====================
"Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka."
Salah seorang teman saya pernah mengalami situasi hidup dan mati karena terjatuh dari sampan dan kemudian terseret arus. Ia bercerita bahwa arus itu sangat kuat menyeretnya. Ia berusaha melawan arus dengan berenang ke arah yang berlawanan tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk bertahan. Untunglah ditengah keadaan berbahaya itu ia kemudian melihat sebuah dahan yang cukup besar sehingga ia bisa berpegangan disana sampai diselamatkan. Melawan arus memang tidak mudah, apalagi kalau sendirian. Kita mungkin bisa bertahan sampai waktu tertentu, tetapi tenaga kita yang terbatas akan terus berkurang sehingga pada suatu saat kita akan menyerah dan terseret arus untuk dibawa entah kemana. Betapa mengerikan seandainya diujung sana terbentang air terjun dengan jurang yang besar. Nyawa kita pun bisa hilang kalau itu yang terjadi. Dalam kehidupan ini kita pun seringkali harus terus berjuang melawan arus penyesatan di dunia. Kita sudah mati-matian berusaha untuk tidak terseret, tetapi arus yang sangat kuat bisa jadi menekan kita terus menerus sehingga pada saat kita lemah, kita pun akhirnya bisa ikut terseret arus itu. Melawan arus dunia seperti ini tidaklah mudah karena serangannya bisa dari segala arah. Salah-salah, kita bisa terbawa arus dalam berlayar mengarungi derasnya samudera kehidupan, dan akibatnya terperangkap pada akhir yang salah.
Mari kita lihat ketika situasi yang sama menimpa para murid Yesus dalam Markus 6. Tepat setelah Yesus melakukan mukjizat lewat lima roti dan dua ikan untuk memberi makan ribuan orang, murid-murid Yesus segera diperintahkan untuk berlayar terlebih dahulu menuju Betsaida, sementara Yesus sendiri mengambil waktu untuk bersama Bapa dengan pergi ke atas bukit untuk berdoa. Ketika para murid sudah sampai di tengah danau, muncullah angin sakal pada malam itu. Angin sakal adalah jenis angin yang berlawanan dengan arah perahu, bertiup datang dari depan. Bisa dibayangkan bagaimana mereka kepayahan mendayung kapal untuk melawan angin sakal tersebut. Di saat tengah malam mencapai masa-masa puncaknya, sekitar jam tiga, dan disaat mereka mungkin mulai kelelahan mendayung, datanglah Yesus dengan berjalan di atas air. Markus mencatat demikian: "Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka." (Markus 6:48). Mungkin karena sempat kelelahan mendayung, konsentrasi mereka menjadi lemah, dan sempat kaget mengira bahwa yang mendatangi mereka adalah hantu. Mereka pun menjadi panik. "Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu, lalu mereka berteriak-teriak" (ay 48). Tapi Yesus berkata: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" (ay 50). Begitu Yesus naik ke perahu, serta merta angin pun reda. (ay 51). Mereka pun bisa mendayung dengan tenang hingga sampai ke tujuan.
Mungkin saat ini kita sudah sampai di pertengahan perjalanan dalam berlayar menempuh samudera kehidupan, dan seperti kisah para murid dan Yesus di atas, angin sakal mulai bertiup sehingga kita mulai merasa kelelahan dalam mengemudikan kapal kita untuk terus maju ke depan hingga sampai ke tujuan akhir kita. Kita tahu destinasi kita semua yaitu menuju sebuah kehidupan kekal penuh sukacita tanpa ratap tangis bersama Bapa di Surga, tetapi mungkin saat ini terpaan angin sakal membuat kita kepayahan untuk mengarunginya. Sulit melawan arus dunia yang penuh tipu muslihat, ketidakadilan dan kesesatan. Pergaulan yang buruk, lingkungan yang tidak sehat, hal-hal negatif yang kita lihat dan dengar di sekitar kita, segala kedagingan duniawi, dan sebagainya, seringkali membuat kita menjadi lemah ketika kita berusaha melawannya. Kita memang diminta untuk tidak mengikuti arus dunia, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini" (Roma 12:2), tapi Tuhan mengerti bahwa mengandalkan tenaga kita sendiri