====================
"Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya."
"Bagaimana sih aku harus berdoa? Aku bukan orang yang pintar merangkai kata." Itu kata seorang teman ketika saya menyarankan dirinya untuk mulai mengisi hari-hari dengan doa. Mungkin ada yang tertawa mendengar pertanyaan itu, tapi sebenarnya ada banyak orang yang mengira bahwa doa itu sama seperti puisi atau lirik lagu, yang harus dibuat bersajak, memakai kata-kata yang terangkai indah atau malah sepanjang mungkin. Tidaklah mengherankan jika banyak orang yang tidak berani memimpin doa bahkan dikalangan teman-temannya sendiri. Bagus tidaknya sebuah doa bukan lagi didasarkan kepada kesungguhan hati, ketulusan dan kejujuran, melainkan kehebatan bermain kata. Doa bukan lagi merupakan sarana hubungan antara kita dengan Tuhan, namun sudah bergeser maknanya menjadi ajang untuk memamerkan kemampuan merangkai kata atau mencari popularitas diri sendiri. Bukan itu yang dicari Tuhan dari kita. Bukankah Tuhan sendiri sudah berfirman bahwa "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7) ? Tuhan tidak melihat hebat tidaknya rangkaian kata-kata puitis, tapi Dia melihat hati kita. Apakah doa yang kita panjatkan berasal dari hati yang tulus, atau semua itu hanyalah dilakukan untuk memamerkan diri kita sendiri didepan orang lain. Ketika makna doa bergeser menjadi untuk kepentingan duniawi, agar dipuji orang, agar terlihat suci, sebagai ajang pameran rohani, maka sesungguhnya Tuhan pun tidak lagi berkenan atas doa-doa yang kita panjatkan, meski dalam rangkaian kata yang begitu indah. Doa yang didengarkan Tuhan adalah doa yang didsarkan kepada kejujuran atau ketulusan bukan kepura-puraan.
Kita bisa melihat reaksi Yesus terhadap orang-orang Farisi. Ketika itu orang Farisi terkenal dengan kegemarannya berdoa di sudut-sudut jalan yang ramai, ditengah pasar atau kerumunan orang. Pokoknya dimana ada keramaian, maka mereka pun segera pasang aksi. Mereka mengira Tuhan akan terkesan dengan perilaku mereka, namun sebenarnya justru sebaliknya. Tuhan tidak suka dengan gaya seperti ini. Yesus pun segera mengingatkan murid-muridNya untuk tidak meniru cara tersebut. "Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya." (Matius 6:5). Yesus pun melanjutkan bahwa berdoa itu justru sebaiknya dilakukan dengan mencari tempat yang sepi dan tenang, seperti di dalam kamar, agar kita bisa memusatkan seluruh diri kita untuk mencari Bapa dan mendengarkan suaraNya. "Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (ay 6). Tidak cukup sampai disitu, Yesus pun melanjutkan peringatan agar kita jangan bertele-tele dalam berdoa. Berpanjang lebar, berulang-ulang seolah-olah Tuhan itu pelupa atau sulit mengerti isi hati kita. "Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan." (ay 7). Mengapa demikian? "karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya." (ay 8). Lalu Yesus pun memberikan contoh doa yang baik yang kita kenal dengan Doa Bapa Kami. (ay 9-15).
Apa yang diajarkan Yesus sesungguhnya jelas. Dia mengingatkan kita bahwa doa itu dipanjatkan hanya untuk Tuhan saja, dan bukan untuk didengarkan manusia. Ini berarti bahwa Tuhan mementingkan isi hati kita yang tulus, datang dan mengatakan apa adanya di hadapan Tuhan, mencurahkan isi hati kita tanpa ada agenda-agenda terselubung, tanpa ada maksud lain selain menjalin hubungan secara langsung dengan Tuhan. Ketika berdoa dilakukan agar mendapat pujian, supaya dinilai hebat rohani oleh orang lain, agar terlihat pintar bermain kata-kata puitis, punya banyak perbendaharaan kata dan lain-lain, ketika itu pula kita menjadi orang yang munafik. Dalam kemunafikan tidak ada lagi ketulusan. Motivasi berdoa yang benar itu sungguh penting. Berdoa nonstop 24 jam pun akan percuma apabila dilakukan dengan motivasi yang hanya mencari perhatian dari orang lain.
