======================
"selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!"
Begitu cepatnya waktu berlalu. Ini adalah hari terakhir tahun 2009, dan besok kita akan disambut sinar mentari pagi di tahun 2010. Bagaimana pandangan anda menyambut tahun yang baru? Tahun 2009 dimulai dalam kondisi yang sulit. Krisis global menimpa dunia. Banyak perusahaan besar yang tadinya dianggap sangat kuat ternyata tumbang. Banyak orang yang semakin kesulitan dalam hidup yang terus semakin berat. Harga meningkat naik sementara pendapatan masih sama, jika tidak menurun. Dan itu berlanjut sepanjang tahun 2009. Berkaca dari pengalaman sepanjang tahun 2009, mungkin mudah bagi kita untuk berkata bahwa 2010 tidak akan menjadi lebih baik malah kemungkinan besar akan semakin sulit. Apakah anda berpikir seperti itu? Jika ya, berhentilah segera. Pikiran pesimis seperti itu bukanlah realita karena kita belum bisa melihat apa yang terjadi di depan. Pikiran seperti itu hanyalah akan membuat kita menjadi lemah, akan menyurutkan semangat kita dan akhirnya kehilangan sukacita. Bentuk pandangan demikian tidak akan membawa manfaat apapun yang baik buat kita. Hari ini saya diingatkan oleh sebuah ayat yang sungguh sangat indah. "selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!"(Ratapan 3:23). The new dawn is coming. Pagi nanti ketika kita membuka mata, kita akan disambut oleh secercah cahaya matahari di tahun yang baru. Bagi saya, tahun baru adalah awal yang baru. New dawn, new hope. Mengapa demikian? Sebab Tuhan sendiri menjanjikan bahwa kasih setia Tuhan, His compassion, mercy and loving-kindness, akan selalu baru setiap pagi. His tender compassions never fail, always more than enough for us all. Bersama terbitnya matahari pagi Tuhan menyapa kita dengan kasih setia dan rahmatNya yang melimpah. Dan itu terus Dia lakukan setiap pagi tanpa henti. Jika demikian, mengapa kita harus takut menatap datangnya tahun yang baru? Kasih Tuhan yang baru akan pula menyertai kita memasuki tahun yang baru ini.
Apa yang membuat kita gampang patah semangat sesungguhnya adalah ketika kita mengarahkan pandangan hanya kepada hal-hal buruk yang terjadi sepanjang tahun kemarin. Jika kita terus mengisi pikiran kita dengan hal-hal buruk seperti itu, tidaklah heran jika kita akan khawatir pula memasuki tahun yang baru. Padahal Tuhan sudah mengingatkan kita sebaliknya, agar selalu memusatkan pikiran kepada "semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji." (Filipi 4:8). Tapi seringkali kita lebih suka menenggelamkan diri kita kepada hal-hal yang akan mudah menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan dalam hidup kita. Seringkali orang akan lebih mudah untuk melihat hal negatif sebaliknya sulit menangkap hal positif dari apapun yang mereka lihat, alami atau rasakan. Jauh sebelumnya Tuhan sudah mengingatkan bahwa "orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan." (2 Timotius 3:13). Dunia pada kenyataannya memang akan semakin sulit dan semakin jahat. Dan jika kita berhenti sampai disitu, memusatkan pikiran kita kepada semua itu, maka ketakutanlah yang akan menguasai kita. Jika anda terus membaca berita-berita kriminal, ekonomi dan lainnya yang cenderung negatif, mengapa tidak menggantinya dengan membaca firman Tuhan yang mengandung kebenaran dan keselamatan?
Pemazmur sudah mengetahui kuncinya sejak dahulu kala. "Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku." (Mazmur 62:2). Pemazmur kemudian melanjutkan "Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku." (ay 6). Kita hanya bisa tenang ketika kita dekat dengan Allah, sebab dariNyalah keselamatan dan harapan itu datang. Bukan dari kehebatan, kekuatan atau ketangguhan diri kita sendiri. Karena semua itu berasal dari Tuhan, jelas kita harus dekat kepadaNya agar bisa terus meletakkan harapan dan keselamatan, dan bisa hidup tenang meski situasi di dunia semakin sulit. Dunia boleh gonjang ganjing, tapi Tuhan akan bertindak seperti gunung batu dan keselamatan, kota benteng dan perlindungan. Rock and Salvation, Defense and Fortress, sehingga kita tidak akan goyah. (ay 7). Pemazmur tahu itu. Dan ia mengingatkan kita "Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita." (ay 9).
