======================
"Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik."
Masih ingat renungan tentang HIV bulan Agustus lalu? Disana saya menceritakan tentang seorang mahasiswa saya yang ternyata terjangkit HIV akibat penggunaan narkoba lewat pemakaian jarum suntik. Bagaimana ia bisa terkena penyakit mematikan ini? Semua adalah akibat pergaulan yang salah. Teman-temannya sesama pemakai hanya mengatakan bahwa memakai narkoba itu enak dan tidak pernah menyinggung tentang bahaya yang ditimbulkan. Pergaulan yang salah akan menimbulkan masalah besar dalam hidup yang berujung pada penyesalan. Hamil diluar nikah akibat salah memilih pasangan yang tidak baik, menjadi pemabuk akibat terbiasa minum-minum bersama teman, kecanduan clubbing/dugem tanpa kenal waktu, terjerumus pada macam-macam kejahatan, menderita penyakit mematikan akibat kebiasaan buruk dan tidak menjaga tubuh dan lain-lain semuanya seringkali berawal dari bentuk pergaulan yang buruk. Itu contoh ekstrim. Untuk kasus yang lebih "ringan", ada teman-teman atau lingkungan yang hobinya mematahkan semangat kita dengan pernyataan-pernyataan negatif. Bayangkan betapa sulitnya tumbuh jika kita ada dalam sebuah lingkungan negatif seperti ini. Contoh lain, ada orang yang merasa sungkan untuk berdoa sebelum makan ketika berada bersama teman-temannya yang berbeda keyakinan. Bahkan tidak jarang ada pula yang menyangkal kekristenan dirinya karena tidak ingin tersisih dalam pergaulan. Semua ini adalah contoh nyata dari dampak yang ditimbulkan dari pergaulan yang buruk. Ketika orang mulai mengorbankan imannya demi pergaulan atau lingkungannya, kasih mula-mula pun akan terkikis hingga lama-lama hilang. Lingkungan pergaulan adalah salah satu faktor penting dalam pembentukan karakter kita. Dalam ayat bacaan hari ini, Paulus mengingatkan jemaat Korintus untuk berhati-hati dalam memilih pergaulan agar mereka tidak sampai sesat. Ajakan yang sama tentunya berlaku untuk kita, terutama hari-hari ini dimana begitu banyak pergaulan yang dapat menjerumuskan kita ke dalam berbagai bentuk dosa terutama lewat keinginan daging. Dalam ayat lain, Paulus pun mengingatkan agar kita jangan bergaul dengan orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu, sekalipun mereka menyebut diri mereka saudara. (1 Korintus 5:11). Semua ini bertujuan baik, agar kita tidak terpengaruh, kehilangan kasih mula-mula dan mengalami degradasi iman. Jika tidak berhati-hati, tanpa sadar kita menjadi semakin jauh dari Tuhan dan akibatnya dapat terjerumus dalam kuasa kegelapan. Kita pun akan kehilangan semua janji Allah. Karenanya kita harus berhati-hati dalam memilih teman dan lingkungan pergaulan kita. Setidaknya kita harus mampu menyaring atau menetralisir dampak dari sebuah lingkungan pergaulan yang buruk.
Disisi lain, kita tidak boleh juga bertindak terlalu ekstrim hingga kita menganggap orang yang berbeda keyakinan sebagai kenajisan. Dalam Kisah Para Rasul 10:28, Petrus mengatakan bahwa dalam menghadapi orang lain yang berbeda, kita tidak boleh menyebut mereka najis atau tahir (haram). Kita tetap harus membuka diri, karena Tuhan mau pakai kita untuk menyatakan kemuliaanNya dan mengenalkan kasih Kristus pada orang lain. Tuhan butuh hati kita untuk mengasihi, butuh tangan-tangan yang menyembuhkan, butuh kaki kita untuk pergi bergerak dan suara untuk menyatakan kebenaran. Sebagaimana kita merasakan kasih Allah dalam hidup kita, seperti itu pula kita harus mengasihi saudara-saudara kita yang lain. "Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." (1 Yohanes 4:11). Tanpa membuka diri dan melihat saudara-saudara yang belum mengenal Kristus dengan kacamata kasih, kita tidak akan mampu mengenalkan pribadi Yesus lewat segala hal yang kita lakukan. Jadi kita tetap harus mau membuka diri dan mengasihi tanpa terkecuali, namun dilain pihak kita tetap harus menjaga diri kita agar berbagai keinginan daging yang berbuah dosa tidak sampai mencemari kita. Yang penting iman kita harus mampu terus bertumbuh, bukan sebaliknya malah berkompromi dengan dunia.