tidak akan sanggup untuk melakukan itu. Ayat hari ini mengajarkan kita untuk berhenti menggunakan tenaga sendiri. Di antara murid-murid Yesus ada beberapa nelayan senior berpengalaman, yang seharusnya sudah tahu bagaimana cara berlayar yang baik dan benar, tapi mereka tetap saja kepayahan dan menemui masalah dalam perjalanan ketika didera angin yang berlawanan. Demikian pula hidup kita. Meski kita punya pengalaman, tenaga dan sebagainya, pada suatu ketika kita bisa berhadapan dengan situasi pelik yang tidak bisa kita atasi sendirian. Di saat seperti itulah kita bisa mulai belajar untuk mengandalkan Tuhan. Berkali-kali Tuhan berkata "Jangan takut" dalam Alkitab. Bagaimana kita bisa tidak takut? Caranya adalah dengan menyadari bahwa Tuhan selalu ada beserta kita. Jika ada penyertaan Tuhan dalam hidup kita, mengapa kita harus takut? Lihatlah ketika Yesus naik ke dalam kapal, angin sakal langsung berhenti saat itu juga. Dalam mengarungi lautan kehidupan ini kita akan terus berhadapan dengan angin sakal. Pada satu waktu kita akan mulai kesulitan, tidak peduli seberapa hebatnya kita sebagai manusia, kita akan mengalaminya cepat atau lambat. Karena itulah kita butuh Yesus menyertai dalam perjalanan kita agar kita bisa sampai ke tujuan yang benar seperti apa yang dikehendaki Tuhan bagi hidup kita. Ketika ada Tuhan dalam perahu hidup kita, kita pun tidak perlu takut, meski sedang berlayar melawan arus dan dalam kekelaman malam sekalipun. Yesus sudah menjanjikan bahwa Dia akan selalu menyertai kita sampai akhir zaman (Matius 28:20). Meski arus di dunia ini sulit kita hadapi, ada "banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang...Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat." (Matius 24:11,13). Agar dapat bertahan mengayuh bahtera kehidupan kita butuh penyertaan Tuhan Yesus dalam hidup kita. Angin sakal akan terus kita hadapi, bahkan angin badai sekalipun bisa saja bertiup kencang dalam perjalanan kita mengarungi hidup. Tapi percayalah bahwa bersama Yesus kita akan mampu bertahan dan memperoleh kemenangan. Karenanya janganlah mengandalkan kekuatan sendiri, tapi milikilah sebuah perjalanan manis bersama Yesus hingga selamat sampai ke seberang.
"Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus." (1 Korintus 1:8)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Mudahkah mengatur sebuah pagelaran pentas musik? Tentu saja tidak. Tidak ada satupun acara panggung yang sanggup dikerjakan hanya oleh satu orang. Harus ada ketua, tim produksi, penghubung atau liaison dan sebagainya lengkap dengan anggotanya. Harus ada penyedia tempat, orang yang menata panggung, soundmen dan artis yang bermain. Lalu harus ada pula media yang bisa menginfokan tentang acaranya dan meliput. Dan tentu saja harus ada penonton. Semua ini menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah acara tidaklah pernah tergantung hanya dari satu orang melainkan atas kerjasama yang baik antara berbagai pihak yang terkait didalamnya. 
Saya merasa sangat senang hari ini. Betapa tidak, saya akhirnya menemukan dua orang untuk bertugas sebagai kontributor dari luar negeri, satu di negara lain di Asia dan satu di Amerika dalam kurun waktu kurang dari satu bulan. Hal ini buat saya sangatlah besar maknanya, karena saya bisa memperoleh hasil-hasil liputan dari koresponden atau kontributor di luar tanpa saya harus mengeluarkan biaya besar untuk pergi kesana sendiri atau mengirim tim dari negara kita untuk meliput kesana. Hal seperti ini tidak akan bisa tercapai kalau saya menutup diri dari pergaulan dan tidak terus memperluas jaringan atau network. Seperti halnya telepon selular, providernya tidak akan laku kalau daya jangkaunya sempit. Semakin luas, maka semakin besar pula kesempatan untuk dipilih oleh konsumen, karena apalah gunanaya sebuah fasilitas komunikasi apabila area jangkauannya sempit. 
