======================
"Aku hendak bersyukur kepada-Mu selama-lamanya, sebab Engkaulah yang bertindak; karena nama-Mu baik, aku hendak memasyhurkannya di depan orang-orang yang Kaukasihi!"
Sejauh mana kita mampu untuk terus bersyukur dan mengimani dengan sungguh-sungguh bahwa Tuhan sungguh baik ketika kita sedang mengalami masalah? Adalah mudah untuk bersyukur ketika kita sedang dalam kondisi nyaman dan baik, namun ketika kita sedang dalam kesulitan, katakanlah sedang menderita sakit, terkadang sulit bagi kita untuk mengucap syukur. Kecenderungan manusia adalah mendesak Tuhan untuk sesegera mungkin melepaskan kita dari beban masalah dan sakit penyakit. Tetapi ketika kita belum juga lepas, mampukah kita terus bersyukur memuliakan Tuhan? Saya benar-benar merasa terharu lewat seorang bapak yang masih setia melayani di gereja di mana saya bertumbuh, meskipun ia sedang menderita penyakit yang tidak main-main, yaitu kanker.Penyakit kanker yang diderita beliau mengharuskannya bolak balik ke Singapura untuk menjalani kemoterapi. Dari hasil pemeriksaan terakhir, diketahui bahwa kankernya sudah menyebar ke beberapa bagian tubuh. Namun lihatlah bagaimana reaksinya. Ia masih terus setia melayani! Dan ia terus bersaksi bahwa Tuhan itu baik. Ia terus percaya Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik kepadanya, Tuhan akan selalu menguatkan dirinya untuk tetap teguh dalam pelayanan. Ketika sebagian orang sudah menyerah, putus asa dan tidak lagi memiliki minat untuk melakukan apapun, ia tetap setia tampil di depan melakukan pekerjaan Tuhan. Ini sebuah sikap yang sungguh mengagumkan. Saya terharu dan merasa sangat diberkati lewat keteladanannya. Sakit atau tidak, ia tetap tampil seperti tanpa beban. Ia tetap bersukacita, ia tetap tersenyum, meski apa yang sedang ia derita sangatlah serius. Melihat dirinya hari Minggu kemarin, saya pun teringat akan ayat-ayat dalam Mazmur yang berasal dari keteguhan iman Daud. Daud tidak pernah berhenti untuk bersyukur dalam kondisi seterjepit apapun.
Daud pada suatu kali mengatakan "Aku hendak bersyukur kepada-Mu selama-lamanya, sebab Engkaulah yang bertindak; karena nama-Mu baik, aku hendak memasyhurkannya di depan orang-orang yang Kaukasihi!" (Mazmur 52:11). Dalam banyak kesempatan lain pun Daud berulang kali menyatakan ucapan syukurnya. Tidak gampang untuk bisa mencapai tingkat seperti Daud, karena seringkali rasa sakit itu menyiksa, penderitaan terasa berat, beban masalah melemahkan diri maupun rohani kita. Itu lumrah terjadi. Namun janganlah kita menyerah dan menuruti segala kelemahan daging itu. Bagaimana caranya? Paulus mengajarkan caranya yaitu dengan mengarahkan fokus pandangan ke arah yang tepat. "Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal." (2 Korintus 4:18) Inilah kunci bagaimana Paulus dan rekan-rekannya tidak tawar hati meski mereka kerap mengalami penyiksaan dan penderitaan dalam menjalankan pelayanan mereka. Paulus dan rekan-rekan sepelayanannya tidak memfokuskan diri mereka kepada sesuatu yang kelihatan, hal-hal duniawi, namun mereka terus fokus mengarahkan pandangan kepada yang tidak kelihatan, kepada perkara-perkara Surgawi, segala sesuatu yang mengarah kepada kekekalan. Paulus dan kawan-kawan tahu bahwa mengarahkan pandangan hanya kepada yang kelihatan hanyalah akan membuat mereka lemah dan kemudian menyerah. Namun mengarahkan pandangan kepada kehidupan yang kekal kelak dimana Yesus bertahta, itu akan membuat mereka terus bersemangat dan tidak kehilangan harapan. Dalam suratnya untuk jemaat Kolose, ia mengulangi hal ini. "Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah." (Kolose 3:1). Dan dengan tegas ia berkata "Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." (ay 2). Ini sebuah kunci penting yang patut kita teladani dalam menjalani hidup.