Sangat baik, jika kita mampu menjadi terang dalam kegelapan, namun pada saat yang sama berhati-hatilah agar kita tidak malah ikut-ikutan menjadi gelap. "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan." (Galatia 6:1). Kita harus terus memastikan agar kasih mula-mula tidak redup bahkan padam sambil tetap mengulurkan tangan bagi mereka yang sesat agar kembali kepada Bapa. Tetaplah tekun menjaga iman, jangan mengorbankannya demi berkompromi dengan dunia. Jika anda mulai merasa tawar dan kehilangan kasih mula-mula dalam sebuah lingkungan pergaulan, kembalilah segera pada Tuhan dan jangan biarkan diri anda terjerumus makin dalam. Tuhan sangat mengasihi kita dan ingin kita pun tetap mengasihiNya seperti saat pertama kali kita jatuh cinta padaNya.
Miliki iman yang terus bertumbuh dan jangan sampai terpengaruh pada pergaulan yang buruk
Di saat orang pertama kali jatuh cinta, mereka akan merasakan segala-galanya sangat indah. Yang paling pahit pun terasa manis. Segala kekurangan pasangannya akan dirasa seperti sebuah kelebihan dengan perasaan cinta yang meluap-luap. Semua hal yang dapat menyenangkan kekasih akan dilakukan dengan penuh semangat dan kebahagiaan. Itu hal yang biasa kita jumpai ketika orang yang baru jatuh cinta. Pada suatu saat ketika sebuah hubungan berjalan sebagai sebuah rutinitas dari hari ke hari, perlahan orang akan mulai kehilangan rasa cinta yang meluap-luap seperti di awal. Tidak lagi ada gairah disana, tidak lagi ada semangat dan hasrat untuk melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya demi orang yang kita cintai, tapi hanya didasarkan semata-mata karena itu adalah sebuah kewajiban. Ketika pertama kali lahir baru, kita pun mengalami cinta yang meluap-luap pada Kristus. Kita akan sangat termotivasi dan bersemangat ketika melakukan ibadah karena kita sangat mengasihi Kristus. Namun lama kelamaan jika semua itu menjadi satu rutinitas, tanpa sadar banyak diantara anak-anak Tuhan yang akhirnya kehilangan arah dan tujuan, kehilangan kasih mula-mula mereka. 