Tuhan sangat tidak menyukai orang-orang munafik yang mempergunakan doa untuk tujuan atau motivasi yang hanya mencari pujian. Lihat apa kata Tuhan mengenai hal ini. "Dan Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan, maka sebab itu, sesungguhnya, Aku akan melakukan pula hal-hal yang ajaib kepada bangsa ini, keajaiban yang menakjubkan; hikmat orang-orangnya yang berhikmat akan hilang, dan kearifan orang-orangnya yang arif akan bersembunyi." (Yesaya 29:13-14). Keajaiban yang menakjubkan bukanlah keajaiban dalam arti positif, tapi mengacu kepada pukulan yang bertubi-tubi. Jurang kebinasaan pun menganga di depan mata.
Firman Tuhan berkata "Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit." (Pengkotbah 5:2). Ini mengingatkan kita untuk tidak mementingkan rangkaian kata-kata panjang. Apa yang berkenan bagi Tuhan adalah doa yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, yang berasal dari hati yang tulus. Ketulusan sungguh memegang peranan penting dalam menjalin hubungan yang dekat dengan Tuhan. Dengan menerima Kristus sebagai Juru Selamat dan mendapatkan anugerah Roh Kudus dalam diri kita, sudah seharusnya kita datang kepada Bapa dengan hati yang tulus ikhlas dan iman yang teguh. "Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni." (Ibrani 10:2). Janganlah sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, yang mengira bahwa doa yang dijawab adalah doa yang dirangkai dengan kata-kata mutiara, berpanjang lebar atau berulang-ulang, atau bahkan berupa hafalan. Berdoa dengan kata-kata indah itu bagus, tapi semua itu tidaklah ada gunanya jika bukan berasal dari hati yang tulus. Jika seperti itu, jangan harap Tuhan mau menjawab doa kita. Hati Tuhan akan tersentuh jika kita berdoa dengan hati yang tulus, karena apa yang ada di hati kita,itulah yang dilihat Tuhan. Tidak perlu bingung seperti teman saya ketika hendak berdoa. Datang apa adanya, membawa diri kita sendiri dengan jujur di hadapan Allah akan jauh lebih bernilai daripada doa yang mementingkan gaya dan motivasi-motivasi salah lainnya. Bukan cara kita berdoa yang paling penting, tetapi sikap hati kita ketika melakukannya, itulah yang dilihat Tuhan.
Tuhan mengasihi kita apa adanya
Pernahkah anda bertemu dengan orang yang hanya berkeluh kesah, hanya melihat sisi negatif dari segalanya tanpa pernah melihat satupun yang baik dari hidupnya? Saya sering bertemu dengan orang seperti ini, yang hanya mengisi perkataannya dengan segala yang buruk. "Yah beginilah saya, sudah nasib harus terus menderita." Ada juga seorang teman yang imannya seperti roller coaster. Di saat tertentu ia bersukacita, tapi dalam sekejap ia bisa melontarkan kata-kata yang sangat tidak pantas diucapkan oleh orang percaya. "Boleh nggak saya minta mati saja?" Itu katanya tadi malam yang membuat saya terkejut. Padahal satu masalah yang ia alami sama sekali tidak sebanding dengan segala pertolongan Tuhan yang telah ia alami, bahkan masih ia alami hingga hari ini. Sangat mudah bagi kita untuk meratapi nasib, tapi betapa sulitnya untuk mengucap syukur.