Dunia percaya bahwa semakin besar atau semakin banyak itu artinya semakin hebat. The more the merrier, the bigger the better. Ada banyak orang yang serabutan mengerjakan ini dan itu agar kelihatan hebat, tetapi akibatnya mereka tidak fokus dan tidak satupun yang hasilnya baik. Sementara ada banyak pula orang yang malas mengurusi satu atau dua orang saja. Buang-buang waktu, begitu pikir mereka. Ada banyak artis yang mementingkan berapa banyak jumlah penontonnya sebelum mereka menerima tawaran manggung. Seorang gitaris asal Amerika yang pernah saya temui berkata bahwa ia tidak peduli berapa jumlah penontonnya. "I don't care if it's 5 or 10 people. As long as they enjoy my performance, I'll be delighted." katanya sambil tersenyum. Inilah sebuah sikap profesional yang bagi saya sangat indah didengar. Bagi saya sendiri jumlah tidaklah penting, karena bukan kuantitas yang saya cari melainkan kualitas. Saya akan mengajar dengan kualitas yang sama baik ketika muridnya berjumlah puluhan atau satuan. Satu orang atau sepuluh orang, saya tetap sama seriusnya dalam mentransfer ilmu mendidik mereka. Dalam kehidupan saya pun seringkali hal-hal kecil yang sederhana atau kelihatannya sepele tetapi bisa memberi makna luar biasa, baik dalam kehidupan di dunia maupun spiritual. Saya pernah menemukan sebuah ayat yang ditulis di pintu toilet. Singkat, namun ayat itu sungguh berbicara banyak kepada saya. 
Sejauh mana kita mengapresiasikan kemerdekaan? Tidak ada satupun orang yang mau terjajah, tetapi banyak orang yang bingung bagaimana menyikapi kemerdekaan. Banyak orang mengira bahwa kemerdekaan berarti bebas berbuat apa saja seenak perutnya tanpa mempertimbangkan apa-apa. Dan itulah yang terjadi di Indonesia persisnya setelah reformasi. Kata saling pengertian dan toleransi semakin lama semakin menghilang dari muka negara ini. Menyuarakan aspirasi tentu saja tidak salah. Itu hak setiap warga negara. Tapi sebuah kemerdekaan tanpa rambu-rambu jelas akan membahayakan bahkan menghancurkan, bukan saja diri kita tetapi juga orang banyak atau bahkan negara. Kemerdekaan yang dijalankan atas kepentingan pribadi atau golongan tanpa aturan sedikitpun akan menimbulkan banyak masalah. Bayangkan jika setiap orang merasa dirinya paling benar dan berhak menghancurkan yang tidak sepaham dengan mereka, apa jadinya negara ini? Seperti halnya belahan dunia lain, bangsa ini pun merupakan sebuah titipan Tuhan kepada kita yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Kita diijinkan untuk menikmatinya, tetapi jangan lupa bahwa ada tugas penting bagi kita untuk mengelola bumi dengan segala isinya dengan sebaik-baiknya, dan itu sudah digariskan Tuhan sejak pada awal penciptaan, seperti yang disebutkan dalam Kejadian 1:26,28. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban kita kelak seandainya kita malah ambil bagian dari proses penghancuran dan pengrusakan bumi beserta orang-oragn yang tinggal di dalamnya hanya karena kita tidak tahu bagaimana menyikapi kemerdekaan atau kebebasan ini dengan benar?
Seberapa jauh kita bisa bersyukur dengan apa yang sudah kita miliki sekarang? Puji Tuhan jika anda termasuk orang yang bersyukur atas segala yang ada pada anda, meski mungkin ada di antara teman-teman yang masih hidup pas-pasan atau sering disebut orang dengan cukup makan alias pas-pasan. Kenyataannya dunia semakin cenderung mendorong sikap konsumtif untuk keluar. Berbagai iklan menggambarkan seolah-olah kebahagiaan pasti diperoleh jika membeli produknya, bahkan ada pula yang secara tidak langsung atau mungkin terang-terangan bahwa orang yang tidak membeli produknya adalah orang-orang yang ketinggalan jaman, kurang gaul dan sebagainya. Kita terus berusaha memiliki segala-galanya. Tidak pernah ada kata cukup buat kita, dan dengan demikian kita terus mengejar untuk memiliki lebih banyak lagi. Tawaran-tawaran kartu kredit di pusat-pusat perbelanjaan yang mendesak atau memaksa dengan sikap kurang sopan terus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. "Selamat siang pak, sudah punya kartu kredit dari bank A?" Jika anda menjawab sudah punya, mereka pun kemudian akan bertanya: "Pakai kartu kredit apa pak?" Ini bentuk-bentuk pemaksaan yang terus terang membuat saya cukup risih berhadapan dengan mereka. Ada pula yang menelepon menawarkan fasilitas ini dan itu, seperti yang baru saja saya alami. Bayangkan, saya harus membayar 2 juta rupiah untuk memperoleh fasilitasnya, dan itu ia katakan sebagai hadiah. "Tidak semua orang loh pak, hanya 30 orang saja, dan ini sudah saya siapkan. Bapak beruntung terpilih untuk memperoleh ini. Sayang lho kalau diambil orang lain. Dikirimnya ke alamat mana?" Wah, saya cuma geleng-geleng kepala saja mendengar ini dan merasa miris melihat bagaimana dunia terus berubah menjadi semakin materialistis, egois dan konsumtif.