Begitu banyak yang ditawarkan dunia ini buat kenyamanan, kemudahan dan kemewahan hidup. Harta, jabatan, status, semua itu dijamin bisa mempermudah hidup buat ukuran dunia. Berbagai iklan menawarkan banyak hal yang secara duniawi bisa membuat anda lebih nyaman. Dunia memang terus berlomba untuk membangun aspek-aspek yang bisa memuaskan keinginan manusia untuk memiliki harta dunia lengkap dengan kenikmatan dan kenyamanannya. Untuk mampu memperoleh itu semua, orang pun akan terus berusaha menimbun harta dan tanpa sadar akan terjerumus menjadi hamba uang. Mereka akan tidak lagi perduli darimana uang itu berasal, bagaimana cara mendapatkannya, karena mereka mendasarkan segala sesuatunya kepada benda-benda mati yang sifatnya duniawi. Jelas,karenanya mereka akan kehilangan kasih mula-mula dan semakin jauh dari Tuhan. Mereka akan lebih tertarik untuk mengamankan aset-asetnya sambil terus mencari jalan untuk memperoleh lebih banyak lagi ketimbang memikirkan hal-hal bersifat surgawi. Begitu pula jabatan. Lihatlah bagaimana orang menghalalkan segala cara untuk bisa memperoleh sebuah kedudukan. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa menjadi caleg alias calon legislatif? Berapa yang harus mereka bayar agar bisa menjadi calon bupati, walikota, gubernur dan sebagainya, bahkan kepala desa? Terkadang ambisi untuk mendapat jabatan membuat orang buta, dan mereka pun mengeluarkan biaya yang jauh melebihi kemampuannya. Akibatnya, kemudian kita mendengar berbagai kisah kegagalan yang berakibat buruk. Ada yang mengerahkan massa untuk memaksakan posisinya, bahkan ada pula yang melakukan tindakan bunuh diri akibat terlilit hutang setelah kalah. Dalam alkitab pun ada banyak kisah kejatuhan akibat menghamba pada tuan yang salah, bagaimana seseorang bisa kehilangan kasih mula-mula dan kemudian meninggalkan Tuhan. Salah satu contohnya adalah Demas, salah seorang teman sepelayanan Paulus. "
Kalau kemarin kita melihat hal kepahitan terhadap Tuhan, hari ini mari kita melihat kepahitan terhadap sesama manusia. Ada kalanya dalam perjalanan hidup kita mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan akibat perbuatan orang lain seperti ditolak, ditipu, dikhianati, dikecewakan, dilukai dan sebagainya. Hal-hal seperti ini menimbulkan luka dan terkadang membekas dalam diri kita. Endapan bekas itu kemudian menjadi trauma dan timbullah kepahitan dalam hidup. Seringkali kepahitan ini timbul bukan terhadap orang-orang yang jauh dari kita, tapi justru terhadap orang-orang yang dekat dengan kita. Orang yang kita cintai, orang-orang yang seharusnya bisa kita percaya, tetapi ternyata malah menyakiti perasaan kita. Begitu banyak istri yang mengalami kepahitan terhadap suaminya akibat dikhianati, anak yang mengalami kepahitan terhadap orang tuanya akibat tidak diperhatikan atau pengalaman-pengalaman traumatis di masa kecil, kepahitan terhadap saudara sendiri dan lain-lain. Orang yang mengalami kepahitan lama-lama akan mengalami krisis kepercayaan. Mereka akan selalu dilingkupi rasa curiga, akan selalu merasa tidak aman, yang seringkali berlebihan. Mereka akan sulit percaya agar tidak terjebak untuk kesekian kalinya. Mereka akan membangun tembok tebal dan tinggi dimana mereka akan mengurung diri mereka didalamnya. Ada seorang teman yang trauma karena dikhianati kekasihnya, dan saat ini ia tidak berani untuk menerima orang lain. Ia berkata bahwa ia harus menjaga jarak dari siapapun, tidak mau terlalu dekat dengan siapapun, karena semua orang punya potensi untuk mengecewakannya. Ia juga menjadi rendah diri,selalu merasa kurang dari orang lain. Rasa sulit percaya pada orang lain ini adalah masalah hati, yang jika dibiarkan berlarut-larut lama kelamaan akan mencemarkan kerohanian juga. Mereka pun akan sampai kepada tahap dimana mereka sulit percaya pada Tuhan, dan akhirnya kehilangan kasih mula-mula.