Memasuki tahun yang baru, mulailah merubah pola hidup sejak sekarang. Mendekatlah lebih lagi kepada Tuhan, Sang Pemberi segalanya. Luangkan waktu yang cukup untuk bersekutu denganNya, mendengar suaraNya dan menikmati hadiratNya yang kudus. Jangan malah sebaliknya, semakin mati-matian berjuang dengan kekuatan sendiri dan menomorduakan hubungan dengan Tuhan karena terlalu sibuk dan tidak lagi punya waktu. Jika Pemazmur dahulu kala sudah mengetahui kuncinya, hari ini kita pun bisa menikmati apa yang ia nikmati pada masa itu dengan kunci yang sama pula. Sebab sesungguhnya Tuhan tidak pernah berubah. Dia selalu sama dulu, sekarang dan sampai selamanya. (Ibrani 13:8). Dan inilah kata Pemazmur: "Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun." (Mazmur 100:5). Ya, Tuhan itu baik dan setia dari generasi ke generasi. Jika Pemazmur mengalaminya, kita pun bisa mengalaminya hari ini.
Sekalipun hidup menjadi lebih sulit kelak, itu bukan berarti bahwa kita harus kehilangan sukacita maupun kedamaian kita. Kuncinya, dekatlah senantiasa dengan Tuhan. "Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut;sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya. Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi, disukakan oleh aliran-aliran sebuah sungai. Allah ada di dalamnya, kota itu tidak akan goncang; Allah akan menolongnya menjelang pagi. Bangsa-bangsa ribut, kerajaan-kerajaan goncang, Ia memperdengarkan suara-Nya, dan bumipun hancur. TUHAN semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub." (Mazmur 46:2-8). Bumi boleh jungkir balik, dunia boleh terguncang dan bergejolak, namun Tuhan menjanjikan bahwa siapapun yang berada dekat dengan Allah tidak akan terguncangkan. Dan ini janji Tuhan. Apa yang kita terima sebagai anugerah dari Tuhan sesungguhnya adalah kerajaan yang tidak tergoncangkan. "Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut." (Ibrani 12:28).
Mari kita sambut tahun yang baru dengan penuh ucapan syukur. Mari kita songsong hari depan yang penuh harapan. Mari kita bersukacita menyambut datangnya hari baru, dimana berkat Tuhan yang baru pagi nanti pun tercurah buat kita semua. Buanglah semua rasa pesimis, khawatir, ragu atau takut untuk memasuki tahun yang baru dan gantilah dengan kepercayaan penuh dengan janji-janji Tuhan. Teruslah lebih dekat padaNya dan terimalah pertolongan dan keselamatan seperti yang telah Dia janjikan kepada kita semua. Selamat Tahun Baru buat teman-teman semua, Tuhan akan selalu bersama anda dengan kasih setiaNya.
New dawn, new hope, with God's loving kindness and compassions that are always new every morning
Berapakah harga sebuah nyawa? Seratus juta? Seratus miliar? Tentu sulit bagi kita untuk menyebutkan sembarang angka, bahkan angka yang mungkin besar sekalipun. Pada kenyataannya ada banyak orang yang tega menghabisi nyawa ibu/ayah, saudara atau temannya hanya gara-gara jumlah uang yang relatif kecil seperti yang kita baca di koran-koran. Hanya karena beda beberapa ratus rupiah orang bisa membunuh. Atau orang yang akhirnya mengakhiri hidupnya hanya karena tidak mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Saya pernah membaca sebuah berita seorang anak sekolah memilih untuk bunuh diri karena tidak kunjung dibelikan handphone oleh orang tuanya yang hidup pas-pasan. Jadi nilai sebuah nyawa di mata orang kelihatannya berbeda. Tapi seandainya kita menilai nyawa kita berharga sangat tinggi sekalipun, kita tidak akan bisa menentukan sebuah harga pasti yang kita anggap layak untuk menggantikan nyawa kita.