"Ah, apa sih yang bisa saya buat pak, saya cuma tukang kebun yang sudah tua dan tidak punya cukup pendidikan.." demikian kata tukang kebun langganan saya pada suatu kali. Ia adalah seorang bapak tua berperawakan kecil dengan penampilan yang sangat sederhana. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang kebun atau terkadang bertukang, sedang istrinya menerima cucian. Dengan kegiatan itu ia dan istri mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Mungkin pendapatannya terbilang kecil dibanding orang-orang yang bekerja di perusahaan atau kantor apalagi yang memegang jabatan-jabatan tinggi, tetapi ia sangat salah jika berpikir bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah ia masih sehat dan masih bekerja dengan amat sangat baik di usia senjanya? Bukankah ia masih bisa menghidupi keluarga termasuk anak, menantu dan cucunya yang tidak bekerja? Itu adalah sesuatu yang menurut saya sangat pantas dikagumi, dan karena itulah saya menaruh hormat yang sangat tinggi kepadanya. 
"Saya kecewa melihat orang-orang beratribut seolah mewakili sebuah agama tertentu tetapi perilakunya sangat memalukan. Mereka memberi cap buruk yang akan mengenai pemeluk kepercayaan yang sama, termasuk pula orang-orang seperti saya yang sama sekali tidak setuju dengan perilaku mereka itu." Demikian kata seorang teman yang gerah melihat berbagai teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengatas namakan sebuah kepercayaan. Dan ini sudah menjadi konsumsi berita sehari-hari. Aksi kekerasan, aksi teror dengan berbagai bentuk dan modus seolah mendapat pembenaran lewat berbagai alasan. Kasihan memang orang-orang yang tidak setuju terhadap perilaku mereka harus pula terkena getahnya. Hanya sekelompok yang berbuat, tetapi yang terkena bisa luas. Jika anda berpikir bahwa hal seperti ini hanya terjadi di luar kita, tunggu dulu. Dalam bentuk lain yang mungkin terasa tidak seekstrim itu, sebenarnya di kalangan orang percaya pun perilaku seperti ini juga terjadi. Hari ini saya melihat seorang pemuda yang memakai kalung salib membentak seorang pramuniaga di mal karena merasa terganggu. Itu dilihat oleh orang banyak. Pernah pula saya melihat mobil bertuliskan "Jesus Inside" yang memelesetkan slogan "Intel Inside" justru ugal-ugalan di jalan. Perilaku-perilaku seperti ini pun sesungguhnya sama mencemarkan kepercayaan yang dianut, yang tentu saja akan mengenai orang-orang lain yang seiman. Cap buruk bisa mengenai semuanya secara luas, dan hal seperti itu sering terjadi di depan mata kita, atau jangan-jangan kita sendiri pun sudah menjadi batu sandungan secara tidak sadar. Lihatlah bagaimana sesama orang percaya saling curiga dan tarik menarik jemaat. Mereka menganggap gerejanya paling benar sedang yang lain salah bahkan sesat. Saya pernah juga bertemu dengan seseorang yang secara kasar memaksa saudara/i seimannya untuk pindah ke gerejanya. Ia dengan mudahnya menjelek-jelekkan gereja tempat lawan bicaranya bertumbuh bahkan berani membawa-bawa nama Tuhan, bertindak seolah-olah ia adalah Tuhan yang paling tahu dan berhak menghakimi. Bukankah ini pun merupakan bentuk teror dan perbuatan buruk yang sama saja? Itu artinya, di kalangan kita sendiri pun tidak tertutup kemungkinan berkembangnya perilaku buruk yang bisa mencemarkan orang-orang yang seiman terlebih memberi nama buruk buat Kristus di mata dunia. Hal seperti ini sangatlah tidak berkenan di mata Tuhan, dan sejak semula Tuhan sesungguhnya sudah mengingatkan hal itu.