 Ada sebuah survei yang pernah saya baca di majalah mengatakan bahwa 70% orang marah akan sesuatu. Kemarahan bisa berasal dari berbagai masalah, ketidakpuasan atau kecemburuan. Rasanya tidak ada orang di dunia ini yang tidak pernah marah. Kemarahan ini dalam waktu tertentu bisa berubah menjadi kepahitan jika dibiarkan berlarut-larut. Kemarahan tidak hanya diarahkan kepada sesama manusia, tapi ada pula yang marah hingga mengalami kepahitan kepada Tuhan. Kenapa? Banyak alasannya. Misalnya, ada yang mengalami kepahitan karena orang yang sangat mereka sayangi mengalami hal-hal buruk dalam hidupnya atau mungkin juga kematian. Adik saya sendiri mengalami kepahitan sejak ibu kami meninggal. Disaat ibu kami meninggal, dua keadaan yang kontras terjadi. Saya mendapat pengalaman-pengalaman rohani luar biasa sehingga bertobat dan menerima Kristus, sedangkan adik saya mengalami kepahitan karena tidak rela ibu dipanggil Tuhan. Ada yang merasa apa yang mereka alami tidaklah adil. Ada banyak orang yang kecewa pada Tuhan karena ia melihat rekan sekerjanya mengalami karir yang meningkat pesat sementara mereka masih jalan di tempat, atau teman di kampus yang jarang masuk dan kerjanya menyontek mendapatkan nilai lebih baik daripada dirinya yang mati-matian belajar. Ada pula yang mengalami kepahitan akibat didera kemiskinan, tekanan hidup, masalah bertubi-tubi dalam waktu yang lama. "Buat apa beribadah? Toh hidup sama saja, terus menderita dan kekurangan.." Ini kira-kira keluhan seorang supir angkot yang pernah saya dengar. 
Saya sering merasa kagum sekaligus terharu ketika melihat pasangan lanjut usia masih berjalan bersama-sama bergandengan tangan. Romantisme menurut saya, tidaklah terbukti secara nyata ketika hal tersebut terlihat pada pasangan muda, namun akan berbicara banyak ketika terjadi pada pasangan usia senja. Betapa indahnya ketika melihat kakek dan nenek masih saling memandang dengan penuh cinta, pandangan mata yang seolah-olah berbicara banyak mengenai sepanjang jalan kenangan yang mereka lalui bersama. Suka dan duka, derai tawa dan butir air mata, betapa mereka begitu bahagia mereka diciptakan untuk menjadi satu. Dalam doa-doa saya, saya selalu mengucap syukur atas "belahan jiwa" yang begitu luar biasa yang diberikan Tuhan pada saya. Manusia tidaklah ada yang sempurna, tapi saya sungguh percaya bahwa apa yang diberikan Tuhan itu adalah yang terbaik buat saya. Saya pun berdoa, agar saya mampu membahagiakan istri saya hingga akhir, dan berdoa agar tatapan mata penuh cinta,romansa antara pasangan lanjut usia ini suatu saat bisa saya alami. 
Etika dan sopan santun, juga budi pekerti seharusnya menjadi bagian hidup siapapun. Apalagi budaya ketimuran itu menjunjung tinggi etika dan sopan. Konon pada suatu masa budaya ketimuran dikenal dengan keramah-tamahan, murah senyum, baik budi pekerti, sopan santun, namun perkembangan jaman tampaknya diikuti pula oleh erosi etika dan sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai lapisan. Tepat dibelakang rumah saya ada belasan pemuda yang sedang menimba ilmu untuk menjadi tentara. Secara teoritis mereka seharusnya adalah warga negara terpilih, yang mendapat kehormatan untuk mengemban tugas mulia sebagai abdi negara. Tetapi, mungkin karena status itu pula akhirnya sebagian calon tentara ini diliputi kesombongan yang berlebihan. Sebagian dari pemuda-pemuda ini menunjukkan sikap yang sangat tidak terpuji. Mereka kerap membuat keributan, kerap mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh, parkir sembarangan menutupi rumah saya, seenaknya membuang sampah ke halaman saya, dan yang lebih tidak sopan lagi, buang air kecil tepat di tangga masuk ke rumah saya, tepat didepan mata saya. Ini potret pemuda-pemuda pilihan yang sebentar lagi menjadi tentara. Memalukan. Pada waktu mudik lebaran kemarin pun saya sempat membaca berita yang menyebutkan bahwa mereka tidak mau bayar ketika naik kereta api untuk kembali dari kampung halamannya setelah berlebaran. Ini gejala premanisme yang serius. Belum lagi menjadi tentara sudah begini, apalagi nanti setelah resmi? Mereka ini mencoreng korpsnya sendiri. Akhirnya nanti bukan hanya mereka yang dianggap negatif, tapi korps secara keseluruhan pun bisa tercemar. 