Lucu sekali melihat seorang bapak yang tinggal tidak jauh dari rumah saya. Halamannya hanya sepetak, tapi seluruhnya ia tanami dengan berbagai jenis tanaman hingga pagarnya pun terdorong miring ke luar hampir jatuh. Di lahan yang tidak besar itu ia juga masih menambahkan tambak. Belum lagi kardus-kardus bekas, barang rongsokan, botol plastik dan sebagainya. Semua itu memenuhi seluruh halaman rumahnya. Sehingga rumahnya sama sekali tidak berbentuk jika dilihat dari luar. Penuh semak, kotor dan sumpek. Untuk jalan menuju pintu rumahnya saja sudah sulit bukan main.  Setiap malam saya mendengar suara tokek dari rumahnya. Dan ketika saya tanyakan, ia berkata bahwa ia memang memelihara beberapa tokek. Untuk apa? "karena waktu itu saya dengar harga tokek sedang naik..jadi saya buru-buru beternak tokek. Ternyata hanya isu.." katanya sambil tertawa kecil. Tapi itupun tidak membuatnya melepaskan tokek itu. "Sayang, itu kan duit juga, biarpun kecil." katanya polos. Mengapa tidak ditata saja agar terlihat lebih nyaman? Saya tanyakan itu kepadanya. Dan ia menjawab bahwa ia tidak peduli soal nyaman, tapi yang penting adalah keuntungan alias uang.
Everything is against me. Rasanya seperti itulah tekanan yang saya alami hari ini. Ada begitu banyak permasalahan yang bertumpuk-tumpuk, hingga 24 jam rasanya sudah sangat kurang untuk bisa menyelesaikan segalanya sesuai waktu. Masih lumayan jika masalah itu datang satu persatu, tapi sayangnya seringkali tekanan datang beruntun sekaligus dalam satu waktu, membuat kita pusing tujuh keliling. Tekanan-tekanan ini bisa begitu menyita waktu, tenaga dan pikiran kita sehingga kita pun lemah, kehabisan tenaga dan daya tahan. Semua manusia pasti pernah mengalami hal ini. Ada yang mampu bertahan dan kemudian lepas dari semua itu dengan gemilang, tapi banyak pula yang gagal. Menyerah kalah menghadapi tekanan-tekanan itu.
Seorang teman saya yang berprofesi sebagai fotografer hari ini memasang salah satu foto hasil jepretannya di sebuah situs jejaring. Foto itu begitu indah. Sebuah foto pemandangan dengan bunga-bunga mekar di sebuah taman ketika matahari mulai terbenam, itulah yang terlihat di sana. Foto itu ia beri judul "Love Letter from God". Saya pun segera memuji hasil karyanya. Ia berkata, "ketika saya melihat foto itu, saya langsung menyadari kebesaran Tuhan."  Dia benar. Di tengah jepitan kesesakan yang kita alami dalam hidup ini, kita terlalu sering lupa menyadari bahwa alam semesta ini diciptakan Tuhan begitu indahnya. Gugus tata surya, langit biru diselimuti awan putih, rerumputan hijau dengan bunga warna warni mekar dimana-mana dan sebagainya. Semua itu terlalu indah untuk kita nikmati, tapi kesibukan dan berbagai beban hidup membuat kita jarang punya waktu untuk menikmati hasil ciptaanNya. Kita terlalu sibuk kepada permasalahan kita, kita berkeluh kesah dan mengira Tuhan berlama-lama untuk melakukan sesuatu, padahal jika kita mau mengambil waktu sebentar untuk melihat sekeliling kita, maka kita akan menyadari bahwa Tuhan telah melakukan begitu banyak hal yang indah bagi kita. Keindahan alam, bukankah itu juga berkat dari Tuhan?
Pernah suatu kali mobil teman saya mogok di jalan. Ia menghubungi saya untuk membantu menderek mobilnya pulang ke rumah. Saya pun bergegas menuju ke lokasi, dan kemudian mulai mennyambungkan mobilnya dengan mobil saya di kaki-kaki bawah. Saya tidak memperkirakan sama sekali bahwa ukuran mobil saya lebih kecil jika dibandingkan mobil yang akan saya derek. Ternyata rasanya berat sekali menarik sebuah mobil. Tapi dengan perlahan akhirnya saya berhasil menggiring mobil ke rumahnya. Beban yang melebihi kemampuan mobil saya ternyata berdampak buruk. Kaki-kaki mobil saya rusak dan akhirnya harus diservis dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.  