"Kalaupun harus melayani, saya lebih memilih jadi guru Sekolah Minggu saja.. cuma anak-anak yang dihadapi, kan gampang.." kata teman saya pada suatu ketik dengan ringan. Benarkah mengurus anak-anak itu lebih ringan dibanding orang dewasa? Tidak juga, malah bisa lebih berat. Guru Sekolah Minggu dituntut bisa ekstra sabar dan mengerti dunia anak-anak. Mereka harus mampu menangkap perhatian anak dan membawakan pelajaran dengan cara bisa dimengerti anak-anak, tidak jarang mereka harus memberi contoh-contoh sederhana dengan cara-cara yang menyenangkan seperti bermain, bernyanyi dan sebagainya. Jika teman saya berpikir bahwa menjadi guru Sekolah Minggu itu cuma tugas ringan, kenyataannya banyak gereja yang justru kesulitan mencari kandidat yang terbaik. Apa yang sulit adalah mencari orang-orang yang benar-benar terpanggil, benar-benar takut akan Tuhan dan mau mendedikasikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap anak-anak kecil yang polos dan lugu ini. Tugas atau panggilan untuk membimbing anak-anak untuk mengenal Tuhan sejak dini sesungguhnya merupakan tugas yang sangat penting dan mulia. Dan Tuhan sendiri menganggap ini sangat penting, bahkan tanggung jawabnya pun ternyata dikatakan jauh lebih berat ketimbang mengajar orang-orang dewasa yang sudah memiliki nalar sendiri.
Banyak orang yang bisa mengajar, tetapi sedikit yang bisa menjadi teladan. Dalam kamus bahasa Indonesia kata teladan didefenisikan sebagai "sesuatu yang patut ditiru atau dicontoh." Kepintaran mengajar dan luasnya pengetahuan yang dimiliki belum tentu menjamin seseorang bisa menjadi teladan. Sebaliknya seringkali kita menyaksikan orang-orang yang sederhana dan bersahaja, mungkin tingkat pendidikannya pun rendah, tetapi mereka sanggup bersinar menjadi teladan di mata orang lain bahkan bisa berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebanyakan orang pintar menasihati atau menegur, tetapi apa yang mereka tontonkan dari perilaku atau gaya hidup mereka sehari-hari justru menunjukkan sebaliknya. Ada banyak pula orang tua yang mengira bahwa mereka cukup mengajar anak-anaknya saja tanpa perlu menunjukkan keteladanan. Seorang rekan dosen bercerita mengenai temannya. Orang tua temannya ini adalah perokok dan suka minum minuman keras bersama rekan-rekannya. Sayangnya hal ini dilakukan ayahnya di rumah, sehingga sejak kecil ia terbiasa melihat perilaku ayahnya itu. Lucunya, sang ayah memang selalu melarang anaknya ikut-ikutan dan mengatakan itu tidak baik bagi kesehatannya, tetapi apa yang dilakukan sang ayah justru melanggar habis-habisan apa yang ia ajarkan. Tidaklah mengherankan apabila kemudian anaknya menjadi pemabuk dan gampang sinis memandang orang lain. Itu semua berasal dari pengalaman buruknya sejak kecil, dimana figur ayah yang seharusnya jadi teladan gagal melakukan itu. 