Tahun baru hadir sebentar lagi. Bagi sebagian orang, hidup terlihat akan semakin berat saja, berkaca dari tahun-tahun sebelumnya. Banyak yang berpikir bahwa jika kemarin bekerja sudah giat, memasuki tahun depan harusnya dilipatgandakan agar mampu mengatasi beban yang makin berat. Bekerja dengan giat itu sungguh baik dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Yang tidak baik adalah ketika kita mulai meletakkan pekerjaan itu sebagai hal yang paling utama di atas segalanya seperti yang telah kita lihat dalam renungan kemarin. Tendensi menomorsatukan pekerjaan di atas segalanya dan meletakkan Tuhan pada urutan kesekian, mengorbankan keluarga demi pekerjaan, semua itu adalah bentuk mempertuhankan pekerjaan, atau setidaknya memberhalakan pekerjaan. Dan itu tidak lagi berkenan di hadapan Tuhan. Hari ini saya ingin menyambung apa yang telah ditulis kemarin dalam hal pekerjaan.
Semua orang butuh pekerjaan agar bisa hidup. Sebagian mungkin berkata tidak, karena toh selama ini hidupnya cukup dari orang tua, bahkan berlimpah-limpah, namun itu pun datang dari kerja keras ayahnya atau orang tuanya. Tanpa bekerja niscaya kita tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Serius bekerja, itu baik. Selalu ada perbedaan besar antara orang yang hanya bermalas-malasan, bekerja ala kadarnya dengan orang yang benar-benar serius menekuninya. Apalagi jika mereka melibatkan Tuhan di dalamnya, bekerja seperti untuk Tuhan dengan jujur dan sesuai firmanNya. Bersyukurlah ketika saat ini kita diberikan kesempatan untuk bekerja. Pakailah kesempatan itu dengan baik, dan muliakan Tuhan di dalamnya. Namun di sisi lain, berhati-hatilah ketika anda mulai tenggelam dalam keseriusan pekerjaan anda, karena ada dosa yang mengintip untuk menerkam anda di sana.
Meraih delapan medali emas dalam satu Olimpiade merupakan pencapaian yang sungguh mencengangkan. Bagaimana jika dari delapan medali itu, lima diantaranya merupakan pemecahan rekor dunia? Tentu itu jauh lebih mencengangkan lagi. Hal ini terjadi pada Olimpiade Beijing tahun lalu, dan itu dialami oleh seorang perenang asal Amerika bernama Michael (Mike) Phelps. Jika kita lihat postur tubuhnya, masuk akal jika ia bisa menoreh prestasi di ajang kelas dunia seperti Olimpiade. Dia memang diberkati struktur tubuh yang baik, tulang dan otot yang kuat, dan itu semua memang merupakan talenta dari Tuhan. Tapi banyak orang yang lupa bahwa Mike Phelps tidak memperoleh itu semua secara instan. Untuk bisa menoreh prestasi luar biasa itu, ia menghabiskan banyak waktu untuk berlatih dengan tekun sejak usia muda. Di saat teman-teman seusianya masih menikmati masa kanak-kanak mereka, ia sudah digembleng dengan latihan tujuh hari nonstop dalam seminggu, lima jam sehari tanpa istirahat! Pola makannya pun sudah dijaga dengan baik sejak muda. Ini semua ia lakukan dengan tekun meski kesuksesan tidak segera menghampiri dirinya. Pada Olimpiade Sydney 8 tahun sebelumnya ia sudah turut berpartisipasi di usia sangat muda, namun ia tidak memenangkan satupun medali. Dalam kehidupan pribadinya di luar gelanggang olah raga Mike pun pernah gagal. Ia sempat ditahan akibat mabuk saat berkendara di jalan dan beberapa hal lain yang tidak terpuji. Namun Mike bangkit dan kemudian mampu meraih pencapaian fenomenal di atas. Sekarang mari kita perhatikan. Dengan segala talenta yang diberikan Tuhan kepadanya, tanpa ketekunan dan kerja keras serta keseriusannya dalam latihan, mungkinkah Mike meraih sukses? Tentu tidak. Tuhan memang memberikan talenta kepada setiap manusia, namun tanpa ketekunan semua itu tidak akan pernah membawa hasil yang baik.