Saya sering berpikir, betapa bahagianya anak-anak yang lahir di era teknologi seperti sekarang ini. Anak-anak SD pun sekarang sudah dilengkapi handphone yang memungkinkan mereka berkomunikasi kapan saja dengan orang tua, saudara, sanak keluarga  atau teman-temannya. Di usia sangat muda mereka bahkan sudah mengenal internet, sudah bisa chatting dengan baik lengkap dengan icon atau smileys yang sudah disediakan. Mengagumkan. Saya pernah chatting dengan keponakan seorang teman di Surabaya yang usianya masih 7 tahun. Meski ia masih harus perlahan-lahan mencari huruf di keyboard, tapi dia sudah mampu berkomunikasi dengan lancar menggunakan fasilitas chatting. Itulah era teknologi yang memungkinkan siapapun untuk menjalin hubungan dengan siapapun kapan saja, dimana saja. Saya masih sempat merasakan susahnya berkomunikasi di jaman dulu. Telepon saja belum ada, apalagi handphone. Hubungan hanya bisa dijalin lewat surat menyurat atau bertemu langsung. Sekarang teknologi mampu membuat dunia menjadi sangat kecil. Anda bisa berhubungan langsung dengan orang di belahan bumi lain dalam sekejap. Ini era dimana komunikasi sudah sangat mudah untuk dilakukan dan dengan biaya yang relatif murah. 
"Orang sakit tidak mengenal waktu." Itu kata ayah saya yang hingga hari ini masih saya ingat. Profesinya sebagai dokter ia jalani bukan sebagai profesi semata, tapi sebagai bentuk pengabdiannya untuk menolong orang. Ada jam praktek tetap seperti dokter lainnya. Tapi ia tidak pernah menolak pasien yang datang, bahkan di tengah malam atau menjelang subuh sekalipun. Ia selalu siap untuk pergi ke rumah sang pasien seandainya orang itu tidak bisa datang sendiri. Orang bisa sakit kapan saja. Dan terkadang sakit itu serius sehingga sedetik pun sungguh berharga. Terlambat sedikit saja nyawa bisa keburu melayang. Belakangan setelah saya dewasa, saya melihat betapa banyaknya dokter yang dengan kaku menerapkan waktu kerjanya. Jika itu tidak sesuai dengan jam praktek, mereka pun tidak peduli terhadap orang yang sedang sekarat dan sangat membutuhkan bantuan mereka. Seorang tetangga pun pernah mengeluh. Saudaranya keburu meninggal karena dokter itu lebih memilih untuk terus tidur ketimbang mengurus pasien askes. Pembantunya yang menjumpai dan berkata bahwa untuk pasien askes tidak dilayani oleh sang dokter. Nyawa manusia ternyata bertingkat-tingkat saat ini. Ada nyawa yang mahal, ada nyawa yang murah bahkan tidak dianggap punya harga. Dan melihat itu semua, saya baru sadar bahwa apa yang dilakukan ayah saya sejak dahulu ternyata sungguh mulia. 