Ada banyak orang yang menganggap tingkat keseriusan bekerja itu berbanding lurus dengan upah yang mereka dapatkan. Beberapa teman saya pernah berkata bahwa mereka cukup bekerja ala kadarnya, karena apa yang mereka peroleh sebagai upah menurut mereka terlalu sedikit. Saya mengerti jika orang akan lebih termotivasi jika mereka mendapatkan upah yang memadai, apalagi jika disertai insentif. Saya juga mengerti, ada banyak pimpinan yang memanfaatkan karyawannya secara keterlaluan, menyuruh mereka melakukan lebih dari apa yang menjadi "job description" mereka. Dan karenanya saya tidak menyalahkan mereka yang membandingkan pekerjaan dengan perolehan upah. Hari ini saya hanya ingin mengingatkan bagaimana kita harus bekerja menurut firman Tuhan.
Beberapa kali saya pernah datang terlambat ke gedung bioskop dan film sudah dimulai. Dari terang di luar ke dalam ruangan bioskop yang gelap, rasanya sulit sekali melihat dan melangkah menuju tempat duduk pun harus berhati-hati supaya tidak tersandung. Tapi setelah beberapa waktu, mata akan menyesuaikan diri dengan kegelapan dan secara perlahan kita akan bisa melihat sekitar kita. Mata beradaptasi dengan kegelapan, terbiasa dengan situasi gelap itu dan kemudian kita bisa melihat dalam gelap. Kalau terjadi pemadaman listrik tiba-tiba pun demikian. Kita akan sangat kesulitan mencari lilin atau senter, meraba-raba kesana kemari, namun setelah dibiarkan untuk beberapa saat, mata akan mulai beradaptasi dan kita mulai mampu melihat dalam gelap. 
Saya menyadari benar betapa sulitnya kita menghadapi cobaan, apalagi ketika kita merasa sendirian, sementara orang lain tidak ada yang bisa mengerti, malah menambah penderitaan dengan terus menyalahkan kita. Saya sendiri pernah mengalami hal yang kurang lebih sama. Mungkin di dunia ini kita merasa tidak ada yg bisa mengerti dan memberi kekuatan, tapi ingatlah bahwa Tuhan tetap ada bersama anda. Saya selalu berkata pada teman-teman saya yang tengah mengalami persoalan hidup, bahwa jangan pernah menggantungkan seluruh harapan pada manusia, karena hal tersebut bisa berujung pada kekecewaan. Dari saudara-saudara seiman sekalipun, terkadang mereka malah menjadi batu sandungan dan bisa semakin menjauhkan rasa percaya kita pada Bapa.
Kemarin kita sudah melihat apa yang terjadi ketika Bileam ditegur Tuhan lewat keledainya. Hari ini mari kita lihat lebih jauh ayat yang sudah saya kutip sebelumnya, yaitu dari kitab Ayub. "Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah; sebab itu janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa." (Ayub 5:17). Mengapa kita harus berbahagia ketika ditegur Allah? Ayat-ayat berikutnya mulai dari ayat 18-26 menjelaskan alasannya dengan serangkaian daftar yang sungguh luar biasa kepada orang yang ditegur Allah. 
Memang tidak enak rasanya jika kita ditegur. Walaupun teguran itu biasanya terjadi akibat kesalahan kita sendiri, dan demi kebaikan kita juga, tetapi tetap saja teguran seringkali meninggalkan perasaan tidak nyaman. Apalagi kalau sudah menyangkut harga diri, wah runyam ceritanya. Itu masih teguran dari sesama manusia. Bagaimana jika yang menegur bukan manusia, tetapi keledai? Apa rasanya? Mari kita tanya pada Bileam. Bileam mengalami peristiwa yang bagi kita mungkin terasa sangat memalukan. Kebandelannya membuat Tuhan berbicara melalui keledai yang ditungganginya.