Ada sebuah kalimat yang pernah saya baca bunyinya begini. "Rasa sakit itu sifatnya pasti, namun menderita itu adalah pilihan". Kedagingan kita memang membuat kita harus merasakan rasa sakit, namun apakah kita menderita atau tetap bersukacita, itu adalah sebuah pilihan. Apa yang dikatakan Paulus menjadi begitu relevan, bahwa tidaklah tepat untuk mengarahkan fokus kepada hal-hal di dunia yang hanya sementara sifatnya. Mengarahkan kepada kekekalan, dimana tidak lagi ada penderitaan dan isak tangis, dimana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah, itu jauh lebih penting. Dan untuk menuju kesana, kita harus tetap fokus kepada hal tersebut. Untuk itu, hendaklah kita senantiasa mengucap syukur dalam segala hal, baik suka maupun duka, senang maupun susah, sehat maupun sakit. "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Tidak ada yang mustahil bagi Allah, namun di atas itu semua, rencanaNya tetap yang terbaik bagi kita. Apapun itu. Allah itu setia, dan telah menyediakan segalanya sesuai janjiNya. Sementara hidup ini hanya sementara, kekekalan itu lebih berguna. Itulah tampaknya yang menjadi pegangan iman dari sang bapak yang tengah menderita kanker untuk tetap terus bersukacita dan tidak henti-hentinya bersyukur mengatakan bahwa Tuhan itu baik. Baik bapak itu maupun kita, teruslah berjuang dengan pengharapan penuh dipenuhi ucapan syukur hingga akhir agar segala yang dijanjikan Tuhan tidak menguap sia-sia.
Dunia ini hanya sementara, tapi Surga itu kekal
Perlukah sosok seorang sahabat dalam hidup kita? Rasanya mayoritas jawaban adalah ya. Teman mungkin bisa banyak, namun yang memenuhi kategori sahabat biasanya sedikit. Untuk mencapai status sahabat biasanya butuh waktu yang cukup panjang. Dalam prosesnya biasanya akan terlihat siapa yang benar-benar peduli pada kita, tetap berada dekat dengan kita di saat kita sedang berada dalam permasalahan. Bukan hanya dalam suka, tapi dalam duka pun mereka selalu siap hadir memberikan bantuan, mendukung kita tanpa pamrih. Sahabat adalah orang yang biasanya kita datangi pertama kali ketika kita butuh masukan atau nasihat, karena kepada mereka biasanya kepada mereka kita tidak perlu menutup-nutupi sesuatu, karena mereka adalah orang-orang yang biasanya paling dipercaya. Maka hidup dengan sahabat dan tanpa sahabat akan sahabat akan begitu terasa bedanya.
Hari minggu kemarin ketika saya bertugas sebagai pengerja, tepatnya sebagai penyambut jemaat yang berdiri di depan pintu, ada seorang ibu yang datang ke gereja sendirian dengan susah payah. Ia menggunakan alat bantu yang biasanya dikenal dengan "walker" (lihat gambar), yaitu sejenis pegangan 4 kaki dari besi sebagai alat bantu untuk berjalan. Ia tertatih-tatih sendirian melangkah mulai sejak keluar dari lift menuju ke ruang ibadah raya. Meski demikian, ia terlihat sungguh bersuka cita. Senyuman tulus ia arahkan kemana-mana, bahkan berkali-kali ia berhenti menerima salam dari jemaat lain yang ada di sekitarnya. Ini pemandangan yang mengagumkan. Saya berpikir, ketika kita sedikit saja merasa tidak enak badan lalu merasa tidak sanggup untuk pergi ke gereja untuk beribadah, ketika kita lebih memilih untuk sibuk bekerja hingga melupakan hari Sabat yang seharusnya kita pergunakan untuk memuliakan Tuhan bersama dengan saudara-saudara seiman, ketika kita merasa kasur jauh lebih nikmat ketimbang harus repot-repot bangun dan pergi ke gereja, ibu ini penuh suka cita meski kondisinya sedang tidak memungkinkan. Naik apa ia datang? Bagaimana ia berdesakan di dalam lift? Dari lapangan parkir menuju lantai 4, berdesakan, itu tentu berat baginya. Namun ia hadir dengan penuh sukacita. Ia mengucapkan terima kasih dengan senyum yang sangat damai ketika saya membantunya untuk duduk, mengosongkan dua bangku di depannya agar "walker"nya bisa ia letakkan di depannya. Ketika ibadah selesai, ia kembali mengangguk dan mengucapkan terima kasih ketika saya membantu mengosongkan kursi-kursi di sekitarnya agar ia lebih leluasa bergerak. Terima kasih ibu, atas keteladanan yang ibu contohkan hari ini.