Gemerincing uang merupakan suara yang termerdu bagi banyak orang hari-hari ini. Hampir setiap hari kita bertemu dengan orang-orang yang menghambakan diri kepada harta, memprioritaskan harga lebih dari segalanya. Hendak mengurus sesuatu harus pakai uang pelicin, ingin lancar harus ada uang rokok atau uang kopi, sebelum pensiun buru-buru melakukan mark-up selagi masih sempat dan lain-lain. Kalau dulu hal ini dilakukan malu-malu atau sembunyi-sembunyi, kesepakatan dibawah tangan, saat ini orang tidak lagi merasa malu melakukan itu. Bahkan institusi pemerintah, lembaga dan abdi negara sekalipun tidak terlepas dari perilaku seperti ini. Hukum bisa dibeli dengan segepok uang. Di kalangan teman dan keluarga pun hal seperti ini masih berlaku. Friend is friend, family is family, but business is business. Itu kata seorang paman saya yang kepada keponakannya sendiri tega berhitung untung rugi hanya karena dimintai tolong sedikit saja. Saat ini orang tidak lagi takut untuk menggelapkan, menggelembungkan atau mengemplang uang yang bukan menjadi haknya. Hidup cuma satu kali menjadi ungkapan yang bukan lagi menggambarkan niat untuk berbuat yang terbaik selama kesempatan masih diberikan Tuhan, tapi sudah bergeser maknanya kepada menimbun harta sebesar-besarnya selagi masih ada kesempatan. Orang tidak lagi menganggap itu dosa. Karena jika mereka tidak ikut, toh orang lain juga akan melakukannya. Daripada orang lain yang untung, lebih baik lakukan juga sendiri. Cinta bisa dibeli dengan uang. Saya pernah mendengar bahwa demi membeli pulsa saja anak remaja rela menjual tubuhnya. Kondisi ini sungguh memperihatinkan. Kita tidak lagi heran melihat orang korupsi, tapi malah sebaliknya, heran jika melihat orang jujur. Gemerincing uang memang bisa membutakan mata siapapun. 
"Tante kan sudah tua, sudah tidak dibutuhkan lagi. Mau tidak mau ya harus pensiun.." kata tante saya kemarin ketika saya bertemu dengannya. Perjalanan hidup memang seperti itu. Ada usia dimana kita tidak lagi dianggap mampu produktif, meski kita mungkin merasa masih mampu dan masih sehat. KTP sudah seumur hidup, bank tidak lagi mau memberi pinjaman dan sebagainya. Semua seolah-olah berkata sama: "kamu kan tidak lama lagi, tidak ada lagi yang bisa diharapkan darimu." Tante saya berkata demikian dengan senyum miris. Di sisi lain, dalam usia yang terlalu muda pun orang akan sulit dipercaya mampu untuk bisa melakukan sesuatu. Dunia mungkin memberi batasan umur yang dianggap produktif, dunia mungkin memerlukan kita hanya sementara dan setelah itu dibuang, namun tidak bagi Tuhan. 
Bermaksud baik tapi disalah-artikan. Kita tidak merugikan siapa-siapa, tapi malah difitnah. Jika anda pernah mengalami hal ini, tentu rasanya sungguh tidak enak. Saya sendiri pernah mengalami hal ini. Sungguh sakit dan sedih rasanya ketika kita menghadapi tuduhan atau fitnah. Apalagi jika dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita, orang yang begitu kita percaya. Ada kalanya kita berhadapan dengan situasi seperti ini baik dalam pendidikan, pekerjaan atau lingkungan tetangga bahkan dalam pelayanan. Kita sudah berusaha melayani dengan baik, tapi ketika kita berhalangan malah langsung dianggap tidak serius. Kita tergerak ingin membantu tapi malah dicurigai punya agenda tertentu. Masalah seperti ini mungkin terjadi kapan saja. Ada banyak orang yang merasa sangat kecewa dan kemudian segera memusuhi dan merasa dendam. Bayangkan jika kita termasuk pribadi yang cepat emosi, cepat tersinggung, atau gampang mendendam, pada akhirnya kita tidak akan bisa bertumbuh karena terus direcoki oleh kekecewaan demi kekecewaan. Tidak ada lagi sukacita dalam diri kita, dan jika dibiarkan kita akan menjadi manusia yang penuh dendam. Masalah difitnah, disalah artikan dan sejenisnya tidak akan pernah bisa kita hindari secara seratus persen. Artinya, sewaktu-waktu kita bisa saja mengalami hal yang tidak mengenakkan ini dari siapapun.