Dalam sebuah wawancara saya dengan seorang vokalis dari sebuah band ternama saya mendapat cerita menarik tentang awal karirnya. Semuanya dimulai ketika ia tengah melayani pada satu kebaktian di gereja. Pada saat itu ia bermain drum, dan kebetulan setelah kebaktian bakal ada sebuah konser musik jazz. Permainan drumnya menurut si vokalis tidaklah istimewa. Tapi entah kenapa ia menarik perhatian seorang pianis terkenal di negara kita yang sedang menunggu kebaktian selesai. Dia diundang untuk datang ke rumah sang pianis, kemudian disuruh berhenti bermain drum, dan beralih kepada olah vokal. Ia lalu mengikuti sebuah acara TV yang mencari penyanyi berbakat dan berhasil keluar sebagai salah satu pemenang. Bakatnya kemudian mengantarkan dirinya untuk menjadi vokalis dari sebuah band anak muda yang sedang naik daun.Kesuksesan pun menghampiri dirinya. Apakah semua itu merubah dirinya? ternyata tidak. Dia masih aktif melayani hingga saat ini di gereja. Menurutnya, semua yang ia raih adalah berkat dari Tuhan. Dulu dia sungguh-sungguh melayani, kini pun komitmennya tidak berubah sedikitpun. "kita tahu berapa banyak anak-anak Tuhan yang meninggalkan Tuhan setelah meraih sukses, dan lihat apa yang terjadi pada mereka.. gue tidak mau seperti itu, gue mau setia. Lagipula semua yang gue capai berasal dari Tuhan.." katanya. Luar biasa bukan? Kisah yang sama saya jumpai dalam pagelaran Java Jazz 2008 di hari ketiga yang jatuh pada hari Minggu. Ada beberapa musisi internasional yang ikut tampil pada kebaktian pagi yang diadakan di Jakarta Convention Center. Mereka memang musisi-musisi bertaraf internasional dan terkenal, tapi ketika ada di panggung untuk memuliakan Tuhan, mereka adalah hamba-hamba Tuhan yang sedang melayani. "All for the glory of Jesus!" teriak salah seorang vokalis Incognito. 
Ada banyak film-film hollywood bergenre action yang secara akal sehat tidak masuk akal. Film-film action seperti Rambo (Stallone), Commando (Schwarzenegger) dan film-film sejenisnya menampilkan seorang jagoan yang mampu mengalahkan puluhan ataupun ratusan lawan sendirian. Bagaimana mungkin satu lawan ratusan menang satu? Peluru berdesingan di sekitarnya, bahaya terus mengancam, tapi mereka tidak takluk, malah mampu keluar sebagai pemenang. Film-film action ini semuanya memang fiktif. Ada orang yang iseng, penasaran atau kurang kerjaan,  menghitung total lawan Rambo yang terbunuh pada tiga dari empat film (belum termasuk film keempatnya yang terbaru), dan totalnya mencapai 129 orang.  Dan itu sulit diterima logika kita. Tapi tahukah anda bahwa alkitab pernah mencatat kisah yang lebih mencengangkan? Jika Rambo menggunakan senapan, panah dan alat-alat perang lainnya, ada tokoh yang bernama Samgar di dalam kitab Hakim Hakim yang mampu menewaskan banyak orang Filistin hanya dengan tongkat penghalau lembu. Berapa totalnya? 600 orang!