Masalah kesetiaan rasanya sudah berkurang nilai pentingnya di jaman sekarang. Di media kita terus saja melihat para selebritis dalam dan luar negeri kedapatan selingkuh hingga bercerai. Saya malah pernah mendengar suatu komentar dari artis dalam negeri yang malah berbalik menyalahkan Tuhan. "Saya rasa semua ini memang sudah suratan dari Tuhan.." Masa Tuhan menginginkan perceraian? Tuhan tidak pernah menginginkan orang untuk bercerai berai. Tapi begitulah trend di masa sekarang yang tidak lagi menempatkan kesetiaan sebagai sesuatu yang penting. Lagu-lagu dan film-film yang ada pun sejalan dengan perilaku mereka, menganggap perselingkuhan sebagai sesuatu yang wajar dengan berbagai dalih. Jika tokoh-tokoh selebritis memberi contoh seperti itu, tidak heran jika di kalangan masyarakat pun kesetiaan menjadi barang langka hari-hari ini. Sudah terlalu sering rasanya kita melihat orang yang berselingkuh. Sudah tidak harmonis lagi, istri kurang perhatian, cinta lokasi, dan sebagainya, sering diangkat sebagai alasan untuk menghalalkan selingkuh. Malah perselingkuhan bukan lagi didominasi pihak pria. Dari kalangan wanita pun sudah banyak yang berselingkuh.
Kemarin saya baru saja menghadiri sidang kelulusan mahasiswa bimbingan saya. Keduanya lulus dengan nilai baik. Untuk menutup sidang setelah saya membacakan hasilnya, saya mengatakan pada kedua mahasiswa tersebut bahwa apa yang mereka capai hari ini bukanlah akhir, melainkan barulah awal dari perjalanan karir mereka ke depan kelak. Jangan menganggap semuanya selesai dan berpuas diri. Tapi jadikanlah hari ini sebagai titik tolak, membuka lembaran baru untuk menuju masa depan. Mengapa saya mengatakan hal itu? Karena ada banyak contoh dimana setelah orang mencapai sesuatu dengan gemilang, mereka akan terlena dan akhirnya jatuh dan binasa. Ketika orang sudah mencapai sukses, mereka lupa menjaga kesuksesan itu dengan baik. Mereka terlena dan mengira semuanya sudah selesai. Ada yang jatuh pada ketamakan, ada yang jatuh pada kesombongan, atau pada berbagai perilaku lainnya yang jahat di mata Tuhan.
Mengelola situs jazz saya tidaklah mudah. Meskipun saya sudah menikmati dan mengikuti perkembangan musik jazz sejak masih kecil, namun sebagai manusia saya bukanlah mahluk yang tahu segalanya. Ada 50 lebih sub genre dalam jazz, ada ribuan bahkan jutaan kisah dibalik jeni musik bernama jazz ini sejak kemunculannya di awal abad ke 20. Begitu banyak artis dari masa ke masa, begitu banyak sejarah mengenai lagu, pengarang dan yang membawakan, ada banyak momen-momen penting, begitu pula dengan korelasi antara satu dengan yang lain. Sebagai manusia biasa saya tidak mungkin mengetahui segalanya. Itu belum lagi mengenai teknik mengelola situs, menulis artikel, ulasan dan sebagainya, atau menguasai seluk beluk jurnalisme, karena saya bukanlah lulusan jurnalistik, bukan lulusan Fakultas Sastra, dan bukan pula lulusan sekolah musik. Tapi semua itu saya siasati dengan terus menerus belajar. Saya tidak akan pernah mau berhenti belajar selama masih hidup. Tentu di atas itu semua, saya terus meminta hikmat dari Tuhan agar apa yang saya kerjakan bisa saya lakukan dengan maksimal. Puji Tuhan, semua itu tidaklah sia-sia. Saya merasakan pengembangan kapasitas lewat talenta yang diberikan Tuhan, dan itu semua menunjukkan peningkatan terhadap situs yang saya kelola. Tanpa hikmat Tuhan tidaklah mungkin, tanpa kemauan untuk terus belajar, tentu tidak mungkin juga.