Seekor ular ada di bawah kolong meja makan saya! Istri saya yang menemukannya, ia pun berteriak ketakutan meliat adanya ular di bawah meja. Ular itu masih kecil. Istri saya ketakutan, kelihatannya ular itu pun ketakutan. Saya pun berusaha mengangkat ular itu dengan bantuan gagang sapu untuk memindahkannya keluar dari rumah menuju alam bebas. Ular itu meliuk-liuk dan berusaha melawan. Ular ini mengira bahwa saya bermaksud jahat kepadanya, padahal justru saya bermaksud baik, mengembalikannya ke habitat dimana ia akan jauh lebih nyaman ketimbang terperangkap di dalam rumah yang sama sekali bukan tempat yang tepat baginya. Di kegelapan malam saya akhirnya melepaskan kembali ular itu jauh dari perumahan. Mudah-mudahan ular itu menyadari bahwa saya mengantarkannya ke tempat dimana ia dapat hidup lebih baik. 
Apa yang terjadi jika salah satu teman sekantor atau seruangan terkena flu? Biasanya kita beresiko tertular flu juga. Di dekat rumah saya pernah sebuah sekolah diliburkan karena mayoritas anak-anak yang belajar disana ramai-ramai terkena flu, yang untungnya cuma flu biasa. Betapa rentannya daya tahan manusia. Sedikit saja dalam kondisi lemah, kita akan begitu mudah tertular penyakit. Sulit bagi kita untuk menghindar karena hampir setiap saat kita bertemu atau bersinggungan dengan orang lain. Saya sendiri pernah terkena penyakit cacar hingga dua kali. Normalnya cacar hanya terjadi satu kali, tapi karena pada saat itu kondisi saya sedang lemah dan teman kerja saya ada yang terkena cacar, saya pun harus menderita karena terkena penyakit ini lagi untuk kedua kalinya. Berbagai penyakit bisa menular, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Lewat udara, lewat bersentuhan dan sebagainya, penyakit bisa berpindah dari satu penderita ke calon penderita lainnya. 
"To be or not to be, that is the question". Demikian quote yang sangat terkenal dari William Shakespeare. Penggalan kalimat yang sangat terkenal ini berasal dari naskah sandiwara Hamlet yang legendaris. Banyak orang yang mengetahui kalimat ini, tapi sedikit yang tahu apa maksud sebenarnya ketika Shakespeare menulisnya. Jika anda membaca naskahnya atau pernah melihat drama panggung atau filmnya, anda akan tahu bahwa kalimat itu diucapkan oleh sang tokoh utama, seorang pangeran bernama Hamlet. Kalimat ini muncul ketika ia merasakan kepedihan luar biasa sewaktu pamannya membunuh ayahnya, dan menikahi ibunya. Begitu sakit rasanya, hingga ia sempat berpikir haruskah ia terus hidup atau mengakhiri saja hidupnya.  Jadi kalimat itu sebetulnya berbunyi: "To be" (tetap hidup) or "not to be" (mengakhiri hidup). 
Seberapa jauh kita peduli terhadap penderitaan orang lain? Boleh jadi kita memimpikan sebuah keadaan yang aman, tentram dan damai. Tidak ada peperangan, tidak ada kebencian, tidak ada kejahatan, tapi kita lupa untuk melihat ke sebelah. Pikiran kita pergi terlalu jauh padahal yang dekat kita lupakan. Mungkin tetangga di sebelah sedang butuh bantuan, mungkin teman kita ada yang butuh didengar, kita tidak menghiraukan mereka padahal keberadaan mereka begitu dekat dengan kita. Pengemis dan gelandangan di jalan yang setiap hari kita lewati tidak pernah kita hiraukan. Jika tidak memulai dari yang kecil, bagaimana kita bisa memimpikan yang besar? Tidak selalu butuh sesuatu yang besar untuk melakukan perubahan, karena lewat hal-hal sederhana pun sebenarnya kita bisa membuat sesuatu untuk itu. Kuncinya adalah kasih.