Bergembirakah kita ketika kita berada dalam keadaan baik? Tentu saja. Tidak ada seorangpun yang ingin berlama-lama dalam kesusahan. Ketika hidup berada pada keadaan baik, bisa makan dan minum, memiliki segala sesuatu yang kita inginkan, pekerjaan berjalan baik, keluarga mesra dan harmonis, itu menjadi impian semua orang dan sudah sepantasnya hal itu membuat kita bersyukur dan bersukacita. Di kala orang bersukacita, maka segala sesuatu terlihat indah dan cerah. Senyum merekah, hati riang dan hidup pun terasa ceria. Ini adalah reaksi normal dari orang yang sedang berbahagia, dan itu sangat wajar. Tapi sukacita seperti ini barulah sebuah bentuk sukacita, yang mungkin bisa saya gambarkan dengan sukacita pertama. Jika ada sukacita pertama, tentu ada sukacita kedua. Seperti apa sukacita kedua?
Andaikan saat ini anda tengah dililit permasalahan yang sangat berat, begitu beratnya sehingga anda tidak lagi merasa punya kekuatan untuk mengatasinya. Tidak ada jalan keluar, tidak ada solusi, tidak ada harapan. Zero chance. Di saat anda mulai menyerah pada keadaan, datanglah seseorang memberikan bantuan sepenuhnya, bukan dengan pamrih melainkan tanpa meminta imbalan apapun dari anda. Seketika itu juga anda lepas dari masalah, apa yang tidak mungkin kemudian menjadi kenyataan, belenggu dipatahkan dan anda berubah menjadi orang yang merdeka. Tidak saja merdeka, namun diberikan kelimpahan dan janji akan keselamatan untuk selamanya. Bagaimana rasanya? Tentu perasaan bahagia dan sukacita yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata akan anda rasakan bukan? Dunia saat ini mengenal pemberian dengan agenda tertentu. Orang memberi bukan lagi karena mengasihi, tapi lebih kepada mengharapkan sesuatu yang akan kembali kepadanya sebagai imbalan. Mengirim parcel atau hadiah dengan harapan agar hubungan relasi bisnis tetap lancar, memberi karena mengharapkan sesuatu, mengharapkan orang akan terikat hutang budi dan pada saatnya nanti mereka akan diuntungkan. Itu pemberian yang pamrih, dan itu menjadi pemandangan umum di jaman ini. Kenyataannya di antara saudara atau hubungan orang tua dan anak sekalipun memberi atau menolong dengan kondisi yang harus menghasilkan sesuatu sebagai balas jasa sudah menjadi hal yang wajar. Betapa istimewanya jika ada orang yang memberikan sesuatu kepada kita bukan karena perbuatan baik kita, bukan karena kita layak, bukan karena mengharapkan imbalan apapun, melainkan murni karena kasih, tanpa meminta apapun sebagai balasan. Mungkin sulit mengharapkan hal seperti itu dari manusia saat ini, tapi Tuhan telah melakukannya.
"Senang sekali rasanya kalau kakek dan nenek datang menginap di rumah kami.." kata anak seorang teman saya dengan mata berbinar-binar. Mengapa demikian? "Karena saya akan dibela jika dimarahin." katanya tertawa. Tidak itu saja, ia pun menceritakan bahwa kakek dan neneknya selalu membawa oleh-oleh yang banyak bagi dirinya. Mereka selalu meluangkan waktu untuk bermain dengannya, berbeda dengan kedua orang tuanya yang biasanya terlalu sibuk untuk itu. Dalam memasuki Natal banyak keluarga yang berkumpul merayakan bersama-sama. Sukacita begitu terasa. Jika kehadiran kakek dan nenek saja sudah membuat hidup seorang anak kecil bisa menjadi lebih bahagia, apalagi kehadiran Sang Juru Selamat ke dunia ini. Dan itulah yang menjadi inti dari apa yang kita rayakan saat ini.