Di kampus tempat saya mengajar ada beberapa polisi yang sering mampir beristirahat. Kemarin mereka bercerita tentang terjadinya sebuah kecelakaan dengan korban seorang pengendara motor. Si pengendara motor menurut cerita mereka ngebut menerobos lampu merah, lalu ditabrak mobil. Polisi itu pun mengeluh. Katanya mereka sudah sering disalahkan masyarakat setiap kali terjadi kecelakaan. Tuduhan-tuduhan seperti polisi tidak cukup serius, kurang peduli dan sebagainya. "Tapi kami sudah memasang rambu-rambu kan? Lampu merah juga ada...kalau merah ya berhenti dong.." katanya. Bagi sebagian orang yang hobi balapan di jalan, mungkin ngebut itu mengasyikkan rasanya. Tapi jika sudah begini ceritanya, ketika nyawa melayang sia-sia, masihkah yang mengasyikkan itu tetap asyik? Iblis biasanya mengintai dan melakukan tipu muslihatnya lewat hal-hal yang rasanya enak dan menyenangkan. Namun di balik itu semua, ada maut mengintai kita. Bagi pemakai narkoba dan obat-obat terlarang, semua itu dipercaya bisa mengobati stres, menghilangkan rasa takut dan rasanya nikmat. Tapi akibatnya tidaklah main-main. Seringkali sesuatu terasa nikmat pada mulanya, namun kita sedang dijebak untuk mati pelan-pelan.
Malam ini saya teringat akan sebuah pc game yang saya gemari sekian tahun yang lalu. Game "Beach Life" namanya, yaitu game simulasi yang membuat kita bisa membangun sebuah pantai dari kosong menjadi tempat wisata/resor besar dengan pengunjung yang banyak. Salah satu dari bagian penting dari game itu adalah memasang papan peringatan dan menaruh penjaga pantai di sejumlah tempat yang dianggap rawan. Dalam game itu digambarkan adanya hiu pada beberapa bagian pantai sehingga papan tanda dilarang berenang harus dipasang disana. Jika tidak? Akan ada pengunjung yang jadi korban, dan itu akan menurunkan status resor yang kita bangun. Jika direfleksikan ke dalam kehidupan nyata di negara kita, ada banyak pantai di Indonesia ini yang belum dilengkapi dengan papan peringatan dalam jumlah yang memadai, maupun jumlah penjaga pantai yang cukup. Tidak heran kalau angka kematian di pantai terus meningkat. Papan peringatan akan mampu mengurangi jumlah jatuhnya korban secara signifikan. Tidak akan mungkin bisa menghapuskan total memang, karena tetap saja ada orang-orang yang tidak mengindahkan peraturan meski sudah ditulis besar-besar atau diingatkan berulang-ulang sekalipun.
Betapa sulitnya menahan emosi ketika kita sedang stres, sedang menghadapi masalah, kurang tidur bahkan ketika menghadapi terik matahari. Hari ini di jalan pulang saya melihat seorang bapak yang sedang membonceng istrinya memaki-maki di tengah jalan. Ada mobil hendak belok membuatnya emosi, angkot berhenti membuatnya emosi, saya berada di belakangnya untuk waktu yang lumayan lama untuk bisa melihat tindak tanduknya. Mungkin sedang stres, mungkin banyak pikiran, banyak masalah atau apapun. Kita juga sering mudah terpancing emosi ketika kondisi kita sedang labil. Marah mungkin wajar untuk batas tertentu, asal tidak berkepanjangan dan berubah ke arah yang bisa membuka kesempatan bagi iblis untuk menjerumuskan kita ke dalam berbagai kejahatan. Tapi tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi sedini mungkin sebelum emosi kita menjadi melebar melebihi batas. Memiliki hati yang lembut akan membawa dampak yang positif baik dalam kehidupan di dunia ini maupun nanti setelah kita menyelesaikan masa ini.