Ada seorang teman yang bertanya, "bagaimana sih cara berdoa"? Dia mengaku jarang berdoa karena tidak pandai merangkai kata. "saya bukan pengarang, saya tidak puitis, untuk menyampaikan perasaan lewat kata-kata sulitnya setengah mati", kira-kira begitu keluhannya. Begitulah, banyak orang yang berpikir bahwa jika di dunia ini seringkali dibutuhkan kepandaian merangkai kata penuh bunga-bunga untuk menghadapi orang penting, apalagi jika mereka harus berkata-kata pada Tuhan, Pemilik seluruh bumi dan isinya. Saya jadi ingat ada seorang teman ketika saya masih duduk di bangku SMA, setiap harinya dia mengkonsep dulu doanya di atas kertas. "biar tidak ada yang ketinggalan dan kata-katanya bagus", itu selalu menjadi alasannya. Belum lagi kalau kita tengah berada dalam pergumulan berat, terkadang kata-kata saja pun sulit untuk keluar dari mulut kita, apalagi jika ditengah beban itu kita harus berpikir untuk merangkai kata-kata dengan indah atau mencari kosa kata puitis yang sulit-sulit. Repot kan? Ada juga yang terus menerus mengulang-ulang kata-kata dalam doanya, seolah-olah terus mengingatkan Tuhan supaya tidak sampai lupa. Atau ada juga yang menjadi minder karena membandingkan doanya dengan doa pendeta yang biasanya mengutip firman Tuhan dan tersusun dengan rapi. Padahal semua tidaklah harus demikian, tidak dibutuhkan otak yang puitis agar Tuhan mendengar doa kita, Tuhan tidak pernah menuntut kerumitan susunan kata, atau harus pakai ejaan sesuai kaidah bahasa yang benar. 
Apa yang terjadi jika seseorang mencabut kabel dari stop kontak ketika anda sedang menonton televisi? Televisinya akan mati bukan? Sama halnya seperti peralatan elektronik lainnya, jika kabel dicabut, aliran listrik yang mengalir akan terputus dan akibatnya peralatan elektronik yang menggunakan listrik sebagai sumber dayanya tidak akan dapat berfungsi. Lewat ilustrasi singkat ini saya ingin menyambung renungan kemarin. 
Malam ini saya teringat sebuah pengalaman lumayan seru yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Pada waktu itu istri saya masih menempati sebuah kamar kos, dan ketika ia pulang, ternyata ia mendapati seekor ular di depan kamarnya. Saya pun datang kesana, dan teman-teman sekosnya ikut heboh. Tidak ada yang berani memastikan apakah ular itu berbisa atau tidak, sehingga semuanya terlihat bingung bagaimana mengatasinya. Untunglah ada seorang teman yang berani, ia mengambil tongkat dan secara perlahan memindahkan ular ke dalam karung. Untunglah ular itu masih di depan kamar. Bagaimana jika sempat masuk dan bersembunyi di sudut-sudut ruangan? Tentu tidak ada yang menginginkan ada ular dari spesies yang tidak jelas berbisa atau tidak, hadir di dalam rumahnya. Orang akan merasa takut jika ada benda atau mahluk hidup yang punya potensi membahayakan masuk ke dalam rumahnya, artinya masuk ke dalam kehidupannya. Namun banyak yang lupa bahwa ada pula dosa yang mungkin tidak terlihat nyata sebagai sebuah dosa, tapi bisa diam-diam menyelinap ke dalam hidup dan kemudian bisa menyerang dan akibatnya mematikan. Yang saya maksud adalah dosa iri hati.
Hari ini saya kedatangan tamu, rombongan sepupu dan keponakan saya. Ada sebuah fakta yang cukup mengagetkan yang saya dengar dari salah seorang sepupu saya yang baru kembali dari kunjungan kerja sebulan di Norwegia. Dia bercerita bahwa ada sebuah kota yang ia kunjungi bernama Tromso. Disana perbedaan terang dan gelap bisa begitu ekstrim. Ada banyak hari dimana matahari sama sekali tidak muncul, dan sepanjang hari yang ada hanyalah kekelaman malam. Yang mengejutkan saya adalah fakta berikut: bahwa tingkat kematian akibat bunuh diri begitu tinggi disana. Apa yang menyebabkan hal tersebut? Kota itu dilanda kemiskinan tak berujung? Tidak. Banyak orang tertindas? Tidak. Orang tidak punya pekerjaan dan makanan? Tidak. Apa yang menyebabkan tingginya angka kematian akibat bunuh diri disana ternyata adalah depresi. Depresi ini timbul akibat terus menerus berada dalam kegelapan. Ketika itulah saya tiba-tiba diingatkan akan ayat mengenai penciptaan. Tuhan menciptakan terang, maka terang itu jadi.