Salah satu lagu Natal yang sangat saya sukai dan selalu menjadi lagu wajib putar menjelang Natal seperti saat ini adalah sebuah lagu yang diambil dari koleksi "The Christmas Album" nya David Foster yang dirilis tahun 1995. Lagu itu berjudul "Go Tell It on the Mountain/Mary Had a Baby", sebuah medley gabungan dua lagu yang dibawakan dengan sangat baik oleh Vanessa Williams. Sebuah pilihan pintar oleh David Foster mengaransemen kedua lagu ini menjadi satu. Mengapa? Ada beberapa hal yang menjadi alasan. Kedua lagu ini sama-sama berasal dari tahun 1800 an yang merupakan lagu klasik milik penduduk kulit hitam yang saat itu tengah mengalami masa-masa perbudakan. Kedua, lagu itu sama-sama menyerukan berita mengenai proses kelahiran Kristus ke dunia. Karena itulah saya menganggap keputusan menggabungkan kedua lagu ini merupakan pilihan yang pintar. Saya yakin kedua lagu ini merupakan lagu yang menjadi pengharapan dan sukacita bagi para budak kulit hitam di masa itu. Betapa tidak. Perbudakan sudah mereka alami secara turun temurun. Mereka seakan-akan tidak punya hak untuk memutuskan apapun, tidak memiliki hak sebagai manusia merdeka. Tapi kelahiran Kristus kedunia bermakna sebuah kebebasan, dan mereka pun tahu bahwa meski di dunia mereka tertindas, namun kelahiran Kristus adalah bukti nyata betapa mereka sangat dikasihi dan berharga di mata Tuhan. Hal seperti itu sanggup membuat mereka bersukacita. Tidak heran kedua lagu ini memiliki corak yang aslinya penuh dengan semangat dan bercorak nada ceria.
Saya ingat bagaimana suasana Natal di sebuah kota besar di Eropa yang pernah saya kunjungi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Suasananya begitu indah dan meriah. Lampu menghiasi berbagai rumah, dan berpadu dengan salju yang turun memutihkan pemandangan. Kelap kelip pohon Natal terlihat di mana-mana, di jalan hingga jendela-jendela rumah. Anak-anak kecil sibuk membangun boneka salju bersama ayahnya tanpa menghiraukan dinginnya udara. Pesta pun di gelar di mana-mana. Indah tapi ironis, ketika gereja-gereja malah terlihat sepi. Di daerah tempat saya menginap ada sebuah gereja kecil. Pengunjungnya hanyalah orang-orang tua saja. Pemilik rumah di mana saya menginap pun merayakan Natal dengan pesta keluarga lengkap dengan tukar menukar kado di bawah pohon Natal. Tapi tidak satupun dari mereka yang pergi ke gereja atau memberi sesuatu kepada sesamanya yang membutuhkan. Tepat di depan rumah mereka padahal ada pengamen yang terus bermain biola meski udara dingin menusuk tulang. "Christmas means celebration, it's a style.." katanya. Tidak ke gereja? "Nobody goes to church anymore except the elders.." katanya lagi. Tampaknya bagi kota itu makna Natal telah berubah menjadi sebuah perayaan semata. Menikmati libur, pesta besar atau kecil dan bertukar kado, meriah, tapi tidak lebih dari itu. Tidak hanya di kota itu, tapi sebagian dari kita orang percaya pun telah menjadi korban dari pergeseran makna Natal ini. Kita mementingkan pesta dan kemeriahan, makin mewah makin bagus, pujian dari orang yang diundang sangat penting bagi kita, tidak lagi merenungkan apa yang sebenarnya dirayakan lewat Natal.