Tidak ada yang mau terus menerus berada dalam jepitan kesulitan. Maka kita pun berdoa meminta Tuhan mengangkat kita keluar dari jerat masalah. Ketika Tuhan mengulurkan tanganNya dan membebaskan kita, seharusnya kita pun mengingat kebaikan Tuhan yang telah melepaskan kita. Tapi sayangnya tidak banyak orang yang ingat untuk mengucap syukur atas kebaikanNya. Mungkin sekedar ucapan terima kasih dalam satu atau dua doa, lantas sibuk menikmati kebebasan dan lupa untuk bersyukur. Sementara seharusnya, bukan hanya dalam keadaan baik, tapi dalam keadaan buruk pun kita terus mengucap syukur pada Tuhan. Seperti apa yang dikatakan Paulus kepada jemaat Tesalonika "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Ini hal yang penting yang seharusnya kita lakukan, sesuai dengan apa yang Allah kehendaki untuk senantiasa kita lakukan dalam hidup kita. Namun banyak orang yang hanya ingat untuk bersyukur untuk sementara waktu saja, atau malah tidak pernah sama sekali.
Ada pepatah yang mengatakan, ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk. Ini sebuah pepatah yang mengajarkan kita agar tidak menjadi jumawa atau sombong jika kita menapak naik semakin tinggi. Semakin sukses, semakin tinggi kedudukan, hendaknya kita semakin rendah hati, menjauhi sikap-sikap angkuh dan bentuk-bentuk kesombongan. Tapi yang cenderung terjadi justru sebaliknya. Ketika kesuksesan tiba, manusia cenderung mudah untuk lupa diri. Kemarin saya sudah menyinggung kecenderungan pimpinan atau atasan untuk bertindak semena-mena, kasar dan bentuk merendahkan lainnya kepada bawahannya. Alasan yang keluar biasanya klasik, yaitu menjaga wibawa dan kehormatan. Padahal perlakuan kasar sudah seringkali terbukti tidak signifikan untuk menimbulkan rasa hormat.
Seberapa besar rasa belas kasih kita terhadap saudara-saudara kita yang tidak mampu atau yang sedang ditimpa kesulitan? Seringkali orang mudah merasa kasihan tapi sulit mengeluarkan tenaga maupun uang untuk membantu mereka. Mudah untuk merasa simpati, namun sulit untuk ber-empati. Beberapa kali saya mendengar alasan klasik, bagaimana bisa membantu kalau diri sendiri masih kekurangan? Tapi masalahnya, bagi manusia biasanya tidak pernah ada kata cukup. Batasan antara kurang dan cukup seringkali kabur dan sangat elastis, juga sangat subjektif. Sementara di sisi lain, ada orang yang benar-benar sedang berada dalam keadaan terjepit. Jangankan untuk kebutuhan sekunder, makan saja mungkin sudah sulit. Atau bagaimana dengan keluarga yang sedang kesulitan untuk membayar biaya perawatan rumah sakit misalnya, atau banyak contoh lain. Maukah kita mengulurkan tangan untuk membantu dengan ikhlas? Mudah-mudahan jawabannya ya. Menunjukkan rasa kasihan atau bersimpati memang baik, namun seringkali belum cukup mampu untuk meringankan beban orang lain secara nyata.
Pengalaman dari profesi ayah saya sebagai dokter sejak tahun 70an hingga kini menyisakan banyak kisah menarik. Dulu ia sering bercerita sambil tertawa bahwa ada pasien-pasien yang tidak mau membayar jika tidak disuntik dan diberi obat. Terutama suntik, katanya. Padahal tidak semua penyakit harus ditindaklanjuti dengan jarum, tapi itulah yang mereka harapkan ketika datang ke dokter. Tidak jarang, katanya, pasien langsung hanya bilang "terima kasih, dok.." dan langsung beranjak meninggalkan praktek tanpa bayar. Padahal menulis resep dan merekomendasikan obat tidak sembarangan. Butuh pendidikan bertahun-tahun untuk bisa seperti itu, namun tanpa jarum suntik rasanya kurang afdol bagi mereka. Lucu memang, tapi itu kejadian nyata dari pola pemikiran pasien di kota kelahiran saya sekian tahun yang lalu.