Berapa banyak makanan yang dihidangkan tepat di hadapan anda apabila anda duduk di sebuah rumah makan Padang? Semua terlihat nikmat, dan kita pun sering kesulitan memilih mana yang hendak kita makan. Tadi siang saya mengunjungi sebuah rumah makan Padang dan mengalami sendiri sulitnya menentukan pilihan dari sekian banyak makanan lezat yang terhidang di atas meja. Di saat bingung memilih, saya tiba-tiba terpikir betapa panjangnya jalur proses hingga makanan itu bisa sampai ke atas meja. Peternak ayam bersusah payah membiakkan ayamnya lalu sampai ke pasar untuk dijual. Pihak restoran, rumah makan atau ibu rumah tangga membelinya, dan di dapur ayam itu akan bertemu dengan berbagai bumbu dan sayuran yang menempuh proses yang panjang pula. Sayuran ditanam petani dengan susah payah, di bawah terik matahari dan harus berhadapan dengan berbagai hama atau cuaca buruk yang berpotensi merusak hasil taninya. Jika ditambah lagi dengan ikan, para nelayan harus menempuh berbagai resiko ketika melaut. Tidak jarang gelombang tinggi atau malah badai mengancam mereka, dan tidak jarang pula mereka harus meluangkan waktu lebih banyak untuk mendapat hasil tangkapan yang memadai. Ada supir yang bertugas mengantarkan produk ke pasar/supermarket hingga ke dapur, ada para pembantu dan koki yang bekerja memasaknya, ada penjual di pasar atau malah karyawan/karyawati supermarket yang siap membantu anda dalam membeli. Jika kita pikirkan, proses yang harus dilewati sungguhlah panjang. Kita mungkin hanya tahu beres, tinggal menyantap makanan lezat di atas meja saja, tetapi agar makanan itu bisa kita nikmati, selalu ada sebuah proses panjang yang melibatkan banyak orang di dalamnya. 
Sudah beberapa kali saya dan istri mencoba menanam mulai dari benih. Beberapa hari kami pun harap-harap cemas menanti apakah benih itu akan tumbuh atau tidak. Ada beberapa memang yang gagal, tapi kebanyakan berhasil. Betapa gembiranya melihat munculnya tunas kecil menyembul dari tanah, dan kemudian terus tumbuh membesar. Benih-benih sayuran itu kini sudah menunjukkan hasil yang cukup baik. Beberapa malah sudah siap petik. Menanam sendiri dari benih dan melihat hasilnya terasa jauh lebih menyenangkan dan lebih puas ketimbang membeli yang sudah jadi. Apa yang saya perhatikan selanjutnya bukan hanya benih yang tumbuh tunas dan menjadi tanaman itu saja, tetapi saya pun melihat bagaimana tanah bekerja. Tanah tidak bisa dan tidak akan pernah bisa memilih. Tanah akan menumbuhkan apapun yang kita tabur ke atasnya. Jika kita menabur benih buah maka buah yang akan tumbuh. Jika benih sayur, maka sayurlah yang tumbuh. Tidak akan mungkin benih sayur menjadi buah, tidak mungkin pula benih buah menjadi sayur. Kondisi tanah pun harus subur. Campuran antara tanah dan pupuk harus baik. Terlalu banyak pupuk akan membuat tanah menjadi panas, tanpa pupuk sama sekali pun benih akan sulit tumbuh. Tidak sulit untuk menanam, tetapi mudah juga tidak. Kondisi tanah, keadaan benih dan ketekunan kita merawat adalah hal-hal yang penting bagi keberhasilan kita dalam menanam.
Buat saya selalu menyenangkan ketika mendengar pengalaman hidup dari tokoh-tokoh senior. Lewat pengalaman hidup mereka saya bisa belajar banyak dan itu selalu berguna untuk perjalanan hidup saya ke depan. Bagaimana mereka sukses, atau apa yang menyebabkan mereka jatuh, bagaimana mereka kemudian bangkit lagi dan berbagai pesan-pesan bijaksana dari orang yang sudah mengalami secara langsung. Mendengar kesaksian-kesaksian orang yang diubahkan Tuhan pun selalu memberi kekuatan dan berkat tersendiri bagi saya. Menurut banyak teman saya, bentuk kesaksian nyata seperti ini bagi mereka jauh lebih mengena ketimbang sesuatu yang hanya berdasarkan teori saja. Di balik sebuah kesaksian nyata itu ada bukti, dan manusia memang cenderung lebih percaya pada bukti ketimbang hanya mendengarkan pesan secara teoritis. Karena itu pula saya selalu membagikan pengalaman hidup saya sendiri kepada para murid saya. Bukan hanya yang baik-baik, tetapi juga yang buruk agar mereka bisa belajar dan tidak perlu terjatuh ke dalam lubang yang sudah pernah saya rasakan sebelumnya. Ketika banyak orang beranggapan bahwa mereka tidak punya apapun untuk dibagikan, sesungguhnya sebuah kesaksian kecil tentang kebaikan Tuhan dalam hidup pun bisa bermakna sangat besar bagi orang lain.