Sirene berbunyi nyaring dari belakang. Saya yang sedang mengemudi pun harus minggir bersama mobil-mobil lainnya yang berada di sekitar saya. Ternyata bukan ambulans yang lewat, melainkan mobil pejabat dengan plat khusus diiringi polisi "voorider" yang mengawalnya. Tidak peduli jalan macet, lampu merah sekalipun, mereka akan meminggirkan dan menabrak rambu apapun yang ada di depannya agar orang penting yang berada di dalam mobil itu bisa melintas tanpa gangguan. Mengapa harus seperti itu? "Memang sudah selayaknya, itu hak pejabat tinggi, kalau mau seperti itu ya jadi pejabat sajalah.." kata teman saya sambil tertawa. Sejujurnya saya tidak ingin seperti itu. Saya tidak ingin menabrak peraturan apapun karena sebagai manusia saya punya hak dan kewajiban yang sama di mata Tuhan. Tidak ada yang lebih tidak ada yang kurang. Jika yang lain harus mematuhi rambu, saya pun harus demikian apapun ceritanya.
Sewaktu kecil saya sangat menggemari kisah-kisah harta karun peninggalan bajak laut. Bukan bajak lautnya yang menarik bagi saya, tapi harta karunnya. Tokoh utama menemukan sebuah peta yang berisi petunjuk jalan menuju ke tempat di mana harta karun itu disimpan. Setelah mengikuti petunjuk-petunjuk itu, akhirnya sebuah peti harta karun yang penuh dengan emas permata pun ditemukan tertimbun di dalam tanah. Ini kisah yang selalu saya gemari karena ada proses yang dilakukan terkadang penuh dengan sandi atau rahasia sampai akhirnya harta karun itu berhasil diperoleh. Berjalanlah hingga langkah tertentu, jika anda mengabaikannya maka bahaya menghadang. Mengikuti sepenuhnya dengan teliti dan taat akan membawa anda untuk menemukan harta terpendam itu. Bisakah harta karun itu langsung muncul di hadapan kita? Tentu tidak. Jika bisa tentu namanya bukan lagi harta karun. Untuk bisa memperoleh harta karun, orang harus terlebih dahulu memiliki petanya, lalu membacanya baik-baik, mempelajarinya dengan seksama dan mengikuti petunjuk yang dimuat di dalam peta. Setelah itu semua dilakukan barulah harta karun itu bisa ditemukan.
Betapa sulitnya membenahi korupsi di negara kita. Sepertinya korupsi sudah menjadi bagian budaya sehingga sangat sulit untuk diberantas. Bayangkan bagaimana manusia bisa tega menggelembungkan jumlah korban bencana untuk kepentingan pribadinya. Badan yang seharusnya menangani masalah koruptor pun ternyata melakukan korupsi. Budaya suap termasuk di dalamnya. Untuk melincinkan segala urusan, pelumasnya adalah uang. Itu terjadi hampir di seluruh sendi kehidupan, mulai dari mendapatkan tempat parkir hingga mendapatkan jabatan, semua sepertinya harus disertai dengan "ucapan terima kasih" dalam bentuk lembaran-lembaran uang agar proses bisa menjadi mulus tanpa hambatan. Suap terang-terangan atau terselubung pun berlaku dimana-mana, dan saat ini menjadi pekerjaan rumah bagi hampir seluruh bangsa di dunia.
Dalam usaha mencari rumah beberapa bulan yang lalu saya menjadi lebih banyak belajar mengenai pentingnya pondasi rumah sebelum membeli. Ada beberapa perumahan yang terlihat menarik dari luar, harganya pun relatif murah, namun ternyata jika diamati lebih jauh ternyata rumah yang dibangun disana tidak cukup kokoh untuk ditinggali buat jangka waktu lama. Malah ada rumah yang belum ditempati tapi bagian depannya sudah roboh. Saya jadi tahu bahwa tidak cukup keindahan tampak luarnya saja yang penting, bukan cuma luas tanah, bangunan dan harganya yang harus menjadi pertimbangan, tapi ternyata kekokohan pondasi pun sangat penting, bahkan paling penting karena menyangkut ketahanan rumah dalam melintasi waktu. Apa yang tampak indah belum tentu kuat. Karena itulah titik berat saya dalam mencari rumah berubah dengan mementingkan kokoh tidaknya pondasi yang dibuat sebelum rumah didirikan.