur setelah pulang ke rumah agar stamina saya bisa kembali meningkat. Saya sudah merencanakan untuk menunda pekerjaan saya di depan komputer malam ini hingga besok. Tapi di jalan, saya tiba-tiba diingatkan akan ayat yang saya jadikan ayat bacaan di atas. "Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik." (Pengkotbah 11:6). Sejenak saya sempat bertanya, apakah Tuhan tidak tahu kalau saya sedang mengalami keletihan yang luar biasa? "Tuhan, saya ingin istirahat..., please..I'm exhausted." itu yang saya katakan, namun ayat ini kembali hadir dalam hati saya. Kemudian saya sempat berpikir, apa sebenarnya yang dimaksud oleh ayat ini. Apakah ayat ini bermaksud agar kita semua menjadi workaholic akut alias orang-orang gila kerja? Apakah kita diminta untuk fokus pada pekerjaan dan menomorduakan keluarga bahkan Tuhan?
Kemarin saya kaget membaca status seorang teman saya di facebook. Sebut saja namanya X. Disana tertulis: "X is sad.. my husband told me I was a rhino..duh.." Bagaimana seorang suami tega menyebut istrinya seperti badak? Mungkin maksudnya bercanda, tapi bercanda juga kira-kira dong... itu yang ada di benak saya. Atau kalaupun teman saya tadi memang gemuk, bukan begitu caranya berkata pada istri sendiri. Saya jadi ingat pernah membaca sebuah survey mengenai suami istri. Hasil yang diperoleh ternyata mencengangkan.. Ada banyak yang berkata bahwa mereka tidak pernah menerima pujian, kemudian disusul pula dengan "jarang sekali, hampir tidak pernah." Ada yang pernah berkata dia tidak ingat lagi kapan terakhir kali dipuji oleh pasangannya. Seorang teman pernah berkata sambil tertawa bahwa ia bisa membedakan pasangan yang masih pacaran dan sudah menikah hanya dari perilaku mereka di restoran. Yang masih pacaran, katanya, akan terlihat sangat mesra, mata seolah-olah tidak bisa lepas dari tatapan ke arah kekasihnya. Sedangkan yang sudah menikah? Biasanya cuek dengan kesibukan masing-masing. Dua-duanya sibuk main ponsel, atau satu baca koran, satunya sms-an. Di sisi lain ada orang yang sulit memuji. Tidak terbiasa untuk memuji dari kecil, bukan lahir di lingkungan keluarga yang saling menghargai, ada yang merasa risih untuk memberi pujian, ada yang malu, bahkan ada pula yang takut pujian mereka bisa membuat orang lain besar kepala.
Ada berapa banyak kartu valentine yang dikirimkan dalam setahun? Dari wikipedia saya mendapatkan datanya. Menurut The US Greeting Card Association, diperkirakan ada sekitar 1 milyar kartu valentine yang dikirimkan di seluruh dunia. Angka ini menjadikan hari valentine sebagai hari raya terbesar setelah Natal untuk urusan berkirim kartu. Itu adalah kartu yang dikirim lewat pos, belum lagi ucapan lewat e-card, sepucuk surat cinta, sms, telepon atau yang merayakan secara langsung tanpa kartu. Dalam merayakan valentine pun biasanya orang punya tradisi untuk mengajak orang yang dicintai ke restoran menikmati candle light dinner. Bunga mawar, atau bertukar kado, itu pun menjadi sebuah kebiasaan bagi banyak orang. Ada banyak restoran menawarkan paket valentine lengkap dengan sekuntum bunga dan paket-paket acara spesial lainnya, toko-toko dan mal pun biasanya membuat dekorasi khusus valentine.
Bagi banyak pasangan, hari kasih sayang alias valentine's day yang akan tiba dua hari lagi merupakan sebuah agenda penting untuk menyatakan kasih sayang pada pasangannya, baik lewat ucapan, puisi, sekuntum atau sebuket bunga, kartu, kado, candle light dinner dan sebagainya. Tapi di sisi lain, ada orang-orang yang justru membenci hari valentine ini. Mungkin wajar jika hal itu datang dari saudara-saudara kita yang tidak seiman yang mengaitkan valentine sebagai sebuah perayaan Kristen, tapi ternyata di antara saudara seiman pun hal yang sama bisa terjadi. Ada banyak orang yang mengalami kekecewaan dalam hubungannya berkali-kali, ada yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua atau keluarganya, ada yang mati rasa, hambar bahkan pahit. Ada seorang teman yang memiliki kebiasaan untuk memutar lagu-lagu yang disebutnya sebagai "anti valentine songs". Ada banyak lagu-lagu yang anti kasih, bercerita tentang kesendirian, tidak perlu cinta hingga lirik penuh kebencian. Mungkin artis-artis itu pun punya pengalaman pahit tentang sebuah kasih. Ketika saya tadi bercerita dengan salah seorang murid saya tentang itu, dia berkata: "wah kasihan banget..." Ya, kita seringkali merasa kasihan, tapi akhirnya berhenti hanya sampai sebuah ucapan kasihan saja. Sadarilah, ada banyak orang disekitar kita yang mungkin belum pernah mengenal kasih sama sekali, atau sudah skeptis dan menganggap cinta kasih hanyalah omong kosong belaka.
Sudah lama saya berharap agar website musik jazz yang saya sudah saya kelola selama lebih dari setahun bisa menghasilkan keuntungan. Dalam 3 bulan terakhir Tuhan memang telah membukakan begitu banyak pintu berkat, sehingga situs tersebut mulai dikenal bukan saja di Indonesia tapi juga di luar. Saya mulai mendapat banyak respon dari jumlah pengunjung yang terus meningkat. Saya juga mulai mendapatkan permintaan review album dan wawancara dari banyak artis mancanegara. Haleluya, puji Tuhan, karena tanpa Tuhan saya yakin perjuangan dan usaha saya tidak akan mampu mencapai peningkatan seperti itu. Tapi secara finansial, website itu belumlah mampu menghasilkan.