Pernah merasa tertipu ketika membeli barang? Sepertinya semua orang pernah mengalami hal itu. Baik tertipu mengenai harga, kualitas maupun kondisi barang. Barang palsu dibilang asli, barang second dibilang baru, barang rusak dibilang bagus dan sebagainya. Itu menjadi masalah yang sering kita hadapi ketika membeli sesuatu. Ada banyak sales-sales yang mengiming-imingi barang secara gratis, tapi harus membeli dulu satu atau beberapa produknya, dimana biasanya harga barang itu sudah di mark-up naik sehingga apa yang mereka katakan gratis itu sebenarnya sudah dibebankan pada konsumen. Satu hal yang unik di kota tempat tinggal saya saat ini adalah adanya kejujuran dari banyak penjual yang sudah beberapa kali saya alami. Mereka tanpa malu-malu mengakui jika barangnya kurang bagus. "kondisinya kurang bagus, pak.. mending jangan yang ini deh.." kata seorang penjual handphone pada suatu saat ketika saya tertarik pada sebuah handphone yang ia pajang di etalase. Beberapa waktu yang lalu ketika saya makan di sebuah rumah makan, saya mendapati bentuk kejujuran lain. Ketika saya hendak membeli kerupuk yang ada di etalasenya, sang penjual berkata bahwa kerupuk itu sudah lama sehingga mungkin tidak renyah lagi.
Sepanjang perjalanan hidup saya hingga hari ini saya bertemu dengan beberapa orang yang menjadi lemah akibat luka masa lalu mereka. Luka yang masih belum sembuh ternyata membawa pengaruh buruk bagi kehidupan mereka. Kehilangan jati diri, kehilangan harga diri, merasa diri tidak berharga, sehingga mereka gampang dipermainkan dan dimanfaatkan orang lain. Ironisnya, banyak diantara mereka yang merasa tidak sanggup melepaskan diri dari orang-orang yang terus menyakiti mereka. Tidak hanya luka masa lalu, namun berbagai permasalahan dalam hidup yang bertubi-tubi pun bisa membuat tubuh, hati dan jiwa kita. Bahkan ketika iman kita menjadi merosot, roh kita pun akan melemah. Kehilangan pegangan dan pengharapan bisa terjadi dan itu sangat beresiko kepada perjalanan hidup kita baik di bumi maupun kelak di fase berikutnya. Jika tidak hati-hati, hidup bisa hancur dan kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh tempat kelak di Surga.
Semua orang pasti menginginkan tidur nyenyak yang berkualitas dan sehat pada malam hari. Tidur dibutuhkan agar tubuh kita dapat berfungsi dengan baik dan maksimal, baik secara fisik maupun mental. Tidur bisa membuat kita menjadi lebih sehat, tidak mudah sakit dan lebih produktif, konsentrasi terjaga, ingatan kuat bahkan bisa mempengaruhi tingkat emosi kita. Coba perhatikan ketika kita kurang tidur, selain tubuh lemas, biasanya emosi kita juga mudah meningkat. Ketika tidur, ada proses regenerasi dan perbaikan sel-sel dalam tubuh yang katanya dilakukan oleh hormon-hormon yang diproduksi tubuh. Ini proses yang terjadi ketika kita tidur. Selain itu anggota-anggota tubuh pun mendapatkan waktu untuk istirahat. Begitu pentingnya tidur bagi semua orang, namun tidak sedikit pula dari kita yang mengalami kesulitan tidur dengan berbagai sebab. Sulit tidur yang biasanya disebut juga dengan insomnia. Penyebab insomnia bisa beragam, seperti halnya pengamatan saya dari beberapa teman yang mengalami kesulitan tidur ini. Ada yang diakibatkan faktor pikiran. Rasa takut, khawatir, kegagalan-kegagalan, memikirkan pekerjaan dan sebagainya bisa mempengaruhi pikiran dan psikis kita. Depresi muncul akibat banyaknya tekanan bertubi-tubi sehingga membuat kita sulit tidur. Ada pula yang terlalu sibuk bekerja sehingga lama-lama menjadi sulit untuk tidur. Selain itu bisa juga akibat faktor lingkungan yang tidak mendukung, atau akibat gaya hidup yang buruk. Ada seorang teman yang menjadi insomnia akibat merasa kesepian. Begitu banyak faktor yang menyebabkan manusia sulit tidur. Tidur saja sulit, apalagi mendapatkan tidur yang berkualitas. "Wah jauh deh.... bisa tidur 2-3 jam saja sudah syukur.." kata seorang teman pada suatu kali. Semoga anda tidak mengalami insomnia seperti ini, karena insomnia sangatlah tidak baik untuk kesehatan maupun kestabilan fisik dan mental kita. Tapi jika di antara teman-teman ada yang mengalaminya, mari kita lihat apa kata Alkitab mengenai hal ini.
Setelah membaca kisah Henokh kemarin, mungkin ada sebagian dari kita yang berpikir bahwa tantangan hidup di masa Henokh dan masa kini sudah jauh berbeda. Pada jaman Henokh hiburan belumlah sebanyak sekarang, teknologi belum secanggih saat ini, fasilitas-fasilitas dan kebutuhan belum sekompleks jaman sekarang. Tantangan hidup saat ini mungkin lebih berat, mungkin juga tidak. Saya tidak tahu, seperti apa hidup di masa Henokh. Mungkin setiap jaman memiliki kesukarannya sendiri, tantangan sendiri dan permasalahannya sendiri. Yang pasti, siapapun manusia, di masa manapun, berbagai kesulitan hidup akan terus hadir. Menjalani hidup sulit bukanlah alasan untuk meninggalkan kesetiaan kita kepada Tuhan. Saya yakin jika Henokh bisa, kita pun bisa. Jika Henokh mampu melepaskan kedagingannya, kita pun pasti bisa. Karena Henokh dan kita adalah sama-sama manusia juga.
Apa yang paling kita harapkan dari seorang sahabat karib? Sahabat karib adalah seorang sahabat yang paling dekat dengan kita. Seringkali kedekatan kita dengannya melebihi kedekatan kita dengan saudara kandung kita sendiri. Kepada sahabat karib-lah biasanya orang akan mengadu, mencurahkan isi hati, berkeluh kesah dan bercerita bahkan mungkin mengenai hal-hal yang sifatnya pribadi sekalipun. Mereka biasanya sangat mengenal kita termasuk kelemahan-kelemahan yang mungkin ada dalam diri kita. Terhadap seorang sahabat karib biasanya kita tidak lagi tertutup karena biasanya sahabat karib bisa kita percaya dengan sepenuh hati. Apa yang bakal dirasakan jika seorang sahabat karib menghianati kita? Mungkin akan muncul rasa kecewa, rasa sakit yang melebihi sakit akibat dikecewakan orang tidak dekat dengan kita, atau mungkin juga rasa muak. Hal seperti ini timbul karena seharusnya seorang sahabat karib adalah tempat dimana kita bisa berteduh dalam duka, dan akan menjadi orang pertama yang ikut bahagia ketika kita berada dalam suka. Kepercayaan, pengertian, itu tentu menjadi sebuah harapan besar dari seorang sahabat karib.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Itulah kata sebuah pepatah yang mungkin sudah jarang diingat orang hari ini. Ada yang melanjutkan pepatah itu dengan "manusia mati meninggalkan nama". Seperti apa kita saat ini dan terutama nantinya dikenang orang? Apakah kita dikenal dengan kebaikan kita, kerendahan hati, keramahan, atau kita dikenal sebagai orang yang sombong, egois dan sebagainya. Apakah kekayaan membuat kita semakin mengasihi Tuhan dan sesama, atau malah menjauhkan kita dariNya? Apakah segala berkat yang kita dapatkan sudah kita pakai untuk memberkati orang lain atau hanya ditimbun dan ditumpuk untuk kekayaan diri sendiri? Semua itu menentukan apakah kita tercatat dengan tinta emas baik di mata sesama kita manusia dan tentunya Tuhan. Gelar, status dan harta kekayaan kita saat ini tidak serta merta menjamin kita menjadi seseorang yang terhormat dan dikenang orang dari masa ke masa. Bahkan tidak berarti dengan itu semua kita menjadi orang-orang yang dikenal Tuhan secara pribadi. Rasanya tidak ada orang yang tidak ingin menjadi sosok berkarakter terhormat yang masih diingat orang bahkan jauh setelah kita tidak lagi ada di dunia ini. Hari ini mari kita melihat sisi seorang wanita dengan karakter terhormat, Rut.